You are on page 1of 67

[HOTD] zina

Hadist riwayat Aisyah ra., ia berkata:


Sa`ad bin Abu Waqqash dan Abdu bin Zam`ah terlibat perselisihan mengenai seorang
anak. Kata Sa`ad: Ini adalah anak saudaraku `Utbah bin Abu Waqqash, yang dia
amanatkan kepadaku, dia adalah putranya, perhatikanlah kemiripannya! Abdu bin
Zam`ah menyangkal dan mengatakan: Dia ini saudaraku, wahai Rasulullah! Dia lahir di
atas tempat tidur ayahku dari budak perempuannya. Sejenak Rasulullah saw.
memperhatikan kemiripan anak itu, memang ada kemiripan yang jelas dengan Utbah.
Kemudian beliau bersabda: Dia adalah untukmu, wahai Abdu. Nasab seorang anak itu
dari perkawinan yang sah, dan bagi pezina itu adalah batu rajam. Hindarilah wahai
Saudah binti Zam`ah dari perkara tersebut!

Links:
[macam-macam dosa dan jalan menuju taubat]
http://www.al-ikhwan.net/index.php/at-tazkiyyah/2006/taubat-bagian-ke-3-macam-
macam-dosa-dan-jalan-menuju-taubat/
[Kafarat Zina Yang Belum Masuk]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/6419
[nikah mut'ah, zina beRkedOk ...!]
http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=223&Ite
mid=19
[jauhi zina]
http://ajimie.blogspot.com/2006/09/jauhi-zina.html
[nikah kaRena calOn istRi sudah mengandung]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/6486
[fatwa MUI tentang abORsi]
http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=101
[bOlehkah wanita yang peRnah zina menikah]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/5389
[pengkhususan hukuman zina dengan tiga hal]
http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Ite
mid=15
[teRlanjuR beRzina]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/6860
[peRkawinan setelah melakukan zina]
http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/059.shtml
[status anak hasil hubungan di luaR nikah]
http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=97&Ite
mid=19
[batas batas zina]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/20769
[nasab anak yang dinikahi waktu hamil]
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=974
&Itemid=30
[caRa beRhenti zinah ?]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/11389
[status anak zina]
http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg07562.html
[hukum cambuk bagi pezina]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/11163
[kRiteRia dOsa besaR menuRut al-quR'an dan hadis]
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-2.html
[status anak hasil zina : dapat waRiskah daRi ibunya?]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/12/cn/7313
[budaya mendekati zina]
http://www.tranungkite.net/v2/modules.php?name=News&file=article&sid=981
[malapetaka akibat zina]
http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=80&Ite
mid=15
[halal dan haRam dalam islam]
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/3034.html

-perbanyakamalmenujusurga-

http://www.al-ikhwan.net/index.php/at-tazkiyyah/2006/taubat-bagian-ke-3-macam-
macam-dosa-dan-jalan-menuju-taubat/

Taubat (bagian ke-3): Macam-Macam Dosa dan Jalan Menuju Taubat


Al-Ikhwan.net | 5 November 2006 | 13 Syawal 1427 H | Hits: 316
Abu Nu'man Mubarok

Macam-Macam Dosa

1. Dosa Besar. Yaitu dosa yang disertai ancaman hukuman di dunia, atau ancaman
hukuman di akhirat. Abu Tholib Al-Makki berkata: Dosa besar itu ada 17 macam.

• 4 macam di hati, yaitu: 1. Syirik. 2. Terus menerus berbuat maksiat. 3. Putus


asa. 4. Merasa aman dari siksa Allah.
• 4 macam pada lisan, yaitu: 1. Kesaksian palsu. 2. Menuduh berbuat zina pada
wanita baik-baik. 3. Sumpah palsu. 4. mengamalkan sihir.
• 3 macam di perut. 1. Minum Khamer. 2. memakan harta anak yatim. 3.
memakan riba.
• 2 macam di kemaluan. 1. zina. 2. Homo seksual.
• 2 macam di tangan. 1. membunuh. 2. mencuri.
• 1 di kaki, yaitu lari dalam peperangan
• 1 di seluruh badan, yaitu durhaka terhadap orang tua.

