You are on page 1of 20

Journal Reading

MANAJEMEN KLINIS HIPEREMESIS GRAVIDARUM

Oleh : Nevi Yasnofa Rahma Tsania Zuhra 06120116 06120130

Pembimbing : Dr.Hj. Putri Sri Lasmini, SpOG (K) FER

Bagian Ilmu Obsteti dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUP DR. M. Djamil Padang 2011
1

MANAJEMEN KLINIS HIPEREMESIS GRAVIDARUM

Oleh Shipra Sonkusare Received: 22 September 2010 / Accepted: 7 March 2011 / Published online: 20 March 2011 Springer-Verlag 2011 Abstrak Hiperemesis gravidarum merupakan suatu kondisi yang berat dan mengganggu yang dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa. Penyebabnya multi faktorial sehingga masih sulit untuk ditatalaksana. Tatalaksananya berupa terapi suportif dengan memperbaiki dehidrasi dan gangguan elektrolit, pemberian antiemetik, mencegah dan penatalaksanaan terhadap komplikasi seperti ensefalopati Wernicke, sindrom demielinasi osmotik, tromboemboli, dan diberikan dukungan psikologis yang baik. Ada banyak data yang memaparkan keamanan penggunaan antihistamin, fenotiazin, dan metoklopramid pada awal kehamilan dan terapi tersebut tidak berhubungan dengan efek teratogenik. Pemberian tiamin diindikasikan pada pasien hiperemesis gravidarum untuk mencegah perkembangan ensefalopati Wernicke. Kata kunci : mual dan muntah dalam kehamilan, hiperemesis gravidarum, morning sickness, ensefalopati Wernicke, anti emetik Pendahuluan Hiperemesis gravidarum (HG) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan mual, muntah yang berat, dan anoreksia, berhubungan dengan kehamilan muda yang dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan berat badan. Berhubungan dengan etiologinya yang masih sulit ditentukan, penatalaksanaan HG masih berupa tatalaksana suportif dan simtomatis. HG terjadi kira-kira pada 0,3 2% kehamilan. Kondisi yang mendasar untuk diagnosis HG adalah episode muntah sebanyak 3 kali atau lebih sepanjang hari, penurunan berat badan lebih dari 5% (atau 3 kg), dan ketonuria. Yang menjadi masalah adalah dalam pembatasan waktu onset, dimana HG dapat muncul 5 minggu setelah periode menstruasi terakhir, puncaknya terjadi pada 8 12

minggu, dan akan membaik pada 16 18 minggu pada kebanyakan wanita; namun kira kira 5% wanita dengan hiperemesis akan tetap bergejala sepanjang kehamilan. Pada hampir keseluruhan kasus, setiap wanita hamil yang mengalami mual muntah akan memberikan progresivitas yang berbeda mulai dari mual muntah yang ringan sampai yang berat hingga ke hiperemesis gravidarum, baik yang tanpa komplikasi atau dengan komplikasi, yakni berupa ketonuria, gangguan cairan dan elektrolit, dan ensefalopati Wernicke. Prematuritas, berat badan lahir rendah, kecil masa kehamilan, dan skore Apgar pada menit ke-5 kurang dari 7, telah dilaporkan pada janin dengan ibu yang mengalami hiperemesis gravidarum (Level bukti tingkat -II), dan kebanyakan terjadi pada ibu dengan berat badan hamil yang rendah. Etiopatogenesis Faktor yang berhubungan dengan terjadinya hiperemesis gravidarum adalah faktor medikasi dan janin yang tidak mudah untuk dimodifikasi, tapi identifikasi terhadap faktor tersebut berguna untuk menentukan apakah wanita tersebut termasuk resiko tinggi untuk mengalami hiperemesis. Resiko tinggi untuk berulangnya hiperemesis telah diamati sering terjadi pada wanita dengan hiperemesis pada kehamilan pertama. Resiko dapat berkurang dengan penggantian paternitas. Pada wanita yang tidak memiliki riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya, interval antara kehamilan yang jauh sedikit meningkatkan resiko hiperemesis gravidarum pada kehamilan berikutnya. Jadi, dapat disimpulkan efek genetik dan faktor lingkungan ataupun gabungan dari keduanya berperan dalam hiperemesis. Perbandingan antara berat badan dan tinggi badan dalam kehamilan yang rendah juga dapat menjadi presdiposisi terjadinya hiperemesis. Usia ibu yang muda dan paritas pertama secara independen meningkatkan resiko mual dan muntah dalam kehamilan. Merokok sebelum kehamilan dan konsumsi vitamin pada awal kehamilan berhubungan dengan penurunan resiko terjadinya mual muntah (Level Bukti tingkat-II-2). Wanita yang bekerja di luar rumah memiliki angka kejadian mual muntah yang lebih rendah daripada ibu rumah tangga dan wanita yang tidak bekerja. Faktor hormonal telah diketahui berperan penting dalam etiologi hiperemesis gravidarum. Gonadotropin korionik, terutama isoform dengan jumlah asam sialik yang kurang, bertindak melalui reseptor Tiroid Stimulating Hormone (TSH) untuk mempercepat ambilan iodin. Selain itu jumlah prolaktin dan estrogen yang tinggi juga berkontribusi dalam mual saat kehamilan.
3

