You are on page 1of 33

LAPORAN PRAKTIKUM PENILAIAN STATUS ANTROPOMETRI

ANTROPOMETRI

NAMA KELOMPOK TGL. PERCOBAAN TEMPAT PERCOBAAN

: ALAUDDIN : 1 (SATU) : 11 September 2011 : LAB. TERPADU KESEHATAN MASYARAKAT FKM UNHAS

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Antropometri adalah suatu ilmu tentang pengukuran dimensi tubuh manusia secara luas dan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam proses perancangan produk maupun sistem kerja yang akan melibatkan interaksi manusia. Dari pengertian tersebut jelas bahwa didalam antropometri terdapat data yang berkaitan dengan kondisi fisik tubuh manusia misalnya tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, dan sebagainya (Gustitia Putri Perdana, 2010). Data antropometri berbeda-beda karena beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran tubuh manusia (Supariasa, 2002) yaitu: umur, jenis kelamin, suku bangsa, sosio ekonomi, dan posisi tubuh. Faktor pembeda tiap Antropometri tubuh juga bisa disebabkan oleh cacat tubuh, jenis pekerjaan, dan kondisi hamil pada wanita (Gustitia Putri Perdana, 2010). Untuk merancang produk yang ergonomis, penggunaan data antropometri berdasarkan variabilitasnya harus diperhatikan. Dengan memilih data antropometri yang tepat, maka seorang peneliti atau perancang produk akan mampu menyesuaikan bentuk dan geometris ukuran dari produk rancangannya dengan bentuk maupun ukuran segmen-segmen bagian tubuh yang nantinya akan mengoperasikan produk tersebut. Dengan demikian juga dapat dipastikan kalau sebagian besar (mayoritas) populasi dari konsumen produk tersebut nantinya akan dapat menggunakan/mengoperasikan produk secara efektif, efisien, dan nyaman, dan hanya sebagian kecil saja yang tidak dapat menggunakan (Gustitia Putri Perdana, 2010). 1.2 PRINSIP PERCOBAAN a. Mengukur TB, BB, TL, Lpi, Lpa, TLK pada Tricep, TLK pada Subscapula, dan LILA.

b. Hasil Pengamatan yang diperoleh kemudian diolah dan digunakan untuk menentukan status gizi secara antropometri. 1.3 TUJUAN PERCOBAAN Praktikum ini bertujuan untuk menentukan status gizi perseorangan dengan menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT), WHR, LILA, dan TLK. 1.4 MANFAAT PERCOBAAN a. Untuk mengetahui bagaimana suatu menilai saat dapat status gizi secara dan ahli

Antropometri dijadikan gizi.

sehingga dalam

diaplikasikan sebagai

acuan

mendukung

pekerjaan

b. Untuk menentukan status gizi sehingga dapat melakukan langkah pencegahan atau pengobatan bila status gizi kita rendah atau berlebihan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. PENGERTIAN STATUS GIZI Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diet (Beck, 2000: 1). Status gizi atau tingkat konsumsi pangan adalah suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang ( Supariasa, 2002) . Menurut Roedjito status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara

kebutuhan dan asupan gizi . Almatsir menyatakan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat. Di bedakan zat gizi antara status gizi kurang, baik dan lebih. Menurt Suharjo (1996) status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok-kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik dan energy dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dapat fisiknya diukur secara antropometrik. Status gizi adalah ekspresi dan keadaan keseimbangan atau perwujudan dari nutritur dalam bentuk variable tertentu (Supariasa, 2002). Asupan makanan yang cukup untuk memenuhi atau melampaui kebutuhan seseorang akan mempertahankan komposisi dan fungsi tubuh yang sehat dalam kisaran klinis yang normal. Oleh karena itu, banyak ukuran fisik dan klinis menunjukkan kegunaannya yang paling besar dalam suatu populasi ketika terdapat malnutrisi. Ukuran klinis meliputi (tetapi tidak terbatas pada) pemeriksaan fisik terhadap massa otot, keadaan edema, rambut dan kulit. Keterbatasan pada ukuran ini mencakup ketidakspesifikan tanda-tanda fisik, ketidakkonsistenan pemeriksa dan variasi pada pola tanda-tanda fisik (Supariasa, 2002)..

Pengukuran status gizi bertujuan untuk memperoleh suatu gambaran dimana masalah gizi terjadi dan dianalisa factor-faktor ekologi yang langsung atau tidak langsung. Sehingga dapat dilakukan upaya-upaya perbaikan (Gilbney, Margetts, Kearney, 2009). Menilai kondisi gizi masyarakat berbeda dengan menilai kesehatan perorangan, meskipun pada dasarnya terdapat banyak persamaan. Pada keduanya penilaian dilakukan berdasarkan a. kondisi klinik, b. kondisi biokimiawi, c. kondisi anthropometri, dan d. kondisi dietik (Sediaoetama, Djaeni, Achmad. 1988). 2. ANTROPOMETRI GIZI 2.1 Defenisi Antropometri Antropometri berasal dari kata antrophos dan metros. Antrophos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antrpometri adalah ukurn dari tubuh. Pengertian menurut Jellife (1966): Nutritional Antropometry ia Measurement of the Variations of the Physical Dimension and the Gross Composition of the Human Body at Different Age Levels and Degree of Nutrition, (Supariasa, 2002). Kesimpulan berdasarkan definisi tersebut, antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit (Supariasa, 2002). Pengertian istilah nutritional anthropometry mula-mula muncul dalam Body measurements and Human Nutrition yang ditulis oleh Brozek pada tahun 1966 yang telah didefinisikan oleh Jelliffe (1966) sebagai : Pengukuran besaran pada variasi dimensi tingkat fisik usia dan dan komposisi derajad

tubuh

manusia

pada

nutrisi yang berbeda.

