You are on page 1of 15

BAB 3 STRATEGI KEBUDAYAAN DALAM PEMBANGUNAN

A. EKSISTENSI KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN 1. Nilai Budaya dan Pandangan Hidup Masyarakat. Para sosiolog pada umumnya berpendapat bahwa di mana ada masyarakat di situ ada kebudayaan. Artinya betapa erat kaitan antara masyarakat dan kebudayaan dalam setiap kehidupan manusia. Cukup jelas perbedaan kedua konsep ini, tetapi keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan satu sama lainnya. Kebudayaan terbentuk atas dasar kompleksitas cita-cita seiring dengan pertumbuhan kepentingan dan harapan sekelompok individu sepanjang zaman. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil karya yang telah dicapai oleh manusia, yang sekaligus dimiliki oleh masyarakat dan dapat pula diserahkan pada orang lain. Menurut Koentjaraningrat (1984), bahwa unsur universal ... yang merupakan isi dari pada semua kebudayaan yang ada di dunia ini adalah: 1. Sistem religi dan upacara keagamaan, 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3. Sistem pengetahuan, 4. Bahasa, 5. Kesenian, 6. Sistem mata pencaharian hidup, 7. Sistem teknologi dan peralatan. Hasil karya manusia itu dalam dunia sosiologi lazim disebut barang-barang kultur yang terdiri dari institusi-institusi, pengetahuan, teknik, dan lain-lain. Barang-barang kultur ini dapat diserahkan kepada pihak lain dan diwariskan pada generasinya. Kenyataan ini dalam masyarakat sejak abad 19 telah dianggap sebagai sesuatu bentuk kehidupan yang normal dan logis, di samping diakui sebagai kodrat asasi manusia. Dalam kelompok kehidupan manusia pada masa primitif, suatu kebudayaan tumbuh bersifat homogen sesuai dengan warna dan corak masyarakat yang relatif etnosentris. Seperti dikataka oleh Mayor Polak (1979) bahwa segala yang berbeda dari corak kebudayaan mereka sendiri, dianggap ajaib, rendah, kurang susila, bertentangan dengan kodrat alam. Sikap yang terakhir ini disebut sebagai sikap etnosentrisme. Meskipun dalam kehidupan primitif itu terdapat berbagai perbedaan, seperti variasi umur, sek, pembagian pekerjaan dan status sosial. Latar belakang kehidupan kumpulan individu senantiasa terikat dalam sebuah komunitas kecil yang hidup serba sederhana, dari berburu, menangkap ikan sampai pada berladang berpindahpindah. Masyarakat sederhana secara material lebih mengutamakan penciptaan terhadap peralatan sebagai sarana penghidupan keluarga-keluarganya. Mereka hidup dengan bahasa dan terikat pada kebiasaan yang sama. Mereka saling berhubungan dengan standar norma dan nilai yang sama pula. Dari kehidupan ini lahirlah ide moral sebagai aturan dalam bertingkah laku. Kecenderungan terbesar adalah sifat etnis yang pada umumnya seragam, di mana masyarakat tunduk kepada kebudayaan yang dibentuknya sendiri sebagai pegangan hidup pada kurun waktu tertentu. Selama itu anggota masyarakat pada umumnya terikat dan pasrah pada norma dan nilainilai budaya setempat; sedikit kemungkinan kodrat seorang pria sebagai kepala rumah tangga terlibat dalam urusan mencuci baju dan memanak nasi di dapur. Begitu juga halnya dengan status sosial, bahwa orang tua tetap sebagai nara sumber bagi golongan muda, dan seakan aib jika orang tua tunduk kepada golongan muda. Sepanjang potensi filosofi nasehat masih dapat menampung aspirasi dan cukup menyediakan cara hidup yang relevan dengan kepetingan umum,

maka sepanjang itu pula solidaritas dan persatuan sosial dapat dipertahankan. Keterikatan sosial semacam ini merupakan perekat yang kuat bagi stabilitas kelangsungan kehidupan masyarakat. Keterikatan masyarakat dengan kebudayaan tidak sekedar dilihat dari segi fisik belaka, akan tetapi lebih menghayati makna dan fungsinya bagi kemaslahatan kehidupan yang lebih wajar. Misalnya sebuah jam tangan secara fisik merupakan sarana keindahan, akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya adalah sebagai faktor pendorong bagi perilaku manusia untuk lebih menghormati waktu. Dengan demikian perjalanaan hidup dalam hubungan sosial akan lebih manusiawi, berkemajuan dan berjalan sesuai dengan harapan semua pihak, khususnya bagi yang terikat dengan perjanjian sosial. Pemahaman terhadap nilai-nilai budaya itu sangat penting bagi pembentukan pribadi anggota masyarakat dalam berhadapan dengan masa depan yang cenderung rasionalis. Segala kemajuan teknologi perlu pemahaman yang serius, karena sangat mempengaruhi kepribadian manusia yang secara realistik menuntut kemampuan individu untuk memnyesuaikan diri dengan situasi baru. Soerjono Soekanto (1982) menjelaskan bahwa perikelakuan manusia sangat dipengaruhi oleh peralatan yang dihasilkannya serta ilmu pengetahuan yang dimilikinya atau didapatkannya. Dalam hubungan ini manusia mengerti dan mensiasati kebudayaan sebagai kemajuan peradaban yang dapat bermanfaat bagi kepentingan kehidupan manusia secara lebih luas. Pada masyarakat adat yang masih kuat menganut tradisi daerah (lokal), segala sesuatu yang menyangkut urusan adat tidak boleh diselesaikan atas kemauan sendiri, melainkan dengan cara musyawarah melalui institusi adat istiadat setempat; dari musayawarah itu akan diperoleh keputusan bersama. Pada hakekatnya tradisi diciptakan melalui tindak dan kelakuan orang-orang melalui pikiran-pikiran dan imajinasi orang-orang yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,... (Sayogyo dan Pujiwati Sayogyo, 1983). Menurut Koentjaraningrat (1984), bahwa suatu sifat yang positif dalam mentalitas kita adalah konsep yang merupakan salah satu unsur dalam nilai gotong royong. Unsur itu sebenarnya merupakan suatu tema berpikir: bahwa manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh sistem sosial dari komunitas dan masyarakat sekitarnya, dimana ia merasa dirinya hanya sebagai suatu unsur yang ikut terbawa dalam suatu proses peredarannya. Setiap daerah memiliki ciri khas budaya yang berfungsi sebagai landasan bersikap dan berperilaku dalam kehidupan masyarakat. Kehidupan masyarakat lokal memiliki ciri adat istiadat yang khusus, misalnya adat perkawinan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Unsur kedaerahan juga membawa pengaruh terhadap pembentukan kepribadian dalam hal minat, profesi dan kegiatan-kegiatan khusus, ada golongan masyarakat daerah tertentu yang cenderung menyukai pekerjaan berdagang, seperti Padang dan Jawa Barat. Sedangkan golongan masyarakat Lampung pada umumnya lebih suka bertani, khususnya tanaman keras, seperti kelapa, cengkeh dan kopi. Orangorang Lampung memiliki adat tentang tata cara musyawarah kawin lari, kawin jujur; ngangken, ngakuk khagah, dan lain-lain. Di Jawa ada adat nujuh bulan kehamilan, ngunduh manten, kebiasaan acara trah keluarga, dan lain-lain. Dalam setiap kegiatan kemasyarakatan selalu berpedoman pada norma-norma sosial yang bersangkutpaut dengan tatacara pergaulan menurut tradisi lokal yang berlaku. Begitu juga dengan kegiatan yang berhubungan dengan usaha tertentu yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan ekonomi sosial dan keluarga, tidak lepas dari tuntunan tradisi yang berlaku sebagai adat istiadat masyarakat setempat. 2. Hambatan Kultural dalam Realitas Proses Pembangunan Berbeda dengan kehidupan masyarakat modern, telah amat banyak tumbuh pola kehidupan yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga segala hubungan sosial diharapkan mampu mencerminkan efisiensi yang didasarkan pada potensi peranan. Dalam pertumbuhannya terbentuklah kebudayaan modern yang amat banyak mengenal kelompok, dan pembagian kerja yang heterogen, berbelit-belit dan fungsi yang beraneka ragam. Kebudayaan modern merupakan suatu kompleksitas kepentingan yang berangsur meninggalkan prinsip keterikatan terhadap tradisi dan norma hukum adat.

