You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN Persalinan preterm merupakan jenis persalinan dengan terjadinya kontraksi uterus serta proses pengembangan dan

dilatasi serviks pada usia gestasi antara 20 37 minggu. Frekuensi persalinan preterm mencapai 12% dari keseluruhan persalinan yang ada dan menimbulkan sekitar 70% permasalahan morbiditas dan mortalitas pada neonatus di Amerika Serikat. Di Indonesia, kasus persalinan preterm mencapai 18,5% dari total persalinan yang ada dan menimbulkan sekitar 65-75% mortalitas dan morbiditas neonatus. Pencegahan yang adekuat baik dalam proses pengenalan kasus persalinan preterm seperti faktor psikologis, etiologi, dan patofisiologi dari persalinan preterm dapat membantu dalam mengurangi kasus mortalitas dan morbiditas neonatus yang ada. Penyebab pasti dari persalinan preterm masih belum diketahui dengan pasti. Namun secara umum dapat disebabkan dari berbagai faktor baik dari ibu ataupun dari janin itu sendiri. Manajemen utama dalam penanganan persalinan pematur seharusnya berhubungan dengan identifikasi faktor risiko, diagnosis waktu perkiraan persalinan, etiologi dari persalinan preterm, evaluasi adanya fetal distress, pemberian terapi farmakologi yang bersifat profilaksis dan menurunkan terjadinya gejala distress respirasi dan infeksi intra amnion, pemberian terapi tokolitik bila ada indikasi yang menyertai dan persiapan penangan yang adekuat pada neonatus yang akan dilahirkan. Bayi-bayi yang lahir dengan kondisi preterm akan mengalami permasalahan baik dalam sistem pernafasan, persarafan ataupun sirkulasi. Bayi preterm juga akan mengalami kondisi BBLR yang akan memperburuk keadaan dengan segala komplikasinya.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 DEFENISI PERSALINAN PRETERM Persalinan preterm adalah persalinan pada kehamilan antara 20-37 minggu dengan angka kejadian mencapai 10-15 % kehamilan yang ada. 2.2 EPIDEMOLOGI PERSALINAN PRETERM Persalinan preterm dan kehamilan merupakan bagian yang paling berat dalam dunia Obstetrik dan Ginekologi. Di Amerika Serikat, persalinan preterm memiliki insidensi kasus yang cukup tinggi dimana hampir selalu ada untuk 1 dari 10 persalinan, dan menyebabkan sedikitnya 75% kematian neonatus, termasuk dengan kasus malformasi kongenital. Di negara berkembang insidennya sekitar 7% dari seluruh persalinan. Persalinan preterm merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan kematian perinatal sebesar 65%-75%, umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah. Berat lahir rendah dapat disebabkan oleh kelahiran preterm dan pertumbuhan janin yang terhambat. 2.3 ETIOLOGI PERSALINAN PRETERM Etiologi yang paling sering menyebakan terjadinya persalinan preterm adalah: 1. Komplikasi medis dan obstetrik Sebanyak 28% persalinan preterm kehamilan tunggal disebabkan oleh beberapa hal (seperti pre eklampsia (50%), gawat janin (25%), akibat IUGR, solution plasenta atau kematian janin), dan sebanyak 72% persalinan preterm dengan atau tanpa disertai ketuban pecah dini.