2. Dosa kecil. Yaitu dosa-dosa yang tidak tersebut diatas.

3. Dosa kecil yang menjadi besar

• Dilakukan terus menerus. Rasulullah bersabda: tidak ada dosa kecil apabila
dilakukan dengan terus menerus dan tidak ada dosa besar apabila disertai
dengan istighfar. Allah juga berfirman: “Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imran [3]: 135)
• Menganggap remeh akan dosa. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang
mu’min dalam melihat dosanya, bagaikan seorang yang berada di puncak
gunung, yang selalu khawatir tergelincir jatuh. Adapun orang fasik dalam
melihat dosanya, bagaikan seseorang yang dihinggapi lalat dihidungnya, maka
dia usir begitu saja.” (HR. Bukhori Muslim)
• Bergembira dengan dosanya. Allah berfirman: “Dan apabila dikatakan
kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam.
Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” (QS.
Al Baqarah [2]: 206)
• Merasa aman dari makar Allah. Allah berfirman: “Apakah tiada kamu perhatikan
orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian
mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan
pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada
Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka mengucapkan salam
kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang ditentukan Allah
untukmu. Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah
tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi
mereka neraka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al Mujadilah [58]: 7)
• Terang-terangan dalam berbuat maksiat. Rasulullah bersabda: “Semua
ummatku akan diampunkan dosanya kecuali orang yang mujaharah (terang-
terangan dalam berbuat dosa) dan yang termasuk mujaharah adalah: Seorang
yang melakukan perbuatan dosa di malam hari, kemudian hingga pagi hari Allah
telah menutupi dosa tersebut, kemudian dia berkata: wahai fulan semalam
saya berbuat ini dan berbuat itu. Padahal Allah telah menutupi dosa tersebut
semalaman, tapi di pagi hari dia buka tutup Allah tersebut.” (HR. Bukhori
Muslim)
• Yang melakukan perbuatan dosa itu adalah seorang yang menjadi teladan.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memberi contoh di dalam Islam dengan
contoh yang jelek, dia akan mendapat dosanya dan dosa orang yang
mengikutinya setelah dia tanpa dikurangi dosa tersebut sedikitpun.” (HR.
Muslim)

Jalan Menuju Taubat

1. Mengetahui hakikat taubat. Hakikat taubat adalah: Menyesal, meninggalkan


kemaksiatan tersebut dan berazam untuk tidak mengulanginya lagi. Sahal bin Abdillah
berkata: “Tanda-tanda orang yang bertaubat adalah: Dosanya telah menyibukkan dia
dari makan dan minum-nya. Seperti kisah tiga sahabat yang tertinggal perang”.

2. Merasakan akibat dosa yang dilakukan. Ulama salaf berkata: “Sungguh ketika saya
maksiat pada Allah, saya bisa melihat akibat dari maksiat saya itu pada kuda dan istri
saya.”
3. Menghindar dari lingkungan yang jelek. Seperti dalam kisah seorang yang membunuh
100 orang. Gurunya berkata: “Pergilah ke negeri sana … sesungguhnya disana ada
orang-orang yang menyembah Allah dengan baik, maka sembahlah Allah disana
bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke negerimu, karena negerimu adalah
negeri yang jelek.”

4. Membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya.

5. Berdo’a. Allah berfirman mengkisahkan Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan kami, jadikanlah
kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak
cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami
cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Al Maraghi
berkata: “Yang dimaksud ”terimalah taubat kami” adalah: Bantulah kami untuk
bertaubat agar kami bisa bertaubat dan kembali kepada-Mu.”

6. Mengetahui keagungan Allah yang Maha Pencipta. Para ulama salaf berkata:
“Janganlah engkau melihat akan kecilnya maksiat, tapi lihatlah keagungan yang
engkau durhakai.”

7. Mengingat mati dan kejadiannya yang tiba-tiba.

8. Mempelajari ayat-ayat dan hadis-hadis yang menakuti orang-orang yang berdosa.

9. Membaca sejarah orang-orang yang bertaubat.

[] (Tamat)

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/6419

Konsultasi : Nikah

Kafarat Zina Yang Belum Masuk

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr.wb

Ustadz, muda2an pertanyaan saya tdk termasuk kepada hal membuka aib sendiri yang
dimurkai Allah.
Saya sedang bingung dengan masalah yang saya hadapi. Ketika masa pacaran dulu kita
pernah hampir melakukan hubungan suami istri dengan pacar saya ( sekarang istri
saya), walaupun belum sampai penetrasi.
Pertanyaan saya. apakah ini sudah termasuk zina yang hanya bisa disucikan dosanya
dengan hukum cambuk? Kalau iya, dimana saya bisa menjalankan hukuman ini?
Saya berusaha taubat sejak saya meminang istri saya. Apa saja cara bertaubat dari
dosa zina ini ?
Tolong dijawab Pak ustadz.
NB. Mohon dirahasiakan identitas email saya.