Dalam hubungannya dengan pergeseran gaya hidup yang tradisional kearah gaya hidup yang modern, semakin banyak tantangan dan masalah yang dihadapi oleh suatu negara yang perlu untuk ditangani secara serius. Dalam hal ini sangat diperlukan perhatian dan keterlibatan dari para ahli atau pihak yang berwenang untuk segera menilai setiap unsur yang menyebabkan perubahan nilai-nilai budaya dan kebutuhan pokok masyarakat. Untuk menghadapi berbagai tantangan itu mau tak mau haruslah dilengkapi dengan kemampuan dan keahlian yang tinggi. Untuk meningkatkan kemampuan itu tentu harus berupaya untuk membangkitkan semangat masyarakat supaya lebih tanggap terhadap setiap perkembangan dan tumbuhnya gejala-gejala sosial baru. Konsekuensi pemikiran modern sehubungan dengan studi implikasi kebudayaan dalam kehidupan masyarakat, adalah perlunya menginventarisasi kembali unsur-unsur positif tradisi yang terkandung dalam konsep kebudayaan. Untuk menjelaskan masalah ini tentu tidak bisa sekedar terpaku pada nuansa kebudayaan yang sempit, akan tetapi justeru harus dapat memandang eksistensi kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat sebagai totalitas pikir, dan hasil-hasil karya manusia secara keseluruhan. Perhatian utama dalam setiap perubahan kehidupan masyarakat adalah kebudayaan yang mencakup ide-ide, nilai-nilai, norma dan pola kelakuan manusia yang diharapkan dapat berkembangan selaras dengan pembaharuan dan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, untuk mendorong kemajuan kualitas hidup, maka perlu adanya kemampuan untuk menguasai dan memanfaatkan kemajuan IPTEK itu. Masyarakat harus mampu menyerap IPTEK dalam proses alih teknologi secara bijaksana agar dapat membawa kemajuan pada kualitas hidup masyarakat secara lebih luas. Untuk mencapai keseimbangan perkembangan seperti yang diharapkan perlu adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu, terutama kebijaksanaan yang memperhatikan kepentingan dan kebutuhan pokok masyarakat yang tergolong lemah dan tidak mencukupi. Golongan masyarakat ini adalah golongan masyarakat tertinggal yang tidak mampu mengikuti, menyesuaikan diri dan tidak berkesempatan menerima kemajuan IPTEK, pembangunan serta hasil-hasilnya. Di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya bermukin di daerah perdesaan atau perkotaan kumuh yang hidup sebagai penyandang ekonomi lemah. Taraf teknologi mereka ini belum mencapai tingkat kemungkinan untuk dapat memanfaatkan hasil pembangunan, disamping tidak berkemampuan untuk menguasai lingkungan alam sekitarnya. Padahal sesungguhnya kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung dari besarnya kemampuan dan keikutsertaan golongan masyarakat terbesar. Tidak hanya sekedar sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan yang secara nyata diketahui telah berkorban jiwa dan raga tanpa ikutserta menikmati hasil-hasilnya. Dalam prakteknya tidak sedikit kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan program keluarga sejahtera kurang berhasil maksimal; sering terjadi konflik antara pihak agen pembangunan dengan anggota masyarakat pada umumnya. Agen pembangunan masih kurang mapan dalam mengemban tugas; masih ada kelemahan dalam beradaftasi dengan tradisi masyarakat setempat. Agen pembangunan kurang memperhitungkan keberadaan institusi tradisional yang masih hidup tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Program keluarga sejahtera cenderung kurang mendapat dukungan masyarakat yang justeru merupakan sasaran pembangunan. Benturan yang sering menjadi dilema adalah karena disatu pihak masyarakat desa pada umumnya relatif masih tergantung pada hukum adat dan tunduk kepada tokoh-tokoh adat, sementara dipihak lain mereka dihadapkan dengan cara kerja yang dianggap rumit dan relatif asing, kendatipun pada dasarnya mereka mempunyai keinginan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ada beberapa hambatan kultural yang acapkali berlawanan dengan kegiatan pelaksanaan program pembangunan, yaitu antara lain adalah sebagai berikut: 1. Anggota masyarakat enggan (ragu) mengikuti langkah-langkah program pembangunan; mereka masih lebih condong tunduk kepada institusi lokal yang sarat mengandung norma-norma hukum adat; 2. Innovasi baru tentang teknik peningkatan Keluarga Sejahtera yang ditawarkan oleh kader-kader pembangunan pada umumnya belum dapat dipahami sebagai unsur kepentingan sendiri. Tidak sedikit muncul perilaku yang kontradiktif terhadap pelaksanaan program pembangunan; masih

ada prasangka buruk terhadap innovasi baru tentang kegiatankegiatan yang berhubungan dengan upaya pembangunan kesejahteraan masyarakat; 3. Masyarakat lokal pada umumnya masih menganggap institusi lokal/tradisi dan hukum adat setempat sebagai pedoman pergaulan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik; alasannya karena belum ada pedoman kerja baru yang membuktikan secara nyata dapat memenuhi kepentingan masyarakat, khususnya peningkatan kualitas kesejahteraan; 4. Tokoh-tokoh adat pada umumnya belum menunjukkan adanya peluang untuk melakukan perubahan dan penyesuaian institusi tradisional dengan institusi-institusi modern yang lebih menjanjikan kecepatan dalam upaya peningkatan kualitas kesejahteraan. Akibatnya anggota masyarakat yang selama ini masih menghormati dan patuh terhadap nasehat/anjuran para tokoh adat tersebut tetap terbelenggu dalam lingkaran tradisi lokal yang berlaku; 5. Inisiatif para generasi muda dalam usaha menciptakan pola kerja baru yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik, ternyata masih relatif terbatas. Khususnya bagi mereka yang terlahir sebagai keturunan ningrat pada umumnya lebih banyak tinggal dalam lingkungan setempat, sehingga tidak memiliki kesempatan banyak untuk mencari pengalaman keluar. Ada beberapa sifat kelemahan yang bersumber pada kehidupan penuh keragu-raguan dan kehidupan tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas, yaitu: (1) Sifat mentalitas yang meremehkan mutu; (2) Sifat mentalitas yang suka menerabas; (3) Sifat tak percaya kepada diri sendiri; (4) Sifat tak berdisiplin murni; (5) dan sifat mentalitas yang suka mengabaikan tanggungjawab yang kokoh. Masih banyak lagi kenyataan penerapan budaya yang mengalami benturan. Tidak jarang terjadi konflik dalam masyarakat akibat perbedaan pemahaman terhadap perkembangan budaya, terutama karena pengaruh budaya asing yang relatif mudah diserap. Diantara akibat negatif yang muncul dipermukaan kehidupan masyarakat Indonesia masa kini, antara lain seperti perubahan nilai solidaritas sosial yang cenderung menjadi kegiatan seremonial yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok kepentingan. Sikap dan perilaku gotong royong cenderung bergeser dari bentuk tenaga, langsung dan sukarela, menjadi kebendaan, tak langsung dan bersifat pamrih ekonomis. Banyak oknum yang menilai gotong royong sebagai kerjasama dalam kegiatan angkut semen dari gudang; mental gotong royong semacam ini yang menyebabkan bangunan cepat runtuh belum waktunya, ibarat bunga layu sebelum berkembang. Toleransi sosial dan integritas bangsa juga nampak kian terancam, terutama dari segi bobot dan fungsi nyata bagi pengembangan kerukunan masyarakat. Hal ini dapat diketahui dari gejala rendahnya keperdulian terhadap keluhan, pendapat dan usul orang lain. Derap langkah masyarakat kita dalam pembangunan sering tersandung, ibarat menyanyi tanpa menyatukan jenis vokal dengan nada dasar. Tidak sedikit pemimpin, orang-orang pintar, dan orang-orang terpandang yang hanya bisa menghabiskan waktunya untuk omong besar, tapi tak mampu berbuat apa apa dalam mengentaskan dan menuntaskan masalah, lantaran terbatasnya kemampuan, spesialisasi tak mendukung, dan niat yang semu. Dalam hubungannya dengan tradisi masyarakat desa petani, Robert Redfield (1985) menjelaskan bahwa pandangan hidup satu kaum tani tertentu akan terdapat mempunyai kesamaan-kesamaan dengan kaum tani lainnya, akan tetapi tidak senantiasa pada titik-titik kesamaan yang sama. Ada tiga sikap atau nilai yang ada bagi petani tradisional, yaitu: sikap yang intim dan dan hormat terhadap tanah; ide bahwa pekerjaan pertanian adalah baik dan bahwa perdagangan tidaklah terlalu baik dan tekanan terhadap kegiatan produksi sebagai suatu kebajikan utama. Masyarakat desa pada umumnya relatif tidak tergantung pada usaha-usaha bisnis, melainkan lebih banyak memiliki sikap lugas terhadap kerja, kepuasan dalam bekerja lama dan keras di ladang, ketidaksudian menerima petualangan atau spekulasi.

