You are on page 1of 10

SPIRITUALITAS DALAM PELAYAN PALIATIF1

Made Wardhana
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

PENDAHULUAN
Paradigma sehat menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), semula hanya memberikan
batasan sehat hanya dari 3 dimensi, yaitu sehat dalam arti fisik (organobiologik), sehat dalam
arti mental (psikologik) dan sehat dalam arti sosial, sejak 1984 batasan tersebut sudah
ditambah dengan aspek spiritual, batasan ini telah diterima dari berbagai kalangan yang lebih
dikenal dengan biopsychosocial-spiritual model. Dengan demikian konsep sehat tersebut telah
mencakup semua komponen manusia secara holistik, sesuai dengan konsep dalam vedanta atau
dari tradisi agama lain tentang kehidupan. Vedanta, dan kitab suci lainnya menyatakan bahwa
komponen manusia (mahluk hidup) material yaitu badan kasar dan badan halus, serta
komponen transedental (spiritual) yaitu keberadaan sang roh (atma) sebagai energi spiritual
yang memberikan kehidupan. Para filsuf Yunani kuno seperti Socrates, Plato, Aristoteles,
mengungkapkan bahwa manusia terdiri dari tiga entitas yaitu: Corpus (corporal) adalah
material yang terdiri atas matter (materi) serta memiliki dimensi fisik, merupakan aspek
badaniah dari manusia yang berbeda dengan spiritus (spirit atau sang roh) dan animus
(nafs, jiwa).
Keberadaan sang roh memang sulit dibuktikan secara ilmiah karena di luar jangkauan
pengamatan panca indera, namun adanya sang roh dapat dibuktikan dengan adanya kesadaran
pada setiap mahluk hidup. Kesadaran yang di maksud adalah kesadaran yang berhubungan
dengan proses pikir, emosi, ego dan dorongan prilaku dan sebagainya. Manusia mempunyai
tingkat kesadaran paling tinggi di antara mahluk hidup lainnya, manusia diberikan kecerdasan
yang tinggi sehingga sehingga dapat memahami dan bertanya tentang; dari mana kehidupan ini
berasal? Apa tujuan hidup ini? Kenapa ada penderitaan? Kemana saya setelah meninggal? Apa
hubungan kita dengan Tuhan?
Pendekatan spiritual bertujuan untuk lebih memahami tentang sang diri (sang roh)
sebagai jati diri yang sebenarnya, merupakan partikel rohani serta hubungannya dengan Tuhan
sebagai sumber segala ciptaan. Pemahaman tersebut akan membawa pasien kepada tingkat
kesadaran spiritual yang lebih tinggi, hal ini akan mempengaruhi sikap dan perilaku kearah
lebih religious, pasien akan lebih tenang, menerima apapun yang akan terjadi pada dirinya.
Kondisi pikiran yang tenang tersebut juga akan mempengaruhi sistem dalam tubuh, terutama
sistem kekebalan. Pendekatan spiritual memiliki 2 dimensi yang penting yaitu dimensi spiritual
dan dimensi material. Dimensi spiritual akan membawa pasien kepada tingkat kesadaran
spiritual yang lebih tinggi, dengan lebih memahami hidup dan kehidupan dari pandangan yang
paling dalam (filosofis). Dimensi material, berhubungan dengan dimensi spiritual, pada tingkat
kesadaran spiritual yang lebih tinggi pasien akan menjadi tenang, pasrah yang pada akhirnya
akan mempengaruhi sistem susunan saraf pusat (otak) dan sistem imunologi.
Tulisan singkat ini akan mencoba mengungkapkan konsep spiritualitas secara universal
hubungan antara sang roh sebagai jati diri kehidupan dengan badan material dengan segala
penderitaannya serta bagaimana kewajiban sang roh dengan Sang Maha Pencipta.
Diungkapkan pula bukti-bukti ilmiah tentang peran spiritualitas dan aktivitas keagamaan
dalam hubungannya pelayanan kesehatan secara umum.
KONSEP DASAR SPIRITUALITAS
1
Disampaikan pada PIT MPI, Bandung 8-9 Agustus 2008

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 1


Sebelum membicarakan hubungan antara spiritual dan kesehatan kita memulai dari batasan
spiritual itu sendiri. Spiritual berasal dari ’spirit’ berarti sang roh yang ada dalam setiap mahluk
hidup, serta hubungannya dengan sumbernya atau Maha Pencipta yaitu Tuhan. Dimensi
spiritual bersifat transedental, nilai-nilai terdalam dari kehidupan. Berbeda dengan agama yang
merupakan suatu set dari sistem kepercayaan berhubungan dengan kaidah-kaidah formal,
ritualitas. Dalam pembahasan disini lebih menekankan pada aspek spiritual yang lebih
universal yang berhubungan dengan fenomena alam makro (makrokosmos, alam semesta)
dengan segala kelengkapannya dan keteraturannya mengikuti hukum-hukum alam dan
fenomena alam mikro (buana alit, mikrokosmos, dalam setiap mahluk hidup) pasti ada
perancang dan pengendali yang super cerdas di belakang fenomena alam tersebut. Fenomena
alam terjadi bukanlah karena kebetulan saja, tetapi sudah ada rangcangan yang memiliki tujuan
tertentu. Karena itu ada 4 konsep dasar dalam spiritualitas yang berhubungan dengan hidup
dan kehidupan yaitu; Sang Perancang Cerdas (Intelligent Design), konsep sang diri (sang roh)
yang bersifat kekal, transmigrasi sang roh (reinkarnasi) dan tujuan sebenarnya dari kehidupan.