2.2 Keunggulan Metode Antropometri Antropometri merupakan suatu metode yang sangat umum digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Adapun keunggulan dari metode ini menurut Supariasa (2001) adalah : a. Prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran antropometri. c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat. d. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan. e. Mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau. f. Umumnya dapat mengidentifikasi kasus gizi sedang, kurang dan gizi buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas. g. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, aatau dari satu generasi ke generasi berikutnya. h. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi. 2.3 Kelemahan Metode Antropometri Disamping antropometri, keunggulan metode penentuan status gizi secara

menurut

Supariasa

(2002)

terdapat

pula

beberapa

kelemahannya antar lain: a. Tidak sensitif Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. Disamping itu tidak dapat membedakan kekerangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe.

b. Faktor di luar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitifitas pengukuran antropometri. c. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas pengukuran antropometri gizi. d. Kesalahan ini terjadi karena : 1. Pengukuran. 2. Perubahan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan. 3. Analisis dan asumsi yang keliru. e. Sumber kesalahan biasanya berhubungan dengan : 1. 2. 3. Latihan petugas yang tidak cukup. Kesalahan alat atau alat tidak ditera. Kesulitan pengukuran.

2.4 Parameter dalam Metode Antropometri Dalam pengukuran status gizi secara antropometri, ada beberapa indeks yang digunakan yaitu : BB/U, TB/U, dan BB/TB, masing-masing indeks ini akan tepat jika digunakan untuk pengukuran anak balita dan masing-masing indeks mempunyai kelemahan dan keuntungan ( Azwar, Azrul. 2004). Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Di bawah ini akan diuraikan beberapa parameter itu (Supariasa, 2001:38): a) Umur Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi penentuan status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti jika tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supariasa, 2001:38).

b) Berat Badan Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air, dan mineral pada tulang. Pada remaja, lemak tubuh cenderung meningkat, dan protein otot menurun. Pada orang yang edema dan asites terjadi penambahan cairan dalam tubuh. Adanya tumor dapat menurunkan jaringan lemak dan otot, khususnya terjadi pada orang kekurangan gizi. Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai

pertimbangan, antara lain (Supariasa, 2001:39): a. Parameter yang paling baik, mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat karena perubahan-perubahan konsumsi makanan dan

kesehatan. b. Memberikan gambaran status gizi sekarang dan kalau dilakukan secara periodik memberikan gambaran yang baik tentang

pertumbuhan. c. Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum dan luas di Indonesia sehingga tidak merupakan hal baru yang memerlukan penjelasan secara meluas. d. Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur. e. Karena masalah umur merupakan faktor penting untuk penilaian status gizi, berat badan terhadap tinggi badan sudah dibuktikan dimanamana sebagai indeks yang tidak tergantung pada umur. f. Alat pengukur dapat diperoleh di daerah pedesaan dengan ketelitian yang tinggi dengan menggunakan dacin yang juga sudah dikenal oleh masyarakat. Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Alat yang digunakan di lapangan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan (Supariasa, 2001:39): a. Mudah digunakan dan dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain.

b. Mudah diperoleh dan relatif murah harganya. c. Ketelitian penimbangan sebaiknya maksimum 0,1 kg. d. Skalanya mudah dibaca. c) Tinggi Badan Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah lalu dan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat. Di samping itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac Suck), faktor umur dapat dikesampingkan (Supariasa, 2002:42). 3. Indeks Massa Tubuh (IMT) Masalah kelebihan dan kekurangan gizi pada orang dewasa (18 tahun keatas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai risiko penyakitpenyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan mempertahankan berat badan ideal atau normal (Supariasa, 2002:59). Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI). Di Indonesia istilah Body Mass Index diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupaka alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal

memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang (Supariasa, 2002:60).

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Batas ambang normal laki-laki adalah 20,1-25,0 dan untuk perempuan adalah 18,7-23,8.

Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defisiensi energi ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO atau WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat Berat dan menggunakan batas ambang pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat (Supariasa, 2002:60). Tabel 2.1 Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kurus Kekurangan ringan Normal Kelebihan berat badan tingkat ringan Gemuk Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0 >18,5-25,0 >25,0-27,0 berat badan < 17,0

IMT

tingkat 17,0-18,5

Berat normal adalah idaman bagi setiap orang agar mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Keuntungan apabila berat badan normal adalah penampilan baik, lincah dan risiko sakit rendah. Berat badan yang kurus dan berlebihan akan menimbulkan risiko terhadap berbagai macam penyakit (Supariasa, 2002:61). Suyono S dan Samsuridjal DJ pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1993) mengungkapkan tingkat risiko berbagai kategori dari IMT. Risiko penyakit jantung dengan kelompok IMT dapat dilihat pada tabel berikut (Supariasa, 2002:61):