Sikap tradisional lainnya yang dapat menghambat proses perubahan menurut Soerjono Soekanto (1982) adalah suatu sikap yang mengagung-agungkan tradisi dari masa lampau serta anggapan bahwa tradisi tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, menghambat jalannya proses perubahan. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah apabila golongan konservatif berkuasa dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam suatu lika-liku kehidupan masyarakat itu pernah terjadi dialog antara sesama pekerja bangunan sebuah hotel berbintang. Dialog ini berbunyi: mengapa kamu setiap hari kerja selalu menyempatkan diri tidur?, tidak takut di PHK? dengan ringkas dijawab, mumpung belum jadi hotel megah, karena saya tahu pasti nanti saya tak akan pernah bisa tidur di sini. Perlu disadari bahwa justeru golongan masyarakat yang telah siap bekerja keras itulah yang telah turut membangun dan menyelamatkan negara dari ketertinggalan, kendatipun diri mereka sendiri sering terlupakan bahkan masih diancaman kelaparan. Di pihak lain masyarakat petani di desa, juga telah pula berkorban untuk menghidupi bangsa dan pemimpin-pemimpinnya dengan bercocok tanam, kendatipun kadang-kadang mereka tidak sempat menikmati hasil pertaniannya. Bahkan banyak diantara mereka yang pasrah kehilangan lahanya akibat kepicikan oknum penguasa dan pengusaha serta ketidakadilan dalam peenerapan hukum. Jadi sungguh naib, jika pengorbanan mereka dalam mendukung dan memberikan kemakmuran pada negara dan bangsanya harus pula menerima balasan air tuba. Dalam prinsip negara hukum yang berkeadilan, mestinya pemerintah bertanggung jawab terhadap jaminan hidup dan penghidupan masyarakat, yaitu upaya memajukan dan mempertinggi kesejahteraan. Harapannya adalah agar tumbuh rasa dan semangat persatuan, perjuangan serta semangat untuk membangun negaranya dengan penuh keyakinan. Untuk meningkatkan kesejahteraan itu tentu harus memperhatikan dan mampu menggali serta memberdayakan potensi budaya masyarakat. Segala sesuatu yang berhubungan dengan inovasi dan teknologi baru perlu disesuaikan dan disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi benturan kultural diantara mereka. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari perpecahan dan hambatan proses pembangunan, khususnya peningkatan terhadap bidang perekonomian masyarakat secara menyeluruh. Upaya pembangunan ekonomi masyarakat harus searah dan mendapat dukungan kebudayaan yang dianut. Jika tidak, maka kebudayaan setempat bisa menjadi faktor penghambat utama dalam proses pembangunan ekonomi dan upaya meningkatakan kesejahteraan sosial pada umumnya. 3. Potensi Institusi Lokal dan Sosialisasi Program Pembangunan Untuk mengatasi kendala tersebut berarti pihak instansi yang berwenang perlu upaya pemasyarakatan program pembangunan secara berkesinambungan, nyata dan kegiatan-kegiatan yang mudah dipahami masyarakat serta tidak berseberangan dengan hukum adat dan institusi lokal yang berlaku. Dengan demikian diharapkan usaha pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan dapat lebih mudah dicapai. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan teknis pendekatan, pencermatan dalam mengidentifikasi dan menginter-pretasi institusi lokal, beradaftasi dan memberdayakan potensi para tokoh adat kedalam gerak langkah kebijaksanaan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat. Koentjaraningrat (1984) mengatakan bahwa untuk bersikap toleran terhadap pendirian-pendirian lain; tentunya selama pendirian lain itu tidak mengganggu sendi-sendi kehidupan kita, maka pendirian lain itu kita biarkan hidup dan kita usahakan untuk tidak memerangi atau membasminya. Perlu diupayakan penerapan program pembangunan dapat menunjukkan hasil nyata dan labih baik kepada masyarakat, sehingga dapat menumbuhkan keinginan mereka merubah sikap untuk tidak tergantung dengan adat-istiadat yang kini semakin kurang efektif untuk pemenuhan sebagian kebutuhan pokoknya. S. Mangunsarkoro (1950) kemudian menperjelas bahwa faham hidup kita yang menganggap hidup miskin dan membuang keduniawian itu yang paling tinggi derajatnya menurut ukuran kemanusiaan harus kita rubah. Sifat yang negatif itu harus berganti dengan sikap yang positif. Kita harus tetap mempunyai faham hidup kebatinan yang tinggi, tetapi dalam aturan hidup lahir, kita harus dapat mewujudkan bentuk yang sesuai dengan tingkatan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dunia pada masa sekarang ini. Dikatakan bahwa untuk kepentingan