2. Abortus imminens Perdarahan pervaginam pada awal kehamilan seringkali berkaitan dengan meningkatnya perubahan pada akhir kehamilan. Weiss dkk (2002) melaporkan adanya kaitan antara perdarahan per vaginam pada kehamilan 613 minggu, dengan kejadian meningkatnya persalinan sebelum kehamilan 24 minggu, persalinan preterm dan solusio plasenta. 3. Gaya Hidup Merokok, kenaikan BB selama kehamilan yang tidak memadai serta penggunaan obat-obatan tertentu memiliki peranan penting dalam angka kejadian persalinan dan outcome BBLR. Cassaenuva 2005 menyimpulkan bahwa faktor maternal lain yang berkaitan dengan persalinan preterm adalah kehamilan remaja atau usia tua, tubuh pendek, kemiskinan, defisiensi vit C, dan faktor pekerjaan. 4. Faktor Genetik Perkiraan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetic dengan persalina preterm adalah sifat persalinan yang berulang, menurun dalam keluarga dan banyak pada ras tertentu. 5. Chorio Amnionitis Infeksi selaput ketuban dan cairan amnion yang disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme dapat menjelaskan peristiwa ketuban pecah dini atau persalinan preterm. Diduga karena endotoksin sebagai produk dari bakteri yang dapat merangsang monosit desidua untuk menghasilkan cytokine yang selanjutnya dapat merangsang asam arachidonat dan produksi prostaglandin. Prostaglandin E2 dan F2 bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi miometrium.

2.4 FAKTOR RISIKO PERSALINAN PRETERM Mekanisme pasti dari persalinan preterm sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti, namun diduga akibat perdarahan desidual, (seperti abrusi, faktor mekanik seperti overdistensi uterus dengan keadaan gestasi yang multiple atau polyhidroamnion), inkompetensi serviks (seperti trauma), distorsi uterus (seperti fibrous uteruss, inflamasi serviks (seperti infeksi bacterial vaginosis), inflamasi maternal/ demam (seperti infeksi saluran urinaria), perubahan hormon, dan insufisiensi uteroplasenta (seperti hipertensi, alkohol, penyalahgunaan obat, merokok). Walaupun terkadang prediksi waktu kelahiran pada persalinan preterm tidak tepat, berbagai metode maternal lain dan sifat kehamilan dapat menjadi salah satu bahan perbandingan. Yang terpenting, kondisi dari janin yang dilahirkan menjadi bagian penting dalam persalinan, dimana kondisi janin akan menmpengaruhi keadaan lingkungan uterus dan sekaligus mengaktivasi jalur pasenta dan janin. Beberapa faktor risiko yang sering menimbulkan persalinan preterm termasuk kondisi demografi (seperti ras kulit hitam, usia ibu (< 17 tahun atau > 35 tahun), sosial ekonomi yang rendah, dan berat badan ibu yang kurang sebelum kehamilan) budaya dan prilaku, riwayat persalinan permatur sebelumnya. Persalinan preterm juga berhubungan dengan kondisi psikologis ibu (seperti kematian anggota keluarga terdekat, hubungan yang tdak harmonis dengan keluarga, tetangga, ataupun lingkungan pekerjaan). Bila disingkat, faktor risiko persalinan preterm terbagi atas dua kriteria, yaitu:

1. Faktor risiko mayor a. Kehamilan multiple, b. Hidramnion, c. Anomali uterus,

d. Serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, e. Serviks mendatar/ memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu, f. Riwayat abortus pada trimester II lebih dari 1 kali, g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya, h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm, i. Riwayat operasi konisasi, j. Iritabilitas uterus. 2. Faktor risiko minor a. Penyakit yang disertai demam,

b. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu, c. Riwayat pielonefritis, d. Merokok lebih dari 10 batang perhari, e. Riwayat abortus pada trimester II, f. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau dua atau lebih faktor risiko minor atau keduanya. Sedangkan dari kelainan obstetrik, sejumlah kelainan obstetrik, medis dan anatomis berkaitan dengan angka kejadian persalinan preterm seperti: No 1
Risk Factor Obstetrik complication Problem In previous or current pregnancy (severe hypertensive state of pregnancy, anatomic disorders of the placenta such as abrutio placenta, placenta previa, circumvalallate placenta), placental insufficiency, preterm rupture of the membrane, polyhydramnion or oligohydroamnion), previous preterm or low birth weight infant, low socioeconomic status, maternal age < 18 years or > 40 years, low prepragnancy weight, non-caucasian race, multiple pregnancy, short interval between pregnancy (3 months), inadequate or excessive weight gain during pregnancy, previous abortion, previous laceration of cervix uterus. Pulmonary systemic, hypertension Renal disease, Heart disease, infection (pyelonephritis, acute systemic infection, genital infection such as gonorrhea, herpes simplex, mycoplasmosis), fetotoxic infection (cytomegalovirus infection, toxoplasmosis, listerioisis), maternal systemic infection (pneumonia, influenza, malaria), maternal intraabdominal sepsis (appendicitis, cholecystitis, diverticulitis), heavy cigarette smoking, alcoholism or drug addiction, severe anemia, malnutrition or obesity, leaking benign cystic teratoma, perforated gastric or duodenal ulcer, adnexal torsion, maternal trauma or burns. Any intra abdominal procedure, conization cervix, previous incision in uterus or cervix (like sectio caesaria) Bicomunate, subseptate unicomutate uterus, congenital cervical incompetency

Medical Complication

3 4

Surgical complication Genital-tract anomalie

Metode untuk menilai kemungkinan terjadinya persalinan preterm adalah dengan memonitor aktivitas uterus (home uterine activity monitoring:HUAM), menilai estriol saliva, fetal fibronectin (FFN), dan pengukuran panjang serviks.

Pemeriksaan HUAM (home uterine activity monitoring) sudah tidak lagi dilakukan karena telah ditemukannya pemeriksaan dengan tokodinamometri dalam menilai kontraksi uterus pada persalinan preterm. Untuk pemeriksaan persalinan preterm dengan menggunakan pengukuran saliva estriol didasarkan pada produksi kelenjar adrenal yang menghasilkan dehydroepiandrosterone akan meningkat pada kehamilan sehingga menjadi standar pengukuran maternal estriol. Namun, maternal estriol dipengaruhi dengan kondisi diurnal tubuh yang berubah, dapat ditekan apabila mengkonsumsi bethametasone, sehingga dapat mempengaruhi penilaian maternal estriol yang diinginkan. Pengukuran FFN didasarkan pada membran protein dari sel desidual plasenta, dimana ketika FFN meningkat maka kemungkina telah terjadinya kondisi yang mengarah ke persalinan preterm. Untuk pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengukur panjang dari serviks. Umumnya pertumbuhan serviks yang masih pendek pada awal atau akhir trimester kedua akan mempengaruhi terjadinya persalinan preterm. 2.4.1 Evaluasi Pre-konsepsi Ketika risiko persalinan pretem pada pasien multipara menjadi sulit untuk diatasi, adanya riwayat persalinan sebelumnya dan kemampuan psikologis ibu menjadi salah satu bagian terpenting untuk proses kehamilan berikutnya. Melakukan proses identifikasi sebelumnya pada proses pre-konsepsi akan dapat membantu dalam menentukan kearah perjalanan berikutnya. Telah diketahui bahwa sekitar 30% seorang ibu akan dapat mengalami kehamilan kembali pada rentang 2 tahun setelah persalinannya, dan ini menjadi salah satu standar intervensi tindakan berikutnya. 2.4.2 Trauma Serviks Penyebab tersering terjadinya persalinan preterm adalah perlukaan pada daerah serviks, yang bisa diakibatkan karena tindakan operatif pada proses dysplasia

