You are on page 1of 7

Deliar Noer

Maya Lestari Gf, Edit Azmi


Deliar Noer adalah orang Indonesia pertama yang meraih gelar doktor dalam bidang ilmu politik. Sebagai ilmuwan politik, banyak karya yang berkaitan dengan ilmu tersebut telah ia lahirkan. Hampir setiap karyanya menjadi bacaan penting atau malahan bacaan wajib bagi peminat ilmu itu. Memang setiap karyanya adalah hasil penelitian yang menghabiskan waktu yang cukup lama, didukung data-data yang lengkap dan menggunakan metodologi yang tepat dan canggih serta diperkuat dengan analisis yang komprehensif untuk sampai menjadi sebuah karya ilmiah dalam bidang ilmu politik. Tak pelak, dengan kehadiran karya-karyanya, Deliar Noer memiliki tempat terhormat dalam komunitas ilmu politik di Indonesia sampai hari ini. Deliar Noer lahir di Medan pada 9 Februari 1926. Sewaktu lahir, Deliar Noer sebenarnya diberi nama oleh orangtuanya Muhammad Zubeir, nama yang sesungguhnya lebih ia sukai. Namun karena pada masa kecilnya sering sakit-sakitan, nama Muhammad Zubeir dianggap terlalu berat untuknya, sehingga menurut kepercayaan yang berlaku pada masa itu, namanya harus diganti. Kedua orangtua Deliar sebenarnya adalah orang Minang yang berasal dari nagari Parak Laweh, Tilatang Kamang Agam. Ayah Deliar bernama Noer Joesoe yang bekerja di kantor pegadaian. Deliar menjalani pendidikan dasarnya pada HIS Taman Siswa dan kemudian pindah ke HIS di Tebing Tinggi. Deliar melanjutkan studinya ke MULO di Medan dan pada masa Jepang Deliar melanjutkan sekolah menengahnya pertamanya di Medan. Untuk meneruskan ke sekolah menengah lanjutan, ia memilih merantau ke Jakarta. Di Jakarta, setelah menamatkan SMA, Deliar masuk ke Universitas Nasional dan mengambil Fakultas Ekonomi dan Politik, saat itu ekonomi dan

politik masih digabung dalam fakultas yang sama. Di Jakarta, Deliar tidak hanya sekedar belajar di bangku sekolah dan universitas, tapi ia juga bekerja. Pekerjaan sebagai wartawan lah yang digeluti Deliar. Memang dunia tulis menulis atau kewartawanan sudah ia sukai sejak ia masih di SMA yang mana ia dan kawan-kawan aktif menerbitkan majalah sekolah. Tak hanya bekerja sebagai wartawan di media cetak, Deliar juga pernah bekerja di RRI. Berbagai media pernah menjadi wadah bagi Deliar untuk mewujudkan kemampuan menulisnya. Ia pernah menjadi wartawan koran Berita Indonesia, majalah bulanan Nusantara. Pada masa revolusi, Deliar juga pernah bekerja di Departemen Penerangan yang saat itu mentrinya adalah Muhammad Natsir. Sebelumnya Deliar juga pernah merantau ke Singapura dan berbagai pekerjaan pernah ia kerjakan di negara kota itu, namun, yang memudahkan ia dalam mendapatkan pekerjaan adalah karena ketrampilannya dalam bidang administrasi dan tulis menulis. Kemampuan Deliar dalam bidang tulis menulis dan penguasaannya akan ilmu politik berkembang dengan baik saat ia kuliah di Universitas Nasional. Semasa kuliah ini Deliar diajak oleh Adinegoroseorang wartawan senior dan juga dosennya di Unas untuk bekerja di kantor berita PIA. Karena kemampuannya yang lumayan baik dalam bahasa Inggris, setelah dilatih, Deliar diminta mengepalai buletin dalam bahasa Inggris. Pada masa itu pula Deliar berkenalan dengan Profesor George McT. Kahin dari Cornell University Amerika Serikat. Deliar diajak mengikuti riset tentang gerakan Islam di Indonesia, hal yang makin menguatkan minat Deliar untuk memperdalam pengetahuan. Perkenalanan dengan George McT. Kahin ini adalah permulaan bagi Deliar untuk merambah jalan baru kehidupan. Karirnya di bidang akademis bagaikan bermula dari sini.