Faktor psikologis dan sosial dapat mempengaruhi penyakit ini, seperti kehamilan yang tidak diharapkan, sebagaimana yang telah diteliti. Bagaimanapun, HG dengan penyebab psikologis lebih sering terjadi daripada HG dengan penyebab yang jelas. Biasanya ibu muda dengan kehamilan yang tidak diharapkan akan lebih menderita dengan keluhan ini. Telah ditandai bahwa angka rawatan rumah sakit lebih tinggi pada kasus seperti ini, dengan kekambuhan yang lebih sering bila berada di lingkungan rumah. Penelitian terkini menunjukkan hubungan antara Helicobacter pylory (H.Pylory) dan hiperemesis gravidarum, dimana setelah didemonstrasikan secara serologis positif didapatkan infeksi H.pylory pada kelompok hiperemesis. Kenaikan human chorionic gonadotropin (hCG) menyeabkan pergeseran pH selama kehamilan yang memicu dismotilitas gastrointestinal dan mengganggu sistem imunitas humoral begitu juga imunitas seluler dalam kehamilan telah dipercaya menjadi alasan terjadinya infeksi. Sosioekonomi yang rendah juga dapat menjadi faktor penyebab yang penting untuk infeksi H.Pylori dalam kehamilan pada wanita dengan hiperemesis gravidarum. Laporan terakhir juga secara signifikan menunjukkan hubungan antara keparahan hiperemesis gravidarum dengan peningkatan konsentrasi cell-free fetal deoxyribonucleic acid (DNA). DNA janin berasal dari proses destruksi oleh villi trofoblas yang merupakan batas dari ruang intervillus yang terisi oleh darah ibu. Aktivasi fungsional dari natural killer cell dan sel T sitotoksik ditemukan lebih menonjol pada wanita dengan hiperemesis daripada wanita yang normal. Tingkat keparahan klinis hiperemesis secara langsung berhubungan dengan peningkatan DNA janin. Jika sistem imun ibu secara lengkap mampu mentoleransi janin, miometrium dapat diinvasi oleh pertumbuhan trofoblas, namun apabila ada kelainan dengan interaksi imun antara ibu dan janin, invasi trofoblas pada miometrium dapat meningkatkan konsentrasi DNA fetus pada plasma ibu. Pada hipermesis, situasi yang sama dapat terjadi. Oleh karena itu, hiperaktifitas dari sistem imun maternal dapat bertanggungjawab atas terjadinya onset hiperemesis, yaitu mungkin ketika toleransi sistem imun maternal terhadap semiallograf mulai terbentuk. Hal ini dapat menjelaskan mengapa DNA fetus dan hiperemesis berhubungan. Selanjutnya, level TNF- ditemukan secara signifikan tinggi pada pada pasien dengan hiperemesis dan dapat dilibatkan sebagai etiologi. Begitu juga, jumlah IL-6 yang meningkat telah dilaporkan meningkatkan sekresi beta-HCG sel-sel trofoblas.
4

Diagnosis Hiperemesis gravidarum didiagnosis ketika adanya muntah yang berulang ulang dengan ketidakmampuan mentoleransi makanan ataupun cairan dan adanya ketonuria. Sistem skoring telah dirancang untuk penilaian, yang terdiri dari sejumlah pertanyaan mengenai episode muntah sehari hari, lamanya mual, dan jumlah episode ingin muntah yang kuat. Bagaimanapun sistem skoring ini tidak selalu digunakan dalam praktek sehari hari, sering sebelum skoring dilakukan, gejala telah berkurang seiring berakhirnya trimester pertama pada keseluruhan wanita. Kuesioner Pregnancy Unique Quantification of Emesis (PUQE) Score telah divalidasi dan menunjukan hubungannya dengan hasil klinis seperti angka rawatan dan penilaian sehat secara subjektif oleh wanita tersebut. Skor PUQE yang dimodifikasi juga dikembangkan untuk menilai mual dan muntah secara umum pada semua kahamilan trimester pertama. Skor tersebut menunjukkan hubungan yang baik dengan skor kualitas hidup ( 12 poin bentuk singkat survey kesehatan) dan sangat berguna untuk menidentifikasi keparahan gejala pada periode waktu yang panjang. Diagnosis Banding Diagnosis dari muntah yang tidak terkontrol dibuat dengan menyingkirkan penyakitpenyakit yang lain. Hal ini penting untuk menyingkirkan banyak penyakit kronik yang mengenai sistem lain seperti penyakit pada sistem digestif seperti hepatitis, pankreatitis, ulkus peptikum; sistem urinarius dan penyakit endokrinologi kronik contohnya katoasidosis diabetikum atau hipertiroidisme; penyakit neurologi seperti tumor otak , migren; dan keadaan lain yang berhubungan dengan kehamilan contohnya degenerasi lemak dari hepar dan preeklampsia. Lamanya muntah penting untuk menilai risiko akan terjadinya komplikasi-komplikasi seperti ensefalopati Wernicke sebagai akibat dari defisiensi tiamin, komplikasi ini telah dilaporkan dari 3 minggu setelah munculnya gejala Pemeriksaan Diperlukan pemeriksaan denyut nadi dan tekanan darah selain pemeriksaan hidrasi dari membran mukosa dan turgor kulit serta pemeriksaan abdomen yaitu nyeri tekan epigastrik, organomegali, nyeri tekan sudut renal serta ukuran uterus.
5