uterus, atau akibat persalinan. Komplikasi yang tersering akibat proses aborsi bahwa pada masa 10 minggu kehamilan adalah terjadinya persalinan preterm akibat serviks yang telah mengalami dilatasi sampai 10 mm. Namun, dapat juga ditemukan bahwa persalinan preterm dapat muncul pada terminasi elektif trimester kedua atau lebih. Dilatasi serviks dengan diperantarai oleh laminaria atau kontraksilitas serviks seperti penggunaan misoprostol akan dapat melukai serviks daripada tindakan mekanikal dilatasi manual biasa. Displasia serviks harus dapat ditangani dengan tepat ketika diagnosa telah ditegakkan. Namun, tindakan dalam penanganan diplasia serviks akan meningkatkan kecenderungan persalinan preterm sebanyak 200-300%. Risiko akan diperberat apabila tindakan operatif yang melukai permukaan serviks telah dilakukan. Trauma pada persalinan akan mempermudah terjadinya kesulitan pada kala III atau mempermudah persalinan preterm. Ketika seorang ibu memiliki riwayat laserasi serviks, umumnya mereka tidak menyadari bahwa kecenderungan terjadinya laserasi pada serviks menjadi lebih tinggi. Defek sekitar 50% pada serviks akan meningkatkan terjadinya persalinan preterm pada trimester kedua. Akurasi pengukuran gelombang ultrasonic transvaginal akan dapat membantu dalam mendiagnosa kemungkinan terjadinya persalinan preterm terlebih dahulu. . 2.4.3 Infeksi Saluran Genital Ketika seorang terdiagnosa mengalami infeksi baik gonorrhea, clamydia atau trichomoniasis, kecenderungan mudah mengalami infeksi berulang ada sekitar 25% pada rentang 12 bulan, namun bagaimana hubungannya mengakibatkan persalinan preterm masih membingungkan. Bakterial vaginalis merupakan sindrom penyakit vaginal yang ada hubungan dengan flora normal vagina. Diagnosis bacterial vaginalis haruslah didasarkan pada hasil bakteri gram positif sebanyak 3-4 dengan menggunakan pemeriksaan sederhana dan diagnostik standar (yaitu discharge putih

keabuan yang homogen, adanya clue cell > 20% pada pemeriksaan saline, dan pH vagina > 4,50). 2.4.4 Riwayat Persalinan Sebelumnya Riwayat persalinan preterm merupakan salah satu kategori faktor risiko dalam persalinan. Riwayat persalinan preterm sebelumnya menjadi salah satu penyebab kemungkinan terjadinya persalinan preterm pada persalinan berikutnya. Dengan acuan sebanyak 10-12% risiko yang ada, risiko persalinan preterm akan meningkat sebanyak 15%, 30%, dan 45% apad persalinan berikutnya. Konseling ore-konsepsi akan membantu ibu untuk menentukan tindakan apa yang dilakukan pada kehamilannya. Waktu yang baik adalah pada minggu ke-4 atau ke-6 setelah persalinan preterm yang dialami oleh ibu. Lyke dan kawan-kawan menemukan bahwa persalinan preterm spontan, pre eklampsia, atau deviasi pertumbuhan fetal pada kehamilan awal meningkatkan kecenderungan yang sama untuk kehamilan berikutnya, terlebih bila disertai dengan komplikasi. Berdasarkan penelitian dengan menggunakan metode Kohort didapatkan sebanyak 536.419 wanita Inggris, dengan rentang kehamilan antara 32-36 minggu, akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm. Pada kehamilan berikutnya dari 2,7% menjadi 14,7% (dengan odds ratio (OR) 6,12; dan Confidence interval (CI) 95% 5,84-6,42) dan meningkat pada kehamilan dengan pre-eklampsia dari 1,1% menjadi 1,8% (OR 1,60; 95% CI, 1,41-1,81). Pada kehamilan pertama rentang usia sebelum 28 minggu akan meningkat pada kehamilan berikutnya sebanyak 26,0% (OR 13,1; 95% CI, 10,8-15,9) dan meningkat dengan keadaan pre-eklampsia yang menyertai yaitu 3,2% (OR 2,96; 95% CI, 1,80-4,88). Risiko pre-eklampsia pada kehamilan pertama dengan rentang kehamilan antara 32 dan 36 minggu meningkat di kehamilan kedua yaitu dari 14,1% menjadi 25,3% (OR 2,08; 95% CI, 1,87-2,31) dan meningkatkan risiko kecenderungan berat badan janin rendah yaitu dari 3,1% menjadi 9,6% (OR 2,82; 95% CI, 2,38-3,35).