hidup ekonomi ... perlulah rakyat bersifat lebih aktif dari pada sekarang. Sikap "narimo" dan fatalistis yang sekarang masih merajalela dan sering menjadi kedok kemalasan itu harus hilang. Menurut Koentjaraningrat, hal tersebut berjalan sejajar dengan kemunduran-kemunduran dalam sektor-sektor kehidupan sosial-budaya yang lain, seperti krisis otoritas, kemacetan administrasi, dan korupsi menyeluruh, sudah kita alami semuanya, .... Hal yang amat serius adalah bahwa dibelakang kemunduran-kemunduran dalam kehidupan ekonomi dan sosial-budaya yang tampak lahir itu, dalam zaman post-revolusi tumbuh juga beberapa sifat kelemahan dalam mentalitas banyak orang Indonesia, yang lebih menjauhkan kita lagi dari jiwa pembangunan itu. Bidang kebudayaan masyarakat perlu mendapat perhatian yang mendalam pula, karena sistem kebudayaan di Indonesia adalah merupakan kekuatan tersendiri dalam menunjang kesuksesan pembangunan secara nasional. Mengapa demikian..? oleh karena kebudayaan sekaligus sebagai bidang kecerdasan yang abstrak sifatnya, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang erat kaitannya dengan adat tata-kelakuan masyarakat. Itulah sebabnya maka sistem kebudayaan Indonesia dapat dikatakan sebagai kekuatan utama dalam mempertahankan diri dari ancaman dan tantangan pembangunan. Oleh karena itu perlu adanya pertimbangan khusus terhadap keberadaan institusi lokal/tradisional dan mengikutsertakan tokoh-tokoh adat dengan segala tradisi yang dianut, jika dikehendaki hasil maksimal dari pelaksanaan program pembangunan tersebut. Dalam hal ini sekaligus diperlukan dukungan tokoh-tokoh adat. Keterlibatan tokoh adat dalam masyarakat hukum adat merupakan sumber etika kultural tentang cara bersikap dan berperilaku kearah kehidupan yang lebih baik. Masyarakat pada umumnya mengakui bahwa tokoh adat memiliki konsistensi yang kuat terhadap segi-segi positif hukum adat atau kebudayaan lokal yang berlaku. Anggota masyarakat cenderung lebih mudah mengerti dan melakukan berbagai anjuran dan nasehat tokoh adat secara nyata dalam setiap upaya yang berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat secara luas. Tata-kelakuan sebagai wujud kebudayaan yang tertanam dan tumbuh begitu kuat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sangat dipertahankan keberadaanya. Norma-norma yang berlaku di dalamnya dianggap dapat berfungsi sebagai kekuatan mengatur dan mengendalikan berbagai perbuatan menyimpang. Tata-kelakuan merupakan pedoman dasar setiap aktivitas manusia dalam berinteraksi, berhubungan dan bergaul dalam kehidupan masyarakat. Dari masa ke masa tata-kelakuan itu senantiasa diikuti dan dihayati sebagai bagian dari kehidupannya. Latar belakang keterlibatan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat semacam inilah yang perlu dijadikan bahan pertimbangan pihak yang berwenang dan para pembaharu dalam upaya menyikapi unsur-unsur budaya mana yang merugikan dan mana yang menguntungkan, sehingga kemudian dapat mengevaluasi sumber daya norma-norma yang relevan dengan tuntutan pembangunan dan masa depan masyarakat. Seharusnya sejak dini hal ini dilakukan agar evolusi perubahan sikap masyarakat terhadap tuntutan pembaharuan itu dapat tumbuh secara wajar dan tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah. Pada akhirnya yang paling penting adalah segera memperlihatkan secara nyata manfaat dari hasil-hasil kebijaksanaan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat, setidaknya terhindar dari sikap dan perilaku otoriter. Ringkasnya, dengan upaya memberikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, berarti telah menunjukkan langkah pendekatan yang positif bagi lancarnya proses pembangunan. Masyarakat pada hakekatnya mempunyai kekuatan tersendiri dalam menunjang kesuksesan pembangunan, jika kebijaksanaan pembangunan itu benar-benar diwujudkan atas dasar aspirasi dan pengakuan tulus dari masyarakat yang bersangkutan. Ambillah suatu contoh, kebijaksanaan tentang pola hidup sederhana yang tumbuh dari kalangan pembaharu dan pembuat keputusan, dengan maksud mengurangi tingkat konsumsinya dalam rangka realokasi sumber daya dari kebaikan dan kesejahteraan masyarakat miskin. Bersamaan dengan itu dipihak lain pada masyarakat perkotaan, banyak timbul krisis lapangan kerja yang perlu segera ditanggulangi. Karena kalau tidak, penyelamatan masyarakat miskin sama sekali tidak ada artinya, bahkan justeru dapat menimbulkan kemelaratan yang lebih parah. Upaya ini dimaksudkan untuk mengatasi berbagai hambatan struktural, terutama pada masa-masa perubahan.

Menurut Soedjatmoko (1985), bahwa ... dipihak lain, sebaliknya, pembinaan suatu masyarakat yang penuh partisipasi memerlukan adanya kebebasan sebagai persyaratan esensial guna mengembangkan kemampuan masyarakat untuk mengatur dirinya sendiri. selanjutnya ditegaskan pula bahwa otonomi lokal, keberdikarian dan paratisipasi yang efektif secara sosial pada tingkat desa merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari kebebasan itu. Soedjatmko nampak lebih memusatkan perhatiannya kepada implikasi kebudayaan dalam profil kehidupan masyarakat miskin. Bahwa sesungguhnya kehidupan ideal yang menyangkut nilai-nilai, norma-norma dan ketatalakuan yang dianut masyarakat adalah sebagai pengatur dan mengarahkan kebaikan hidupnya. Hal ini diibaratkan oleh Karl Mainnheim sebagai lampu pengatur lalu-lintas yang mengatur dan menghindarkan kekacau-balauan. Namun meskipun demikian kita sama sekali tidak mengharapkan masyarakat pada umumnya terlalu jauh hanyut dalam impian-impian mereka sendiri secara lokal. Mereka harus tanggap dengan kenyataan pada masa-masa perubahan seperti sekarang ini, artinya nilai-nilai dan norma-norma yang melekat dalam kehidupan masyarakat perlu dijadikan bahan pertimbangkan. Secara rasional realisasi pendekatan asas musyawarah terhadap masyarakat penting untuk dilembagakan agar tercipta keselarasan antara nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai rasional untuk menuju tatanan kehidupan yang baru. Upaya ini membutuhkan waktu yang relatif panjang, kesabaran, dan kehati-hatian khusus, karena dalam proses perubahan nilai-nilai tradisonal masyarakat kearah kehidupan yang lebih modern, sangatlah banyak hambatan dan tantangannya. Budhy Prasadja (1980) mengatakan, ... bahwa rencana pembangunan antara lain bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan dan kepicikan berpikir tradisional. Itulah sebabnya maka faktor manusia merupakan faktor yang penting dalam proses pembangunan. Potensi manusia merupakan modal dasar yang perlu digali karena dengan begitu berarti mempermudah kita dalam menggerakkan pembangunan, yaitu dengan melibatkan secara total sumber daya manusia. Ada beberapa cara pembangunan masyarakat desa menurut A. Suryadi (1983), yaitu dengan mempengaruhi pikiran, sikap dan tingkah laku orang-orang supaya lebih baik. Ukuran suatu masyarakat dapat dikategorikan baik, ialah apabila orang-orang tinggal didalamnya, karena didalamnya tersedia kondisi-kondisi yang dapat menuntun orang-orang kepada kehidupan yang membahagiakan, dan bila kita menerima ini maka kriteria untuk suksesnya suatu kerja pembangunan masyarakat desa ialah membuat lebih banyak orang lebih puas dengan kehidupan yang dilakukannya. Jika unsur kepuasan yang menjadi penilaian terhadap masyarakat desa, maka dalam kerja pembangunan harus memprioritaskan kebutuhan yang berlaku umum. Dijelaskan bahwa agar kerja badan pembangunan masyarakat desa berakhir dengan kemajuan riil, maka hendaknya ia berakhir dengan timbulnya taraf kepuasan umum yang menyeluruh didalam masyarakat. 4. Tradisi Sikap dan Perilaku dalam Kehidupan Modern Sementara itu bagi kehidupan masyarakat pramodern, hambatan dan tantangan pembangunan biasanya tumbuh dari tuntutan kebutuhan hidup yang senatiasa bertambah, sementara tidak diimbangi oleh perubahan pola hidup yang rasional, pertumbuhan cita-cita, kreativitas dan keterampilan kerja. Ditengah-tengah kesenjangan itu sering terjadi penyimpangan perilaku dan penghianatan terhadap nilai-nilai moral, norma-norma sosial dan hukum yang berlaku. Jika kondisi ini berlangsung terus tidak tertanggulangi, maka tidak mustahil kebudayaan bangsa yang luhur dan tinggi nilainya itu semakin terkikis serta jauh dari pembaharuan. Sebagai contoh konkrit pada kehidupan kota, tentang pelaksanaan segala rupa perizinan jika tanpa uang pelicin, uang rokok, atau entah apa lagi namanya ..., maka bersiaplah untuk menunggu proses penyelesainnya sampai berminggu-minggu lamanya. Dalam benak kita berkata, gila ... ! macam prangko saja, ada yang biasa, ada yang kilat dan ada pula yang tercatat, atau mungkin tak selesai sama sekali. Tapi kalau ada hubungan famili, saudara, kolega, atau kenalan istimewa, wah..! jelas persoalannya tidak akan sama dengan orang yang belum dikenal. Di sinilah awal berkembangnya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh masyarakat. Tumbuhnya perilaku semacam ini mencerminkan pembaharuan dan pembangunan yang tersesat. Untuk hal ini dapat disimak pengalaman pribadi

Mochtar Lubis (1985) dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia sebuah pertanggungjawaban, yang kisahnya sebagai berikut: Pada suatu kali saya naik kapal terbang keluar negeri. Di depan saya duduk dua orang asing, kulit putih, sedang berbincang-bincang dengan asyik. Karena pesawat udara sudah meninggalkan wilayah terotorial Republik Indonesia, wah mereka bicara lancang sekali. Yang seorang menceritakan betapa dia sudah bosan terlalu lama tingaal di hotel, menuggununggu segala rupa izin dan peresetujuan untuk penanaman modalnya.

