You are on page 1of 10

Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

POTENSI DAN KERAGAMAN SUMBERDAYA GENETIK


SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)
MARIA ASTUTI

Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK

Sapi Peranakan Ongole (PO) pada tahun 1991 populasinya mencapai 4.600.000 ekor mendominasi
jumlah sapi potong di Indonesia dan terkonsentrasi di Pulau Jawa. Akan tetapi telah terjadi penurunan yang
drastis dan pada tahun 2001 populasinya dilaporkan sebesar 874.000 ekor dengan konsentrasi tetap di Pulau
Jawa. Sebagai sumberdaya genetik sapi lokal pengembangan populasi perlu segera dilakukan terutama di luar
Pulau Jawa dimana sapi PO telah banyak dipelihara. Potensi biologik reproduksi dan produksi sapi PO
menunjukkan variasi yang cukup besar, rata-rata performans yang dilaporkan menunjukkan bahwa peranan
lingkungan sangat besar. Sapi PO sangat tanggap terhadap perubahan dan perbaikan pakan. Rata-rata calf
crop sapi PO di peternakan rakyat yang pernah dilaporkan adalah 36%, 52,63%, 54,60%, dan 59,32%. Nilai
yang rendah ini disebabkan karena jarak beranak yang panjang akibat pengelolaan reproduksi dan perkawinan
yang tidak baik. Angka nilai rata-rata yang pernah dilaporkan untuk S/C terkecil adalah 1,29 dan terbesar
adalah 2,23, untuk jarak beranak terpendek adalah 13,75 bulan dan terpanjang 20,30 bulan, nilai kawin
setelah beranak paling cepat adalah 97,80 hari dan paling lambat 309,00 hari. Angka nilai rata-rata yang
pernah dilaporkan untuk pertambahan bobot badan harian prasapih adalah 0,62 kg dan pascasapih 0,24 kg,
untuk umur 4−12 bulan berkisar 0,34−0,37 kg, umur 13-24 bulan berkisar 0,31–0,40 kg, umur 2 tahun
berkisar 0,44−0,91kg . Potensi genetik sapi PO belum banyak diketahui karena belum tersedianya data.
Identifikasi dan rekording performans pada sapi PO perlu segera dilakukan. Secara teoritis dapat diduga
bahwa keragaman sumberdaya genetik sapi PO cukup besar karena belum banyak tersentuh seleksi.
Peningkatan produktivitas sapi PO dilakukan melalui usaha pemuliaan dengan tetap memperhatikan
pelestarian sumberdaya genetik, dan perlu dukungan lingkungan yang memadai. Wilayah-wilayah
pengembangan dan pelestarian sapi PO perlu ditetapkan lewat kebijakan pemerintah. Di wilayah tersebut sapi
PO diternakkan secara murni dan ditingkatkan mutu genetiknya. Cara seleksi dalam populasi dapat ditempuh
dan model pemuliaan dapat mencontoh model P3Bali yang mengadopsi model Open Nucleus Breeding
System (ONBS). Peningkatan produktivitas lewat persilangan dengan bangsa eksotik hanya dilakukan secara
terencana baik disertai target yang pasti. Persilangan memanfaatkan heterosis maka persilangan pada sapi
potong hanya dapat meningkatkan karakteristik produksi, tetapi tidak reproduksinya. Interaksi antara
heterosis dan lingkungan sangat penting oleh karena itu persilangan sepasang bangsa ternak tertentu yang
cocok pada satu lingkungan belum tentu cocok pada lingkungan lain. Estimasi efek aditif dan heterosis
diperlukan sebagai dasar pertimbangan pilihan sistem persilangan yang dilakukan disamping pilihan bangsa
eksotik yang dipergunakan yang akhir-akhir ini cenderung mempergunakan Bos taurus Eropa.

Kata kunci:

Makalah lengkap diterbitkan dalam Wartazoa 2003 Vol. 14 No. 4.

