You are on page 1of 4

SKETSA

Jumat, 26 September 2008


Kufur Nikmat Berbuah Pelancong Kalong

PUKUL 04.00 di Hotel Pusako, Bukittinggi, 16 September 2008. Dua puluhan orang
turis bule asal Belanda di restoran hotel tampak seakan makan sahur. Dari tamu
melayu yang sahur, hanya saya seorang diri. Pertanyaan membuncah di benak, apa
semua turis itu berpuasa?

Adegan yang sama, terulang kembali pada 23 September 2008, seusai menjadi
fasilitator Literary Journalism Wokrshop, bagi media alternatif; kampus, online,
blogger se-Sumatera. Saya amati di pukul 04.00 itu, kian banyak saja bule yang
sahur, lebih dari tiga puluh orang, semua asal Belanda. Lagi-lagi menimbulkan
tanya, apakah mereka berpuasa?

Setelah memverifikasi ke receptionist hotel, juga bertanya kepada tour guide,


“Rombongan turis itu, seusai sarapan pagi langsung berangkat naik bis kembali
menuju Medan.”

Padahal dari dua pertemuan itu, mereka saya amati umumnya chec-in ke hotel sudah
di atas pukul 19.00. Sekitar pukul 19.30 mereka makan malam. Lantas sesubuh
mungkin mereka sudah meninggalkan hotel, mengejar perjalanan berbis AC, melihat
panorama di Embun Pagi, Kelok 44, lalu menyusuri jalan darat balik ke Medan,
Sumatera Utara. “Dari Medan mereka terbang,” kata reception hotel.

Itu artinya; mereka hanya semalam saja di Bukittinggi, tidak menyinggahi kota
Padang, ibukota Sumatera Barat (Sumbar). Di tengah tingkat hunian hotel yang tak
sampai 30%, jangka waktu tinggal hanya hitungan jam, tiada lain kalimat yang dapat
dilontarkan: Malang benar nasib pariwisata Sumbar!

Sesungguhnya apa yang kurang di Bukittinggi; cuaca yang sejuk - - bahkan kamar
hotel tak merasa perlu berpendingin - - panorama gungung Merapi, Singgalang,
jejeran hijau kawasan bukit di sekitar Bukit Barisan, ada Ngarai Sianok, Goa
Jepang yang bersejarah, selain Jam Gadang monumental, Danau Maninjau, Danau Di
atas dan Danau Di bawah.

Urusan kuliner jangan ditanya; mulai yang serba pedas hingga serba manis,
kebudayaan juga sama. Apa yang tak ada; mulai tarian; dari rampak hingga tari
piring yang pakai injak-injak beling. Dari perkusi, tambur hingga indang dan
randai. Kerajinan apalagi, sebut saja bordir dan sulaman hingga tenunan Pandai
Sikek yang mendunia.

Lantas apa yang kurang?

Bila secara ekstrim saya menyebut bahwa orang Sumbar, khususnya Bukittinggi, kufur
nikmat akan kelengkapannya sebagai tujuan wisata yang tidak dioptimalkan, rasanya
menjadi tidak berlebihan. Bahkan sejarah kebudayaan, masyarakat yang matrilineal,
yang konon cuma ada dua di dunia, tidak menjadi sebuah asset yang dapat
dipertunjukkan kepada pelancong, yang sejarah dan dokumentasinya bisa diparadekan
di rumah adat yang bagonjong.

Lalu di mana salahnya?

Untuk belajar tentang bagaimana menjadi tuan rumah kota tujuan wisata yang kreatif
dan inovatif, tentulah tidak perlu orang menggunakan paspor, tidak perlu
anjangsana mara ke manca negara. Toh Bali, yang menjadi tujuan wisatawan global,
dapat menjadi dicontoh segalanya.
Jika saja kerendah-hatian orang Sumbar ada, lihatlah mulai dari yang remah di
Bali. Begitu Anda masuk ke lobby hotel, hampir di semua hotel bintang empat
apalagi bintang lima, ada selalu gamelan Rindik, biasanya dimainkan oleh tiga
orang - - salah satu memainkan seruling - - suaranya khas Bali.

Sang pemain gamelan Rindik, mau diperhatikan tamu, ada tepuk tangan dan atau
tidak, mau dilirik atau dicuekkan, mereka cin-cai saja memainkan musik, mengalun
terus-terusan. Sehingga setiap tamu yang datang, saya pastikan kuping dan hatinya
merasa di Bali, selain nuansa arsitektur mengentalkan suasana Bali.