Sang Perancang Cerdas


Kebuntuan para ilmuwan dalam menerangkan fenomena alam baik makro maupun mikro,
membuat mereka harus mengakui adanya kekuatan lain yang terlibat didalamnya. Banyak
ilmuwan yang ateis, pada akhirnya mengakui keberadaan Tuhan, seperti Steven Weinberg, Carl
Sagan, Roger Penrose, Richard Feynman, dan Stephen Hawking. Tokoh-tokoh tersebut adalah
ilmuwan tenar yang banyak menelurkan karya dan teori ilmiah. Apa kata mereka tentang
Tuhan. "…… Betapa alam semesta ini berjalan penuh dengan keteraturan berdasarkan hukum-
hukumnya, pasti ada yang mengaturnya....." Dalam kitab suci agama manapun telah banyak
menguraikan tentang eksistensi dari Tuhan dengan segala keagungan dan kebesaranNya.
Konsep Tuhan sebagai sumber penciptaan yang berarti dengan kekuatan atau energi (sakthi),
dalam vedanta disebutkan memiliki tiga kekuatan utama yaitu Antaranga sakti, Tatastha sakti
dan Bahirangasakti.
Antaranga sakti (cit sakti), tenaga rohani dari Tuhan, Bhagavan, adalah sumber energi, dan
melalui tenaga cit-sakti, Beliau mewujudkan planet-planet yang kekal bersama para avatar
Beliau yang kekal. Planet rohani dikenal sebagai Vaikuntha loka, tempat yang tanpa
kecemasan.
Tatastha sakti (Jiwa sakti), energi ini merupakan energi marginal, sebagai percikan api rohani,
memiliki sifat yang sama dengan sumbernya yaitu Personalitas Tuhan, namun dalam kwantitas
yang jauh lebih kecil. Energi ini tetap terpisah dari energi material, tetapi ada di dalam masing-
masing badan material (termasuk manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan), istilah umumnya
disebut sang roh (ruh, atma). Bukti adanya energi spiritual (sang roh) ini adalah adanya
kesadaran dengan berbagai tingkatan pada setiap mahluk hidup. T.D. Singh, PhD, seorang
ilmuwan dan juga rohaniawan memberikan istilah energi ini sebagai spiriton, sebutan ini untuk
membedakan tenaga material lainnya seperti proton, neutron, elektron suatu partikel material
yang tidak memiliki kesadaran. Sang roh bersifat kekal, tidak diciptakan, tidak dilebur,
walaupun badan hancur (mati), tetapi sang jiwa masih tetap ada dan akan meperoleh badan-
badan baru lagi.
Bahiranga sakti (Maya sakti), energi ini merupakan energi material, merupakan energi paling
rendah. Dalam Vedanta disebut sebagai delapan unsur partikel material yang terdiri dari badan
kasar ; tanah, air, api, udara, ether, dan badan halus ; manah (pikiran), budi (kecerdasan) dan
ahangkara (keakuan palsu). Dalam fisika modern (teori kuantum) partikel material ini berupa
elektron, proton yang memiliki energi namun tanpa memiliki kesadaran, berbeda dengan
spiriton di atas.
Selain konsep tersebut, juga dikenal konsep Tuhan personal dan Tuhan yang Impersonal,
dalam banyak kitab suci telah banyak menguraikan tentang Personal God, Supreme Lord atau

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 2


Bhagavan dengan segala kebesaran dan keagunganNya. Dalam pendekatan spiritual konsep ini
dapat diperkenalkan dengan cara yang mudah dimengerti, sederhana dan disertai dengan
contoh-contoh fenomena alam yang terjadi.

Kita ini Bukan Badan


Pengetahuan tentang sang roh (Atmanologi) sangat mendasar dan universal bahwa sesuatu
disebut mahluk hidup karena adanya sang roh, sang roh ini bersumber dari tenaga personalitas
Tuhan (tathasta sakti). Didalam Bhagavadgita (15.7), dinyatakan bahwa seluruh makhluk hidup
merupakan percikan yang kekal dari Ku (Tuhan), dalam bentuk spiritual yang murni. Dengan
demikian makhluk hidup bisa menjalankan fungsi-fungsinya karena adanya partikel non-
kimiawi, non-molekuler tersebut, dalam vedanta disebut atman atau jivatman, oleh T.D. Singh
(2002) disebut spiriton. Vedanta menyebutkan spiriton mempunyai sifat sebagai sebagai
berikut:
a. Merupakan energi spiritual (tatastha sakti) yang berbeda dengan energi material (bahiranga
sakti) dari Tuhan.
b. Merupakan partikel transendental diluar jangkauan pengetahuan modern.
c. Karena interaksi antara spiriton dan elemen material dari mahluk hidup sehingga badan
menjadi aktif dan hidup yang memenuhi sarat sebagai mahluk hidup.
d. Sifat dasar dari spiriton adalah: memiliki kesadaran, memiliki keinginan bebas, dan
memiliki tujuan. Kesadaran (berpikir, melakukan aktivitas, adalah gejala adanya spiriton,
sedangkan partikel material tidak pernah mempunyai kesaaran.
e. Keberadaannya kekal dan dia tidak dapat diciptakan atau dihancurkan.
Vedanta, menyatakan bahwa tubuh mahluk hidup terdiri dari; 1. Badan kasar yang disebut
panca mahabuta yaitu tanah, air, api, udara dan ether, 2. Badan halus (subtle bodies) yang terdiri
dari; pikiran, kecerdasan dan ahangkara, dan 3. Spiriton atau sang roh, merupakan partikel
rohani bersifat kekal. Badan kasar dan badan halus merupakan partikel material dan tidak bisa
berfungsi tanpa adanya spiriton. Ketika badan material tidak berfungsi lagi (mati) maka sang
roh akan meninggalkan badan (meninggal) untuk memperoleh badan-badan yang baru lagi,
demikian seterusnya. Jadi kematian bukanlan sekedar proses biologis dan proses fisik belaka,
bukan sekedar berhentinya denyut jantung, berhentinya pernafasan atau kehilangan fungsi
organ-organ tubuh lainnya, tetapi kematian merupakan proses spiritual, karena berpindahnya
sang roh (spiriton). Dengan demikian kehidupan bukanlah merupakan aktivitas psikologis dan
biokimiawi belaka, karena kesadaran dan tingkah laku mahluk hidup sulit dijelaskan dengan
teori ilmiah modern. James Watson, penemu struktur DNA, mengatakan, ".....masih ada
masalah yang sangat utama untuk dipecahkan mengenai bagaimana informasi disimpan dan
didapatkan kembali dan digunakan didalam otak. Ini adalah masalah yang lebih besar dari pada
DNA, dan masalah yang lebih sulit … kita dapat menemukan gen untuk tingkah laku, tapi hal
itu tidak memberi informasi bagaimana otak bekerja ……" Vedanta mengatakan bahwa organ
tubuh termasuk otak merupakan mesin tubuh yang bekerja melalui energi yang disalurkan dari
spiriton. Banyak pakar biologi menemukan jalan buntu untuk mempelajari kehidupan, dan
menyadari adanya kekuatan lain yang terlibat dalam proses fisiologi dalam tubuh mahluk
hidup.
Dengan memahami konsep spiriton tersebut maka tidak sulit untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang mendasar seperti, apa yang disebut hidup atau kehidupan? apa tujuan
kehidupan ini? mengapa ada penderitaan? Apa yang terjadi setelah badan mati? dan pertanyaan
lainnya. Bahwa Personalitas Tuhan telah menciptakan sekitar 8 400 000 jenis badan dengan
aneka tingkat kesadaran spiritual yang dimanifestasikan dalam bentuk badan material. Kita lihat
mahluk yang paling sederhana, bersel satu memiliki kesadaran, namun pada tingkat kesadaran
yang belum berkembang sama sekali bermanifestasi dalam bentuk mahluk hidup lebih rendah.
Badan manusia memiliki tingkat kesadaran yang telah berkembang secara spiritual.