"Berapa lama kamu sudah menunggu?" tanya kawannya berbincang. "Aduh, sudah empat bulan, menjelang bulan kelima," sahutnya. "Ah, kamu salah. kamu tak tahu bahwa di Jakarta itu uang memperlancar segalanya ..... You know," tambahnya," you can buy everybody in Jakarta. Wah, buseet. Darah naik ke kepala saya. Saya kan penduduk Jakarta juga. Ini penghinaan luar biasa. Naluri saya menyuruh saya berdiri, dan menampar si mulut lancang bule itu. Tapi pikiran saya berkata, kalau saya tampar, dan dia tak mau terima, lantas mengadukan saya ke pengadilan, lantas bagaiman. Kalau saya kalah perkara, karena buktinya lebih kuat dari bukti saya, kan bisa berabe? Jadinya saya urut dada saja, bersabar.
Kejadian lain lagi yang agak lucu, tapi cukup membuat hati menjadi jengkel. Pengalaman saya sewaktu masih Kuliah di Yogyakarta. Saya suatu kali naik becak dari daerah Pingit (Jl. Kiyai Mojo) untuk menuju Malioboro, lalu terjadi tawar-menawar. Maklum uang saku sangat terbatas pada waktu itu. Kisahnya begini:

Pada waktu saya tanya berapa ongkosnya, pinten mas.., si tukang becak menjawab, mpun sekawan-atus mawon. Saya kemudian balik menawar dengan bahasa jawa yang terseok-seok, "kalihatus seket nggih.." Kemudian tukang becak menyetujui, kendati agak kasar perlakuannya. Setelah becak mulai meluncur, dalam hati saya ... lho kok begini? Becak berjalan dengan kecepatan tinggi, berbelok-belok, masuk lobang, pokoknya tidak menyenangkan. Saya lalu menegor tukang becak, "Mas... alon-alon mawon, mangke ndak nubruk". Lalu si tukang becak serta merta menjawab dengan ketus, "rongatus seket kok njaluk slamet, luweh". Mendegar jawaban itu saya tidak bisa berpikir panjang lagi, lalu saya minta berhenti dan saya bayar empat ratus rupiah. Sambil jalan kaki, saya berpikir dan bertanya: apakah benar pengalaman ini bisa diteladani? barangkali bisa jadi bahan koreksi diri agar hidup jadi lebih dewasa dan hati-hati dimasa depan.
Gambaran lain misalnya, kebiasaan wanita barat memakai baju mini, belum tentu berarti supaya kaum pria melihat tubuhnya lalu tertarik, merangsang dan tergila-gila padanya, akan tetapi karena mungkin di negaranya mereka memang memiliki kebudayaan berbeda atau mungkin karena di negaranya tidak setiap waktu bisa menikmati cahaya matahari, lalu mereka membuka pakaiannya, seperti dapat disaksikan di lokasi-lokasi wisata pantai di Indonesia. Toh mereka memang memiliki kebudayaan yang tidak sama dengan masyarakat Indonesia. Ironisnya wanita-wanita Indonesia kebanyakan membuka bajunya, sengaja dimaksudkan untuk menarik perhatian kaum pria, yang

ganteng, yang punya mobil atau yang tebal kantongnya. Menurut hemat saya justeru kenyataan terakhir ini merupakan indikator penerapan budaya yang salah kaprah, atau menunjukkan keterbelakangan budaya yang terjerumus dalam pelecehan budaya, yang kemudian bisa merembet pada pelecehan seksual, moral, hukum dan harkat martabat bangsa Indonesia secara luas. Contoh-contoh diatas, jelas menunjukkan tanda-tanda adanya kemerosotan budaya bangsa sebagai akibat ketidakmampuan dalam upaya pelestarian dan penanaman potensi dan sumber daya norma-norma dan nilai-nilai moral sebagai jati diri bangsa. Hal ini merupakan keprihatinan mendalam yang perlu segera mendapat uluran tangan dari kalangan budayawan, instansi yang terkait, cendekiawan dan para pakar umumnya untuk melakukan re-kulturisasi searah dengan upaya rasionalisasi dalam kehidupan masyarakat modern yang berkemajuan. Perlu dicatat bahwa ciri-ciri masyarakat modern yang berkemajuan itu mencakup syarat-syarat sebagai berikut: 1. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarap kehidupan dan penghidupan manusia sebagai anggota masyarakat. 2. Modern berarti berkemanusian yang tinggi nilai peradabannya pergaulan hidup bermasyarakat. Menurut Soerjono Soekanto (1983), modernisasi dimulai dari manusianya, dan kesemuanya itu adalah untuk meningkatkan kemampuan manusia di dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Ciriciri dari manusia modern itu adalah sebagai berikut: a. bersikap terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru maupun penemuan-penemuan baru. Intinya tidak ada sikap apriori atau prasangka (buruk); b. senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan, setelah dia menilai kekurangankekurangan yang dihadapinya pada saat itu; c. mempunyai kepekaan terhadap masalah-masalah yang terjadi disekitarnya, dan mempunyai kesadaran bahwa masalah-masalah tersebut berkaitan dengan dirinya; d. senantiasa mempunyai informasi yang lengkap mengenai pendiriannya; e. lebih banyak berorientasi ke masa kini dan masa mendatang; f. menyadari potensi yang ada pada dirinya, dan yakin bahwa potensi tersebut akan dapat dikembangkannya; g. selalu membuat dan berpegang pada perencanaan; h. tidak pasrah pada nasib; i. percaya kepada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia; j. menyadari dan menghormati hak-hak, kewajiban-kewajiban, serta kehormatan pihak lain. Dalam masyarakat modern diharapkan dapat tumbuh pola kehidupan kelompok-kelompok yang berkemajuan secara berkesinambungan, terutama kemapanan dalam kesejahteraan sosial dan ekonomi. Terdapat keserasian perjuangan kepentingan bersama didalam intergritas posisi-posisi sosial dalam kehidupan masyarakat. Didalam gejolak hingar bingarnya kehidupan masyarakat modern, di mana terdapat pola-pola konsumsi dan pemakaian jasa anggota masyarakat yang cukup tinggi, harus dapat diimbangi dan dikontrol dengan moralitas yang berakar dari nilai-nilai budaya. Oleh karena itu dalam kehidupan masyarakat modern perlu adanya upaya pelestarian dan pemeliharaan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan baik; agar kemajuan bangsa tetap konsisten dan terhindar dari perangkap arus pola modernisasi yang merusak peradaban. Kehidupan modern yang dikehendaki adalah kemajuan yang memiliki nilai kesejahteraan lahiriah dan rohaniah, yaitu kesejahteraan yang terjadi atas dasar persesuaian antara prinsip efisiensi dengan nilai-nilai moral budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa. Sesungguhnya tidak semua tradisi masyarakat buruk dan tertinggal, oleh karena itu adalah tindakan yang bijaksana apabila kita mampu untuk tidak berprasangka buruk. Sebaiknya terlebih dahulu mengidentifikasi dan mengkaji nilai-nilai positif yang terkandung dalam setiap perubahan-perubahan perilaku, terutama nilai-nilai perilaku modern yang dapat mendukung etos kerja dalam proses pembangunan. Untuk itu diharapkan agar tidak terjadi pengingkaran terhadap suara nurani bahwa