Terimakasih

Wasalam

Doni

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Secara hukum fiqh, apa yang Anda lakukan itu belum bisa dihukum dengan hudud zina,
tidak itu rajam dan tidak juga cambuk.

Sebab beberapa syarat dalam hukuman hudud tentang zina itu belum tercukupi.

1. Belum adanya penetrasi atau masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kelamin


wanita.

Hal ini oleh para ulama dijadikan syarat dari sebuah perzinaan. Dan hal itulah
yang dahulu ditanyakan oleh Rasulullah SAW ketika ada orang yang mengaku
telah berzina. Beliau sampai bertanya,�Apakah seperti masuknya ember ke
dalam sumur ? �.

Artinya bahwa bila sebelum kemaluan laki-laki masuk ke dalam kemaluan


wanita pasangan zinanya, maka hal itu belum sampai kepada mewajibkan
hukum hudud. Meski pun hal itu tetap berdosa dan masuk dalam kategori
menedekati zina yang diharamkan.

2. Harus Dilakukan Oleh Pengadilan Syariat Yang Resmi

Kalau pun misalnya benar-benar terjadi zina, maka selama masalah itu tidak
diangkat kepada hakim, maka pelakunya tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.
Dan untuk bisa sampai ke meja hakim, harus ada salah satu dari dua
kemungkian.

Pertama dengan pengakuan dan kedua dengan menghadirkan 4 saksi.

3. Zina itu sendiri harus terjadi atau dilakukan di dalam wilayah yang
melaksanakan hukum syariat secara formal. Maka bila ada orang berzina di
negara ini, tidak bisa datang ke Saudi Arabia untuk minta dirajam atau
dicambuk, sebab harus terjadi di dalam wilayah hukum Islam.
Saat ini yang bisa Anda lakukan adalah bertobat nashuha, menyesal dan janji tidak
akan pernah mengulanginya lagi. Kami sarankan Anda melakukan banyak amal ibadah
agar timbangan amal Anda bisa lebih berat lagi. Misalnya kalau Anda punya sejumlah
harta, silahkan wakafkan dengan jumlah besar tapi dengan ikhlas. Niatkan agar ini bisa
menjadi penebus dari dosa-dosa di masa lalu. Meski ini bukan aturan baku, namun
intnya adalah perbanyak amal-amal shalih yang serius.

Misalnya Anda mewakafkan tanah, rumah, atau harta lainnya. Atau Anda mewajibkan
diri Anda untuk bisa belajar agama Islam sampai jadi ulama melalui sistem
pembelajaran yang profesional. Dan banyak lagi upaya yang melahirkan pahala besar
yang terus mengalir.

Di zaman canggih dan maju ini, Anda bisa mewakafkan buku syairah elektronik (e-
book) yang dipasang di sebuah situs Islam, dimana Anda membiayai pembuatannya
dengan niat wakaf dan semua orang akan bisa mengambil manfaat. Ini akan jadi
pahala yang terus mengalir. Sebab buku ini adalah buku wakaf yang setiap kali ada
orang di seluruh dunia ini yang belajar dari buku Anda, pahalanya itu akan dikirimkan
ke rekening amal Anda. Makin banyak yang mendownload, makin banyak pahala Anda.
Sungguh ini adalah wakaf yang tidak pernah kekurangan manfaat. Silahkan Anda coba
dan hubungi kami�

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=223&Ite
mid=19

Nikah mut'ah, Zina Berkedok ...!