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 3


Berdasarkan kesadaran spiritual tersebut ada sekitar 400 000 aneka spesies manusia. Badan
yang kita dapatkan saat ini sebagai akibat karma kita pada kehidupan masa lalu. Dapat
dikatakan bahwa beraneka jenis badan manusia dengan berbagai penderitaan/penyakit bagaikan
penjara-penjara bagi sang roh.

Transmigrasi Sang Roh (Reinkarnasi)


Perpindahan atau transmigrasi spiriton (sang roh) dikenal dengan nama reinkarnasi (samsara)
merupakan transmigrasi sang roh dari badan ke badan lainnya. Reinkarnasi merupakan
fenomena alam yang bersifat universal, tanpa memandang dari kelompok mana berasal.
Bhagavadgita menjelaskan proses perpindahan spiriton secara lengkap. Sebagai contoh, telor
menjadi kepompong kemudian larva dan akhirnya menjadi bentuk dewasa dari kupu-kupu,
sang roh yang ada didalamnya adalah tetap sama, sedangkan bentuk-bentuk badan yang
berubah. Proses perubahan badan seperti ini disebut reinkarnasi internal. Demikian juga
kalau kalau badan sudah rusak dan tidak dapat dipakai maka sang roh akan pindah mencari
badan lainnya seperti halnya seseorang memakai jas baru dan menanggalkan jas lama yang
sudah usang demikian seterusnya. Jenis badan-badan yang akan didapatkan sangat tergantung
dari pikiran dan kesadarannya pada saat meninggalkan badan. ”Mahluk hidup pindah dari satu
badan ke badan lainnya dengan membawa kesadaran masing-masing, seperti udara yang
membawa jenis bau-bauan tertentu. Berdasarkan kesadaran demikian mahluk hidup
meninggalkan badan dan menerima badan baru yang lain.(Bg 15.8). Proses perpindahan dari
satu badan ke badan lainnya disebut reinkarnasi eksternal.
Saat ini telah banyak ilmuwan yang meneliti tentang reinkarnasi dan banyak publikasi
ilmiah yang melaporkan kebenaran adanya reinkarnasi. Beberapa buku paling terkenal seperti
Children Past Lives, Twenty Cases Suggestive of Reincarnation, Where Reincarnation and
Biologiy Intersect, mengungkapkan hasil penelitian Dr. Ian Stevenson, dari Universitas
Virginia, Amerika tentang bukti ilmiah yang berhubungan dengan adanya kehidupan masa lalu
dan reinkarnasi. Dalam buku Near Death Experience oleh Dr. Raymond A. Moody
menyimpulkan adanya kehidupan masa lalu dan kehidupan setelah kematian. Demikian juga
website di internet tentang reinkarnasi sangat banyak dijumpai yang menyediakan informasi
tentang kehidupan masa lalu dan reinkarnasi, dengan demikian reinkarnasi adalah fenomen
alam yang universal, bukanlah suatu hal yang mistik atau tahkyul.