Aktivitas di organisasi sudah dimulai Deliar dengan menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam pada tahun 1950, pada tahun itu juga ia ditunjuk menjadi Ketua HMI Cabang Jakarta. Bersama kawan-kawannya Deliar menerbitkan buletin dengan nama Lembaran HMI, buletin ini menjadi media untuk berhubungan bagi sesama anggota HMI dan juga dapat menjadi wadah bagi anggota yang berbakat untuk menulis. Aktivitas di HMI juga memungkinkan Deliar untuk berinteraksi dengan banyak tokoh nasional seperti Buya Hamka, Muhammad Natsir, Muhammad Roem dan banyak lagi tokoh lainnya. Pada kongres HMI se-Indonesia di Jakarta pada tahun 1953, Deliar terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Pada saat itu pula lah kiprah Deliar sebagai aktivis puncak di organisasi yang berskala nasional dimulai. Perkenalan dengan George McT. Kahin dalam sebuah proyek penelitian dengan Cornell University tentang gerakan Islam di Indonesia pada abad 20 menjadikan hubungan Deliar dengan Kahin semakin baik. Deliar ditawarkan untuk meneruskan kuliah di Cornell University, untuk itu Deliar harus menyelesaikan sarjana mudanya dulu di Unas. Pada tahun 1958 Deliar berangkat ke Amerika Serikat. Pada tahun 1960 ia menyelesaikan kuliah pada tingkat master dan pada tahun 1963 memperoleh gelar doktor dengan disertasi The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Kedua gelar ilmu politik ini diraihnya dari Cornell University. Kelak, disertasi Deliar ini diterbitkan dalam bentuk buku berbahasa Indonesia dengan judul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Dari bukunya ini terlihat, baginya, Islam itu modern, karena berlaku untuk semua zaman dan semua tempat. Oleh sebab itu, Islam mengandung modernisme. Ini berarti, gerakan modern Islam berpijak pada ajaranajaran pokok Islam itu sendiri. Pemahaman ini agak berbeda dengan banyak penulis lain

terutama yang berasal dari Barat yang selalu menempatkan modernisme terkait dengan Barat. Buku yang diterbitkan LP3ES ini kemudian menjadi bacaan wajib bagi para ilmuwan, pengamat, peneliti, mahasiswa dan para peminat ilmu politik di Indonesia, yang hendak mempelajari tentang sejarah perkembangan gerakan modern Islam di Indonesia, yang tentu saja mempelajari sejarah politik Islam di Indonesia pada abad 20. Buku yang telah menjadi klasik ini adalah karya yang secara cermat menggambarkan pergerakan politik di Indonesia sejak awal abad 20 sampai masuknya Jepang. Dengan dukungan data yang lengkap dan detail, buku ini menjadi sangat memuaskan bagi pembaca yang ingin tahu tentang topik itu. Buku ini juga menunjukkan reputasi Deliar sebagai ilmuwan politik handal, di samping bukunya yang lain seperti Pemikiran Politik di Negeri Barat, Partai Islam di Pentas Nasional, Mohammad Hatta: Biografi Politik dan banyak lagi karyanya yang lain. Sepulang dari Amerika Serikat, yakni dari tahun 1963-1965 Deliar mengajar di Universitas Sumatera Utara Medan untuk mata kuliah ilmu negara yang saat itu sangat populer. Pada tahun-tahun mengajar di Medan ini, Deliar menyaksikan pertarungan politik yang sangat kuat antara pendukung ideologi nasakomnya Soekarno dengan yang tak setuju dengan dengan nasakom. Perseteruan ideologi dan politik ini berimbas pada kalangan muda terutama mahasiswa. Deliar yang kebetulan juga pernah menjadi Ketua Umum PB HMI merasakan sekali pertarungan itu dan ia sendiri juga terseret ke dalam gejolak politik itu. Deliar sendiri memang tak setuju dengan nasakom karena baginya nasionalisme, agama, dan komunisme adalah hal-hal mustahil bisa disatukan. Kenyataan ini menempatkan Deliar memiliki banyak musuh dari kalangan yang pro nasakom. Ia

dianggap anti revolusi. Pihak-pihak yang memusuhinya ini menyerangnya dengan segala macam cara termasuk lewat pemberitaan di media massa. Pihak yang memusuhi ini menuntut Deliar untuk berhenti mengajar. Sejak itu Deliar merasa bahwa Medan bukanlah tempat yang tepat lagi baginya untuk tinggal. Pada tahun 1965 itu juga Deliar pindah lagi ke Jakarta. Berkat komunikasi dengan beberapa orang koleganya, ia kemudian ditempatkan untuk bekerja sebagai peneliti di Departemen Urusan Riset Nasional (Durenas). Pada saat-saat itu keadaan politik nasional makin genting sampai akhirnya Soekarno jatuh dari kekusaan dan digantikan oleh Soeharto. Sejak tahun 1965 itu Deliar sering berhubungan dengan Bung Hatta, suatu hal yang juga banyak dilakukan kalangan muda terutama dari kalangan Islam. Pada tahun 1967, bersama Hatta, para aktivis dan mantan aktivis HMI, dan juga bersama sebagian tokoh Masyumi, Deliar ikut mendirikan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia). Semua yang terkait dengan keperluan partai itu sudah disiapkan termasuk menempatkan Hatta sebagai ketua. Namun Soeharto tak mengizinkan berdirinya partai itu. Belakangan ternayata, Soeharto juga tak mengizinkan kembali berdirinya Masyumi. Sejak Februari 1967, mentri pendidikan mengangkat Deliar menjadi Rektor IKIP Jakarta. Amat sulit baginya memimpin perguruan tinggi ini karena ia sama sekali tak pernah kuliah di sini. Namun dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia bisa juga menjalankan tugas dengan baik. Banyak terobosan berarti yang telah lakukan seperti pembenahan administrasi, perbaikan kurikulum dan mendorong mahasiswa untuk lebih aktif dalam banyak kegiatan kampus. Setelah tujuh tahun menjabat sebagai rektor, pada tahun 1974, di Jakarta terjadi Peristiwa Malaridemonstrasi dan aksi protes yang dilakukan mahasiswa terutama di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Karena

