You are on page 1of 3

Neo-konfusianisme mengajarkan tentang adanya dasar hubungan manusia dengan lima prinsip dasar ( five constant virtues) yang

dimiliki oleh langit yang memberikan dasar pembentukan masyarakat sekuler. Lima prinsip dasar yang dimiliki oleh langit tersebut disebut Gojou yaitu perasaan dan jiwa sebagai manusia (Jin), keadilan (Gi), kepemilikan (Rei), kebijaksanaan (Chi), dan kesetiaan yang baik (Shin). Kemudian, Konfusianisme mengajarkan pada masyarakat Jepang tentang Gorin (menjaga keselarasan hubungan antara manusia) antara atasan dan bawahan, ayah dan anak, suami dan istri, kakak dan adik, juga hubungan antara teman. Kedua hal ini mempengaruhi pola pikir masyarakat Jepang yang telah terbagi menjadi empat kelas masyarakat yang ada pada saat itu, samurai, petani, tukang, dan pedagang, dimana mereka percaya bahwa hubungan mereka satu sama lain, sehingga kesadaran akan status masing masing membuat mereka sering malakukan hara-kiri.

Kemudian, Budha memberi pengaruh yang sangat besar terhadap pola pikir dan perilaku orang jepang. Sekte Zen juga banyak dianut oleh para samurai yang mengajarkan meditasi sebagai jalan Budha melalui pencerahan diri. Mereka hanya perlu melakukan Nembutsu atau menyanyikan Amitha Budha, maka akan bisa langsung menuju Tanah Suci (Pure Land) dimana pencarahan itu berada. Ajaran ini banyak dianut terutama para samurai dimana dijadikan dasar dari tindakan ritual bunuh diri atau hara-kiri untuk mencapai pencerahan tersebut. Ketaatan, merupakan hal yang bersifat absolut yang harus dilakukan setiap samurai,

yakni patuh terhadap setiap perkataan dan perintah dari majikan. Nama baik keluarga, hal yang harus dijaga dan setiap samurai harus bisa mengorbakan

dirinya untuk keluarga. Kesetiaan, sifat wajib bagi setiap samurai untuk mengabdi satu tuan saja dan tidak

boleh mengabdi pada tuan yang lain. Harga diri, setiap samurai sangat menjunjung tinggi harga diri sehingga jauh lebik bagi

mereka bunuh diri daripada di permalukan. Mencapai pencerahan, salah satu nilai yang dipengaruhi oleh ajaran Budha sebagai

jalan menuju tanah suci dimana pencerahan itu berada.

Kisah hara-kiri yang terkenal adalah kematian Naganori Asano. Ia adalah salah satu anggota klan kano, yang pada Februari 1703 melakukan hara-kiri. Kematian asano ini disebabkan karena ia berusaha membunah kira di istana shogun di Edo setelah ia dilecehkan oleh kira. Ia mengeluarkan pisau di instana shogun. Tindakannya merupakan pelanggaran besar, oleh kareena itu Asano diperintahkan untuk melakukan hara-kiri.

Akan tetapi, banyak juga mereka yang tidak mempunyai keahlian selain menjadi bermain pedang dan menjadi samurai. Dan hal ini sempat membawa permasalahan dimana salah satu tokoh samurai yang tersisa, Saigo Takamori mengangkat senjata sebagai wujud protes terhadap pemerintah karena tidak memperhatikan para samurai yang sudah kehilangan sumber mata pencaharian. Dan pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan Saigo dan iapun menjadi samurai terakhir yang melakukan hara-kiri. Ia melakukannya semangat seorang samurai, demi menjaga kehormatannya. Dalam ritual ini, pelaku ditemani oleh seorang pelayan yang sudah ia pilih sendiri, (kaishakunin) yang berdiri disebelahnya. Ia bertugas membukakan kimononya dan mengambilkan tanta (pisau) yang akan ia gunakan untuk merobek perutnya dari kiri ke kanan. Dan kemudian, kaishakunin akan melakukan daki-kubi, sebuah potongan ketika prajurit tersebut telah selesai (hanya meninggalkan bekas garis tipis setelah kepala dan badannya terpisah). Karena ketelitian dan kecermatan sangat dibutuhkan untuk melakukan gerakan ini, orang kedua tersebut biasanya adalah pemain pedang yang handal. Kemudian, para samurai sepakat jika kaishaku dilakukan, biasanya, segera setelah pisau tersebut ditancapkan di perut. Orang kedua atau Kaishakunin dalam hara-kiri biasanya, tetapi tidak selalu, adalah seorang teman. Tetapi jika ia adalah seorang prajurit yang kalah di medan perang dengan terhormat, lawannya yang hendak menghormati akan menjadi sukarelawan untuk menjadi orang kedua atau kaishakunin. Sebenarnya selama berabad abad, permintaan kaishaku oleh samurai dianggap sebagai pertanda bahwa ia mengalami kesakitan. Beberapa samurai memilih untuk melakukan hara-kiri yang lebih menyiksa, yaitu jumonjigiri (irisan melintang). Dalam metode ini, tidak ada kaishaku yang akan mengakhiri kesengsaraan samurai dengan lebih cepat. Metode ini menambahkan gerakan mengiris secara vertikal pada perut. Seorang samurai yang melakukan jumonjigiri diharapkan melakukan ritual ini dengan tenang hingga ia mati karena kehabisan darah, mati dengan kedua tangan menutupi wajahnya.

You might also like