Tabel 2.2 Risiko Relatif Penyakit Jantung dengan Kelompok IMT


IMT Kelompok Risiko Jumlah Lemak Sel 20-25 0 Sangat rendah >25-30 I Rendah >30-35 II Sedang Normal (Naik) 35-40 III Tinggi >40 IV Sangat Tinggi

Normal

Normal

Naik

Naik

4. Waist to-Hip Ratio (WHR) / Rasio Pinggang Pinggul Banyaknya lemak dalam perut menunjukkan ada beberapa metabolisme termasuk daya tahan terhadap insulin dan meningkatnya produksi asam lemak bebas, dibanding dengan banyaknya lemak bawah kulit atau pada kaki dan tangan. Perubahan metabolisme ini memberikan gambaran tentang

pemeriksaan penyakityang berhubungan dengan perbedaan distribusi lemak tubuh. Untuk melihat hal tersebut, ukuran yang telah umum digunakan adalah WHR. Pengukuran lingkar pinggang dan panggul harus dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan posisi pengukuran yang tepat. Perbedaan hasil pengukuran akan memberikan hasil yang berbeda. Seidill, dkk(1987) memberikan petunjuk bahwa rasio lingkaran pinggang dan panggul untuk perempuan adalah 0,77 dan 0,90 untuk laki-laki. 5. Body Fat Percentage (%BF) Pengukuran lemak tubuh melalui pengukuran ketebalan lemak bawah kulit (skinfold) dilakukan pada beberapa bagian tubuh, misalnya pada bagian lengan atas(trceps dan biceps), lengan bawah (forearm), tulang belikat (subscapular), di tengah garis ketiak (midaxillary), sisi dada (pectoral), perut (abdominal), supraliaka, paha, tempurung lutut (suprapatellar), dan

pertengahan tungkai bawah (medial calf).

Lemak tubuh dapat diukur secara absolut dinyatakan dalam kilogram maupun secara relatif dinyatakan dalam persen terhadap berat tubuh total. Jumlah lemak tubuh sangat bervariasi tergantung dari jenis kelamin dan umur. 6. Lingkar Lengan Atas (LILA) Lingkar Lengan Atas (LILA) merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat yang sulit diperoleh dengan harga yang lebih murah. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pada pengukuran ini adalah (Supariasa, 2002:46-48): a. Baku Lingkar Lengan Atas (LILA) yang sekarang digunakan belum mendapat pengujian yang memadai untuk digunakan di Indonesia. Hal ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian yang umumnya menunjukkan perbedaan angka prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) yang cukup berarti antar penggunaan LILA di satu pihak dengan berat badan menurut umur atau berat badan menurut tinggi badan maupun indeks-indeks lain di pihak lain, sekalipun dengan LILA. b. Kesalahan pengukuran pada LILA (pada berbagai tingkat keterampilan pengukur) relatif lebih besar dibandingkan dengan tinggi badan, megingat batas antara baku dengan gizi kurang, lebih sempit pada LILA dari pada tinggi badan. Ini berarti kesalahan yang sama besar jauh lebih berarti pada LILA dibandingkan dengan tinggi badan. c. Lingkar lengan atas sensitif untuk semua golongan tertentu (prasekolah) tetapi kurang sensitif pada golongan lain terutama orang dewasa. Tidak demikian halnya dengan berat badan. Alat yang digunakan merupakan suatu pita pengukur yang terbuat dari fiberglass atau jenis ukuran kertas tertentu berlapis plastik. Cara mengukurnya yaitu (Supariasa, 2002:48): a. Yang diukur pertengahan lengan atas sebelah kiri (tangan yang tidak aktif). Pertengahan ini dihitung jarak dari siku sampai batas lengan kemudian dibagi dua.

b. Lengan dalam keadaan bergantung bebas, tidak tertutup kain atau pakaian c. Pita dilingkarkan pada pertengahan lengan tersebut sampai cukup terukur keliling lingkar lengan, tetapi pita jangan terlalu kuat ditarik atau terlalu longgar. Pengukuran LILA pada kelompok Wanita Usia Subur (WUS) menurut Depkes RI (1994) adalah salah satu cara deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok berisiko Kekurangan Energi Kronis (KEK). Wanita usia subur adalah wanita usia 15-45 tahun. Pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek. Adapun tujuan Pengukuran LILA pada kelompok WUS tersebut adalah (Supariasa, 2002:48-49): a. Mengetahui risiko KEK WUS, baik ibu hamil maupun calon ibu, untuk menapis wanita yang mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR. b. Meningkatkan perhatian dan kesadaran masyarakat agar lebih berperan dalam pencegahan dan penanggulangan KEK. c. Mengembangkan gagasan baru di kalangan masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. d. Meningkatkan peran serta petugas lintas sektoral dalam upaya perbaikan gizi WUS yang menderita KEK. e. Mengerahkan pelayanan kesehatan pada kelompok sasaran WUS yang menderita KEK. Ambang batas LILA dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan BBLR. 7. Kesalahan yang Sering Muncul dalam Pengukuran Antropometri Didalam suatu pengukuran perlu diketahui pengertian presisi dan akurasi. Deswarni Idrus dan Gatot Kunanto (1990), memberikan pengertian mengenai presisi yaitu kemampuan mengukur subjek yang sama secara