peristiwa itu banyak aktivis mahasiswa yang ditangkap dan dipenjarakan, mereka dituding telah melakukan kekacauan. Karena tidak menerima perlakuan pemerintah terhadap mahasiswa itu, Deliar menuliskan pembelaannya di berbagai media. Ditambah lagi dengan pidatonya dalam dies natalis IKIP pada Mei 1974, pemerintah mencurigai bahwa Deliar sepertinya ikut menggerakkan aksi mahasiswa. Peristiwa Malari menjadi awal bagi rezim Orba bertindak represif terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan rezim. Pada September 1974 Deliar diberhentikan sebagai Rektor IKIP Jakarta. Melalui surat dari Mentri P dan K waktu itu, Deliar bukan hanya diberhentikan sebagai rektor, ia juga dilarang mengajar di IKIP dan di seluruh universitas yang ada di Indonesia baik swasta maupun negeri. Ini adalah kematian perdata bagi Deliar. Ingin ia menuntut ke pengadilan mentri bersangkutan, namun atas nasehat Natsir, Hatta dan Roem, Deliar mengurungkan niatnya itu. Sejak itu, karena telah mengalami kematian perdata di dalam negeri, dengan terpaksa Deliar pergi ke luar negeri. Hampir 10 tahun ia dan keluarga tinggal di Australia dengan pekerjaan mengajar di berbagai universitas di negeri kangguru itu. Di samping mengajar, Deliar aktif di berbagai kegiatan keislaman dan aktivitas keilmuan berskala internasional. Aktivitasnya itu membawa Deliar berkunjung ke berbagai negara di dunia baik Amerikat Serikat, negara-negara di Eropa, Asia dan juga ke negara-negara di Timur Tengah. Sejak 1987, Deliar resmi mengundurkan diri mengajar dari Grifith University Australia. Mulailah kembali ia menjalani hidup di Jakarta dengan aktivitas meneliti dan kembali mengajar di berbagai perguruan tinggi. Pada periode-periode di Jakarta ini Deliar meyelesaikan bukunya Muhammad Hatta: Biografi Politik dan kemudian pada tahun

1996, buku otobiogarifinya Aku Bagian Ummat Aku Bagian Bangsa diterbitkan. Inilah sebuah buku otobigrafi yang ditulis dengan sangat lengkap tentang sang tokoh. Buku ini mengungkap dengan detail perjalanan hidup seorang Deliar Noer, sebagaimana diungkapkan George McT. Kahin, dari buku ini terlihat integritas intelektual dan politik Deliar Noer. Sejak kembali di Jakarta, Deliar juga aktif mengikuti kegiatan di berbagai organisasi baik politik, organisasi masyarakat maupun organisasi keilmuan. Dia aktif membantu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam berbagai kegiatan walau ia tak pernah bergabung dengan partai itu. Deliar juga sering mengikuti kegiatan yang diadakan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) walaupun ia sebenarnya sangat kritis dengan oraganisasi itu. Walaupun tak terlibat sebagai pendiri, Deliar juga banyak membantu Petisi 50. Pada tahun 1991, bersama H.R. Dharsono dan Abdul Madjid, Deliar mendirikan Forum Pemurnian Kedaulatan Rakyat (FPKR). Di samping banyak aktivitasnya itu, Deliar tetap produktif menulis di berbagai media nasional terutama yang terbit di Jakarta. Pada tahun 1998, pada masa reformasi setelah jatuhnya Soeharto, bersama beberapa orang tokoh, Deliar mendirikan Partai Ummat Islam. Namun pada Pemilu 1999, partai ini hanya mendapatkan dukungan yang sedikit sekali dan tak berhasil mendudukkan seorang wakilnya pun DPR. Sejak itu kegiatan Deliar lebih banyak terlihat sekedar sebagai pengamat dengan berbicara di berbagai seminar dan terus menulis di media massa. Namun, mungkin karena usia yang makin tua, keberadaan Deliar di pentas perpolitikan nasional makin lama makin senyap. Sekarang Deliar masih tinggal di Jakarta bersama istrinya Zahara Deliar Noer. Oleh Maya Lestari Gf

You might also like