Evolusi Kesadaran Spiritual dan Tujuan Tertinggi


Dalam Vedanta dijelaskan evolusi sebagai perjalanan dari partikel spiriton yang tidak terhitung
dalam ruang dan waktu, pindah dari satu bentuk badan satu ke badan yang lain di bawah hukum
karma (sebab dan akibat) dan pengaruh sifat alam. Akibatnya akan terjadi proses evolusi
kesadaran, hal ini akan menentukan badan material yang didapat kemudian. Kesalahan dalam
teori evolusi Darwin adalah tidak melibatkan sumber kehidupan yang sebenarnya yaitu sang
roh dalam membahas teori evolusi, hanya berdasarkan evolusi biologis saja, karena itu Vedanta
tidak menerima teori evolusi fisik dari Darwin, yang berevolusi adalah kesadaran. Kesadaran
berevolusi secara linier sesuai dengan rancangan bijaksana dari Sang Perancang Cerdas
(Intelligent Design, ID). Diciptakan beraneka badan material yang berbeda bertujuan untuk
mengakomodasi berbagai tingkat kesadaran kesadaran tertentu. Vedanta menyatakan “....ada
8.400.000 bentuk kehidupan dan seseorang mendapatkan bentuk kehidupan manusia setelah
mengalami perubahan 8,0 x 106 bentuk kehidupan yang lain. Padma Purana memberikan
pernyataan secara terperinci berkaitan dengan bentuk kehidupan yang berbeda sebagai berikut:
Ada 900 000 spesies hidup yang hidup di air; 2 000 000 spesies tumbuh-tumbuhan, 1 100 000
spesies kehidupan kecil, serangga, reptil; 1 000 000 spesies kehidupan burung; 3 000 000
spesies binatang buas; dan 400 000 spesies kehidupan manusia." Spesies yang dimaksud di atas

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 4


bukanlah spesies dalam arti biologis, namun menerut tingkat kesadarannya. Tingkat kesadaran
itulah yang menentukan badan-badan yang didapat kelak.
Oleh karena tinggkat kesadaran yang berbeda dimanifestasikan melalui badan material yang
berbeda-beda. Vedanta membagi tingkat kesadaran kedalam lima kategori utama yaitu:
acchadita (tertutup), sankucita (menguncup), mukulita (mulai berkembang), vikasita
(berkembang), dan purnavikasita (berkembang secara penuh). Spesies pepohonan, hampir tidak
tampak memiliki kesadaran, maka termasuk kategori 'kesadaran tertutup'. Kalau diamati secara
cermat, pepohonan juga memiliki kesadaran yang sangat terbatas. Makhluk hidup seperti
cacing, serangga dan lainnya memiliki 'kesadaran menguncup'. Mereka tidak tertutupi
sebagaimana tanaman, tapi kesadaran mereka tidak begitu berkembang. Manusia mempunyai
’kesadaran yang mulai berkembang’. Berawal dari perkembangan yang tampaknya kecil, tapi
mempunyai potensi untuk berkembang sebagai sekuntum bunga yang mekar. Jadi, manusia
mempunyai kemampuan bawaan untuk mengembangkan kesadarannya hampir tak terbatas,
sampai kepada tingkat ’berkembang penuh’. Vedanta menjelaskan bahwa bentuk kehidupan
manusia adalah bentuk tertinggi dan menuju kepada tingkat Brahman, Kebenaran Mutlak, yang
secara khusus hanya terdapat pada bentuk kehidupan manusia. Kesadaran terus berevolusi,
karena tujuan kehidupan manusia adalah untuk mencapai tingkat kesadaran tertinggi sac-cid-
ananda. Pada akhirnya, melalui kehidupan manusia akan mencapai perwujudan transendental
secara penuh, kesadaran Tuhan, suatu tingkat kesadaran ’berkembang secara penuh’. Bila pada
badan manusia dengan kesadaran penuh (purnavikasita). Bila pada tingkat kesadaran penuh ini
terjadi perpindahan sang roh, maka sang roh akan mencapai tujuan tertinggi, yaitu kembali
kepada tempat aslinya secara kekal. Tujuan dari pendekatan spiritual adalah untuk
meningkatkan kesadaran spiritual dari yang masih belum berkembang menjadi berkembang
secara penuh. Ciri-ciri kesadaran spiritual yang berkembang penuh antaranya adalah; selalu
berpikir tentang keagungan Sang Pencipta, menyadari jati dirinya sebagai sang roh, sebagai
pelayan )hamba) Tuhan dan melaksanakan pelayanan kepada Sang Pencipta.

Konsep Sakit dari Aspek Spiritual


Bentuk badan yang didapat kelak dalam proses reinkarnasi di bawah kendali hukum alam
(cosmic justice), kelahiran, usia tua, sakit dan akhirnya meninggal merupakan hukum alam,
siapapun tidak bisa menghindar dari hukum ini. Tentu ada Penguasa Agung yang Maha Adil
mengendalikan hukum-hukum alam tersebut, jadi ada desainer super canggih yang
merancangnya. Seseorang dengan berbagai penderitaan atau penyakit seperti ; cacat bawaan,
cacat fisik, gangguan fungsi organ dan penderitaan lainnya, semuanya telah ada yang
mengatur. Walaupun ilmu kedokteran telah demikian canggihnya, namun masih belum bisa
menerangkan causa prima dari keadaan patologis suatu penyakit. Belum ada penjelasan
mengapa terjadi mutasi pada DNA atau kromosom sehingga menimbulkan kelaian patologis.
Para ilmuwan merasakan adanya campur tangan kekuatan lain dalam proses tersebut. Para
ilmuwan menyebutNya dengan nama ’Intelligents Design’ atau ’Fine Tuning’, karena
Beliaulah yang mengatur segala yang ada di dunia material ini, Beliaulah yang menentukan
seseorang untuk mendapatkan badan-badan tertentu, Beliau yang mengendalikan hukum alam
yang disebut Dharma, Karma, dan Samsara. Badan-badan yang diperoleh sesuai dengan
karma-karma (perbuatan) masa lalu. Karena mengabaikan dharma (kaidah hidup) sehingga
selalu dalam samsara (mendapat badan baru berulang kali). Einstein mengatakan ’......Tuhan
tidak akan bermain dadu terhadap ciptaanNya......’ dan banyak ilmuwan penerima Nobel yang
menyatakan; ’....... pasti ada personal sangat pintar yang ikut campur tangan dalam proses
kehidupan ini ....’ Ia adalah Intelligent Design.
Dengan memahami konsep ini, maka mudah dimengerti hubungan antara spiriton,
reinkarnasi dan penderitaan/penyakit badan material. Walaupun kemajuan ilmu kedokteran
demikian pesatnya, penyakit yang dahulu tidak diketahui penyebabnya, kini telah ditemukan,