Hotel di Sumbar, terkadang sebaliknya melupakan identitas Rumah Gadang-nya - -


arsitektur bernilai yang menjadi ciri khasnya - - tidak terlalu menjadi sendi
perhatian bangunan. Dengan menjiplak ide memainkan kesenian gamelan Rindik di
Bali, di lobby hotel, di Sumbar bisa dimainkan Saluang dan Rebab, juga Talempong
(gamelan), sehingga tamu yang datang berkuping beratmosfir mengental berada di
Ranah Minang.

Selanjutnya setelah usai makan malam, blas-abis, tak ada sebuah pertunjukan
kesenian di Bukittinggi kini. Sehingga begitu jam makan malam usai, seakan tiada
lagi kehidupan, kota manjadi mati.

Randai sebagai sebuah pertunjukan teater rakyat, padahal bisa disuguhkan selain
aneka tarian dari gadis Minang. Kenyataan kini, hal-hal proaktif itu sudah seakan
mencari ketiak ular adanya.

Ketika dalam kesempatan berpapasan dengan petugas hotel, saya menanyakan mengapa
di setiap malam tidak diadakan pertunjukan kesenian? Alasannya, menimbulkan biaya
tambahan. Kian sadar saya, bahwa hal ini agaknya dilatari karakter orang Minang -
- di mana saya dilahirkan - - yang hidup dengan sangat berhitung, karena
kebanyakan bermental dagang; ada hitungan untung rugi.

Padahal bila hitung-hitungan dilakukan, investasi menghidupkan atmosfir turisme,


menghidupkan suasana kota mati menjadi dinamis dan nyalang, saya pastikan akan
mendatangkan peningkatan turis datang. Keadaan secara otomatis mengugah selera
turis menambah hari kunjungan, bukan macam hari ini sebatas meng-kalong.

Jika saja aneka suasana, ragam budaya yang secara proaktif dan terus-menerus
dilakukan; termasuk menyediakan sentra-sentra kerajinan yang dapat dilihat,
didatangi, ada manca-ragam event.

Bukittinggi pun menyimpan kawasan untuk Arung Jeram macam di Sungai Ayung yang
melintasi Ubud, Bali. Bahkan ada titik untuk terbang ber-paragliding. Bila di
Timbis, Jimbaran, Bali, pemain paralayang landing dan take off di titik yang sama,
karena langsung terbang di atas tebing, di bawah panorama laut, di Bukittingi
terbang di ketinggian bukit, dengan pemandangan gunung dan bukit mengeliling di
seputaran puncak hijaunya Sumatera; mengingatkan kepada lagu khas Minang, yang
liriknya: Takana jo kampuang … gunuang sansai bakuliliang, nyata adanya.

Susah melanjutkan kata, mengapa perihal narasi saya di atas seakan jauh panggang
dari api kini? Tiada lain ujung-ujungnya memang berpulang kepada manusia, bukan
kepada alam terkembang yang dibiarkan terhampar, seakan disia-siakan. Kunci
menghidupnya, agar terhindar dari laku kufur nikmat, adalah keasadaran manusia,
kesadaran warga Sumbar untuk memberikan pelayanan, menyuguhkan sesuatu kepada tamu
- - padahal dalam budaya Minang, konon mereka sangat menghormati dan menghargai
tamu - - sehingga mereka memiliki kesan tersendiri.
URUSAN pariwisata, semua pihak paham, menghidupkan ekonomi. Tetapi kepahaman itu
tidak dimulai dari ranah perilaku manusia dan sikap melayani, sebagai motor
penggerak. Coba saja Anda mendarat di Bandara Internasional Minangkabau (BIM),
begitu ke luar urusan pertama akan menyaksikan taksi yang lusuh.

Jika Anda tak ingin menggunakan taksi lusuh, ada taksi carteran “liar”, berupa
Avanza atau Xenia. Untuk ke Bukittinggi, rate-nya Rp 240 ribu, diantar ke alamat.
Pengalaman saya, supirnya cukup ramah. Mobil juga wangi. Diperjalanan sang supir
menawarkan diri untuk menjemput kembali tiga hari kemudian dari Bukitinggi balik
ke bandara. Ia mengatakan tarif Rp 375 ribu, dengan berikut perjalanan ke Padang,
balik ke Bandara.