berulang-ulang dengan kesalahan minimum. Sedangkan akurasi adalah kemampuan untuk mendapatkan hasil yang sedekat mungkin dengan hasil yang diperoleh. Namun, dalam pengukuran sering dijumpai berbagai kesalahan, diantara penyebabnya antara lain (Supariasa, 2002:63-64): a. Pada waktu melakukan pengukuran tinggi badan tanpa memperhatikan posisi orang yang diukur, misalnya belakang kepala, punggung, pinggul, dan tumit harus menempel di dinding. Sikapnya harus dalam posisis sempurna. Disamping itu pula kesalahan juga terjadi apabila petugas tidak memperhatikan situasi pada saat anak diukur. Contohnya adalah anak menggunakan sandal atau sepatu. b. Pada waktu penimbangan berat badan, timbangan belum di titik nol. c. Kesalahan pada peralatan, Tinggi badan dapat diukur dengan mikrotoa berkapasitas 200 cm dengan ketelitian 0,1 cm. LILA dapat diukur dengan pita LILA yang berkapasitas 33 cm dengan skala 0,1 cm. d. Kesalahan yang disebabkan oleh Tenaga Pengukur, keslahan ini dapat terjadi karena petugas pengumpul data kurang hati-hati atau belum mendapat pelatihan yang memadai. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran sering disebut Measurement Error. 8. Mengatasi Kesalahan Pengukuran Antropometri Secara garis besar untuk mengatasi kesalahan pengukuran, baik dalam mengukur sebab maupun akibat serta dampak dari suatu tindakan, dapat dikelompokkan sebagai berikut (Supariasa, 2002:64-65): a. Memilih ukuran yang sesuai dengan yang diukur. Misalnya mengukur tinggi badan menggunakan Mikrotoa, dan tidak menggunakan alat ukur lain yang bukan diperuntukkan untuk mengukur tinggi badan. b. Membuat prosedur baku pengukuran yang harus ditaati oleh seluruh pengumpul data. Petugas pengumpul data harus mengerti teknik, urutan dan langkah-langkah dalam pengumpulan data.

c. Pelatihan petugas. Pelatihan petugas harus dilakukan dengan sebaikbaiknya, baik ditinjau dari segi waktu maupun materi pelatihan. Materi pelatihan sebaiknyamenekankan pada ketelitian pembacaan dan pencatatan hasil. d. Peneraan alat ukur secara berkala. Alat timbang dan alat lainnya harus selalu ditera dalam kurun waktu tertentu. Apabila ada alat yang rusak, sebaiknya tidak digunakan lagi. e. Pengukuran silang antar pengamat. Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan presisi dan akurasi yang baik. f. Pengawasan dan uji petik.

BAB III METODE PERCOBAAN 3.1 ALAT Adapun alat yang digunakan dalam percobaan Penentuan Status Gizi perseorangan dengan IMT yaitu: timbangan seca, microtoice, lengthboard, alat ukur tinggi lutut, dan boneka tiruan balita. Kemudian adapun alat yang digunakan dalam percobaan Penentuan Status Gizi perseorangan dengan WHR, LILA, TLK yaitu: pita lila, pita circumference, dan kaliper. 3.2 BAHAN Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah 7 orang Mahasiswa dan sebuah boneka tiruan balita. 3.3 PROSEDUR KERJA 3.3.1 Penentuan Status Gizi perseorangan dengan IMT 3.3.1.1 Berat badan a. Subjek mengenakan pakaian biasa 9usahakan dengan pakaian yang minimal). Subjek tidak menggunakan alas kaki b. Pastikan timbangan berada pada penunjukkan skala dengan angka 0,0. c. Subjek berdiri diatas timbangan dengan berat yang tersebar merata pada kedua kaki dan posisi kepala dengan pandangan lurus kedepan. Usahakan tetap tenang. d. Bacalah berat badan pada tampilan dengan skala 0,1 kg terdekat. 3.3.1.2 Tinggi badan a. Subjek tidak mengenakan alas kaki. Posisikan subjek tepat dibawah microtoice (lihat gambar). b. Kaki rapat, lutut lurus. Tumit, pantat, dan bahu menyentuh dinding vertical. c. Subjek dengan pandangan lurus kedepan, kepala tidak perlu menyentuh didnding vertical. Tangan lepas kesamping badan dengan telapak tangan menghadap paha.

d. Mintalah subjek untuk menarik nafas panjang dan berdiri tegak tanpa mengangkat tumit untuk membantu menegakkan tulang belakang. Usahakan bahu tetap santai. e. Tarik microtoice hingga menyentuh ujung kepala, pegang secara horizontal. Pengukuran tinggi badan diambil pada saat menarik nafas maksimum. Dengan mata pengukur sejajar dengan alat penunjuk angka untuk menghindari kesalahan penglihatan. Catat tinggi badan pada skala 0,1 cm terdekat. 3.3.1.3 Tinggi Lutut Tinggi lutut digunakan jika objek yang diukur adalah mereka yang telah berusia lanjut (kebanyakan manula terkena osteoporosis sehingga tinggi sebenarnya tidak bisa diukur dengan cara pengukuran TB biasa: a. Objek duduk dengan salah satu kaki ditekuk hingga membentuk sudut 900 proximal hingga patela. b. Letakkan alat ukur dengan dasar (titik 0) pada telapak kaki tarik hingga titik tengah lutut. c. Baca alat ukur hingga 0,1 cm terdekat. d. Tentukan tinggi dengan rumus TB (laki-laki) = (2,08 x TL) + 59,01 TB (wanita) = (1,91 x TL) (0,17 x Umur) + 75,0 3.3.2 Penentuan Status Gizi perseorangan dengan WHR, LILA, TLK 3.3.2.1 Penentuan Rasio Lingkar Pinggang dan Lingkar Panggul (WHR) 3.3.2.1.1 Lingkar Pinggang a. Subjek menggunakan pakaian yang longgar (tidak menekan) sehingga alat ukur dapat diletakkan dengan sempurna. Sebaiknya pita pengukur tidak berada di atas pakaian yang digunakan. b. Subjek berdiri tegak dengan perut dalam keadaan yang relaks. c. Pengukur menghadap ke subjek dan meletakkan alat ukur melingkar pinggang secara horizontal dimana merupakan bagian yang paling kecil