Investigasi Pemeriksaan elektrolit, tes fungsi hepar, tes fungsi tiroid, BUN, urinalisis, dan hitung darah lengkap merupakan beberapa pemeriksaan yang perlu pada pemeriksaan hiperemesis gravidarum yang berat, setelah kelaparan dan ketidakseimbangan cairan telah diatasi. Investigasi ini diindikasikan pada wanita dengan hiperemesis yang baru terdiagnosis secara klinis walaupun keparahan penyakitnya mungkin mengindikasikan pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi hepar serta pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis banding pada kasus tertentu. Peran USG Secara tradisional, kehamilan kembar dan mola berhubungan dengan HG pada wanita. Bagaimanapun juga sebuah penelitian telah menemukan kesamaan insiden antara kehamilan kembar pada 2 grup dengan atau tanpa muntah yang berlebihan. Walaupun diagnosis dari kehamilan mola sekarang dapat dibuat lebih cepat karena ketersediaan USG namun hiperemesis mungkin tidak berhubungan kuat dengan kehamilan mola karena biasanya tidak bertambah setelah minggu-minggu pertama kehamilan. Penelitian ini juga menunjukkan angka keguguran yang lebih rendah antara wanita dengan HG daripada kontrol, konsisten dengan laporan sebelumnya yaitu lebih rendahnya angka kejadian kehilangan janin pada wanita dengan HG daripada populasi wanita hamil yang asimptomstik. Oleh karena itu, hubungan yang jelas antara kehamilan kembar dan mola dengan HG masih dipertanyakan. Bagaimanapun juga, USG bisa dilakukan untuk meredakan kecemasan ibu pada terhadap kemampuan mempertahankan kehamilannya.

Efek fisiologis dari hiperemesis gravidarum Muntah, rasa tidak nyaman dan berkurangnya nafsu makan yang diikuti HG yang berhubungan dengan intake kalori dan cairan akan menyebabkan hilangnya berat badan, dehidrasi, ketidakstabilan status nutrisi dan sering juga ketidakseimbangan asam basa dan
6

elektrolit. Gejala

HG yang masih bertahan sampai trimester ketiga dihubungkan dengan

tingginya insiden BBLR. Ketonuria ringan sampai berat dapat terjadi dari metabolism asam lemak akibat intake kalori dan protein yang inadekuat. Benda- benda keton dapat melewati plasenta dan dapat merusak perkembangan neurofisologikal fetus. Defisiensi tiamin (B1) telah dilaporkan pada 60% pasien HG. Wanita dengan HG cenderung akan mengalami defisiensi tiamin karena meningkatnya kebutuhan metabolism glukosa, bertambah ketidakmapuan mentoleransi makanan, vitamin/mineral yang cukup. Progresi cerebral karena defisiensi tiamin mengakibatkan encepalopati Wernicke yang telah dilaporkan pada 33 kasus pada 20 tahun terakhir. Tatalaksana awal dengan dextrose yang mengandung cairan intravena ataupun pemberian nutrisi secara cepat tanpa penggantian tiamin dapat mempercepat terjadinya ensefalopati Wernicke. Pemberian tiamin 100 mg IV atau IM perhari, atau secara enteral jika dapat ditoleransi pasien telah dianjurkan pada setiap pasien dengan muntah yang lebih dari 3-4 minggu. Supresi sementara TSH biasa terjadi pada wanita dengan HG, namun kebanyakan wanita secara klinis masih eutiroid. Ketika kadar tiroksin atau TSH sangat menurun, maka keadaan ini disebut dengan transient gestational thyrotoxicosis dan dapat sembuh pada trimester kedua. Wanita yang secara klinis hipertiroid dapat mengalami penyakit Grave dan harus dilakukan pengukuran autoantibody. Penatalaksanaan dengan antitiroid ataupun beta bloker hanya diindikasikan apabila terdapat gambaran hipertiroid secrara klinis dan biokimia. Sering terjadi over-diagnosis pada hipertiroid dan akhirnya tidak sesuai ditatalaksana pada wanita dengan HG. HG dapat mengakibatkan peningkatan ringan pada enzim-enzim hepar (lebih dari 4 kali nilai normal) yang dapat turun menjadi normal kembali ketika HG sukses diobati. Serum amylase juga meningkat sampai 5 kali dari normal, tetapi biasanya hanya pada saliva bukan pada enzim amylase pankreas. Efek psikososial hiperemesis gravidarum Telah lama diduga bahwa wanita dengan HG memiliki gejala klinis sebagai akibat dari faktor psikologis dan sosial mereka. Sebuah penelitian menunjukan bahwa hiperemesis gravidarum lebih sering terjadi akibat faktor psikologis dari pada penyebab lain. Hal ini
7

menjelaskan bahwa terjadinya hiperemesis merupakan interaksi dari faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural. Sebuah studi mutakhir, telah dirancang Kuesioner tentang Dampak dari Gejala Hiperemesis sebagai alat untuk mengkaji secara menyeluruh dampak dari gejala gejala fisik dan psikososial pada individu dengan hiperemesis gravidarum. Tatalaksana Hiperemesis gravidarum merupakan suatu keadaan self-limiting dan ditatalaksana secara suportif. Terapi simtomatik dari mual dan muntah, memperbaiki dehidrasi dan gannguan elektrolit, serta mencegah terjadinya komplikasi merupakan tatalaksana yang sudah tetap. Dehidrasi dan ketosis merupakan keadaan yang membutuhkan perawatan. Penatalaksana pasien rawat jalan dicatat berdasarkan kunjungan harian mereka ke rumah sakit untuk mendapatkan cairan intravena dan antiemetik. Beberapa penelitian yang dilakukan di USA melaporkan penatalaksanaan di rumah (dengan cairan intravena rumahan atau metoklopramid subkutan yang kontinu) untuk mencegah hospitalisasi, namun hal ini tidak dipraktekan dalam penataan layanan kesehatan pada umumnya. Respon terhadap terapi dimonitor setiap hari dengan menilai episode muntah, toleransi terhadap cairan dan makanan, peningkatan berat badan ibu, penurunan ketonuria, dan keseimbangan elektrolit serum. Tabel 1 Penggantian cairan pada hiperemesis gravidarum Cairan Penggunaan