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 5


bahkan sampai pada tingkat kromosom. Terjadinya penyakit akibat adanya gangguan (mutasi)
pada kromosom sehingga seseorang mudah kena infeksi, kelainan bawaan, gangguan mental,
penyakit degeneratif, kanker, dan sebagainya. Muncul pertanyaan yang mendasar, siapakah
yang memutasi kromosom tersebut? Pertanyaan ini masih belum dapat dijawab dengan pasti
oleh para ilmuwan, hanya Tuhan Yang Maha Tahu, yang pasti dapat menjawabnya. Karena
pemahaman tentang perjalanan sang roh dan karma oleh para ilmuwan sangat terbatas.
Dalam Vedanta telah banyak diuraikan hubungan antara karma seseorang pada
kehidupan masa lalu dengan penyakit yang yang diderita saat ini. Sebagai contoh; bahwa
pembunuh brahmana (orang-orang saleh) akan memperoleh badan yang berpenyakit paru-paru,
mereka yang membunuh sapi akan mendapatkan badan yang punggungnya menonjol dan
pandir, mereka yang membunuh gadis akan menjadi lepra. Seseorang yang kuat, namun
digunakan untuk menyakiti orang lain, maka kelak akan mendapatkan badan yang lemah dan
epilepsi. Mereka yang selalu membenci dan menyakiti anak-anak, kelak akan mendapatkan
badan yang infertil. Orang yang hidup dengan kekerasan, merampok, suka berburu, pasti akan
menjadi domba dirumah pembantaian. Itu adalah sekelumit contoh, masih banyak contoh
lainnya. Pendekatan spiritual bertujuan untuk memahasi proses takdir, bahwa segala
penderitaan maupun kebahagiaan telah ada yang mengatur. Namun kita bisa mengubah takdir
tersebut dengan meningkatkan kesadaran spiritual.

SPIRITUALITAS DALAM PELAYANAN PALIATIF


Pada awalnya perawatan paliatif hanya bertujuan untuk pasien penyakit kanker. Namun
belakangan ini sedang dikembangkan layanan ini untuk penyakit-penyakit generatif lainnya.
Pasien penyakit terminal atau kanker, biasanya dirujuk ke layanan paliatif ini setelah tim
dokter primer menyatakan penyakitnya tidak bisa disembuhkan lagi. Jadi dalam hal ini
penyakitnya tidak dapat diterapi, tetapi pasiennya yang ditangani secara holistik.
Tujuan layanan ini bukan untuk menyembuhkan penyakit kanker yang sudah dinyatakan tidak
bisa disembuhkan lagi, tapi untuk meringankan penderitaan pasien, memberikan dukungan
psikologis dan dampingan spiritual. Meski sudah tidak bisa disembuhkan lagi, kualitas hidup
pasien kanker harus tetap terjaga. Perawatan ini melibatkan juga dokter ahli, psikolog, hingga
rohaniawan. Psikolog diperlukan untuk mengurangi kecemasan dan stres yang diderita pasien
akibat penyakitnya. Sedangkan rohaniawan diperlukan untuk membangun kesadaran spiritual
pasien, agar lebih memahami konsep hidup dan hubungannya dengan Sang Pencipta, sehingga
pasien dengan sepenuhnya dapat menyambut masa-masa berikutnya dengan tenang dengan
kesdaran spiritual yang lebih tinggi.
Pendampingan spiritual semestinya sudah mulai dilakukan sejak mulai pasien dinyatakan
penyakit terminal dan tidak bisa disembuhkan lagi dengan pengobatan modern, sampai yang
bersangkutan meninggal dunia sampai pasca kematian. Perawatan ini disebut perawatan
paliatif. Organisaasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan definisi sebagai berikut:
Palliative care is an approach that improves the quality of life of patients and their
families facing the problem associated with life-threatening illness, through the
prevention and relief of suffering by means of early identification and impeccable
assessment and treatment of pain and other problems, physical, psychosocial and
spiritual.
In 1990, the World Health Organization defined palliative care as: "the active total
care of patients whose disease is not responsive to curative treatment. Control of
pain, of other symptoms, and of psychological, social and spiritual problems is
paramount. The goal of palliative care is the achievement of the best possible
quality of life for patients and their families.
In 2000, the American Board of Hospice and Palliative Medicine said Palliative
Medicine is: "the medical discipline of the broad therapeutic model known as

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 6


palliative care. This discipline and model of care are devoted to achieve the best
possible quality of life of the patient and family throughout the course of a life-
threatening illness through the relief of suffering and the control of symptoms. Such
relief requires the comprehensive assessment and interdisciplinary team
management of the physical, psychological, social, and spiritual needs of patients
and their families. Palliative medicine helps the patient and family face the prospect
of death assured that comfort will be a priority, values and decisions will be
respected, spiritual and psychosocial needs will be addressed, practical support will
be available, and opportunities will exist for growth and resolution."