dari tubuh. Seorang pembantu diperlukan untuk meletakkan alat ukur dengan tepat. Bagi mereka yang gemuk, dimana sukar menentukan bagian paling kecil, daerah yang harus diukur adalah antara tulang rusuk dan tonjolan iliaca. d. Pengukuran dilakukan di akhir dari ekspresi yang normal, dan alat ukur tidak menekan kulit. e. Bacalah dengan teliti hasil pengukuran pada pita hingga 0,1 cm terdekat. 3.3.2.1.2 Lingkar Panggul a. Subjek mengenakan pakaian yang tidak terlalu menekan. b. Subjek berdiri tegak dengan kedua lengan berada pada kedua sisi tubuh dan kaki rapat. c. Pengukur jongkok di samping subjek sehingga tingkat maksimal dari panggul terlihat. d. Alat pengukur dilingkarkan secara horizontal tanpa menekan kulit. Seorang pembantu diperlukan untuk mengatur posisi alat ukur pada sisi lainnya. e. Bacalah dengan teliti hasil pengukuran pada pita hingga 0,1 cm terdekat. 3.3.2.2 Pengukuran Lingkar Lengan Atas 3.3.2.2.1 Menentukan titik mid point pada lengan. a. Subjek diminta untuk berdiri tegak b. Mintalah subjek untuk membuka lengan pakaian yang menutup lengan kiri atas (bagi yang kidal gunakan lengan kanan). c. Tekukan subjek membetuk 900 , dengan telapak tangan mengahadap keatas. Pengukur berdiri dibelakang subjek dan menentukan titik tengah antara tulang atas pada bahu kiri dan siku. (lihat gambar). d. Tandailah titik tengah tersebut dengan pena. 3.3.2.2.2 Mengukur Lingkar Lengan Atas a. Dengan tangan tergantung lepas dan siku lurus disamping badan, telapak tangan menghadap ke bawah.

b. Ukurlah lingkar lengan atas pada posisi mid point dengan pita LILA menempel pada kulit. Perhatikan jangan sampai pita menekan kulit atau ada rongga antara kulit dan pita. c. Lingkar lengan atas dicatat pada skala 0,1 cm terdekat. 3.3.2.3 Menentukan Tebal Lipatan Kulit (TLK) Petunjuk umum: 1. Ibu jari dan jari telunjuk dari tangan kiri digunakan untuk mengangkat kedua sisi dari kulit dan lemak subkutan kurang lebih 1 cm proximal dari daerah yang diukur. 2. Lipatan kulit diangkat pada jarak kurang lebih 1 cm yang tegak lurus arah garis kulit. 3. Lipatan kulit tetap diangkat sampai pengukuran selesai. 4. Caliper dipegang oleh tangan kanan. 5. Pengukuran dilakukan dalam 4 detik setelah penekanan kulit oleh kaliper dilepas. 3.3.2.3.1 Mengukur TLK pada Tricep a. Subjek berdiri dengan kedua lengan tergantung bebas pada kedua sisi tubuh. b. Pengukuran dilakukan pada mid point (sama seperti LILA). c. Pengukur berdiri dibelakang subjek dan meletakkan telapak tangan kirinya pada bagian lengan yang paling atas kearah tanda yang telah dibuat dimana ibu jari dan jari telunjuk menghadap ke bawah. Tricept skinfold diambil dengan menarik pada 1 cm dari proximal tanda titik tengah tadi. (lihat gambar). d. Tricept skinfold diukur dengan mendekati 0,1 mm. 3.3.2.3.2 Mengukur TLK pada Subscapular a. Subjek berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung bebas pada kedua sisi tubuh. b. Letakkan tangan kiri ke belakang (lihat gambar)

c. Untuk mendapatkan tempat pengukuran, pemeriksa meraba scapula dan mencarinya ke arah bawah lateral sepanjang batas vertebrata sampai menentukan sudut bawah scapula. d. Subscapular skinfold ditarik dalam arah diagonal (infero-lateral) kurang lebih 450 ke arah horizontal garis kulit. Titik scapula terletak pada bagian bawah sudut scapula. e. Caliper diletakkan 1 cm infero-lateral dari ibu jari dan jari telunjuk yang mengangkat kulit dan subkutan dan ketebalan kulit diukur mendekati 0,1 mm.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 HASIL Tabel 1. Hasil Pengukuran Antropometri
No. 1 2 3 4 5 6 7 Nama Alauddin Achdazani Helmi Sumarni Nurhasana M. Sulaiman Nurhidayah J.K L P P P P L P BB (kg) 49.3 48,6 47 39,5 38,9 50 45,2 TB (cm) 157 153,4 152,5 149,5 154 162 150 TL (cm) 46 48 48 45,5 47,8 50,4 45,5 IMT 20 20,68 20,17 17,71 16,41 19,05 20.13 LPI 65,2 71,2 71,5 65,5 66 64,2 71 LPA 83 87,5 88 79,5 80,5 82,9 85 WHR 0,785 0,81 0,81 0,82 0,82 0,77 0.83 TRICEP (mm) 6 18 16 10 12 5 18,5 SUBSC APULA 6 18 19 11 8 9 12,5 %BF 10,3 48 30 21 20 10 29 LILA (cm) 24,8 25,5 25,1 23,8 22 22,5 25,8 TB TL 154,69 163,11 163,11 158,33 162,66 163,8 158,16