Deviasi pertumbuhan janin pada pre-eklampsia di kehamilan pertama akan meningkatkan risiko ke kehamilan berikutnya yaitu dari 1,1% menjadi 1,85 (OR 1,62; 95% CI, 1,34-1,96). 2.4.5 Keguguran Pada Trimester Kedua Keguguran pada trimester kedua dapat disebabkan oleh berbagai penyebab (seperti sifilis), sindrom antifosfolipid, diabetes, gangguan genetic, kelainan multiple congenital, trauma serviks, atau inkompetensinya serviks. Dengan pendataan rekam medic yang tepat akan membantu dalam menilai kemungkinan penyebab pasti dari keguguran pada trimester kedua.

2.5 MANAJEMEN PENEGAKAN PERSALINAN PRETERM 2.5.1 Prinsip Dasar Penegakan Persalinan Preterm Manajemen penegakan persalinan preterm harusnya berhubungan dengan riwayat kehamilan dan persalinan pasien sebelumnya, adanya infeksi yang menyertai, dan abnormalnya kondisi serviks dan uterus. Apabila penilaian terhadap gejala antifosfolipid, pemberian antikardiolipin dan antibody antikoagulan lupus harusnya telah diberikan dari awal. Kondisi kehamilan sekarang harus disertakan baik dalam bentuk laporan medis atau laporan autopsy. Penanganan terhadap kondisi sosial, dukungan dari keluarga, kondisi finansial yang menyertai, penggunaan obat-obatan, atau kematian orang terdekat haruslah disadari dari awal.

Penilaian lain yang diperlukan adalah mengukur panjangnya serviks dan ada tidaknya trauma di sekitar serviks haruslah diperiksa dengan menggunakan speculum atau pemeriksaan komputer seperti USG. Adanya infeksi seperti bakterial vaginalis, bakteri asimptomatik harus sudah ditangani terlebih dahulu. Pengukuran penjangnya serviks selama perawatan prenatal, yang dilakukan pada usia kehamilan 24-28 minggu lebih sensitif dalam memprediksi persalinan preterm pada wanita dengan risiko tinggi. Sedangkan untuk menilai wanita dengan risiko sedang, pemeriksaan lain yang dapat membantu adalah dengan menggunakan tranvaginal ultrasound pada usia kehamilan 24 minggu. Panjangnya serviks yang berhubungan dengan persalinan preterm adalah < 25 mm (dengan tranvaginal ultrasound ukurannya 6,2) untuk usia kehamilan 24 minggu, 25 mm (dengan tranvaginal ultrasound ukurannya 9,6) untuk usia kehamilan 28 minggu Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah menilai panjangnya porsio serviks dengan menggunakan teknik Cerivlenz, yaitu suatu pengukuran intravagina. Pemeriksaan manual ini lebih bersifat akurat, bermanfaat dan murah dalam menilai panjangnya serviks. 2.5.2 Riwayat Persalinan Preterm Tabel berikut ini memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara riwayat persalinan preterm dengan kejadian persalinan preterm berikutnya Table of Recurrent Spontaneous Preterm Births According to Prior Outcome in 15.863 Women Delivering Their First and Subsequent Pregancies at Parkaland Hospital. Adiopted from Bicom and associates 2001 Birth Outcome First birth 35 weeks First birth 34 weeks First and second birth 34 weeks Second Birth 34 weeks (%) 5 16 41