sesungguhnya yang benar, baik dan yang pantas itu merupakan tuntunan dan kepuasan hidup, atau sebesar-besarnya dapat menerangi jalan rasio manusia yang serba tak puas, dan bukan sebaliknya merusak pikiran manusia kearah sikap perilaku yang serakah dan angkuh. Menurut Soedjito Sosrodihardjo (1986), bahwa ... untuk Indonesia sekarang ini keadaannya masih belum terlambat, bahkan baru saja mulai. Masih ada waktu untuk memperhitungkan norma-norma tradisional yang mungkin masih harus kita pertahankan. Misalnya norma kekesatriaan, apakah hal ini masih perlu kita pegang teguh? Norma-norma inilah sebenarnya yang hingga kini dapat mempertahankan bangsa kita. Disamping itu sebenarnya setiap suku di Indonesia ini pada mulanya dan hingga kini pun mempunyai subculture sendiri-sendiri. Dengan adanya bahasa yang sama, maka pelbagai macam subculture ini masih tetap dipertahankan, hanya diciptakan penghubung, sehingga beberapa subculture ini merupakan satu kesatuan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Subculture yang ada tidak perlu dihapus. Unsur-unsur kebudayaan daerah masih perlu dipertahankan dan bahkan jangan sampai kehilangan pegangan, asal saja ikatan besar, yaitu ikatan sebagai suatu bangsa tidak retak karenanya. Sebab jika masyarakat kehilangan pegangan, maka mudah anomie. ------------------di sini belum.... Subculture atau kebudayaan khusus dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sangat kuat pengaruhnya terhadap pembentukan kepribadian dan perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu. Keterikatan seseorang terhadap kebudayaan khusus itu disebabkan adanya proses pembiasaan bersikap dan berperilaku dengan patokan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku setempat dalam waktu yang cukup lama. Dalam kehidupan masyarakat majemuk seperti Indonesia potensi kebudayaan khusus ini sangat besar, yaitu terwujud dalam berbagai bentuk adat istiadat, etnis atau suku, sikap dan persepsi, etika, bahasa, agama, ras, dan kepercayaam, pekerjaan dan cara bertindak. Kehidupan masyarakat majemuk dalam konsep persatuan dan persatuan bangsa perlu dipelihara secara berkesinambungan agar perbedaan-perbedaan yang ada tidak berkembang menjadi letupan konflik. Pada prinsipnya kebudayaan khusus itu riil dan konkrit yang mengandung makna sikap yang menentuh nurani dan harga diri. Oleh karena itu perlu mengedepankan kesadaran dan keterbukaan untuk membiarkan hak-hak asasi tiap golongan masyarakat untuk memiliki jati diri yang khusus pula. Di tengah-tengah perbedaan itu perlu pengembangan sikap kesediaan untuk berdampingan, saling memahami dalam solidaritas sosial, saling menyulam atas kekurangan dan saling menjalin hubungan atas persamaan. Dalam usaha pembangunan masyarakat lokal perlu mengikutsertakan orang banyak, terutama dalam hal pengambilan keputusan, supaya masyarakat setempat mempunyai partisipasi dan mempunyai rasa memiliki atas hasil pembangunan yang dapat dicapai. Untuk itu prioritas utama pembangunan masyarakat lokal adalah pembangunan terhadap sumber kepentingan masyarakat itu sendiri. Jadi dalam suatu proses pembangunan terkandung rangkaian aktivitas, yaitu: 1. 2. 3. 4. Pembangunan dilaksanakan dengan partisipasi seluruh anggota masyarakat; Pembanguan mengacu pada tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat; Pembangunan dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang matang; Prioritas utama pembangunan adalah kebutuhan masyarakat;

Kegiatan pembangunan yang disoroti adalah pembangunan yang berasal dari inisiatif masyarakat, yang mengacu pada program pembangunan pemerintah, khususnya yang erat kaitannya dengan usaha pembangunan pisik, disamping peningkatan sosial ekonomi dan budayanya. Pelaksanaan Program Pembangunan tidak lain adalah suatu upaya untuk meningkatkan penanggulangan kemiskinan melalui upaya pemberdayaan keluarga untuk melepaskan dari keterbelakangan sosial, ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh masukanmasukan baru tentang teknik pendekatan, adaptasi, kerjasama, dan pola kerja bagi pihak-pihak

yang berwenang dalam rangka mempermudah pelaksanaan pembangunan pada masyarakat sasaran. B. CORAK KEBUDAYAAN DAN KEMANDIRIAN MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN 1. Kontribusi Nilai Budaya Melihat perkembangan kehidupan masyarakat, secara umum diketahui masyarakat kota relatif lebih terbuka, berani berpendapat, fleksibel, inovatif dan rasional, dibandingkan dengan masyarakat yang berada di desa yang cenderung skeptis, kurang berani mengemukakan pendapat, guyub, emosional, dan tradisional koservatif, sehinggga kecil kemungkinan untuk merubah sikap dan kebiasaan-kebiasaan yang ada. Dilihat dari segi stratifikasi sosial, khususnya masyarakat Indonesia, nampak tersusun dalam kelas-kelas sosial, ekonomi, budaya, hukum dan politik. Dalam masing-masing strata terdapat nilai prestise dan kehormatan yang tertuang dalam pola sikap dan perilaku yang relatif ekslusif. Bagi mereka yang berada dalam strata atas memiliki kepribadian dan kebiasaan yang berbeda dengan golongan masyarakat yang berada dalam strata bawah, baik dalam hal cara berpakaian, cara bicara, cara makan, memilih sarana olah raga, rekreasi dan lain-lain. Duncan Mitchell (1984) mengutip pendapat Davis, mengatakan bahwa satu dari padanya adalah perlunya menabur prestise menurut pentingnya suatu kedudukan sosial bagi masyarakat; atau minimal, kedudukan-kedudukan yang kurang penting jangan dibiarkan menyaingi kedudukankedudukan yang penting. Satu hal lagi ialah bahwa kedudukan-kedudukan sosial menghendaki kemahiran-kemahiran, keterampilan atau tanggungjawab yang berbeda-beda dari kaula yang mendudukinya. Kemahiran-kemahiran tertentu mungkin jarang dijumpai dan latihan akan memakan waktu dan uang banyak. Oleh karena itu kedudukan-kedudukan sosial demikian, yang menghendaki persediaan, mesti diberi ganjaran-ganjaran yang tinggi, dan salah satu caranya adalah dengan memberinya nilai tinggi; prestise yang diberi dengan cara ini timbul dari penilaian umum. Adham Nasution (1983) menjelaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan tetapi erat bergandengan. Setiap masyarakat menghasilkan kebudayaan dan setiap kebudayaan pasti ada masyarakatnya. Masyarakat modern akan melahirkan kebudayaan modern, dan sebaliknya kebudayaan modern akan pula melahirkan masyarakat modern. Nasution memeberi contoh pada perbedaan corak kebudayaan yang tersebar di Indonesia. Corak kebudayaan Bali lebih religius dan seni dari pada Jawa, terdapat perbedaan dalam susunan desa, organisasi pengairan, pembagian kerja antara lalai-laki dan perempuan, dan sebagainya. Dari berbagai perbedaan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat itu terdapat sifat-sifat yang universal. Clark Wissler (dikutip oleh Adham Nasution, 1983) menyebutnya sebagai universal pattern of culture, yaitu: 1. bahasa (lisan dan tulisan); 2. peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan sebagainya); 3. kesenian, seperti melukis, mengukir, musik; 4. mythologi dan pengetahuan ilmiah; 5. praktek-praktek keagamaan; 6. keluarga dan sistem kemasyarakatan yang meliputi bentuk-bentuk perkawinan, warisan, sosial kontrol, sport; 7. milik; 8. pemerintahan dan peradilan; 9. perang.

