You are on page 1of 12

A. Review buku Politik hukum di Indonesia: Mahfud MD 1.

Hubungan politik dengan hukum Di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang mendasarinya. Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita). Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam ari bahwa dalam kenyataannya baik produk normative maupun implementasi-penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris. Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang dapat dipahami dari adugium, bahwa politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh. Di dalam buku Politik Hukum Di Indonesia karangan Mahfud M.D dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya politik determinan (menentukan) atas hukum. Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable terpengaruh), berpengaruh). Pilihan atas asumsi dalam buku ini bahwa produk hukum merupakan produk politik, mengantarkan pada penentuan hipotesis bahwa konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu pula. Dalam buku ini membagi variable bebas (konfigurasi politik) dan variable terpengaruh (konfigurasi produk hukum) kedalam kedua ujung yang dikotomis. Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter (non-demokrtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas. Konsep demokratis atau otoriter (non-demokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan pada proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum. Pengertian konseptual yang dipakai dalam buku ini yaitu : politik diletakkan sebagai independent variable (variabel

a. Konfigurasi Politik Demokratis adalaah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan Negara. Dengan demikian pemerintah lebih merupakan komite yang harus melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam membuat kebijakkan, sedangkan pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa takut ancaman pemberedelan. b. Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan posisi ppemerintaah yang saangat dominan dalaam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara, sehingga potensi dan aspirasi masyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Dan juga badan perwakilan dan parpol tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak mempunyai kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah pemeredelan. c. Produk Hukum Responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan mencerminkan baik individu maupun didalam kelompok social didalam masyarakat sehingga lebih mampu rasa keadilan masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat, dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat. d. Produk Hukum Konservatif/ortodoks adalah produk dan berada dalam bayang-bayang

hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Dan biasanya bersifat formalitas dan produk hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan idiologi dan program pemerintah. 2. Sejarah konfigurasi politik di Indonesia Diatas telah dijelaskan bahwa konfigurasi politik tertentu melahirkan produk tertentu juga. Didalam buku politik hukum Mahfud ini dijelaskan masa periodesasi dalam perkembangan hukum dengan produk hukumnya. 1) Periode Demokrasi Liberal Setelah proklamasi 1945 terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Keadaan ini sampai tahun 1959, saat presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga macam konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Tetapi konfigurasi politik yang ditampilkannya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partaipartai, pada saat yang sama kedudukan pemerintah sangat lemah dan dengan mudah dapat dijatuhkan melalui mosi dilembaga perwakilan (parlemen). Begitu juga kebebasan pers cukup mendapatkan kebabasan untuk mengekspresikan segala temuan, opini dan kritik-kritiknya. 2) Periode Demokrasi Liberal Karena instabilitas politik dan pemerintahan yang ditimbulkannya maka sistem politik liberal harus berakhir dengan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959 dan digantikan Demokrasi Terpimpin yang menurut Soekarno lebih berwarna Indonesia. Menurut Demokrasi Terpimpin, konsepsi Demokrasi Liberal tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia, karenanya harus ditinggalkan. Yang tterjadi dalam Demokrasi Terpimpin adalah tidak adanya Demokrasi, karena yang ditonjolkannya

adalah terpimpinnya, sehingga konfigurasi politik yang tampak adalah konfigurasi otoriter. Kekuasaan pemerintah yang berpusat di Istana presiden sangat kuat, sedangkan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah. Kewenangan DPR sering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai Penpres dan Peperpu untuk akhirnya parlemen hasil pemilu ini dibubarkan dengan sebuah Penpres. Kehidpan pers ditekan sedemikian rupa dengan pembredelan, sensor dan pemenjaraan. Pada era ini ada tiga kekasaan politik yang saling torak tarik dan saling memanfaatkan, yaitu, Presiden Soekarno, Angkatan Darat dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar ada ditangan Soekarno.

3) Periode Orde Baru Konfigurasi politik otoriter pada era demokrasi terpimpin berakhir pada tahun 1966 ketika Orde Baru yang berintikan Angkatan Darat tampil sebagai pemeran utama dan membentuk rezim baru. Tampilnya ABRI diberi jalan oleh peristiwa G 30 S/PKI yang menyebabkan PKI dibubarkan setelah keluarnya Supersemar dari Presiden Soekarno dan Soekarno sendiri tak dapat mempertahankan sendiri jabatannya. Pada awalnya Orde Baru memulai langkah politiknya dengan langgam agak demokratis-liberal, namun langgam tersebut hanya tampil sementara, yakni selama pemerintah berusaha membentuk format baru politik Indonesia. Setelah format baru tersebut terbantuk melalui UU No. 15 dan UU No. 16 Tahun1969 serta hasil pemilu 1971, maka langgam sistem politik mulai bergeser lagi kearah otoritarian. Logika pembangunan ekonomi didukung stabilitas nasional (sebagai prasyaratya) telah membawa orde baru menjadikan dirinya Negara kuat yang mampu melaksanakan program pembangunannya. Dipandang dari sudut demokrasi politik, maka berdasarkan standar konvensional yang manapun konfigurasi politik orde baru, bukanlah konfigurasi politik yang demokratis karena lebih menonjolkan otoritariannya. Tetapi dipandang dari segi upayanya untuk membangun ekonomi masyarakat dapat dikatakan berhasil. Ciri otoritarian pada konfigurasi politik Orde