24 jam pertama

1 l NaCl 0,9% selama 2 jam dengan 20mmol NaCL 1 l NaCl 0,9% selama 4 jam dengan 20mmol NaCl 1 l NaCl 0,9% selama 6 jam 1 l NaCl 0,9% selama 8 jam
8

Diikuti dengan 1 l NaCl 0,9% setiap 8 jam sebagai regimen pemeliharaan Koreksi K+ berdasarkan kadar K+ serum Cegah pemberian cairan yang mengandung dekstrosa Cegah pemberia NaCl hipertonik

Terapi dengan cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi merupakan terapi yang sudah tetap. Volume cairan harus diganti sesuai dengan kekurangan cairan yang telah hilang selama muntah. Penggantian cairan diset untuk ketonnuria atau gangguan elektrolit dan dihentikan ketika keadaan ini stabil dan diet yang normal dapat diterapkan.

Terapi Medis Banyak data keamanan yang mendukung penggunaan antihistamin, fenotiazin, dan metoklopramid dalam hiperemesis gravidarum. Penyebab lain dari mual dan muntah harus disingkirkan sebelum melakukan terapi medis. Meskipun kombinasi obat-obatan komersial tersedia, Benedectin, ditarik dari pasar Amerika Serikat tahun 1980an karena isu liabilitas, panduan dari ACOG 2004 merekomendasikan 10 mg piridoksin ditambah setengah tablet 25 mg doksilamin (antihistamin) yang diberikan secara oral setiap 8 jam sebagai farmakoterapi lini pertama. Bila tidak tersedia di apotik umum, obat tidur yang mengandung doksilamin dapat direkomendasikan. Penelitian kohort dan studi kasus yang bervariasi dengan 170.000 paparan telah mendemonstrasikan efek kombinasi piridoksin dan doksilamin agar aman digunakan, terutama tentang efeknya pada janin.
9

Antihistamin bekerja dengan menghambat histamin pada reseptor histamin 1 dan juga melalui sistem vestibuler, sehingga timbul efek kombinasi penurunan stimulasi pusat muntah. Suatu meta analisis dilakukan terhadap lebih dari 200.000 wanita yang diterapi dengan antihistamin untuk mual dan muntah menunjukkan tidak ada bukti terjadinya teratogenesitas. Laporan terkini menunjukkan suatu protokol terapi dengan pilihan kombinasi metoklopramid dan difenhidramin sebagai pilihan yang baik untuk tatalaksana hiperemesis gravidarum. Penggunaan antihistamin sepertinya telah meningkat hingga 100 % antara tahun 2000 2004 sejalan dengan peningkatan bukti keamanannya melalui survey, dimana 765 wanita dilaporkan menerima terapi ini dari 1.193 ibu hamil dalam suatu situs tentang hiperemesis gravidarum. Laporan terkini juga menunjukkan bahwa penggunaan metoklopramid pada trimester pertama tidak berhubungan dengan peningkatan risiko efek samping apapun. Dari 81.703 bayi, 3.458 diantaranya mendapatkan paparan metoklopramid pada trimester pertama. Angka malformasi kongenital mayor yang diidentifikasi di kelompok yang terpapar metoklopramid pada trimester pertama sebesar 5,3 % (182 dari 3458 bayi) dibandingkan dengan nilai 4,9 % (3.834 dari 78245 bayi) dalam kelompok yang tidak terpapar metoklopramid dengan odds ratio 1,04, dan tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan ketika pengakhiran kehamilan diikutsertakan dalam analisis. Penggunaan metoklopramid saat trimester pertama juga secara tidak signifikan berhubungan dengan peningkatan risiko malformasi kongenital minor atau multipel, peningkatan risiko kelahiran preterm, skor Apgar rendah atau kematian perinatal. Tidak ada perbedaan antara kelompok yang memakai metoklopramid dengan yang tidak memakai dalam hal jumlah BBLR dan BBLSR. Dalam suatu analisis, frekuensi malformasi kongenital mayor di kelompok pemakai dengan dosis harian 30 mg selama 22 hari atau lebih (6,1%) terlihat lebih tinggi daripada kelompok dengan dosis 30 mg selama 1 7 hari, 8 14 hari, atau 15 21 hari (5,5; 4,3;4,2%), dan pada kelompok non pemakai (4,9%), tetapi tidak ada pola yg signifikan berdasarkan dosis harian, dalam analisis univariat (p = 0.55) atau dalam analisis yang disesuaikan dengan umur maternal, kelompok etnis, adanya diabetes ibu atau tidak, status merokok ibu, dan paritas (p = 0.82 pada analisis multivariat). Hampir serupa dengan sebelumnya, laporan terkini menunjukkan adanya toleransi yang baik terhadap desloratadin tanpa efek samping interaksi obat. Studi kohort observasional prospektif terkini terhadap pemakaian setrizin dalam kehamilan menunjukkan keamanan
10