Terlepas dari pendapat Wissler, bahwa dalam kehidupan masyarakat manusia didorong untuk memperoleh keterampilan, cara-cara hidup dan nilai-nilai, serta norma-norma yang dapat dijadikan pegangan. Di sinilah manusia menunjukan sikapnya yang dinamis, mencari dan mencari, juga menciptakan sesuatu yang dapat berguna demi kepuasan hidupnya. Abu Ahmadi (1985) mengibaratkan, bahwa manusia adalah sumber kebudayaan, dan masyarakat adalah satu danau besar, ke mana air dari sumber-sumber itu mengalir dan tertampung. Manusia mengangsu (mengambil) air dari danau itu. Maka dapatlah dikatakan bahwa manusia itu "mengangsu apikulan warih" (ambil air berpikulan air). Sehingga tidaklah habis air dalam danau itu, melainkan bertambah banyak karena selalu ditambah oleh orang yang mengambil air tadi. Jadi erat sekali hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan. Kebudayaan tak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan oleh adanya kebudayaan. Oleh karena integritas nasional sangat erat kaitannya kualitas kebudayaan nasional, maka langkah alternatif pemeliharaan dan pengembangan yang terbaik adalah dengan melakukan pendekatan kultural. Alasannya adalah kebudayaan pada suatu saat digandrungi dikala sedang bermanfaat dalam perjuangan hidup, tapi pada waktu sebaliknya, hanya manusia yang memiliki budaya mantap saja yang sanggup merenung untuk mengkaji kembali segala kekurangan dan kekeliruan yang pernah atau sedang dialami. Kemudian hanya manusia yang berbudayalah yang dapat bercermin dan paling mudah memperbaiki sikap dan perilaku yang keliru. Menurut Umar Kayam (1983), bahwa membangun Indonesia adalah membangun satu kebudayaan baru. Satu solidaritas baru. Sambil kita membenahi berbagai orientasi nilai-nilai "masyarakat lama" untuk dihantar ke arah menyusun orientasi nilai-nilai "Negara Baru", kita juga ingin menyiapkan budaya baru yang mampu menyerap secara kreatif pikiran-pikiran dunia yang maju tentang ilmu dan kesenian. Perlu penggalakan unit-unit pengembangan baru dengan fungsi-fungsi yang baru dalam upaya pengembangan kualitas kehidupan masa depan, baik disektor kebudayaan, sosial, ekonomi, pengetahuan dan teknologi, dengan tetap berpegang pada budaya nasional. Nilai budaya lain yang tidak kalah pentingnya bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia, adalah menumbuhkan hasrat masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Hal ini dimaksudkan dalam rangka penciptaan dan adaptasi teknologi baru dan memanfaatkannya bagi kesejahteraan secara nasional. Nilai budaya yang penting disini adalah kesadaran, keyakinan, dan kebanggaan diri terhadap hasil ciptaan dan usaha sendiri. Untuk mencapai tahap ini tentu sangat ditentukan oleh kualitas dan manfaat nyata dari hasil karya sebagaimana tujuan ciptaan dan adaptasi teknologi tadi. Dalam upaya pengembangan kebudayaan nasional perlu menggali potensi budaya daerah yang dapat memberikan kontribusi kepada kepribadian bangsa yang khas dan positif bagi integrasi dan pembangunan nasional. Terhadap kebudayaan nasional yang sudah tumbuh dipelihara dan dievaluasi penerapan dan manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat agar tetap selaras dengan kebutuhan dan tuntutan zaman dimasa kini dan mendatang. Nilai-nilai budaya yang positif dan khas bagi jatidiri bangsa Indonesia disosialisasikan dalam kehidupan masyarakat, khususnya terhadap generasi muda sebagai pedoman hidup dalam mengarungi kehidupan yang lebih rumit dan serba spesialisasi. Terhadap nilai-nilai budaya yang mencerminkan sikap dan perilaku baru yang tumbuh sebagai hasil kontak dengan budaya-budaya asing, yang dianggap positif, berguna, membanggakan, dan dapat membawa kearah kemajuan harkat martabat bangsa, perlu diterima dan diselaraskan dengan nilai-nilai budaya yang ada. Terhadap pihak yang tidak berdisiplin murni, segera ditanamkan kesadaran berdisiplin sebagai kepentingan diri sendiri, dan bukan disiplin karena takut terhadap pengawasan atasan. Tanamkan disiplin dengan sanksi hukum yang obyektif, dan bukan hukum kekuasaan yang sewenangwenang. Dengan demikian diharapkan para pekerja dan anggota masyarakat akan mengembalikan rasa tanggungjawabnya didasarkan pada kewajiban yang melekat pada setiap individu. Untuk mengembalikan norma tata kelakuan hubungan kerja, pemimpin perlu memberikan tauladan bahwa bersikap positif dengan atasan atau sesama tidak mengandung maksud yang buruk atau sekedar formalitas untuk memenuhi kepentingan pribadi.

Nilai budaya yang terlampau membesarkan atasan, budaya restu, budaya rekomendasi (sering disebut surat sakti karena terbukti keampuhannya) dan ketergantungan terhadap petunjuk yang mulia, cenderung menumbuhkan sikap tak percaya diri dan mematikan rasa tanggungjawab. Keadaan ini tentu sekaligus dapat mematikan semangat untuk berdiri sendiri dengan usahanya sendiri. Peranan pemimpin dalam pemecahannya adalah dengan menanamkan kepercayaan diri dan mengurangi ketergantungan kepada pihak lain. Pemimpin formal, mulai dari Pamong Desa sampai kepada wakil-wakil dari tiap Departemen, berusaha memberikan contoh dengan sikap dan perilaku yang positif dan obyektif. Sementara pemimpin nonformal, seperti tokoh adat, pemuka agama, pemuka masyarakat, dan tokoh kharismatik lainnya yang lebih memahami perkembangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat mendukungnya dengan memberikan informasi tentang kondisi kehidupan sosial budaya masyarakat tersebut secara terbuka. Dengan demikian diharapkan akan terbuka strategi pemecahan yang sederhana dan tepat dalam memotivasi partisipasi masyarakat kearah kesadaran yang tinggi dalam pelaksanaan pembangunan, seperti misalnya partisipasi Bimas, program KB, Disiplin Nasional dengan konsep waskatnya, Kesetiakawanan sosial, dan lain-lain. 2. Kemandirian dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Dalam pengembangan kehidupan ekonomi masyarakat, perlu adanya kemampuan dalam merancang-bangun bidang industri sebagai upaya alternatif. Dalam hal ini perlu dicermati berbagai akibat sampingnya, sebab fatal akibatnya jika tidak disertai kesiapan masyarakat untuk menerima kehadiran teknologi industri itu. Untuk menghindari efek samping itu, maka nilai-nilai budaya atau jiwa tradisi yang ada perlu dievaluasi dan diselaraskan dengan sistem kehidupan baru. Menerima industrialisasi bukan tidak mempunyai resiko, sebab keberhasilan produksi untuk meningkatkan pendapatan, dapat memotivasi masyarakat untuk berkonsumsi lebih tinggi. Lalu, apa artinya pendapatan yang meningkat, jika pengeluaran untuk dikonsumsi juga semakin tinggi. Bukankah kondisi ini dapat mengundang masyarakat untuk melakukan usaha-usaha yang serba cepat dan asal dapat, sehingga cenderung mengarah kepada perbuatan yang bebas norma. Suatu nilai budaya nasional yang perlu dikembangkan adalah nilai-nilai budaya yang berorientasi kepada masa depan. Nilai budaya ini diharapkan mendorong masyarakat untuk menjadi bangsa yang suka berencana dan hidup hemat dalam mempersiapkan masa depannya. Kenyataan ini nampak belum mantap bagi sebagian besar masyarakat, oleh karena itu perlu diberikan jalan pemecahan. Dalam hal ini para pemimpin harus mampu memberikan contoh konkrit, memberikan penerangan dan pelayanan yang persuasif agar mudah dapat diserap masyarakat, memberikan pembinaan terhadap generasi muda, keluarga dan anak-anak. Wujud dari upaya ini misalnya dengan penggalakan dan pembudayaan gemar menabung dengan kompensasi yang pantas dan pelayanan yang baik. Syarat utamanya adalah mampu memberikan jaminan kepercayaan pada orang lain. Pekerjaan dituntut agar dapat selesai secara efektif dan efisien, sehingga kepercayaan lekas dapat diperoleh. Kecuali itu dituntut pula untuk dapat mengembangkan bakat orang lain. Digemari anak buahnya, luas pergaulannya dan mau bekerjasama, suka membantu dengan cara kerja yang memuaskan. Untuk itu pihak yang berwenang harus mampu memberikan pengarahan dengan memberikan pemahaman yang mendalam tentang aspek-aspek negatif hasil pembangunan dengan cara lebih terbuka. Sebuah contoh untuk mengantisipasi efek negatif komputerisasi, internet, kontrasepsi KB., alat-alat canggih bidang kedokteran, dan lain-lain; semuanya harus dapat ditangani secara profesional. Dibidang kedokteran, perlu pengawasan agar tidak terjadi malpraktek sehingga pasien menjadi cacad seumur hidup. Untuk ini pihak yang berwenang segera menurunkan hukum kesehatan yang lebih memadai, agar promosi kesehatan dan jaminan terhadap masyarakat menjadi lebih mantap. Para agen pembangunan perlu selalu mempelajari setiap fenomena yang muncul akibat pembangunan itu. Oleh karena perjuangan pemeliharaan nilai-nilai budaya nasional yang luhur itu penuh dengan tantangan, terutama munculnya perbedaan-perbedaan pandang terhadap penerapannya diabad modern ini sehubungan dengan masuknya budaya asing dan kemajuan teknologi di Negeri ini,