30
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

PENDAHULUAN tidak meningkatkan reproduksi bahkan


masalah seringkali timbul, disamping itu
Indonesia memiliki banyak bangsa sapi keberhasilannya perlu didukung oleh program
potong lokal diantaranya adalah sapi Peranakan yang mantap serta lingkungan yang dibutuhkan
Ongole (PO). Bangsa sapi PO ini tersebar luas oleh sapi crossbred dapat terpenuhi.
dan bagian terbesar dari populasi terdapat di Persilangan yang tidak terprogram dengan baik
pulau Jawa terutama di Jawa Timur. Sapi PO dan target yang belum pasti akan merupakan
merupakan bukti keberhasilan pemuliaan sapi ancaman bagi plasma nutfah.
potong di Indonesia pada masa lalu. Bangsa
sapi ini baru terbentuk sekitar tahun 1930
POTENSI BIOLOGIK DAN GENETIK
melalui sistim persilangan dengan grading up
SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO)
sapi Jawa dengan sapi Sumba Ongole (SO).
Populasi sapi potong pada tahun 1991
adalah 10 juta dan dari jumlah tersebut 46% Potensi biologik seekor ternak diukur
berdasar kemampuan produksi dan
(4,6 juta) adalah sapi PO. Dari jumlah ini 3,7
reproduksinya dalam lingkungan pemeliharaan
juta (80%) sapi PO berada di Jawa Timur,
Jawa Tengah dan DIY (ANONIMUS, 1992). yang tersedia. Mengapa dalam lingkungan
pemeliharaan yang tersedia ? Karena data
Pada tahun 2001 perkiraan jumlah sapi potong
kuantitatif potensi biologik yang berupa
di Indonesia adalah 11,1 juta terdiri dari 5,4
juta sapi asli dan sapi lokal dan 5,7 juta bangsa penotipe produksi dan reproduksi tidak terlepas
sapi lainnya. Dari total populasi tersebut 7,81% dari pengaruh lingkungan tempat ternak
dipelihara. Kondisi peternakan sapi PO dengan
(874.000) berupa sapi PO, dan 74,58% nya
berada di Jawa (ANONIMUS 2003). Melihat sistim pemeliharaan tradisional serta jumlah
kenyataan tersebut tampaklah bahwa populasi pemilikan yang kecil dengan lingkungan yang
sangat bervariasi menyebabkan potensi
sapi PO mengalami penurunan yang cukup
drastis selama kurun waktu 10 tahun dan biologik yang ditunjukkan juga sangat
populasi terbesar tetap terkonsentrasi di Jawa. bervariasi.
Sapi PO merupakan hasil pemuliaan
Penurunan jumlah populasi ini sangat
memprihatinkan mengingat bahwa sapi PO melalui sistim persilangan dengan grading up
merupakan asset genetik sapi lokal. sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO) lewat
setengah abad silam. Sejak pembentukannya
Pengembangan populasi perlu dilakukan ke
wilayah-wilayah diluar pulau Jawa yaitu hingga menjadi suatu bangsa sapi yang
Sumatra Utara, Kalimantan dan Sulawesi mantap, sampai saat ini belum banyak usaha
terutama dimana sapi PO sudah diternakkan. terarah yang dilakukan untuk meningkatkan
Produktivitas sapi PO sangat bervariasi dan potensi biologik dan genetiknya. Meskipun
demikian seperti yang dapat diamati sapi PO
cukup merespon terhadap perubahan
lingkungan. Dari segi pemuliaan perbaikan tetap berkembang secara alami sebagai bangsa
produktivitas dapat dilakukan melalui seleksi sapi yang sudah mantap dengan baku
karakteristik morfologi yang mudah dikenali.
dan persilangan. Sepanjang kurun waktu 25
tahun terakhir berbagai kebijakan pemerintah Sapi PO juga menunjukkan keunggulan sapi
telah diterapkan untuk meningkatkan potensi tropis yaitu daya adaptasi iklim tropis yang
tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap
sapi PO melalui sistim persilangan dengan
berbagai bangsa sapi lain. Akan tetapi belum gangguan parasit seperti gigitan nyamuk dan
banyak usaha untuk melakukan seleksi dengan caplak, disamping itu juga menunjukkan
toleransi yang baik terhadap pakan yang
memanfaatkan keragaman karakteristik sifat
produksi dan reproduksi. Seleksi akan mengandung serat kasar tinggi.
meningkatkan produktivitas disamping itu Sapi PO dibeberapa daerah dipelihara
dengan tujuan ganda disamping sebagai sapi
memiliki dampak penting yaitu pelestarian
terhadap sumberdaya genetik sapi PO. potong penghasil daging juga untuk sapi kerja,
Persilangan umumnya menghasilkan hanya didaerah lahan kering dimana tidak ada
persawahan sapi ini dipelihara sebagai sapi
peningkatan produksi akan tetapi umumnya