Meskipun pasien hamil dengan riwayat persalinan preterm jelas memiliki risiko tinggi mengalami persalinan preterm ulangan, peristiwa ini hanya 10% dari keseluruhan persalinan preterm. Dengan kata lain 90% kejadian persalinan preterm tidak dapat diramalkan berdasarkan riwayat persalinan preterm. 2.5.3 Riwayat keguguran pada Trimester Kedua Penentuan penyebab dari kejadian keguguran sebelumnya dapat diambil dari riwayat rekam medik sebelumnya atau bahkan bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan autopsy. Pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaaan reagen rapid plasma, skreening infeksi gonorrhoe atau clamidya, test asam vagina, antibody antikardiolipin, antibody antikoagulan lupus, aktivasi waktu protombin parsial, dan pemeriksaan gula darah per 1 jam dapat membantu dalam mendiagnosis penyebab yang ada. Sebagai tambahan sebaiknya pasien juga perlu difikirkan pernah mengalami TORCH (toxoplasmosis, infeksi lain, rubella, infeksi cytomegalovirus, herpes simplex), immunoglobulin G, dan immunoglobulin M pada proses skreening. Hysterosalpingogram pre-konsepsi akan bermanfaat pada kasus keguguran lebih dari 2 kali pada trimester kedua. 2.5.4 Marker Persalinan Preterm Sejumlah penelitian telah mencoba untuk mengidentifikasikan sejumlah marker persalinan preterm secara biomekanikal dan klinis serta menghubungkannya dengan sejumlah kasus yang ada. Hasil yang diharapkan adalah munculnya fetal fibronektin dalam secret serviks vaginal, yang bila berarti positif (dengan hasil > 50ng per ml) setelah kehamilan 20 minggu, mengidentifikasikan disrupsi sel desidual. Pada tahun 1995, Badan Administrasi Obat-obatan Dan Makanan Amerika Serikat men-sahkan immnunoassay enzimatik fibronektin dapat digunakan untuk skreening persalinan preterm. Pada pasien yang simptomatik, fetal fibronektin, memiliki hasi

sensitiviitas yang tinggi (69-93%) dan hasil prediktif negative senilai 99,7% (hal ini berarti hanya ada 1 hasil negatif dari 333 kemungkinan persalinan yang terjadi). Hasil yang positif menandakan bahwa ada kemungkinan sekitar 83% pasien dengan keadaan yang simptomatik. Tabel 2. Hasil Marker Biomekanikal Prediksi Persalinan Preterm Marker Fibronectin Cytokine (Interleukin6) Estradiol17 Estriol Progesteron Serum6 Salivary7 Serum6 52 12 71 100 71 to 76 77 100 12 to 14 27 79 -77 Test Cervical or vaginal14-17 Serum5,16 Sensitivity (%) 69 to 93 50 Specifity (%) 72 to 86 73 to 85 PPV 13 to 83 47 to 57 NPV 81 to 99 67 to 86

e PPV = Positive Predictive Value; NPV = Negative Predictive Value *-- Values are a summary of ranges noted in the cited articles Information from refferences 5, 6, and 7, and 14 through 17 2.5 PENANGANAN PERSALINAN PRETERM Persalinan preterm sulit untuk didiagnosa dan potensial utama dalam penanganannya adalah dengan mengatasi iritabilitas dari uterus. Penggunaan tokolitik menjadi salah satu terapi yang dianggap aman memiliki kemungkinan untuk menjadi salah satu faktor risiko dalam persalinan preterm. Morbiditas dan mortalitas neonatus ditentukan berdasarkan usia kehamilan terlebih pada usia kehamilan dibawah 28 minggu. Penggunaan tokolitik sebaiknya diberikan pada kasus dengan kondisi

neonatus yang viable karena efek penggunaannya yang jangka panjang, dan neonatus justru lebih sulit untuk bertahan hidup pada usia persalinan dibawah 32 minggu, dengan kondisi yang rentan untuk mengalami infeksi seperti infeksi intra amnion. Selain itu, risiko mortalitas dan morbiditas neonatus akan lebih rendah pada usia kehamilan lebih dari 32 minggu., dimana walaupun tokolitik telah digunakan, namun efek penggunaannya pada usia 32 minggu kehamilan tidak terlalu mempengaruhi kondisi janin. Dalam rentang usia kehamilan antara 24-33 minggu, penggunaan tokolitik masih dianggap diperbolehkan dengan segala pengawasan yang tepat. Tabel berikut menjelaskan mengenai kondisi kemampuan tubuh untuk bertahan, morbiditas utama jangka pendek, dan efek jangka panjang berdasarkan usia kehamilan.