penggunaannya pada trimester pertama. Jarang ditemukan efek samping ekstrapiramidal pada obat antiemetic seperti reaksi distonik akut, spasme otot-otot wajah atau krisis okulogirik, kalaupun terjadi biasanya bersifat sementara. Untuk menghindari pemberian antiemetik sering diperlukan. Prosiklidin jarang dibutuhkan. Fenotiazin seperti proklorperazin dan klorpromazin adalah antagonis dopamine dan menghambat muntah dengan menginhibisi chemoreceptor trigger zone (CTZ) bersamaan dengan aksi langsung di reseptor D2 di traktus gastrointestinal. Ada beberapa laporan kasus terjadinya celah palatum, abnormalitas dari tulang, anggota gerak dan jantung dengan penggunaan obat ini. Dosis tinggi untuk antipsikotik berefek pada terjadinya gangguan ekstrapiramidal post natal, tetapi untuk dosis sebagai anti emetik, insidennya lebih rendah. Tetapi penggunaan obat ini sebaiknya dihindari selagi masih ada obat lain yang tersedia. Antagonis 5HT3, Ondasentron juga memiliki inhibisi kemoreseptor sentral, seperti halnya dengan aksi perifernya di usus halus dan nervus vagus yang menghambat muntah. Tidak ada laporan peningkatan kasus defek kelahiran pada manusia dengan penggunaan obat ini. Vitamin B6 (Piridoksin) menunjukkan keefektivitasan dalam mengurangi mual muntah selama kehamilan, meskipun tidak diteliti untuk penatalaksanaan hiperemesis akut. Obat-obat antipsikotik seperti levomeprazin dan haloperidol tidak memiliki data yang cukup mengenai keamanan penggunaannya. Serupa dengan yang lainnya, domperidon menghambat CTZ sentral, tetapi tidak ada data keamanan pemakaiannya selama kehamilan.

Peran Kortikosteroid Kortikosteroid yang digunakan selama kehamilan menunjukkan hasil yang saling bertentangan. Satu kelompok ditemukan bahwa terjadi efikasi serupa tetapi penggunaan kembali yang rendah di kelompok steroid dibandingkan dengan pemakaian prometazin oral. Penelitian lain menunjukkan prednisolon oral lebih kurang efektif daripada prometazin dalam waktu 48 jam, meskipun efikasi serupa tercatat pada 7 hari pertama terapi. Nelson-Piercy menemukan perbaikan nonsignifikan pada mual muntah dan mengurangi ketergantungan terhadap cairan intravena dengan steroid dan dibandingakn dengan placebo melalui peningkatan nafsu makan
11

dan perasaan membaik secara signifikan. Pada pasien hiperemesis gravidarum yang dirawat di ICU dan diberikan hidrokortison atau metoklopramid, ditemukan bahwa muntah berkurang siginifikan dan tidak ada pemberian ulang steroid daripada penggunaan metoklopramid. Mengacu kepada keamanan kortikosteroid pada trimester pertama kehamilan, beberapa penelitian telah menunjukkkan terjadinya kemungkinan malformasi, khususnya yang berhubungan dengan celah bibir dan palatum. Meskipun demikian, suatu review menyimpulkan bahwa bias penelitian berkontribusi dalam fakta ini dan potensi teratogenik dari kortikosteroid sangat rendah dan tidak terdeteksi dalam data yang tersedia. Celah bibir dan palatum terbentuk pada minggu ke 10 kehamilan setelah steroid dipakai pada kasus-kasus resisten. Terapi steroid pada hiperemesis tetap kontroversial, sehingga hanya diresepkan pada wanita dengan gejala yang berat atau menetap lama dan tidak respon terhadap terapi obat lainnya. Jahe (Zingiber Officinale) Akar jahe dilaporkan memiliki aktivitas kemoprotektif dalam percobaan hewan. Gingerol adalah suatu kelompok polifenol struktural yang diisolasi dari jahe dan dikenal sebagai komponen aktifnya. Ekstrak metanol dari rizoma jahe telah menunjukkan kemampuan inhibis dari pertumbuhan 19 strain dari H.pylori pada penelitian oleh Mahady dan rekan-rekan. Bagian yang mengandung gingerol ditemukan menginhibisi aktif pertumbuhan semua strain H.pylori dengan aktivitas signifikan dalam melawan strain dengan sitotoksin terkait gen A+, salah satu strain penting yang menyebabkan infeksi. Jahe telah menunjukkan efikasi superior dibandingkan dengan plasebo tanpa efek samping dalam kasus penanganan mual muntah dalam kehamilan, tetapi tidak untuk hiperemesis gravidarum. Pengujian untuk kasus hiperemesis gravidarum sedikit dan hanya satu pengujian yang menunjukkan keuntungan pemakaian yang memungkinkan. Hasil pengujian ini tidak diterima oleh Administrasi Pangan dan Obat-Obatan Amerika Serikat (US FDA) dengan penekanan pada efek potensial dari pengikatan testosterone dan aktivitas tromboksan sintetase, meskipun tidak ada bukti untuk mendukung pernyataan tersebut. Meskipun demikian, hasil ini dipercaya dapat meningkatkan perbaikan gejala dan direkomendasikan oleh ACOG 2004. Serbuk akar jahe telah diberikan secara oral dengan dosis 250 mg setiap 6 jam. Jahe tersedia dalam berbagai bentuk, seperti the, biskuit, konfeksioner, dan
12