31
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

potong penghasil daging. Keadaan ini juga reproduksi seperti juga produksi memerlukan
memberikan kontribusi pengaruh terhadap suplai pakan yang cukup dengan kualitas yang
potensi biologi baik produksi maupun baik. Siregar et al.(1998) melaporkan
reproduksinya. Oleh karena itu asesmen pemberian pakan tambahan (flushing) selama
terhadap potensi perlu memperhatikan hal ini. 3 bulan pada induk sapi PO yang bunting 7
Potensi biologik dari segi produksi yang bulan secara nyata memperpendek jarak
utama adalah calf crop, bobot sapih dan beranak dan meningkatkan bobot lahir anak.
pertambahan bobot badan setelah disapih Potensi produksi sapi PO menunjukkan
sedang dari segi reproduksi yang utama adalah pertumbuhan yang lambat bila dibandingkan
kemampuan reproduksi induk yang dinilai dengan bangsa sapi eksotik yang telah
berdasar jarak beranak (calving interval). Calf mengalami seleksi untuk pertumbuhan dan
crop sapi PO pada peternakan rakyat yang dipelihara dalam lingkungan yang
pernah dilaporkan adalah 36% diperuntukkannya. Usaha untuk meningkatkan
(HARDJOSUBROTO et al.,1981), 54,60% produksi telah banyak dilakukan melalui sistim
(MARAJO, 1989), 59,32% (ACHMADI, 2000), persilangan dengan bangsa eksotik yang
dan 52,63% (HIDAYAT, 2003). Bila dirata- diimpor sejak Pelita III, meskipun demikian
ratakan calf crop hasil penelitian MARAJO usaha yang tidak terarah dengan target yang
(1989), ACHMADI (2000) dan HIDAYAT (2003) tidak pasti ini tidak banyak menghasilkan
adalah 55% menunjukkan adanya peningkatan perubahan bahkan menemukan banyak
bila dibandingkan dengan calf crop yang kegagalan. Pada dekade terakhir penggunaan
dilaporkan oleh HARDJOSUBROTO et al.(1981). pejantan bangsa Bos Taurus Amerika banyak
Calf crop pada sapi PO ini lebih rendah bila digantikan oleh pejantan Bos Taurus Eropa
dibanding dengan sapi Bali yang mencapai yang berukuran lebih besar sehingga
86% (PANE, 1990). Calf crop yang rendah ini keturunannya menuntut lebih banyak
disebabkan karena jarak beranak (calving perubahan pengelolaan.
interval) yang panjang akibat dari pengelolaan Beberapa hasil penelitian menunjukkan
reproduksi dan perkawinan yang kurang baik. bahwa sapi PO tanggap terhadap perubahan
Data reproduksi sapi PO dari penelitian- maupun perbaikan pakan dengan menunjukkan
penelitian yang telah dilaporkan di Jawa pertambahan bobot badan harian yang berbeda.
Tengah dan DIY menunjukkan variasi yang Berikut ini adalah data sifat produksi sapi PO
cukup besar (Tabel 1). Pada Tabel 1 tersebut yang dapat dikumpulkan dari hasil penelitian
terlihat kisaran yang cukup luas. Variasi yang yang telah dilaporkan (Tabel 3). Pada Tabel 3
tampak ini disebabkan oleh lingkungan tersebut terlihat bahwa potensi karakteristik
pengelolaan yang bervariasi sehingga produksi sapi PO menunjukkan rentang yang
peningkatan potensi reproduksi melalui cukup luas. Beberapa data hasil penelitian
perbaikan pengelolaan sangat dimungkinkan. seperti pertambahan bobot badan harian
Tampak pula sebagian data yang telah menunjukkan potensi sapi PO yang cukup baik
dilaporkan dapat mencapai angka-angka baku meskipun tanpa sentuhan seleksi , dan hanya
yang ideal disamping kelemahan dalam hal karena pengelolaan dan perbaikan pakan. Oleh
calving interval akibat dari days open yang karena itu perlu diketahui baku pengelolaan
cukup panjang. Mengingat sistim peternakan lingkungan untuk dapat mencapai produktivitas
tradisional yang bervariasi maka perlu adanya yang optimum.
angka baku karakteristik tersendiri yang Data mengenai potensi genetik sapi PO
dikaitkan lokasi. Tabel 2 menunjukkan data belum pernah dilaporkan, sehingga keunggulan
reproduksi sapi PO yang dilaporkan oleh dan kelemahan potensi genetiknya belum
HIDAYAT (2003) di Majalengka (Jawa Barat). diketahui. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
Data tersebut tidak banyak berbeda dengan tersedianya data untuk keperluan analisis
data di Jawa Tengah dan DIY. Perbaikan potensi genetik karena sistim identifikasi dan
pengelolaan reproduksi sapi PO diperlukan rekording ternak tidak pernah berhasil untuk
untuk dapat meningkatkan populasinya, yang dilakukan. Disinilah terletak permasalahan
tampak sudah sangat menurun. Hal yang tak dalam usaha perbaikan mutu genetik ternak.
dapat dilupakan dalam peningkatan potensi
Tabel 1. Data karakteristik reproduksi sapi PO di Jawa Tengah dan DIY

32
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

Karakteristik Rata-rata Sumber


Umur pertama kali kawin (bulan) 26,28 Marajo (1989)
27,72 Hardjosubroto et al.(1992)
30,84 Mukija (1998)
25,08 Achmadi (2000)
24,94 Tekson (2002)
22,31 Pramono (2003)
24,05 HASBULLAH (2003)
26,31 WALUYO (2004)
Umur beranak pertama (bulan) 38,04 MARAJO (1989)
38,57 HARDJOSUBROTO et al.(1992)
42,36 MUKIJA (1998)
35,16 ACHMADI (2000)
33,76 HASBULLAH (2003)
36,84 WALUYO (2004)
Estrus setelah beranak (hari) 99,12 PRAMONO (2003)
84,78 HASBULLAH (2003)
158,04 WALUYO (2004)
Kawin setelah beranak (hari) 226,80 HARDJOSUBROTO et al.(1980)
237,30 HARDJOSUBROTO et al.(1992)
309,00 ASTUTI et al.(1983)
193,50 MARAJO (1989)
183,90 MUKIJA (1998)
204,60 ACHMADI (2000)
111,90 TEKSON (2002)
105,78 HASBULLAH (2003)
159,66 WALUYO (2004)
S/C 2,27 HARDJOSUBROTO et al.(1980)
1,29 HARDJOSUBROTO et al.(1992)
1,68 MUKIJA (1998)
1,78 ACHMADI (2000)
2,06 TEKSON (2002)
1,86 PRAMONO (2003)
2,03 HASBULLAH (2003)
2,23 WALUYO (2004)
Days open (hari) 127,5 HASBULLAH (2003)
189,51 WALUYO (2004)
Jarak beranak (bulan) 17,51 HARDJOSUBROTO et al.(1980)
19,58 HARDJOSUBROTO et al.(1992)
20,30 ASTUTI et al.(1983)
18,03 MARAJO (1989)
16,55 MUKIJA (1998)
17,41 ACHMADI (2000)
14,29 PRAMONO (2003)
13,75 HASBULLAH (2003)
15,98 WALUYO (2004)
Umur sapih anak (bulan) 7,83 HARDJOSUBROTO et al.(1980)
7,47 HARDJOSUBROTO et al.(1992)
8,60 ASTUTI et al.(1983)
8,22 ACHMADI (2000)
5,25 TEKSON (2002)
5,50 HASBULLAH (2003)
4,89 WALUYO (2004)