4.2 PERHITUNGAN 4.2.1 Menentukan IMT

(Normal) 4.2.2 Menentukan Tinggi Badan berdasarkan Tinggi Lutut

4.2.3 Menentukan WHR

(Resiko rendah) 4.2.4 Menentukan LILA LILA = 24,8 (Normal) 4.2.5 Menentukan % BF )

*( [( [

) )

+ ] ] % (Optimal)

4.3 PEMBAHASAN 4.3.1 Indeks Massa Tubuh (IMT) Dengan IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak-anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Di samping itu pula IMT tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti adanya edema , asitesis, dan hepatomegali. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap Alauddin, maka didapatkan nilai IMT dengan nilai 20, berarti Status gizi Alauddin dapat dikatakan normal jika merujuk pada ambang batas status gizi normal menurut FAO/WHO yaitu dengan IMT antara 18,5 22,9. Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan FAO/WHO, yang membedakan batas ambang untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk laki-laki adalah: 20,125,0;

dan untuk perempuan adalah : 18,7-23,8. Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defesiensi kalori ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan menggunakan ambang batas pada perempuan untuk kategori gemuk tingkat berat. Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalam klinis dan hasil penelitian dibeberapa negara berkembang. Berat badan normal adalah idaman bagi setiap orang agar mencapai tingkat kesehatan optimal. Beberapa keuntungan yang diberikan adalah penampilan baik, lincah, dan risiko sakit rendah. Berat bdan yang kurang ataupun berlebih akan menimbulkan resiko tinggi terhadap penyakit. 4.3.2 Waist to-hip Ratio (WHR)/ Rasio Pingang-panggul Selama ini untuk mengukur lemak tubuh sebagai cermin kegemukan seringkali digunakan metode indeks massa tubuh (IMT), dengan cara membagi nilai berat badan (kg) dengan tinggi badan (dalam satuan meter dikuadratkan). Jika hasilnya > 25, berarti tubuh kelebihan berat badan atau obesitas. Tapi, ada cara yang relatif lebih mudah dan akurat dalam menakar lemak tubuh yang berlebih, yaitu dengan mengukur lingkar pinggang dan panggul. Berdasarkan hasil pengukuran Lingkar pinggul dan lingkar panggul pada Alauddin, maka didapatkan hasil pengukuran Lingkar pinggang 65,2 cm dan panggul 83 cm. Jadi dapat dikatakan bahwa status gizi Alauddin normal atau optimal dan memiliki resiko rendah terkena penyakit yang berhubungan dengan berat badan berlebih. Bila ukuran pinggang melebihi 80 cm, sebaiknya jangan disepelekan. Kondisi ini bisa dijadikan indikator bahwa seseorang berisiko mengalami sindroma metabolik, sebagai gejala penyakit-penyakit berkaitan dengan kegemukan, seperti jantung koroner dan diabetes melitus. Pada wanita dan

pria Asia, secara medis ukuran pinggang ideal sebaiknya tidak > 80 cm, sedangkan pada pria ukurannya tidak > 90 cm. Lingkar pinggang seharusnya harus selalu di pantau sebab distribusi lemak tubuh yang paling dominan adalah pada perut, pinggang dan panggul. Pasalnya, jaringan lemak lebih banyak di perut, sehingga deposit-nya lebih banyak di bagian tersebut. Sehingga jika lemak sudah menumpuk di tubuh bagian tengah, umumnya dapat terjadi obesitas abdonimal(sentral). Kondisi ini lebih berbahaya, ketimbang obesitas keseluruhan, karena bagian perut merupakan sentral atau pusat fungsi organ-organ tubuh. Jika bagian sentral terganggu, otomatis dapat mengganggu sistem metabolisme tubuh. Karena itu, umumnya obesitas abdominal ini dialami pada orang yang memiliki tubuh bentuk apel (android), yang ditandai dengan penumpukkan lemak berlebihan di tubuh bagian atas. Jadi, jika Anda memiliki tubuh bentuk apel, risiko terkena penyakit-penyakit tersebut lebih tinggi, ketimbang yang bertubuh bentuk pir (ginoid). Selain ukuran lingkar pinggang ideal tidak melebihi 80 cm, ada metode lain yang bisa membuat indikasi ini semakin akurat. Berdasarkan distribusi lemak dalam tubuh, untuk mengetahui timbunan lemak pada rongga perut dapat diketahui melalui perbandingan antara ukuran lingkar pinggang dengan lingkar panggul atau lebih dikenal sebagai nilai rasio lingkar pinggang dan pinggul (waist to hip ratio). Dengan menggunakan alat sama, lingkar pinggang diukur tepat di atas pusar, sedangkan lingkar panggul diukur tepat di bagian pertengahan pantat. Jika hasil pembagian besarnya di atas 0,95 dapat dijadikan indikasi berisiko tinggi terkena sindroma metabolik. Misalnya, ukuran lingkar pinggang seseorang sebesar 85 cm, sedangkan ukuran panggul 90 cm. Setelah 85 dibagi 90, hasilnya 0,94. Maka ternyata, orang tersebut berisiko tinggi terkena penyakit yang berkaitan dengan kegemukan.