kristal atau jahe bergula, dan meskipun tidak ada satupun yang diajukan untuk penelitian kontrol acak, meskipun ada beberapa bukti bahwa bentuk-bentuk sediaan jahe ini dapat bermanfaat dan menguntungkan tanpa ditemukan efek yang tidak diinginkan. Terapi Anti Emetik Non Farmakologik Terapi non-farmakologik seperti pita akupresur dan akupunktur telah dicoba untuk mengatasi mual muntah selama kehamilan, tetapi tidak untuk hiperemesis gravidarum. Suatu review sistematik Cochrane mendukung penggunaan stimulasi titik akupunktur P6 yang mana terlihat menurunkan risiko mual. National Evidence-based Clinical (NICE) Guidelines bulan Oktober 2003 pada asuhan antenatal merekomendasikan pemakaian jahe, akupresur P6, dan antihistamin untuk tatalaksana mual muntah selama kehamilan dengan level bukti tingkat I. Stimulasi nervus tingkat rendah pada bagian volar pergelangan tangan telah menunjukkan penurunan mual muntah dan memacu peningkatan berat badan selama kehamilan. Panduan Diet untuk Hiperemesis Gravidarum Ketika mual dan muntah telah dapat dikontrol dan diet cairan ditoleransi, seorang ahli gizi dapat memulai konseling pada pasien untuk memulai diet oral. Meskipun bukti ilmiahnya sangat sedikit untuk mendukung intervensi diet ini, praktisi telah berpegangan pada panduan ini dengan laporan hasil yang sukses. Tatalaksana diet ini terdiri dari makanan lunak dengan porsi kecil dan sering, tidak berbau menyengat, mengandung karbohidrat kompleks, dan makanan rendah lemak. Panduan diet oral dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Panduan Diet yang Dianjurkan untuk Meningkatkan Toleransi Oral Saat menyiapkan makanan Hindari memasak bila mungkin. Minta bantuan dari teman atau keluarga Siapkan makan yang tidak perlu dimasak, seperti sandwich Hindari bau-bauan dari makanan yang panas-sebaiknya makanan yang dingin saja Minumlah minuman yang didinginkan seperti sari lemon, jus buah encer, teh tawar atau sup bening yang lebih ditoleransi daripada air
13

Hindari makan di tempat yang penuh orang, terlalu hangat, atau berbau masakan Minta orang lain untuk membuka bungkus makanan yang dimasak Saat Makan Makan makanan dalam porsi kecil dan sering siapkan makanan kecil diantara waktu makan Kurangi minum bersamaan dengan makan. Minum setelah setengah atau satu jam siap makan Minum dapat menyebabkan perut terasa penuh dan kembung Hindari makanan yang berlemak, digoreng, berbumbu, terlalu manis, seperti permen, kue atau kue-kue kering, atau makan dengan bau-bauan yang menyengat, seperti brokoli, kubis, ikan, dll. Pilih makanan yang lunak. Makanan yang dipanggang, kraker, pretzel, nasi, bubur gandum, ayam yang dikuliti (dipanggang atau direbus, bukan digoreng) dan buah-buahan serta sayuran yang lunak Makan makanan yang mudah dicerna seperti nasi, kentang, mi, sereal, atau roti Pilih makanan berprotein rendah lemak seperti ayam tanpa kulit atau kacang-kacangan yang direbus

Coba makanan yang agak asin, kombinasi makanan manis, seperti chips atau pretzels sebelum makan Tips lain Waktu makan terbaik adalah saat anda merasa lapar Istirahat setelah makan. Duduk selama 1 jam setelah makan. Hindari pergerakan yang tiba-tiba. Bangkit dari tempat tidur perlahan Makan crackers, makanan yang dipanggang, pretzels, atau kue beras sebelum turun dari tempat tidur
14

Saat merasa mual, mulai minum minuman berkarbonasi sedikit-sedikit dan perlahan Gunakan pakaian yang longgar Konsumsi multivitamin saat konsepsi mulai menurunkan keparahan mual muntah selama kehamilan Hindari stress ancaman mual muntah yang konstan dapat menjadi stressor tersendiri

Suplementasi Vitamin Menurut ACOG, pemberian multivitamin saat konsepsi dapat mengurangi keparahan gejala. Wanita dengan gejala hiperemesis gravidarum mesti diresepkan tiamin, jika gejalanya menetap, terutama untuk 3 minggu atau lebih. Tiamin oral 50 mg sehari, atau 100 mg intravena adalah regimen yang sesuai, atau sediaan multivitamin yang dibentuk sebagai cairan infuse sekali seminggu dapat diberikan sampai asupan oral normal dapat dicapai. Suplai piridoksin (vitamin B6) tiga kali sehari dengan dosis 10 25 mg, sampai dosis maksimal 100 mg/24 jam direkomendasikan. Terapi ini dianggap aman dan efisiensinya telah dikonfirmasi dalam tiga penelitian acak terkontrol. Kebutuhan asam folat meningkat selama kehamilan dan suplementasi direkomendasikan pada semua kehamilan sampai akhir trimester pertama untuk mengurangi defek tabung saraf. Secara empiris, wanita dengan hiperemesis dapat diresepkan asam folat 5 mg per hari setelah asupan oral dapat dicapai, untuk memperbaiki defisiensi yang terjadi akibat muntah. Pemberian Suplementasi dalam Hiperemesis Gravidarum Nutrisi enteral memungkinkan infuse nutrien dan cairan tanpa melewati fase sefalik (rangsangan visual, aroma makanan dan rasa) yang menstimulasi saliva dan sekresi gaster, yang berperan penting dalam menginduksi terjadinya mual muntah pada hiperemesis gravidarum. Jika wanita dengan hiperemesis gravidarum tidak berespon terhadap manipulasi diet dan antiemetik oral, sebaiknya nutrisi enteral harus diberikan. Nutrisi enteral, idealnya melewati rute gastrik,
15