33
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

Data yang akurat untuk analisis potensi Tabel 2. Data karakteristik reproduksi sapi PO di
biologik dan analisis potensi genetik yang Majalengka (Jawa Barat)
memerlukan pula data tersilsilah hanya
Karakteristik Rata-rata
mungkin diperoleh bila dilakukan identifikasi
dan pencatatan. Secara teoritis dapat diduga Umur pertama kali kawin (bulan) 21,51
potensi genetik sifat-sifat produksi cukup Umur beranak pertama (bulan) 32,07
tinggi karena populasi sapi PO belum banyak Kawin setelah beranak (hari) 97,80
tersentuh seleksi sehingga keragaman genetik S/C 1,67
aditif cukup besar untuk merespon seleksi. Jarak beranak (bulan) 15,74
Sekarang bagaimana keragaman sumberdaya Umur sapih anak (bulan) 8,86
genetik ini dapat dikelola untuk pemanfaatan
dan pelestarian. Sumber: HIDAYAT (2003)

Tabel 3. Data beberapa karakteristik produksi sapi PO

Karakteristik Rata-rata Sumber


Bobot lahir (kg) 25,4 TALIB DAN SIREGAR (1998)
27 BALIARTI (1991)
Bobot sapih 205 hari (kg) 155 BALIARTI (1991)
Bobot badan umur 1,5-2 th (kg) 223,8 TRIYONO (1998)
250–300 HASTUTI (2002)
262–274 KRISHADITERSANTO (2002)
254–258 PRASETYA (2002)
257,58 ISWANTO (2003)
Bobot badan saat pubertas (kg) 207–229 TRIYONO (1998)
Bobot badan jantan umur 2-3 th (kg) 201–366 SAHIDAH (2000)
Bobot badan betina umur 3–5 th (kg) 225–420
Penambahan bobot badan harian (kg) 0,62 BALIARTI (1991)
Prasapih 0,24
Pascasapih 0,34–0,37 SUGIHARTO (2003)
Umur 4–12 bulan 0,31–0,40
Umur 13–24 bulan 0,64 NGADIYONO (1988)
Umur 1,5–> 2 tahun 0,53–0,69 MURDJITO (1995)
0,83–0,91 TRIYONO (1998)
0,50–0,65 SUNARDI (2000)
0,36–0,57 ISNAINIYATI (2001)
0,77–0,98 BAKTI (2002)
0,770,85 KRISHADITERSANTO (2002)
0,38–0,52 BONGA (2003)
0,44 OCTAVIA (2003)
44–48 PAYNE (1970)
Karkas (%) 42–52 HARDJOSUBROTO (1988)
57,21 NGADIYONO (1988)
45–60 SOEPARNO (1994)
47,83–48,72 ISNAINIYATI (2001)
44,99 PRASETYA (2002)
50,46 ISWANTO (2003)