Sedangkan hasil yang di dapatkan pada pengukuran Rasio lingkar pinggang dan panggul terhadap Alauddin yaitu dengan membagi ukuran lingkar pinggang sebesar 65,2 cm dengan ukuran lingkar panggul sebesar 83 maka hasil yang di dapatkan adalah 0,785, jadi dapat dikatakan bahwa Alauddin masih beresiko rendah terkena penyakit yang berhubungan dengan berat badan berlebih. Yang perlu kita ketahui, selain penyakit sejenis kardioserebro vascular, seperti hipertensi, jantung koroner atau stroke, kondisi pinggang melar juga seringkali menjadi indikator kuat penyakit diabetes melitus. Perut buncit tidak langsung juga bisa menyebabkan gangguan fungsi organ tubuh lainnya. Seperti, pembengkakkan hati, penyakit ginjal, bahkan gangguan saluran pencernaan. 4.3.3 Lingkar Lengan Atas (LILA) Pengukuran LILA merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi, karena mudah, murah dan cepat, tidak memerlukan data umur yang terkadang susah diperoleh, memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lila mencerminkan cadangan energi, sehingga dapat mencerminkan: 1. Status KEP pada balita 2. KEK pada ibu WUS dan ibu hamil: risiko bayi BBLR Berdasarkan hasil pengukuran LILA terhadap Alauddin, maka didapatkan ukuran LILA sebesar 24,8 sehingga dapat di katakan bahwa status gizi Alauddin masih normal dengan kata lain tidak mengalami KEK. Ambang batas (Cut of Points) dari Lingakr Lengan Atas WUS dengan risiko KEK di Indonesia adalah < 23.5 cm, pada bayi 0-30 hari : 9.5 cm, dan Balita dengan KEP <12.5 cm. 4.3.4 Body Fat Percentage (%BF) / Tebal Lipatan Kulit (TLK) Ketebalan lapisan kulit sedikit banyaknya menunjukkan besarnya kadar lemak bawah kulit yang disebut juga subcutaneous adipose tissue.

Dengan rumus tertentu, penghitungan ketebalannya dapat menentukan persentase lemak tubuh yang sesuai atau kurang/berlebih terhadap usia dan jenis kelamin. Kelebihan lemak merupakan latarbelakang dari banyak gangguan kesehatan yang bisa terjadi, dan tak hanya kelebihan kadar kolesterol dalam darah, penimbunan lemak yang dapat terjadi dari konsumsi makanan berkalori tinggi atau mengandung kadar lemak tinggi secara berlebih juga bisa terjadi di bawah kulit sehingga menyebabkan tubuh kelihatan lebih gemuk dari semestinya. Oleh faktor-faktor lain seperti adanya gangguan pencernaan serta metabolisme abnormal pada tubuh, jaringan-jaringan di bawah kulit akan dipenuhi timbunan lemak yang bisa terlihat seperti lipatan-lipatan pada kulit. Lipatan kulit ini juga memperjelek penampilan dengan tampilan tarikan-tarikan pada kulit serta ketebalan yang cenderung berlebih, dan pada batas tertentu harus dihubungkan pada bantuan medis bila sudah terlalu over. Pada beberapa metode penurunan berat badan termasuk cara tradisional seperti tusuk jarum (akupunktur), pemberian medikasi pada beberapa kasus yang diperlukan atau teknikteknik yang lebih mutakhir seperti liposuction, mesotherapy atau masih banyak lagi, eliminasi lipatan kulit ini menjadi salah satu titik tujuan penatalaksanaannya disamping penurunan berat badan atau ukuran-ukuran lingkar tubuh. Cara paling konvensional untuk menghitung lipatan kulit dengan penggunaan beberapa jenis alat termasuk skinfolds callipher yang berupa penggaris dengan penjepit, adalah dengan menarik kulit dan jaringan subkutan diantara ibu jari dengan jari telunjuk pada jarak 6-8 cm di beberapa situs tubuh yang cenderung dipenuhi lipatan ini. Pada bagian triceps, bagian belakang dari lengan bagian atas, biseps, pektoral, di bagian tengah dada, di depan lipat ketiak, subskapula, dibawah perbatasan bahu, abdomen-di daerah perut, suprailiaka, di atas pinggang atau quadrisep di tengah paha bagian atas, penghitungannya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Penarikan kulit dengan bertolak dari beberapa titik yang ditandai di bagian-bagian otot tertentu tadi untuk memisahkannya dari kulit kemudian