Dikirim oleh Cyber Muslim || Selasa, 15 Agustus 2006 - Pukul: 06:59 WIB

Mungkin sebagian kita pernah mendengar ada seorang muslimah yang sangat aktif
berdakwah dan berkumpul dalam kelompok-kelompok dakwah mengidap penyakit
kemaluan semacam spilis atau lainnya. Itu bukan sesuatu yang mustahil terjadi, kita
tidak mengatakannya karena terjerumus ke dalam lembah hitam pelacuran, karena hal
itu sangat jauh untuk di lakukan oleh mereka meskipun tidak mustahil, akan tetapi hal
ini terjadi di sebabkan praktek nikah mut’ah atau nikah kontrak yang sesungguhnya
telah dilarang dalam syariat Islam, yang mana nikah model ini membuat seorang
wanita boleh bergonta ganti pasangan dalam nikah mut’ahnya.

Mencermati fenomena yang sebenarnya sudah lama terjadi ini terutama di dunia
kampus yang sudah kerasukan virus pemirikan nikah mut'ah, maka marilah kita berdoa
semoga melalui tulisan ini Alloh Subhanallohu wa Ta’ala memberikan petunjuk-Nya
kepada kita menuju jalan yang lurus.

Pengertian Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati.
Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan
berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa
kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri
antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mu’ah itu. (Fathul Bari
9/167, Syarah shahih muslim 3/554, Jami’ Ahkamin Nisa’ 3/169).

Hukum Nikah Mut’ah


Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang
tercantum dalam banyak hadits diantaranya:

Hadits Abdullah bin Mas’ud: "berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata
bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau
memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai
batas waktu tertentu". (HR. Bukhari 5075, Muslim 1404).

Hadits Jabir bin Salamah: "Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata:
Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah
maka sekarang mut’ahlah". (HR. Bukhari 5117).

Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi
para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut
dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa
nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah
tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad 3/495, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul
bari 9/170, Syaikh Al-Albani dalam irwaul Ghalil 6/314.

Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya:
Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: "Dari Ali bin abi Thalib berkata:
Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan
memakan daging himar jinak pada perang khaibar" (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407).

Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: "berkata:Rasululloh Shallallahu


‘alahi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah
saat kami masuk Makkah kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari
makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh bersabda: Wahai sekalian manusia,
sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita.
Sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang
memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan" (HR. Muslim 1406, Ahmad
3/404).

Hadits Salamah bin Akhwa Radiyallahu ‘anhu: "berkata:Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi


wa Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada
perang authos kemudian melarangnya" (HR. Muslim 1023).

Syubhat dan Jawabannya

Orang-orang yang berusaha untuk meracuni umat islam dengan nikah mut’ah, mereka
membawa beberapa syubhat untuk menjadi tameng dalam mempertahankan tindakan
keji mereka, tetapi tameng itu terlalu rapuh. Seandainya bukan karena ini telah
mengotori fikiran sebagian pemuda ummat Islam maka kita tidak usah bersusah payah
untuk membantahnya. Syubhat tersebut adalah

Pemikiran Mereka Yang Menafsirkan bahwa:


Firman Alloh Ta’ala: "Maka apabila kalian menikahi mut’ah diantara mereka (para
wanita) maka berikanlah mahar mereka" (QS. An-Nisa: 24).
Juga karena Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jelas pernah membolehkan nikah
mut’ah, padahal beliau tidak mungkin berbicara dengan dasar hawa nafsu akan tetapi
berbicara dengan wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang
berhubungan dengan nikah mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya nikah
mut’ah. (Lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh Al-Amili hal 9).

Jawaban Atas Syubhat ini adalah:


Memang sebagian ulama’ manafsirkan istamta’tum dengan nikah mut’ah, akan tetapi
tafsir yang benar dari ayat ini apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’
dengan mereka maka berikanlah maharnya sebagaimana sebuah kewajiban atas kalian.

Berkata Imam Ath Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut: Tafsir yang
paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian
berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena telah datang dalil dari
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam akan haramnya nikah mut’ah. (Tafsir Ath-
Thabati 8/175).

Berkata Imam Al-Qurthubi: Tidak boleh ayat ini digunakan untuk menghalalkan nikah
mut’ah karena Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa Sallam telah mengharamkannya. (tafsir
Al-Qurthubi 5/132).

Dan kalau kita menerima bahwa makna dari ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka
hal itu berlaku di awal Islam sebelum diharamkan. (Al-Qurthubi 5/133, Ibnu Katsir
1/474).