34
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

KERAGAMAN SUMBERDAYA pejantan unggul untuk dapat dipergunakan


GENETIK SAPI PO dalam kelompok ternak. Pada pelaksanaannya
maka diwilayah–wilayah ini perlu dibentuk
Pelestarian genetik ternak mengandung Village Breeding Center (VBC). Pemahaman
pengertian secara berkelanjutan mempertahan- terhadap kegunaan rekording perlu ditekankan.
kan keragaman genetik melalui pewarisannya Pola pemuliaan pada peternakan rakyat ini
dari generasi ke generasi (FAO, 1994). dapat mengikuti pola P3Bali yang mengadopsi
Keragaman genetik sangat diperlukan dalam Open Nucleus Breeding Scheme (ONBS). Balai
usaha pemuliabiakan ternak karena dengan Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) dan Balai
adanya keragaman genetik ternak Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU)
dimungkinkan untuk membentuk bangsa ternak dalam pengadaan pejantan unggul hendaknya
baru melalui seleksi dan sistim perkawinan. berperan dalam uji performans dan uji
Bangsa sapi yang baru akan diciptakan oleh keturunan. Selanjutnya diperlukan keterlibatan
pemulia sesuai dengan kebutuhan akan bentuk, Balai Inseminasi Buatan (BIB) yang akan
tipe, dan karakteristik untuk memenuhi bertindak sebagai ujung tombak dalam
tuntutan pasar yang dapat berubah setiap saat disiminasi materi genetik unggul.
sehingga pelestarian keragaman sumberdaya Peningkatan produktivitas ternak dapat
genetik penting dan diperlukan untuk dilakukan dengan sistim persilangan. Program
mengantisipasi perubahan. Dengan persilangan pada sapi PO merupakan cara yang
berkembangnya Teknologi DNA maka cepat untuk meningkatkan produktivitas, akan
keragaman genetik , kesamaan genetik dan tetapi diperlukan suatu program yang terencana
jarak genetik populasi sapi PO yang berasal dengan baik disertai target yang pasti.
dari berbagai wilayah dapat dipelajari. Hal ini Persilangan sapi PO hendaknya dilakukan di
penting karena dapat dipergunakan sebagai luar wilayah yang ditentukan untuk pembibitan
bahan pertimbangan untuk melakukan dan pengembangan sapi PO murni. Kalau tidak
outbreeding dengan mempergunakan pejantan maka persilangan akan merusak keragaman
dari wilayah lain. sumberdaya genetik sapi PO.
Sejauh ini petani peternak tradisional Program persilangan harus didasarkan pada
memegang peranan yang besar dalam pemanfaatan efek aditif dan efek heterosis
pelestarian ternak asli dan ternak lokal yang dapat berbeda-beda tergantung pada
termasuk sapi PO. Disisi lain ancaman akan lingkungan. Interaksi antara aditif dan
kelestarian sumberdaya genetik datang sebagai lingkungan sudah banyak dilaporkan tetapi
akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan bukti interaksi antara heterosis dan lingkungan
pencemaran akibat migrasi genetik yang sangat sedikit. Interaksi ini sangat penting
terjadi. Melihat kondisi peternakan sapi PO dalam menduga akibat dari sistim perkawinan
yang tradisional maka pelestarian secara silang yang berbeda. Dugaan sangat tergantung
konservasi in-situ cocok untuk diterapkan. pada estimasi besarnya efek aditif dan heterosis
Konservasi in-situ adalah pelestarian ternak dan tergantung pula pada lingkungan dimana
asli atau lokal dalam lingkungan atau kondisi dilakukan persilangan, sehingga persilangan
alam petani peternak dengan mengupayakan sepasang bangsa ternak tertentu yang cocok
peningkatan mutu genetik tetapi tetap menjaga pada satu lingkungan belum tentu cocok untuk
keragamannya (FAO, 1994). lingkungan lain. Estimasi efek aditif dan
Wilayah-wilayah pengembangan dan heterosis perlu dilakukan sebagai dasar
pelestarian sapi PO perlu ditetapkan lewat pertimbangan dalam menentukan pilihan akan
kebijakan pemerintah, diwilayah ini kemurnian sistem persilangan mana yang akan
sapi PO dipertahankan dan dilakukan dipergunakan dalam memproduksi ternak
peningkatan potensi genetiknya. Peningkatan komersial (ASTUTI, 1999).
potensi dengan cara seleksi dalam populasi CUNNINGHAM dan SYRSTAD (1987)
sapi PO merupakan pilihan utama untuk menunjukkan cara melakukan estimasi efek
meningkatkan dan menjaga kemurnian sapi PO aditif dan heterosis dengan mempergunakan
serta pelestarian. Di masing-masing wilayah bangsa tetua 1, bangsa tetua 2, F1 dan F2.
perlu disusun baku performans yang Gambar 1 berikut menunjukkan 3 generasi
didasarkan pada performans optimum yang ternak dengan dua bangsa tetua (P1dan P2), F1
dapat dicapai dalam lingkungan yang tersedia. dan F2, dan backcross (B1,B2).
Seleksi terutama dilakukan untuk mendapat

35
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

P1 P2 disamping itu masih terdapat banyak faktor


yang perlu dipertimbangkan untuk
F1 keberhasilannya. Program yang dipilih
tergantung pada tersedianya input,
B1 B2 management dan teknologi.

F2

Gambar 1. Tiga generasi dengan dua bangsa tetua


(P1 dan P2), F1, F2, dan backcross (B1
dan B2)
F1

Apabila P1 adalah bangsa sapi PO dan P2 B2


adalah sapi eksotik maka besar efek aditif P2
adalah A = P2 – P1 = Perbedaan performans F2
sapi PO dan sapi eksotik. Besarnya efek Performans B1
heterosis (H), dan nilai penotip P2 yang
umumnya tidak diketahui diestimasi dengan
cara berikut.
P1
P1 = µ
P2 = µ + A
F1 = µ + ½ A + H
0 0,5 1,0
F2 = µ + ½ A + ½ H
Proporsi gen dari tetua eksotik
F1 – F2 = ½ H, dan
H = F1 – ½ (P1 + P2), maka Gambar 2. Performans yang diharapkan menurut
Greek Temple Model (P1 = PO, P2 =
P2 = 2F1 – P1 – 2H
bangsa eksotik, F1, F2, B1, B2)