diukur dengan menggunakan callipher tersebut. Bila nilainya sudah diketahui, ada beberapa metode berupa rumus konvensional hingga software-software yang sudah tersedia untuk menghitung kadar lemak tubuh secara keseluruhan. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap Alauddin, maka didapatkan hasil pengukuran tebal lipatan kulit bagian Trisep sebesar 6 dan scapula sebesar 6 juga, sehingga jika di masukkan ke dalam rumus perhitungan %BF (Body Fat Percentage) maka di dapatkan hasil sebesar 10,304, sehingga di dapatkan kesimpulan bahwa persentase lemak tubuh Alauddin masih tergolong Optimal. Selain menggunakan perhitungan dengan cara manual, ada juga sebagian ahli yang menghitung persentase lemak tubuh dengan bantuan sebuah program komputer atau software khusus. Keakuratan penghitungan ketebalan lipatan kulit terhadap persentase lemak tubuh hingga saat ini dinilai kebanyakan literatur akurat hingga 98%, dan ada petunjuk-petunjuk khusus untuk menghindari keadaan tubuh seperti berkeringat karena dapat menyebabkan kesalahan pengukuran. Penilaiannya sendiri dapat ditetapkan dengan beberapa standar, dan yang terbanyak digunakan adalah total dalam ukuran milimeter, pada individu normal laki-laki bervariasi dari 60 (sangat baik) hingga pada >150 (jelek), wanita dari 70 (sangat baik) hingga >150 (jelek), sementara pada olahragawan/atlit ada sedikit perbedaan mulai dari 40 pada pria hingga 130, dan wanita dari 50 hingga 130. Besarnya ketebalan lipatan kulit dalam perhitungan ini, menurut sebagian ahli, tak lagi memerlukan konversi untuk mengetahui lebih jauh persentase lemak tubuhnya secara keseluruhan, namun cukup dapat dilihat dari batasan nilai penghitungan lipatan kulit tersebut. Beberapa teknik terbaru juga sudah dapat menghitung kadar tiap standar perhitungan antropometri tadi secara keseluruhan dengan nilai tersendiri melalui penggunaan mesin-mesin berteknologi digital, namun besar kecil keakuratannya masih

dipertentangkan sebagian ahli. Bila hasil penghitungannya melewati batas normal maka sudah bisa dipastikan bahwa persentase lemak tubuh juga

berada dalam keadaan berlebih dan perlu diwaspadai dalam penjagaan kesehatan secara keseluruhan. Meski begitu, di luar estimasi dan terapannya terhadap penghitungan indeks-indeks lain dalam penentuan standar kesehatan, saat ini ketebalan lipatan kulit memang lebih sering digunakan untuk keluhan-keluhan estetika dan sasaran tujuan penurunan berat badan di banyak sentra penyedia pelayanannya, dan karena itu pula mengetahui ketebalannya sangat penting untuk keberhasilan sasaran estetis tersebut.

BAB V PENUTUP 5.1 KESIMPULAN Kesimpulan pada praktikum antropometri terhadap Alauddin yaitu: Status gizi Normal dengan IMT 20. Beresiko rendah berpenyakit akibat berat badan berlebih dengan WHR 0,785. Status gizi Normal dengan kata lain tidak mengalami KEK dengan LILA 24,8 cm. Memiliki persentase lemak tubuh Optimal dengan Body Fat Percentage 10,304%. 5.2 SARAN 1. Untuk Laboratorium, agar jumlah alat atau instrumen praktikum ditingkatkan jumlahnya untuk mengakomodasi kebutuhan para praktikan yang semakin meningkat juga, utamanya alat-alat yang dibutuhkan sebagai instrumen percobaan di lapangan. 2. Untuk Dosen, agar lebih menghargai waktu dan menghargai jadwal yang telah di sepakati sebelum dilaksanakannya proses perkuliahan atau pemberian materi. 3. Untuk Asisten, agar lebih memperhatikan para praktikan dan bertanggungjawab kepada kelompok yang telah ditunjuk sebagai tanggungjawabnya.

DAFTAR PUSTAKA Abunain Djumais, 1990. Aplikasi Antropometri sebagai Alat Ukur Status Gizi. Bogor: Puslitbang Gizi. Anonim. 2011. Antropometri. Diakses dari http://id.wikipedia.org. Diakses pada tanggal 16 Azwar, Azrul. September 2011. 2004. Tubuh Sehat Ideal Dari Segi Kesehatan.

http://www.obesitas.web.id/bmi(i).html . Diakses tanggal 06 juni 2010. Depkes RI. 2000. Program Perbaikan Gizi Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan RI.

Gilbney, Margetts, Kearney. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 94-96 Gustitia Putri Perdana. 2010. Perancangan software aplikasi

pengelolaan data antropometri sebagai pendukung penelitian dan perancangan produk berbasis ergonomi. Diakses dari

http://www.scientificpsychic.com. Pada tanggal 18 September 2011. Robert J. Muscat. 1985. Faktor Gizi (terjemahan). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Sediaoetama, Djaeni, Achmad. 1988. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat. Hal. 33 Supariasa, I Dewa Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 19-21 Wantana. 2010. Menghitung Tebal Lipatan Kulit. Diakses dari http://waspadamedan.com. Diakses pada tanggal 15 September 2011.

FOTO DOKUMENTASI PRAKTIKUM ANTROPOMETRI

Penimbangan berat badan

Pengukuran tinggi badan

Pengukuran tinggi lutut

Pengukuran LILA

Pengukuran tricep

Pengukuran scapula

Pengukuran lingkar pinggang

Pengukuran lingkar panggul

You might also like