Kesalahan Pemikiran Pendukung Nikah Mut'ah Berikutnya adalah:


Hadits Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Akwa’ diatas
menunjukkan bahwa nikah mut’ah halal.

Maka Jawaban atas Hal ini adalah:


Semua hadits yang menunjukkan halalnya nikah mut’ah telah di mansukh. Hal ini
sangat jelas sekali dengan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang
artinya: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya dahulu saya telah mengizinkan kalian
mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat"

Berkata Imam Bukhari (5117) setelah meriwayatkan hadits Jabir dan Salamah: Ali telah
menjelaskan dari Rasululloh bahwa hadits tersebut dimansukh.

Syubhat Berikutnya adalah:


Sebagian para sahabat masih melakukan nikah mut’ah sepeninggal Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai umar melarangnya, sebagaimana disebutkan
dalam banyak riwayat, diantaranya:
Dari jabir bin Abdullah berkata: Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam
kurma atau tepung pada masa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa sallam juga Abu Bakar
sampai umar melarangnya.(Muslim 1023).

Jawaban bagi Seorang Muslim yang Taat Kepada Alloh Ta'ala:


Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya
kebolehan mut’ah. Berkata Imam Nawawi: Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang
masih melakukan nikah mut’ah pada Abu bakar da Umar belum mengetahui
terhapusnya hukum tersebut. (Syarah Shahih Muslim 3/555, lihat pula fathul bari,
zadul Ma’ad 3/462).

Perkataan yang salah dari salah seorang tokoh Nikah Mut'ah kontermporer:
Tidak senua orang mampu untuk menikah untuk selamanya terutama para pemuda
karena berbagai sebab, padahal mereka sedang mengalami masa puber dalam hal
seksualnya, maka banyaknya godaan pada saat ini sangat memungkinkan mereka untuk
terjerumus ke dalam perbuatan zina, oleh karena itu nikah mut’ah adalah solusi agar
terhindar dari perbuatan keji itu. (lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh husan Yusuf Al-Amili
hal 12-14).

Jawaban atas Syubhat ini adalah:


Ucapan ini salah dari pangkal ujungnya, cukup bagi kita untuk mengatakan tiga hal ini
:
Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya, dan sesuatu yang haram tidak
pernah di jadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi.
Kedua: ucapan ini Cuma melihat solusi dari sisi laki-laki yang sedang menggejolak
nafsunya dan tidak memalingkan pandangannya sedikitpun kepada wanita yang
dijadikannya sebagai tempat pelampiasan nafsu syahwatnya, lalu apa bedanya antara
mut’ah ini dengan pelacuran komersil????
Ketiga: islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu
pernikahan yang bersifat abadi dan kalau belum mampu maka dengan puasa yang bisa
menahan nafsunya, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yang
artinya: "Wahai para pemuda, barang siapa yang mampu menikah maka hendaklah
menikah, karena itu lebih bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, dan
barangsiapa yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena itu bisa menjadi
tameng baginya". (HR. Bukhari 5066, Muslim 1400). Wallahu a’lam.

http://ajimie.blogspot.com/2006/09/jauhi-zina.html

Monday, September 25

Jauhi Zina

.
Allah SWT tidak melarang suatu perbuatan apapun melainkan untuk kebaikan dan
kemuliaan kita, untuk menjauhkan kita dari kerugian, bahkan untuk melindungi kita
dari kehinaan dan kenistaan. Termasuk larangan untuk mendekati zina misalnya, "Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan sesuatu jalan yang buruk." (QS Al Isra [17] : 32)

Bukan jangan berzina, tapi jangan mendekati zina. Dengan kata lain, mendekati
zina saja dilarang, apalagi berzina. Bagaimana cara untuk tidak mendekati zina? Hal ini
tentu akan sangat berkaitan dengan bagaimana cara bergaul antara laki-laki dan
perempuan:

1. Menutup aurat

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan wanita-
wanita mukminah, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka,....." (QS Al Ahzab [33] : 59)

Telah berkata Aisyah r.a, "Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar menemui Nabi saw
dengan dengan memakai busana yang tipis, maka Nabi berpaling darinya dan bersabda,
"Hai Asma, sesungguhnya apabila wanita itu telah baligh (sudah haidh) tidak boleh
dilihat daripadanya kecuali ini dan ini", sambil mengisyaratkan pada muka dan telapak
tangannya." (HR Abu Dawud).