adalah suatu pencapaian yang menunjukkan hasil signifikan terhadap mual muntah, mencegah hospitalisasi, dan menyebabkan hasil yang baik bagi janin. Penyedia layanan kesehatan harus menjelaskan kepada pasien bagaimana nutrisi lewat nasogastrik dengan selang makanan kecil dapat mengurangi gejala hiperemesis gravidarum secara cepat sambil menyediakan nutrisi dan cairan untuk pasien dan janinnya. Kemungkinan perbaikan gejala biasanya memberatkan pertimbangan estetik dengan pemakaian selang. Tahun 1990, Barclay melaporkan review retrospektif terhadap 8 pasien dengan muntah persisten dan penurunan berat badan yang tidak respon terhadap manipulasi diet, cairan intravena, dan obat antiemetik. Infus kontinu dengan pipa nasoduodenal yang ditempatkan secara floroskopik ditoleransi dengan baik oleh pasien. Selama pemberian nutrisi enteral, dengan ratarata pemberian 21 hari, penambahan berat badan keseluruhan terjadi pada 6 wanita; muntah bervariasi dari sporadik ke harian, 5 pasien mengalami ptyalisme (aliran saliva yang banyak) dan semuanya mengalami hasil kehamilan yang sukses. Sebagai tambahan, Barclay mencatat bahwa ptyalisme umum terjadi pada pasien yang diberikan asupan lewat usus halus. Nutrisi enteral gastrik terlihat lebih menawarkan pengurangan mual muntah ketika dibandingkan dengan pemberian lewat usus halus pada populasi penderita hiperemesis gravidarum. Satu lagi faktor yang menunjukkan bahwa endoskopik, radiografik atau teknik khusus di samping pasien dibutuhkan untuk memandu pipa makanan melewati pylorus dan menempatkannya secara aman di usus halus. Untuk wanita yang tidak merespon terhadap nutrisi enteral, nutrisi parenteral dapat digunakan. Ketika kehamilan menekan sistem imun, wanita hamil memiliki risiko tinggi untuk infeksi bakteri terkait pemasangan kateter vena sentral dan sepsis jamur. Wanita hamil juga mengalami peninggian faktor koagulasi sehingga lebih berisiko mengalami tromboemboli terkait dengan pemasangan kateter. Inisiasi aman untuk nutrisi parenteral perlu hospitalisasi untuk menstabilkan hidrasi, cairan dan elektrolit, kontrol glukosa baik bagi pasien. Penyediaan pelatihan nutrisi parenteral adekuat di rumah cukup mahal. Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung penggunaan nutrisi parenteral dan ini hanya dipakai sebagai pilihan terakhir ketika semua terapi lain gagal. Beberapa penulis mengungkapkan bahwa penggunaan gastrostomi perkutaneus endoskopik atau selang gastro-yeyunostomi pada beberapa pasien hiperemesis

16

gravidarum dilaporkan sukses. Penulis menyebutkan bahwa pencabutan selang dapat menimbulkan perubahan segmen selang dan blokade. Dukungan Emosional Wanita dengan hiperemesis gravidarum membutuhkan dukungan untuk mengekspresikan perasaannya. Pasien ini membutuhkan perlakuan yang suportif dan kepedulian dari penyedia layanan kesehatan. Wanita dengan hiperemesis gravidarum ini cenderung mengisolasi dirinya sendiri. Kontak telepon dari tenaga kesehatan dapat membuat pasien nyaman. Suatu survey menunjukkan 85 % wanita hamil dengan mual muntah yang menelepon nomor pertolongan, ternyata mengalami kekurangan dukungan adekuat dari anggota keluarganya. Pasien membutuhkan jaminan bahwa kondisinya merupakan hal yang sementara dan bisa hilang dengan sendirinya. Petugas pelayanan kesehatan harus melihat faktor-faktor yang menyebabkan stres emosional dan keluarga yang dapat menimbulkan gejala hiperemesis gravidarum. Stresor ini harus diminimalisir untuk mengoptimalkan toleransi terhadap rencana nutrisi pasien. Hiponatremia Hiponatremia dapat terjadi pada hiperemesis gravidarum dan harus diterapi dengan NaCl 0,9 % intravena seperti yang dijelaskan di atas. Koreksi cepat menyebabkan sindrom demyelinasi osmotik dengan karakteristik berupa kehilangan myelin pada neuron-neuron di pons, sehingga menyebabkan konfusi, disartria, disfagia, paralisis, dan spasme otot yang dapat bersifat ireversibel. Mallory Weiss Tears Kerusakan mukosa esophageal karena efek muntah dapat menyebabkan terjadinya Malorry Weiss tear dan hematemesis. Kondisi ini harus dibedakan dengan hematemesis dari penyebab lain yang lebih serius seperti ulkus peptikum. Hampir seluruh wanita dengan kondisi ini mengalami hematemesis dalam jumlah sedikit, terjadi setelah muntah yang terus menerus. Pencapaian pragmatis dilakukan dengan pemberian ranitidin intravena pada wanita dengan nyeri epigastrik atau riwayat Malorry Weiss tear sugestif, tetapi perlu dipertimbangkan penggunaan endoskopi traktus gastrointestinal bagian atas bila perdarahan terjadi tanpa mual muntah yang menonjol, perdarahan terus-menerus, atau bila terjadi penurunan nilai hemoglobin pasien.
17