Pada dekade terakhir ini, di pusat-pusat pelayanan kesehatan di luar negeri telah menerapkan
pendekatan spiritual khususnya pada penyakit terminal seperti; kanker, HIV/AIDS, gagal
ginjal, diabetes, usia lanjut dan lainnya. Pendekatan spiritual berbeda dengan Complementary
and Alternative Medicine (CAM), karena pada CAM tujuan utama adalah penyembuhan atau
mengurangi penderitan terutama penderitaan fisik (physical pain) dan penderitaan psikologis
(psychogical pain) dengan berbagai metode sperti; terapi herbal, hipnoterapi, meditasi,
biofeedback, aroma terapi dan sebagainya. Pada pendekatan spiritual lebih menekankan
terhadap makna hidup yang lebih dalam secara filosofis, tentang kehidupan dan kehidupan
berikutnya serta peran aktivitas spiritual. Bimbingan spiritual bertujuan agar pasien dapat
diantarkan kepada pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan. Seorang pasien terminal,
selain mederita secara fisik, psikis (emosional) dan sosial juga menderita secara spiritual
(spiritual pain); ia mengeluh merasa berdosa, kehilangan hubungan dengan Tuhan, Tuhan tidak
adil, Tuhan kejam, hidup tidak berarti dan sebagainya. Perasaan-perasaan tersebut
menyebabkan seseorang menjadi stres dan depresi berat yang akan menurunkan kekebalan
tubuh dan akan memperberat penyakitnya. Banyak penelitian ilmiah membuktikan bahwa
pasien yang diberikan bimbingan spiritual, pasien merasakan lebih dekat dengan Tuhan,
tenang, tegar menghadapi penderitaan, pasrah menghadapi penyakitnya dan siap untuk
menghadapi apapun yang terjadi. Beberapa kasus, setelah mendapatkan bimbingan spiritual,
dan mulai melakukan praktik spiritual yang sesuai ajaran agama, maka mulai tampak
kemajuan, bahkan ada yang sembuh spontan (spiritual healing). Banyak laporan ilmiah yang
membuktikan pendekatan spiritual menyebabkan perubahan dalam sistem kekebalan tubuh
dengan berfungsi lebih baik.
Sloan RP (1999) melakukan penelitian terhadap pasien AIDS untuk mengetahui peran
bimbingan spiritual berpengaruh terhadap kekebalan tubuh pasien. Ternyata kelompok yang
mendapatkan bimbingan spiritual menunjukkan usianya lebih panjang, sel T nya lebih banyak
dan pasien tampak lebih tegar secara psikologis dari pada kelompok yang tidak mendapatkan
bimbingan spiritual. Studi epidemiologik yang dilakukan oleh Stack et al (1971), menunjukkan
bahwa mereka yang lebih religius (sering beribadah, berdoa dan berdzikir) resiko untuk
mengalami stres jauh lebih kecil daripada mereka yang kurang religius dalam kehidupan
sehari-harinya. Comstock, et.al.(1972) menyatakan bahwa mereka yang melakukan kegiatan
keagamaan secara teratur dengan berdoa dan dzikir, ternyata resiko kematian akibat penyakit
jantung koroner 50 % lebih rendah, sementara kematian akibat emphysema 56 % lebih rendah,
kematian akibat cirrhosis hepatis 74 % lebih rendah dan kematian akibat bunuh diri 53 % lebih
rendah dibandingkan dengan pasien yang kurang religious. Hal serupa dilakukan terhadap
kelompok usia lanjut oleh Harris dkk (1999) dengan hasil bahwa para lansia yang lebih
religius, banyak berdoa dan berdzikir ternyata usianya lebih panjang, angka kesakitannya lebih
kecil secara bermakna dibandingkan dengan dengan yang kurang religious. Levin dan
Vanderpool (1989) penelitian terhadap pasien kardiovaskuler, ternyata bahwa dengan rajin
melakukan kegiatan keagamaan dapat menurunkan risiko komplikasi yang lebih parah secara
meyakinkan dibandingkan yang kurang melakukan kegiatan keagamaan.

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 7


Abernethy (2000) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dengan pendekatan spiritual
dapat mengurangi stres dan depresi secara bermakna yang pada akhirnya adan memperbaiki
respon imun melalui pelepasan hormon stres dan neuropeptid dengan end product,
berfungsinya makrofag, natural killer cell, keseimbangan Th1/Th2 dan sebagainya. Penelitian
lainnya menunjukkan bahwa dengan aktivitas spiritual dapat meningkatkan kadar kortisol,
menurunkan kadar serotonin, norepinefrin dan kadar IL-6, semuanya itu merupakan parameter
respon imun.
Masih banyak sekali penelitian serupa yang dipublikasikan dalam journal kedokteran
sehingga dari fakta-fakta ilmiah tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara spiritualitas
atau aktivitas religious dengan sistem imunitas tubuh. Seseorang pasien dengan total pain
umumnya sangat cemas dan ketakutan akan menghadapi komplikasi yang terjadi akibat
penyakitnya bahkan sangat cemas dan depresi bila menghadapi hal yang paling tidak
diinginkan dalam hidup yaitu kematian.