Dengan cara demikian besar efek aditif dan Silangan pertama atau F1 selalu
heterosis dapat diestimasi. Perlu dijaga agar menunjukkan performans yang lebih baik
perbedaan penotip yang diamati bukan dibandingkan dengan semua tipe persilangan
cerminan dari lingkungan, waktu, lokasi, pakan yang lain pada kondisi efek heterosis sama
atau efek non genetik lain. besar atau lebih besar dibanding efek aditif.
Estimasi nilai A dan H dapat dipergunakan Akan tetapi memproduksi F1 secara terus
untuk mengetahui tipe persilangan mana yang menerus yang ditujukan untuk menghasilkan
menunjukkan prediksi hasil terbaik antara F1, terminal cross (persilangan terminal) akan
F2, B1 dan B2. Backcross ke bangsa PO membutuhkan pejantan eksotik atau semen
diestimasi dengan B1 = µ + ¼ A + ½ H, sedang bekunya secara terus menerus. Untuk tidak
backcross ke bangsa eksotik diestimasi dengan tergantung pada bangsa eksotik maka yang
B2 = µ + ¾ A + ½ H. ideal adalah membentuk bangsa sintetik atau
Persilangan pada sapi potong dipergunakan pembentukan bangsa baru. Pembentukan
untuk membentuk bangsa sintetik dengan bangsa baru dapat memilih bangsa sintetik
proporsi gen yang berbeda-beda dari dua dengan komposisi gen tertentu kemudian
bangsa yang disilangkan, dengan demikian dilakukan interse-mating dan seleksi secara
besar efek heterosis yang dipertahankan juga terus menerus. Bangsa baru yang terbentuk
berbeda-beda. akan merupakan bangsa yang mantap dengan
Performans yang diharapkan dari ciri-ciri tertentu.
bermacam-macam cara persilangan Pada populasi sapi PO cara pembentukan
digambarkan dalam suatu diagram seperti pada yang sederhana adalah dengan seleksi jantan
gambar 2 yang disebut Greek Temple Model dan betina pada F1 kemudian dihasilkan F2, dan
(CUNNINGHAM dan SYRSTAD, 1987). dilakukan seleksi dan sistem perkawinan untuk
Greek Temple Model dapat membantu menghasilkan generasi berikutnya. Bangsa
pemilihan program persilangan untuk baru yang terbentuk akan memiliki komposisi
menghasilkan ternak komersial namun gen yang sama dengan F1 yaitu 50% PO dan

36
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

50% bangsa eksotik, dengan persen heterosis Potensi biologik sapi PO sangat bervariasi
yang tetap yaitu 50%. Kalau bangsa baru(F2) disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang
sudah terbentuk maka penyebaran bangsa baru sangat bervariasi. Keunggulan sapi PO adalah
untuk peternakan rakyat hendaknya selektif daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi
untuk masing-masing wilayah. Penggunaan peternakan tradisional. Produktivitas sapi PO
bangsa baru keturunan Bos Taurus Eropa sangat bervariasi dan sangat tanggap terhadap
hanya untuk wilayah dimana pakan cukup perubahan dan perbaikan lingkungan.
tersedia. Pada pemeliharaan tradisional untuk Mengingat hal ini maka untuk meningkatkan
daerah dimana pakan tidak tercukupi sebaiknya produktivitas sapi PO di peternakan rakyat
dipergunakan keturunan Bos Taurus Amerika. yang segera dapat dilakukan adalah perbaikan
Pembibitan bangsa baru dilakukan di BPTU pengelolaan reproduksi dan pakan. Baku
atau BBPTU, koperasi atau usaha swasta dan Pengelolaan lingkungan untuk dapat mencapai
tidak dilakukan di peternakan rakyat. Dengan produktivitas yang optimum perlu diketahui.