Tromboemboli Vena 10 dari 33 wanita yang dilaporkan meninggal karena emboli paru pada laporan terakhir Confidential Enquiry into Maternal and Child Health (2003-2005) terjadi pada trimester pertama, satu diantaranya mengalami hiperemesis gravidarum. Kombinasi dari kehamilan, imobilisasi dan dehidrasi sepertinya menjadi faktor risiko signifikan dari thrombosis, sehingga profilaksis secara pragmatis perlu diterapkan, mencakup hidrasi baik, mobilisasi bila mungkin, pemakaian stoking tromboemboli dan LMWH. Panduan dari The Royal College of Obstreticians and Gynaecolologist menyarankan pemakaian heparin LMWH sebagai trombofilaksis pada wanita dengan tiga faktor risiko, yakni hiperemesis, imobilisasi dan dehidrasi. Profilaksis ini mesti dipertimbangkan untuk tatalaksana hiperemesis gravidarum, terutama bila faktor-faktor risiko tersebut terjadi dalam durasi lama. Terminasi Kehamilan Wanita yang menderita hiperemesis gravidarum mengalami peningkatan kemungkinan untuk terminasi kehamilan. Survei kuesioner terhadap 3201 orang yang menelepon nomor pertolongan, 403 diantaranya telah mempertimbangkan tindakan terminasi kehamilan, dan 108 orang menjalaninya. Kehamilan yang tidak direncanakan, multiparitas dan depresi adalah faktor risiko signifikan untuk pelaksanaan terminasi kehamilan. Pertimbangan terminasi pada wanitawanita ini dihubungkan dengan kepentingan psikososial, yang harus diambil bila menatalaksana pasien dalam kasus ini. Depresi Hiperemesis berhubungan erat dengan depresi. Meskipun demikian, intervensi melawan depresi belum pernah diteliti. Apakah input psikologik dini dapat menurunkan komplikasi terkait depresi atau tidak, tidak diketahui secara jelas. Prognosis Prognosis janin Beberapa penelitian melaporkan peningkatan angka prematuritas, bayi kecil untuk usia kehamilan dan skor APGAR kurang dari 7 saat 5 menit pertama pada ibu dengan hiperemesis
18

gravidarum. Meskipun demikian, peningkatan efek yang tidak diinginkan pada janin tidak ditemukan pada penelitian terakhir dari 166 wanita. Risiko bayi lahir kecil untuk usia kehamilan hanya meningkat pada kasus penambahan berat badan maternal inadekuat karena hiperemesis kronik. 90 % kasus hiperemesis sembuh dalam 16 minggu dan hampir semua berat badan maternal tercapai pada masa tengah kehamilan. Paparan terapi dilektin (kombinasi lepas lambat doksilamin suksinat dan piridoksin hidroklorida) pada mual muntah di masa kehamilan tidak menunjukkan efek yang tidak diinginkan pada perkembangan otak janin. Prognosis maternal Selain ensefalopati Wernicke, efek jangka panjang pada ibu tidak pernah dilaporkan. Apakah efek psikologis jangka panjang, ikatan ibu-bayi yang jelek, atau ketakutan akan kehamilan lagi di masa depan terjadi pada kasus hiperemesis gravidarum tidak jelas dilaporkan. Ada peningkatan risiko rekurensi hiperemesis, dimana risikonya akan menjadi 15,2% pada wanita yang pernah mengalami hiperemesis gravidarum sebelumnya, dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah (hanya 0,7%). Penelitian di Korea menunjukkan hiperemesis gravidarum sebelumnya dan pemakaian anti emetik sebelum konsepsi atau dalam 7 minggu gestasi, menemukan 40 % mengalami hiperemesis gravidarum, dibandingkan 80% wanita di kelompok kontrol yang tidak diberikan anti emetik. Kesimpulan Berdasarkan bukti efektivitas obat yang tersedia, keparahan hiperemesis gravidarum tentunya dapat diturunkan pada beberapa tahun berikutnya. Tatalaksana pasien rawat jalan dengan hiperemesis sebaiknya dieksplorasi lebih lanjut untuk meminimalisir biaya sosial dan finansial dari masuknya pasien ke rumah sakit karena hiperemesis gravidarum. Pentingnya pencapaian kesehatan mental, penelitian terhadap intervensi psikologik untuk hiperemesis sebaiknya dilakukan untuk menentukan apakah intervensi kognitif dan perilaku dapat mengurangi keparahan dan durasi hiperemesis gravidarum, meskipun banyak wanita bertahan untuk menolak pemberian elemen psikologik pada terapi penyakit mereka.

19

20

You might also like