ISU SPIRITUALITAS PADA PELAYANAN PALIATIF


Penyakit terminal merupakan momok paling menakutkan setiap pasien. Setelah diketahui
menderita penyakit terminal berbagai reaksi muncul, bahkan sampai keinginan bunuh diri.
Beberapa isue yang muncul berhubungan penyakit terminal dengan spiritualitas.
1. Menyampaikan Berita Buruk (Breaking Bad News)
Masalah pertama yang harus ditangani adalah menyampaikan berita buruk kepada pasien
dan keluarganya. Hal ini merupakan tantangan dan perlu keterampilan khusus bagi tenaga
kesehatan, apalagi pada pasien dengan tingkat kesadaran spiritual yang belum matang,
masih begitu terikat dengan duniawi seperti; tugas-tugas yang belum selesai, cita-cita
belum tercapai dan sebagainya. Tenaga kesehatan perlu dilatih untuk menggali tingkat
kesadaran spiritualnya kemudian baru melakukan intervensi. Ada banyak cara untuk
menilai tingkat spiritualitas seseorang yang pada dasarnya untuk menggali ada tidaknya
spiritual pain. Berbeda dengan pasien yang sejak awal dengan tingkat kesadaran spiritual
yang lebih matang, pasien sudah melaksanakan kegiatan keagamaan secara teratur, lebih
pasrah, dan pembimbing spiritual tinggal mendampingi lebih teratur. Beberapa reaksi
psikologis pasien setelah mengertahui dirinya mengidap penyakit terminat seperti yang
diungkapkan oleh Elizabeth KublerRoss (2000) bahwa ada 5 tahap respon pasien; 1. tahap
menolak (denial). 2. tahap amarah (anger), dengan perilaku agresif bahkan sering
destruktif, tahap ini sering terjadi disintegrasi spiritual. 3. tahap tawar-menawar
(bargaining), dengan perilaku yang sangat labil, 4. tahap depresi, dengan perilaku yang
pasif menarik diri bahkan acapkali dengan penelantaran diri, dan 5. tahap pasrah
(acceptance). dengan perilaku yang positif dibanding dengan tahap sebelumnya. Dalam
melakukan intervensi spiritual hendaknya melihat tahapan tersebut.

2. Harapan Kesembuhan
Kesembuhan adalah harapan semua pasien. Semua pasien menginginkan kesembuhan
dengan jalan apapun dan berapapun biaya yang harus dikeluarkan, pasien dengan
kesadaran spiritualnya yang belum memadai hanya menuntut kesembuhan. Ia sama sekali
belum memahami kehidupan secara menyeluruh, sehingga sukar melakukan intervensi
spiritual, pasien akan lebih senang bila tenaga kesehatan memberi informasi tentang
pengobatan alternatif (CAM) dan pasien lebih tertarik akan hal ini. Bimbingan spiritual
bertujuan untuk mencapai sembuh secara spiritual.

3. Penderitaan Spiritual (Spiritual Pain)

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 8


Masalah ke tiga adalah kesiapan menghadapi penderitaan berikutnya. Setelah berbagai cara
dilakukan untuk memperoleh kesembuhan pasien mulai pasrah, spiritual pain mulai lebih
menonjol. Pasien mulai merasakan berdosa, merasakan Tuhan tidak adil, Tuhan kejam,
penyesalan, arti hidup, dan lainnya. Disinilah pendekatan spiritual lebih mudah dilakukan.
4. Masalah Kematian (Good Death)
Masalah ke empat pada fase end of life (akhir hidup dan kematian) merupakan fase yang
sangat sulit, karena pada fase ini penderitaan pasien sangat berat sehingga sangat sulit
berkomunikasi dengan paisen secara fisik, namun tradisi keagamaan manapun masih ada
usaha untuk mengantarkan sang pasien dalam proses kematiannya. Dalam tradisi agama-
agama apapun, pasien menjelang kematian akan selalu dibacakan ayat-ayat suci disamping
pasien yang tidak sadarkan diri, karena menurut Vedanta yang mendengarkan adalah sang
roh yang masih ada dalam badan. Walaupun secara fisik telinga pasien tidak
mendengarkan, tetapi sang roh tidak pernah mati, akan mendengarkan ayat-ayat suci yang
diperdengarkan tersebut yang akan mengantarkan sang roh meninggalkan badan. Peran
keluarga sangat penting dalam hal ini. Sejarah peradaban Vaisnava banyak contoh tentang
proses kematian. Rsi Bisma, Maharaja Parikesit, Rsi Ajamila, Jada Bharata dan para rsi
agung lainnya, meninggalkan badan dalam keadaan kesadaran spiritual matang
sepenuhnya.
Ilmu pengetahuan modern memandang kematian hanyalah proses biologis belaka yaitu
berhentinya denyut jantung, berhentinya nafas dan akhirnya diikuti oleh kematian sel
secara menyeluruh serta organ-organ (mesin-mesin material) sudah tidak berfungsi dengan
baik. Namun secara filosofis kematian adalah proses spiritual, sang roh akan meninggalkan
badan untuk memperoleh badan yang lainnya. Badan apakah yang akan didapatkan kelak?
Bhagavadgita mengatakan pikiran, kesadaran saat ini akan menentukan badan yang sesuai
kelak. Isu tentang kematian adalah bagiamana meningal yang baik (good death, peaceful
dying, death with dignity, welldying). Menurut Smith R (2000) kematian yang baik
meliputi; 1. bebas dari rasa sakit fisik, 2. mengetahui akan datangnya kematian, 3. dapat
memilih dimana kematian itu terjadi (di rumah atau di tempat lainnya), 4. dukungan
psikologis dan kehadiran dari keluarga atau kerabatnya, 5. dapat menyampaikan pesan-
pesan penting untuk orang yang ditinggalkan, 6. dapat mengatakan selamat tinggal kepada
yang ditinggalkannya, dan 7. dukungan spiritual. Untuk dukungan spiritual, setiap tradisi
agama telah memiliki cara tersendiri, secara umum saat menjelang sang roh meninggalkan
badan pembimbing spiritual atau tenaga medis yang terlatih bersama keluarga dapat
membacakan ayat-ayat suci yang penting dan mengagungkan nama suci Tuhan.
5. Masalah Pasca Kematian
Masalah ke lima adalah pasca kematian, hal ini sejak awal perlu dibicarakan dengan pasien
dan keluarga. Beberapa di antaranya adalah surat wasiat, tempat dan cara pemakaman.
Kadang sangat sulit berbicara tentang kematian, namun bagi pasien dengan kesadaran
spiritual matang dengan mudah mendiskusikan masalah ini.