demikian maka keragaman sumberdaya genetik Rekording sangat diperlukan agar dapat
sapi PO dapat terjaga. Seleksi dan sistem dilakukan pengamatan terhadap potensi genetik
perkawinan yang dilakukan dalam sapi PO yang diduga cukup besar
pembentukan bangsa baru dan untuk keragamannya karena belum banyak disentuh
menghasilkan pejantan unggul dapat oleh usaha seleksi. Keragaman ini merupakan
dijabarkan sebagai berikut. Sapi betina dan bahan dasar bagi usaha pemuliaan sapi PO.
jantan F1 akan diseleksi dan dipergunakan Program persilangan hendaknya
untuk menghasilkan F2, yang kemudian direncanakan dengan baik dan mempunyai
diseleksi secara terus menerus untuk tujuan yang pasti kalau tidak maka akan
menghasilkan bangsa baru. Seleksi induk merusak keragaman sumberdaya genetik sapi
didasarkan pada berat sapih anaknya, induk- PO. Ternak komersial dapat dihasilkan dengan
induk yang terbaik dipergunakan sebagai pembentukan bangsa baru dengan komposisi
pengganti di BPTU dan BBPTU dan sisanya gen 50% PO dan 50% bangsa eksotik yang
disebarkan ke peternak komersial (multiplier). terbentuk dari interse-mating F1 yang
Sebaliknya induk-induk yang terbaik di menghasilkan F2 sebagai bangsa baru dan
Peternakan komersial akan dimasukkan ke kemudian dilakukan seleksi terus menerus.
BPTU atau BBPTU. Seleksi pejantan di BPTU Bangsa eksotik yang akan dikembangkan di
atau BBPTU didasarkan pada uji performans suatu wilayah dipilih berdasar ekosistem
dan uji keturunan. Pejantan unggul bangsa baru wilayah terutama pakan yang tersedia.
yang dihasilkan akan dipergunakan untuk Penggunaan bangsa sapi Brahman untuk
menghasilkan semen beku untuk selalu membentuk bangsa eksotik bagi peternakan
meningkatkan mutu sapi bangsa baru yang rakyat tampaknya cocok, sedang penggunaan
dihasilkan di peternakan komersial bangsa Simmental dan Limousine perlu
(multiplier). Kebutuhan sapi bangsa baru untuk dipertimbangkan lebih dahulu.
peternakan rakyat akan diperoleh dari Dalam usaha untuk meningkatkan
peternakan multiplier. produksivitas sapi PO maka peranan BBPTU
ataupun BPTU perlu ditingkatkan disamping
itu keterlibatan swasta perlu dipacu terutama
KESIMPULAN dalam pembentukan bangsa baru untuk tujuan
komersial.
Penurunan populasi PO yang cukup besar
pada sepuluh tahun terakhir perlu diwaspadai
dan ditanggulangi dengan usaha pengendalian DAFTAR PUSTAKA
pemotongan dan pengembangan populasinya.
Pengembangan populasi lebih diarahkan untuk ACHMADI. 2000. Natural Increase Sapi Potong di
wilayah-wilayah diluar pulau Jawa yang saat Wilayah Jawa Tengah Bagian Timur Skripsi.
ini sudah memiliki sapi PO. Diperlukan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
kebijakan pemerintah untuk menetapkan
wilayah-wilayah pengembangan sapi PO ANONIMUS. 1992. Evaluasi Pelaksanaan Inseminasi
secara murni untuk pemanfaatan dan Buatan tahun 1991/1992 dan Rencana 1992/
pelestarian. Di wilayah-wilayah perlu dibentuk 1993. seminar Evaluasi Program IB. Dit. Bina
VBC, sehingga dapat dilakukan pemuliaan dan Produksi. Ditjen. Peternakan. Jakarta.
pemurnian sapi PO dengan mengadopsi pola ANONIMUS. 2003. Statistik Sapi Potong di Indonesia.
ONBS. Indonesian International Animal Science
Research and Development.