Di hari H, saya menghubungi, sang supir mengatakan, harga Rp 375 ribu, tidak
termasuk bensin. Untuk bensin harus menambah lagi Rp 150 ribu. Itu artinya Rp 525
ribu, sudah berubah angkanya. Saya tuliskan hal ini, bukan perkara mahal dan
murahnya, tetapi urusan komitmen yang berubah. Bila hal ini dirasakan oleh seorang
turis asing, kejengkelan ini dipastikan menjadi buah bibir, menjadi pengalaman
mencarter mobil di Sumbar.

Belum lagi ihwal kultur berbusana. Bila turis asing datang bercelana pendek,
berkaus lengan pendek, berbelahan dada rendah, sebagian masyarakat mengkritisi,
seakan daerahnya kemasukan najis. Bagaimana bila demikian keadaannya turis menjadi
betah? Jika mereka berjalan di tengah kota seakan menjadi pesakitan.

Kekritisan dalam busana ini, kian menjadi sangat lucu. Di Jakarta di berbagai
milis di internet kini hangat membahas ihwal RUU Pornografi, yang dalam lema saya;
RUU Urusan Cingkunek - - perintil kecil. Masih banyak hal yang penting dan
mendesak untuk di-ruu-kan, menuntut keputusan, belum mendapatkan perhatian. Bali
dan Sulut menolak habis ihwal RUU Pornografi itu. Saya tak paham apakah Sumbar,
daerah kelahiran saya itu, menolak atau menerima?

Saya baru saja mendapatkan email dari seorang kawan di Arab Saudi. Dia bilang bila
membawa isteri atau anak gadis naik taksi di sana, kita lelaki harus naik duluan,
bila tidak isteri atau anak gadis kita bisa dibawa kabur lalu diperkosa.
Sebaliknya bila turun taksi. Di negeri Arab itu sosok wanita berbusana tertutup
hingga muka, hanya terlihat mata. Saya tak paham apakah pria Arab dengan melihat
jemari perempuan saja sudah menaik libidonya? Apalagi melihat pantat dan betis
dari belakang.

Tetapi secara logika sederhana saja, jika saban hari sebuah lingkungan terbiasa
dengan melihat aurat wanita hingga rok selutut, betis-betis yang menganga bukan
lagi suatu yang memancing gairah.

Karenanya saya kini bertanya, batas mana yang disebut aurat? Dan agamis tidaknya
seseorang, agaknya, bukan pula ditentukan oleh busana yang melekat di dirinya.
Mungkin yang perlu diperhatikan adalah batas-batas kesopanan. Karenanya bila
seorang turis perempuan berjalan-jalan dengan celana pendek ber-tshirt belahan
dada panjang di dekat Jam Gadang, Bukittinggi, mengapa pulalah menjadi persoalan?
Toh mereka itu tamu.

Menjadi terjawab sudah: menjadi tuan rumah yang baik saja orang Sumbar belum bisa,
bagaimana pula alam terkembang yang indah dengan budaya yang hebat itu bisa
menumpah-ruahkan beragam multi bangsa beranjangsana ke sana.

Di lain sisi, cafe-cafe atau restoran macam di Bandung dan Bali, kini di
Bukittingi juga tak ada. View yang indah di malam hari itu, sulit dinikmati sambil
menenggak Cuppucino, atau sekedar mengemil kentang goreng, pisang goreng, kini
seakan redup tidak mentereng.

Sebaliknya di Jakarta, saya amati pembeli apartemen, town house mewah, banyak
dilakukan oleh dokter berdarah Minang yang mukim di Menteng, Jakarta Pusat.
Investasi mereka berupa properti di Bali dan Jakarta. Mbok ya sekali-kali mereka
yang tajir yang orang Minang itu berpikir membangun restoran dan café yang macam
di Bandung atau Bali di Bukittinggi? Mereka sebenarnya juga bisa pulang
berinvestasi restoran dan properti di Sumbar.

Narasi di atas belum tentu diterima oleh masyarakat Sumbar, terlebih Pemda-nya.
Lebih baik saya mengingat nyanyian saluang nan merebab, “Hai rang rantau pulanglah
Minang Maiiimbau.” (Hai orang rantau, pulanglah Minang memanggil). Siapa tahu rang
rantau bisa berbuat, agar Sumbar terhindar dari kufur nikmat akan keindahan alam
dan mencaragam budaya yang mampu membuat warganya kaya. ***

by : Iwan Piliang - www.presstalk.info

You might also like