Tabel: Morbiditas dan Mortalitas Neonatus Berdasarkan Usia Kehamilan Gestational Survival Respiratory Age, wk Distress Syndrome 24 40% 70% 25 70% 90% 26 75% 93% 27 80% 84% 28 90% 65% 29 92% 53% 30 93% 55% 31 94% 37% 32 95% 28% 33 96% 34% 34 97% 14% Intraventricular Sepsis Necrotizing Intact Hemorrhage Enterocolitis 25% 30% 30% 16% 4% 3% 2% 2% 1% 0% 0% 25% 29% 30% 36% 25% 25% 11% 14% 3% 5% 4% 8% 17% 11% 10% 25% 14% 15% 8% 6% 2% 3% 5% 50% 60% 70% 80% 85% 90% 93% 95% 96% 97%

Penggunaan tokolitik masih dianggap tidak terlalu membantu dalam mengatasi persalinan preterm. Prinsip utama yang diinginkan dalam pengguanaan tokolitik

adalah penggunaannya yang lebih dari 48 jam untuk mencapai manfaat maksimal penggunaan glukokortikoid dalam menurunkan terjadinya insidensi RDS. Ketika tokolitik dianggap telah berhasil dalam waktu 48 jam dengan membrane yang telah intak, beberapa penelitian menyarankan sebaiknya tokolitik diberikan dalam kondisi yang memang memerlukan istirahat total atau dalam keadaan hidrasi. Ibu hamil yang diidentifikasi memiliki risiko persalinan preterm akibat amnionitis dan yang mengalami gejala persalinan preterm membakat harus ditangani seksama untuk meningkatkan keluaran neonatal. Pada kasus-kasus amnionitis yang tidak mungkin ditangani ekspektatif, harus dilakukan intervensi, yaitu dengan: 1) Akselerasi pematangan fungsi paru Terapi glukokortikoid, misalnya dengan betamethasone 12 mg im. 2 x selang 24 jam. Atau dexamethasone 5 mg tiap 12 jam (im) sampai 4 dosis. 1,5,9 Thyrotropin releasing hormone 400 ug iv, akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang dapat meningkatkan produksi surfaktan. 1 Suplemen inositol, karena inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan. 1 2) Pemberian antibiotika Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan bahwa pemberian antibiotika yang tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Diberikan 2 gram ampicillin (iv) tiap 6 jam sampai persalinan selesai (ACOG). Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas 1,5,7 Setelah itu dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak ada kontra indikasi,

diberi tokolitik. 3) Pemberian tokolitik a. Nifedipin 10 mg diulang tiap 30 menit, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20 mg dan dosis perawatan 3 x 10 mg. 5 b. Golongan beta-mimetik - Salbutamol Per infus: 20-50 g/menit Per oral : 4 mg, 2-4 kali/hari (maintenance) atau

- Terbutalin Per infus: 10-15 g/menit Subkutan: 250 g setiap 6 jam Per oral : 5-7.5 mg setiap 8 jam (maintenance) - Efek samping : Hiperglikemia, hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru c. Magnesium sulfat - Parenteral : 4-6 gr/iv pemberian bolus selama 20-30 menit infus 2-4gr/jam (maintenance) - Efek samping : Edema paru, letargi, nyeri dada, depresi pernafasan (pada ibu dan bayi

You might also like