37
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

ASTUTI, M., W. HARDJOSUBROTO dan S. HIDAYAT, N. 2003. Estimasi Natural Increase Sapi
LEBDOSUKOJO. 1983. Analisa Jarak Beranak Potong di Wilayah Kabupaten Majalengka
Sapi Peranakan Ongole di Kecamatan Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan
Cangkringan, Daerah Istimewa Yogyakarta. UniversitasGadjah Mada. Yogyakarta.
Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar.
Cisarua, 6–9 Desember 1982. ISNAINIYATI, N. 2001. Penggunaan Jerami Padi
Fermentasi dan Kombinasi Jerami Padi Silase
ASTUTI. M. 1999. Pola Pengembangan bibit sapi Rumput Raja Sebagai Pakan Basal Serta
Potong di Indonesia (Pengadaan Pejantan Pengaruhnya Terhadap Pertambahan Bobot
Unggul). Makalah Disajikan pada Diskusi Badan dan Kualitas Daging Sapi Peranakan
Sehari Pengkajian Untuk Menentukan Arah Ongole. Tesis. Fakultas Pascasarjana
Pengembangan Bibit Sapi Potong di Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Indonesia. Bogor, 29 Juli 1999.
ISWANTO, Y. 2003. Produksi Karkas dan Non
BAKTI, A.S. 2002. Kenaikan Bobot Badan sapi Karkas Sapi Peranakan Ongole Jantan yang
peranakan Ongole Jantan dengan Penambahan Diberi Pakan Rumput Raja dan Konsentrat
Probiotik pada Pakannya. Skripsi. Fakultas dengan Penambahan Probiotik. Skripsi.
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta. Yogyakarta.
BALIARTI, E. 1991. Berat badan Anak Sapi KRISHADITERSANTO, R.I.P. 20032. Kinerja Sapi
Peranakan Ongole dan Peranakan Brahman Peranakan Ongole Jantan yang Disuplementasi
Hasil IB di Kabupaten Gunung Kidul. Buletin Bossdext. Skripsi. Fakultas Peternakan
Peternakan 15(2). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
BONGA, S.M.D. 2003. Pertambahan Bobot Badan MARAJO, S.D.T. 1989. Produktivitas Ternak Sapi
Sapi Peranakan Ongole Jantan yang Diberi Potong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis.
Pakan Basal Jerami Padi dan Dedak Halus Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah
dengan Additif Pakan Kultur Mikroba. Skripsi. Mada. Yogyakarta.
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta. MUKIJA. 1998. Tatalaksana Reproduksi sapi Potong
oleh Peternak di Kabupaten Dati II Gunung
CUNNINGHAM, E.P. and O. SYRSTAD. 1987. Kidul. Skripsi. Fakultas Peternakan
Crossbreeding Bos Indicus and Bos Taurus Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
For Milk Production in the Tropics. FAO
MURDJITO, G. 1995. Pemanfaatan Limbah Tahu (Air
Animal Production and Health Paper 68: 6-16.
Tahu) Sebagai Komboran Sapi Penggemukan
FAO. 1994. Implications of the Convention on dan Pendapatan Pengusaha Tahu di Pedesaan.
Biological Diversity. Report of an Informal Buletin Peternakan 13: 31-38.
Working Group. Animal Production and Health
NGADIYONO, N. 1988. Studi Perbandingan Beberapa
Division. FAO. Rome, 28-29 March 1994.
Sifat Produksi Sapi Peranakan Ongole,
HARDJOSUBROTO, W., H. MULYADI dan SUPIYONO. Shorthorn Cross dan Brahman Cross. Tesis.
1980. Performans Reproduksi Sapi-sapi Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.
Peranakan Ongole di Daerah Istimewa
OCTAVIA, T.Y. 2003. Kinerja Produksi dan Tingkah
Yogyakarta.. Laporan Seminar Ruminansia I,
Laku Sapi Peranakan Ongole Jantan yang
P3T, Bogor.
Dipelihara pada Kandang Terbuka, Tertutup
HARDJOSUBROTO, W., S. P. ATMODJO dan H. atau Terbuka Tertutup. Tesis. Fakultas
MULYADI. 1981. Baseline Data of Native Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Cattle (Grade Ongole Cattle) in Special Yogyakarta.
District of Yogyakarta. UGM. Rockefeller
PANE, I. 1990. Upaya Peningkatan Mutu Genetik
Foundation. Yogyakarta.
Sapi Bali di P3Bali. Seminar Nasional Sapi
HARDJOSUBROTO, W. 1992. Pola Pembiakan dan Bali. Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Output Sapi Potong di Daerah Istimewa Denpasar, Bali.
Yogyakarta. Buletin Peternakan. 16: 54-62.
PAYNE, W.Y.A. 1970. Cattle Production in the
Hasbullah, E.J. 2003. Kinerja Pertumbuhan dan Tropic. Western Printing Services. Ltd.
Reproduksi Sapi Persilangan Simmental Bristol. Longman.
Dengan Peranakan Ongole dan sapi Peranakan
PRAMONO, S.J. 2003. Perbedaan Penampilan
Ongole di Kabupaten Bantul.DIY. Tesis.
Reproduksi Antara Induk Sapi Peranakan
Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah
Ongole dengan Sapi Silangan Simmental
Mada. Yogyakarta.
Peranakan Ongole di Kabupaten Sleman DIY.
Hastuti, M. 2002. Kinerja Sapi Peranakan Ongole Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas
Jantan yang di Suplementasi Bioplus. Skripsi. Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.

38
Lokakarya Nasional Sapi Potong 2004

PRASETYA, D.A. 2002. Produksi Karkas dan Non SUNARDI. 2002. Pertambahan Bobot Badan Sapi
Karkas Sapi Peranakan Ongole Jantan yang Peranakan Ongole yang Diberi Pakan Basal
Diberi Pakan Jerami Padi dan Dedak Halus yang Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan
dengan Penambahan Feed Additive. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta. TALIB, C. dan A.R. SIREGAR. 1998. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Pertumbuhan Pedet
SAHIDAH. 2002. Estimasi Berat Hidup Sapi Peranakan Ongole dan Crossbrednya dengan
Peranakan Ongole Berdasar Ukuran Tubuh. Bos Indicus dan Bos Taurus Dalam
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Pemeliharaan Tradisional. Pros. Seminar
Gadjah Mada. Yogyakarta. Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-
2 Desember 1998.
SIREGAR, A.R., P. SITUMORANG, J. BESTARI, Y. SANI
dan R.H. MATONDANG. 1998. Pengaruh TEKSON, M. 2002. Pendugaan Pertambahan Alami
Flushing pada Induk Peranakan Ongole di Dua (Natural Increase) Sapi Potong di Kabupaten
Lokasi yang Berbeda Ketinggiannya pada Sleman. Skripsi. Fakultas Peternakan
Program IB di Kabupaten Agam. Prosiding Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
Bogor 1-2 Desember 1998. TRIYONO, A. 1998. Kinerja Sapi Peranakan Ongole
pada Sistem Penggemukan dengan Tipe
SOEPARNO. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Lantai Kandang Berbeda. Skripsi. Fakultas
Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Peternakan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
SUGIHARTO, Y. 2003. Produktivitas Sapi Peranakan
Ongole pada Pola Pemeliharaan Sistem WALUYO, R. 2004. Pengaruh Persilangan antara
Perkampungan Ternak dan Kandang Individu Sapi Simmental dengan Peranakan Ongole
di Kabupaten Sleman. Tesis. Fakultas Betina Terhadap Reproduksivitas di Kabupaten
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Kulon Progo. Skripsi. Fakultas Peternakan
Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

39

You might also like