PERINSIP PENDEKATAN SPIRITUAL


Dengan lebih memahami landasan filosofis tersebut, maka tujuan utama bimbingan spiritual
bukanlah kesembuhan dari penyakit, tetapi lebih memahami akan arti hidup ini, bahwa segala
sesuatu ada di tangan Sang Pencipta, sehingga selama sisa hidup ini kita pergunakan dengan
meningkatkan srdha-bhakti atau meningkatkan kesadaran spiritual, meningkatkan keyakinanan
dan meningkatkan pelayanan kepada Sang Pencipta. Dengan bimbingan spiritual seseorang
akan berangsur-angsur meningkatkan kesadaran spiritualnya. Bimbingan spiritual membantu
pasien agar memahami konsep hidup yang sesungguhnya berdasarkan ajaran agamanya yang
dianut. Pembimbing spiritual dalap dilakukan oleh rohaniawan atau tenaga kesahatan yang
telah mendapatkan latihan. Sarat sebagai pembimbing atau konselor spiritual yang penting

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 9


adalah keinginan untuk menolong secara tulus, menaruh empati kepada semua pasien, terampil
dalam berkomunikasi interpersonal dan menguasai sedikit filsafat sang roh dan Sang
Penciptanya seperti yang telah diuraikan di atas. Tugas pembimbing spiritual membantu pasien
untuk mencapai tingkat kesadaran spiritual yang lebih matang, lebih menekankan pada
peningkatan pemahaman tentang sang diri (roh), hubungan sang roh dengan Penciptanya,
bahwa mahluk hidup adalah pelayan/hamba kekal dari Tuhan (nitya sidha krsna prema), serta
kewajiban sang roh sebagai pelayan kekal. Hasil akhir dari pendekatan spiritual adalah
terjadinya perubahan perilaku. Perilaku spiritual yang diharapkan sesuai dengan anjuran kitab
suci. Setelah meningkatkan keyakinan (sradha) pasien bersedia memulai melaksanakan bhakti
(aktivitas spiritual) atau bhakti yoga. Bhakti yoga berarti menjalin kembali hubungan dengan
Tuhan dengan penuh cinta rohani. Pembimbing spiritual (konselor) mampu menuntun dalam;
membaca ayat-ayat suci, menceritakan kisah para nabi/rasul/para sadhu, menceritakan lila
(kegiatan) rohani Personalitas Tuhan, mengucapkan keagungan nama-nama suci Tuhan
(dengan berjaba, dzikir), menyanyikan nama-nama suci Tuhan dan sebagainya. Sri Krishna,
dalam Bhagavadgita menyatakan; ”.........bila seseorang dengan khusuk menyembahKu,
berbakti sepenuhnya, selalu ingat kepadaKu, selalu berpikir tentangKu, maka ia akan Aku
lindungi, karena Aku yang memberi benih kepada semua mahluk hidup, Aku yang
mengendalikan segala dunia material dan dunia rohani. Segalanya bersandar kepadaKu, hanya
dengan jalan bhakti Aku dapat di dekati. Bila saat meninggalkan badan ia ingat kepadaKu,
maka akan Aku bebaskan dari reinkarnasi dan kembali ke planetKu yang kekal dan penuh
kebahagiaan” Itulah tujuan hidup yang sebenarnya yaitu bebas dari lingkaran kelahiran dan
kematian dan kembali menempati planet yang sejati di dunia rohani (Goloka Vrindavan).
Kitab-kitab suci lainpun mempunyai makna yang sama dengan konsep diatas. Total care atau
perawatan secara holistik merupakan kebutuhan semua pasien, bukan saja medical care,
psychological care, social care, tetapi juga spiritual care. Bimbingan spiritual membantu agar
pasien dapat melaksanakan aktivitas spiritual dari yang paling sederhana yaitu dengan dzikir
atau berjapa dengan mengucapkan nama suci Tuhan.

Daftar Pustaka
1. Damodara, BS. 2003. Life and Spiritual Evolution. The Bhaktivedanta Institute.
2. Prabhupada, ACBS. Bhagavad-gita as it is. Bhaktivedanta Book Trust.
3. Stevenson I. 1997. Where Reincarnation and Biology Intersect. Praeger Publisher. London
4. Moody RA. 1975. Life After Life. Mockingbird Book, Georgia.
5. Webster R. 2001. Past-life Memories: Twelve Proven Methods. Llewellyn Publications. St. Paul, Minnesota.
6. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. 1995. Life Comes From Life. Bhaktivedanta Book Trust. Mumbai, India.
7. Abernethy, A.D. Psychoneuroimmunology/Psychoneuroendocrinology. Spirituality & Medicine Connection,
Vol. 4, Issue 1, Spring 2000, National Institute for Healthcare Research (NIHR).
8. Levin, Vanderpool : "Religious Commitment Reduce Cardiovascular Disease". American Medical News,
1989.
9. Matthews : "Religious Commitment and health Status". American Medical News, March 4, 1996.
10. Sloan RP et al. Should Physicians Prescribe Religious Activities ?. The NEJM;342/25:1913-1916.
11. Christy, J.H. : "Prayer as Medicine". Forbes, March 23, 1998, 136-137.
12. Comstock, P. Prayer and Remembrance of God Reduce Mortality Rate. Journal of Chronic Diseases, 1972.
13. Sumalsy DP. 2002. A Biopsychosocial-Spiritual Model for the Care of Patients at the End of Life. The
Gerontologist 42 : 24-33.
14. Hari Dhama Dasa. Spiritual Need, Pain and Care : Recognition and Response in ISKCON :
www.iskcon.com/icj/6_2/62haridhama.htm
15. Smith R. 2000. A Good Death: An important aim for health services and for us alleditor, BMJBMJ
2000;320:129–30

Spiritualitas dlm Paliatif/9/24/2008 10

You might also like