baru terlihat pada: Pertama, sistem kepartaian yang hegemonic, tidak kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik asional adalah partai yang didukung dan mendukung yang kuat oleh pemerintah, yaitu Golkar. Pada saat yang sama terjadi emaskulasi terhadap parpol selain Golkar. Kedua, peranan eksekutif sangat dominan ditandai dengan tindakan-tindakan intervensionis dan pembentukan jaringan-jaringan korporatis serta dominannya eksektif dalam pembentukan produk hukum. Ketiga, kebebasan pers yang relative terbatas. Dengan demikian kkonfigurasi politik orde baru yang lebih menonjolkan otoritariannya dikualifikasikan sebagai konfigurasi politik otoriter.

Pasca Soeharto, Indonesia mengalami perubahan yang sangat luas dan dalam bidang politik. Demokrasi dan demokratisasi melanda lembaga Negara yang selama ini tidak tersentuh. Instansi militer yang biasanya begitu kuat dan hegemonistik sekarang mengalami proses demokratisasi, seperti kebutuhan Negara modernakan pengelolaan bidang pertahanan secara lebih memadai. Potensi masyarakat sipil juga menguat, sekalipun mengalami keterbatasan akibat factor-faktor internal.paratpartai berkembang, bahkan dalam tingkatan partai politik local. Berbagai departemen dan kementrian Negara dimasuki oleh kalangan partai-partai politik, sekalipun dengan kepastian yang belum memadai. Kini masyarakat memiliki kebebasan luas, mulai dari aksi-aksi demonstrasi, sampai protes atas kebijakan public yang dirasakan merugikan kepentingan warega Negara. Namun dalam sisi yang negative, juga muncul konflik persoalan antar warga, terutama karena bangkitnya politik etnis dan politik identitas. Konflik juga tumbuh dalam partai-partai politik, termasuk adanya hak recall pimpinan partai politik atas anggota-anggotanya diparlemen. Uraian diatas telah menunjukkan bahwa situasi poliitik tertentu dapat melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula, secara teoritis, dikotomis sistem politik demokratis akan melahirkan hukum yang responsif, sedangkan sistem politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konvensional/ortodoks. Kita senantiasa ingin melihat lahirnya hukum-hukum yang berkarakter

responsif tanpa mengorbankan persatuan dan kesatuan serta kebutuhan ekonomi kita. Karena hukum responsif hanya lahir dari konfigurasi politik yang demokratis, untuk melahirkan hukum-hukum yang responsif itu diperlihatkan dalam demokratisasi didalam kehidupan politik. Alasan-alasan untuk melakukan demikratisasi ini sudah cukup: kesadaran politik masyarakat sudah membaik, kehidupan ekonomi masyarakat dan trend pertumbuhannya sudah memadai. Dengan modal-modal seperti, model demokratisasi tidak akan mengancam stabilitas nasional, apalagi persatuan dan kesatuan bangsa. 3. Sistem Politik di Indonesia Indonesia adalah suatu bangsa dan Negara yang secara politis resmi merdeka 17 Agustus 1945. Soekarno dan Soeharto yang bagaimanapun dianggap bapak bangsa namun berlaku tirani pada masa pemerintahannya, Soekarno pernah dinyatakan sebagai presiden seumur hidup, sehingga berkuasa sampai dua puluh satu tahun. Sedangkan Soeharto merekayasa pemilihan umum sebanyak tujuh kali sehingga berkuasa selama tiga puluh dua tahun berturut-turut. Ketiranian ini bukan berangkat dari Pancasila, karena falsafah ini sudah berusaha menyeimbangkan sila-silanya, namun sebenarnya berasal dari UUD 1945 yang membesarkan peran eksekutif ketimbang legislative, dan lembaga tinggi lain, itulah sebabnya pada era reformasi UUD 1945 ini kemudian diamandemen. Mengapa para pendiri Republik ini membesarkan peran eksekutif, adalah karena bermaksud menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah-tengah kebhinekaan suku, pulau, agama, adat istiadat, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan yang ada di Indonesia. Pada decade terakhir kita mengalami integrasi bagi persatuan dan kesatuan bangsa, saying tidak dimengerti oleh bangsa lain, bagaimana tidak kalau dalam integrasi orang Papua dan Aceh harus merasa memiliki Indonesia, bukan dimiliki Indonesia, sehingga dengan demikian, hak dan kewajibannya sama. Tentu saja pendekatannya mutlak harus kesejahteraan. 4. Perkembangan tipologi hukum ortodoks, represif dan responsif Dikalangan ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan Selama ini, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku

dan terlalu menekankan pada aspek the legal sistem tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendaknya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Memahami kenyataan itu, Philippe Nonet dan Philip Selznick kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual. Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Dan menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif),

hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Untuk mengidentifikasi lebih lanjut digambarkan sebagai berikut:
Hukum Represif Ketertiban Ketahanan sosial dan tujuan negara Keras dan rinci, namun berlaku lemah terhadap pembuatan hukum Ad hoc, memudahkan Pertimbangan mencapai tujuan dan bersifat partikuler Sangat luas, oportunistik Hukum Otonom Legitimasi Keadilan prosedural Luas dan rinci, mengikat penguasa maupun yang dikuasai Sangat melekat pada otoritas legal, rentan terhadap formalisme dan legalisme Luas, tetapi tetap sesuai Diskresi Dibatasi oleh peraturan, delegasi yang sempit Pencarian positif bagi Ekstensif, dibatasi Paksaan secara lemah Moralitas komunal, Moralitas moralitas hukum, moralitas pembatasan Hukum subordinat Politik terhadap politik kekuasaan Harapan akan ketaatan Tanpa syarat, ketidaktaatan per se dihukum sebagai pembangkang Pasif, kritik dipandang Partisipasi sbg ketidaksetiaan Dikontrol oleh batasanbatasan hukum Moralitas kelembagaan, yaitu dipenuhi dengan integritas proses hukum Hukum independen dari politik, pemisahan kekuasaan Penyimpangan peraturan yang dibenarkan, mis: unt. Menguji UU atau perintah Akses dibatasi prosedur baku, munculnya kritik atas hukum Terintegrasinya aspirasi hukum dan politik, keberpaduan kekuasaan Pembangkangan dilihat dlm aspek bahaya substantif, dipandang sbg gugatan legitimasi Akses diperbesar dgn integrasi advokasi hukum dan sosial berbagai alternatif, spt. insentif, sistem kewajiban yang mampu bertahan Moralitas sipil, moralitas kerjasama dengan tujuan Hukum Responsif Kompetensi Keadilan substantif Subordinat dari prinsip dan kebijakan Purposif (berorientasi pada tujuan), perluasan kompetensi kognitif

Tujuan hukum Legitimasi

Peraturan

Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan,

bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Sistem hukum nasional pada dasarnya tidak hanya terdiri dari kaidahkaidah atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat. Dan, pembangunan Sistem Hukum Nasional sesungguhnya diarahkan untuk menggantikan hukumhukum kolonial Belanda disamping menciptakan bidang-bidang hukum baru yang lebih sesuai sebagai dasar Bangsa Indonesia untuk membangun. Semua unsur/komponen/fungsi/variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen

masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya. Nonet dan Selznick pada dasarnya tidak memposisikan ketiga model perkembangan hukum (developmental model) dalam satu garis hierarkis. Artinya, tidak ada klaim bahwa tahapan hukum responsif adalah tahapan yang paling cocok, paling dapat menyesuaikan diri, atau paling stabil dibandingkan dengan tahapan hukum otonom atau hukum represif. Setiap pola menuntut adanya proses adaptasi. Bahkan, menurut mereka, model pada tahapan ketiga kurang stabil dibandingkan dengan tahapan kedua dan pertama. Nonet & Selznick juga menyatakan, "We want toargue that repressive, autonomous, and responsive law are not only distinct types of law but, in some sense, stages of evolution in the relation of law to the political and social order.". Satjipto Raharjo tidak memberi uraian tentang potensi-potensi kelemahan ini tatkala ia menyodorkan tipe responsif sebagai karakter pemikiran hukum progresifnya. Sebagai contoh, patut diperdebatkan: benarkah tahapan hukum otoriter yang menurut kajian Moh. Mahfud M.D. telah menandai politik hukum pada era Orde Baru itu61 dan baru saja kita lewati masanya tersebut sungguhsungguh telah siap untuk digiring saat ini langsung menuju ke tahap hukum responsif? Dengan perkataan lain, tidakkah kita membutuhkan adaptasi terlebih dulu pada tahapan hukum otonom sebelum dapat melangkah ke tahapan hukum responsif? Dan, bukankah pemikiran hukum progresif didesain sebagai teori hukum pada masa transisi? Jika ada contoh-contoh yang dapat memperlihatkan kemungkinan adanya pelompatan tahapan tersebut, maka perlu juga dianalisis apakah lompatan ini tidak mengundang risiko-risiko sebagaimana dikhawatirkan oleh Nonet dan Selznick. Diskresi yang terlanjur diberikan secara luas, misalnya, namun tidak terlebih dulu dibekali dengan kesadaran hukum yang tinggi (adaptasi ini seyogianya dijalankan selama berada pada tahapan kedua), tentu pada gilirannya akan mendatangkan bahaya tersendiri pada sistem hukum secara keseluruhan.

REVIEW BUKU Politik Hukum di Indonesia Mahfud MD

Disusun oleh : DIAN CHANDRA BUANA N I M : R 100 100 005

PROGRAM MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2010/2011

You might also like