maka para pemimpin perlu menamamkan nilai-nilai budaya tahan menderita (tidak manja). Dengan demikian diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas (keuletan) kerja, kemandirian dan kesanggupan menghadapi tantangan pembangunan. Bahkan semua agamamengajarkan agar umat manusia senantiasa siap untuk bekerja keras. Sikap toleran perlu ditegakkan terhadap prinsip-prinsip nilai yang berbeda, sepanjang tidak mengganggu sendi-sendi kehidupan dan menghambat cita-cita pembangunan. Menurut Bintarto (1980), ada tiga unsur utama yang perlu diperhatikan bagi keberhasilan pembangunan, yaitu: 1. Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. 2. Timbulnya gagasan baru dimasyarakat, dan 3. Diterapkannya teknologi yang tepatguna dan padatkarya. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan itu diperlukan partisipasi yang relevan dengan kondisi, situasi dan tingkat kemampuan masing-masing anggota masyarakat. Proses pelaksanaan pembangunan diharapkan tidak mengikis tatanan sosial budaya yang hidup dalam tubuh masyarakat setempat, melainkan mengangkatnya sebagai sumber kekuatan dalam mendorong keberhasilan pembangunan itu sendiri. Kokon Subrata dan Suyatna Atmaja (1978) menyebutkan bahwa ada empat macam wujud partisipasi, yaitu: 1. 2. 3. 4. Turutserta memberikan sumbangan kekuatan tenaga Turutserta memberikan sumbangan finansiil. Turutserta memberikan sumbangan meteriil, dan Turut serta memberikan sumbangan moril.

Betapapun tingginya teknologi dan ekonomi yang digunakan, tanpa didukung oleh partisipasi sumber daya manusia yang memadai, maka keberhasilan pembangunan akan sulit dapat dicapai, bahkan tidak menyentuh kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Dengan partisipasi aktif masyarakat, maka tujuan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat dicapai dengan mudah. Berarti keberhasilan pembangunan tidak hanya dipandang dari sektor pertumbuhan pisik dan hanya dapat dinikmati oleh sebagian golongan saja, melainkan juga memperioritaskan segi kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Ukuran keberhasilan pembangunan terletak pada keberhasilan dalam pemerataan pemanfaatan hasil pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, peningkatan kualitas hidup, dan bukan sekedar mengejar terget kuantitas bentuk fisik pembangunan. Ada 6 sektor kemiskinan pokok dalam kehidupan masyarakat yang harus menjadi prioritas pembanguan masyarakat untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial, yaitu: 1. Kemiskinan materi, yaitu kehidupan masyarakat yang tak mampu hidup layak, serba kekurangan dari segi materi, tidak memiliki harta yang cukup, dan tidak mampu mengembangkan kesejahteraan material secara lebih baik, termasuk tidak memiliki sandang, pangan, papan yang layak, tidak mampu memelihara kesehatan dengan baik, tidak mampu mendidik dan membiayayai sekolah anak-anaknya. 2. Kemiskinan moral spiritual, yaitu sikap masyarakat yang tidak memiliki dasar keimanan, Agama dan nilai-nilai moral yang cukup. Tidak memiliki keyakinan dan percaya diri yang kuat dan sensitif terhadap pola hidup bebas. 3. Kemiskinan intelektual, yaitu tidak memiliki ilmu yang cukup, tidak memiliki cukup pendidikan, inisiatif dan pemikiran ilmiah kearah pembangunan sosial ekonomi tergolong rendah. Masyarakat tidak mampu menyerap fungsi-fungsi perubahan, tidak mampu beradaptasi terhadap kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai sarana peningkatan kualitas kesejahtaraan sosial ekonomi. 4. Kemiskinan struktural, yaitu sikap hidup yang terpola, terpaku, pasrah dan tergantung pada kebiasaan, norma, kepercayaan dan kebijaksanaan tertentu. Kemiskinan semacam ini

membelenggu inisiatif dan kreativitas masyarakat, sehingga tidak mampu melakukan perubahan dan perbaikan kualitas hidupnya. 5. Kemiskinan budaya, yaitu sikap hidup yang fatalistik dan berorientasi pada kebiasaan, kepercayaan, nasib dan tradisi sosial yang bersifat lokalitas. Masyarakat tak mampu berinterpretasi dan beradaptasi pada nilai-nilai kehidupan yang rasional. Masyarakat lebih skeptis dan menganggap modernitas itu sebagai gejala kerusakan tatanan budaya yang dianut. Mereka lebih suka menghindar dan menjauhkan diri dari perubahan dan pembangunan yang melibatkan pemikiran dan sarana teknologi medern. 6. Kemiskinan politik, yaitu masyarakat enggan berkiprah pada kegiatan yang bergerak dalam usaha menentukan arah perjuangan dan kebijaksanaan Politik Pemerintah. Masyarakat jauh dari usaha-usaha dalam mencari dan mempertahankan eksistensi kekuasaan atau pengaruh tertentu dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak ikut serta dalam kegiatan organisasi sosial kemasyarakatan sebagai bentuk partisipasi politik dan kontrol sosial terhadap jalannya kebijaksanaan Pemerintah. Dalam perencanaan pembangunan, memerlukan partisipasi seluruh anggota masyarakat yang didasarkan pada prioritas kepentingannya. Diupayakan secara mandiri dengan modal dasar segala potensi dan sumber daya yang tersedia. Pembangunan pedesaan perlu mendapat perhatian khusus oleh karena merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan nasional. Kemandirian masyarakat merupakan modal dasar dalam proses peningkatan keberhasilan pembangunan. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan perlu adanya kesamaan pandangan dan pola kerja antara anggota masyarakat dengan pemerintah. Dengan harapan agar berbagai masalah sosial budaya dan ekonomi yang timbul dalam tubuh masyarakat dapat diantisipasi secara preventif. Upaya meningkatkan keperdulian sosial, berbagai pihak harus mampu berkohesi kedalam, artinya pribadi-peribadi harus memulainya dengan memanamkan keperdulian terhadap diri sendiri, sehingga dapat ditumbuhkembangkan semangat perjuangan mempertahankan kepentingan diri tercermin juga dalam perjuangan kepentingan bersama. Kita boleh berbeda pandang, berbeda keahlian, dan berbeda cara kerja, tetapi harus berpedoman pada tujuan yang sama dengan saling mendukung, bukankah berbeda keahlian itu bisa saling melengkapi atas kekurangan bersama. Untuk memelihara azas kegotongroyongan masyarakat, para pemimpin perlu melakukan penyederhanaan terhadap makna gotong royong yang positif; bukan gotong royong pasrah terhadap nasib seperti kerja rodi, akan tetapi lebih membangun kepada nilai-nilai suka-rela masyarakat. Semangat gotong royong dapat mendidik kerja sungguh-sungguh, sehingga dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.

You might also like