Termasuk bagian dari penyempurnaan menutup aurat adalah menggunakan pakaian


yang longgar (tidak ketat), tidak menggunakan kain yang transparan atau tipis, model
dan warna pakaian pun sebaiknya tak terlalu menarik perhatian laki-laki, juga tak
berlebihan dalam menggunakan wewangian.

2. Menundukkan Pandangan

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan


pandangannya dan memelihara kemaluannya ; yang demikian itu lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS An Nuur
[24] : 30)

"Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya


dan memelihara kemaluannya..." (QS An Nuur [24] : 31)

3. Tegas (suara) dalam berbicara

"Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.." (QS. Al
Ahzab [33] : 32)

4. Menjaga jarak; tidak bersentuhan

Telah berkata Aisyah r.a, "Demi Allah, sekali-kali dia (Rasul) tidak pernah menyentuh
tangan wanita (bukan mahram) melainkan dia hanya membai’atnya (mengambil janji)
dengan perkataaan." (HR Bukhari dan Ibnu Majah).

5. Tidak berikhtilath (berdua-duaan)

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki
sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya
yang ketiganya adalah syaitan." (HR Ahmad).

Dalam hal menutup aurat dan menjaga pandangan, walau laki-laki dan perempuan
keduanya harus menutup aurat dan menjaga pandangan, tapi menjaga aurat lebih
diutamakan bagi wanita sedangkan menjaga pandangan lebih diutamakan bagi laki-
laki.

Bila para wanita menutup aurat dengan baik, mudah-mudahan upaya tersebut bisa
membantu kaum lelaki yang belum mampu mengendalikan diri agar lebih terjaga
pandangannya. Sebaliknya, bila kaum lelaki senantiasa menjaga pandangannya, walau
ada wanita yang kurang sempurna menutup auratnya, maka tetap akan lebih sukar
terlihat.

Source: CyberMQ
Google Search: Jangan mendekati zina
.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/6486

Konsultasi : Nikah

Nikah Karena Calon Istri Sudah Mengandung

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Pak Ustadz, saya dulu waktu nikah istri saya sudah hamil (telat mens 1 bln), sehingga
kami buru2 nikah hanya di KUA saja tanpa pesta hajatan, khawatir kalau anak yang
dikandungnya keburu lahir bisa dikatakan anak haram.
Tapi setelah saya belajar agama lebih serius, ternyata tidak dibolehkan nikah pada
saat calon istri sedang hamil walau itu dari benihnya si laki2 sendiri, masa iddahnya
sampai bayinya lahir baru boleh dinikahkan.
Jadi status saya selama ini atau nikah kami jadi tidah sah pak ustadz (semua ini karena
ketololan saya yang tidak mengerti dengan aturan agama), terus saya harus
bagaimana, padahal saya nikah sejak 1985 punya anak 3 orang sudah besar2, apa kami
harus nikah ulang? terus status ke 3 anak saya bagaimana pak ustadz?
Saya mohon penjelasannya dan jalan keluarnya untuk bertobat supaya Allah yang Maha
Bijaksana bisa mengampuni kami.
Sukron atas penjelasannya.

Wassalam,

Hamba Allah

Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa
`Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Menikahi Wanita Yang Dihamili Sendiri

Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang hamil karena hubungan di luar nikah
boleh menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Dan jika anak yang dikandungnya
lahir setelah enam bulan dari aqad nikah, maka anak tersebut dinisbahkan kepada
bapaknya.

Tetapi jika anak tersebut lahir kurang dari 6 bulan dari akad nikah maka anak tersebut
tidak dapat dinisbahkan kepada bapaknya kecuali jika laki-laki tersebut menyatakan
dengan tegas bahwa anak tersebut adalah anaknya dan bukan hasil perzinahan.

Karena adanya pengakuan (iqrar) tersebut menjadi sebab penisbahan anak tersebut
kepada bapaknya, karena ada kemungkinan telah terjadi aqad sebelumnya atau
adanya hubungan yang samar (wath�u syabhah), dan ini juga berdasar kepada
keadaan orang muslim yang biasanya sholeh dan untuk menjaga kehormatan orang
tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, jika nasab anak tersebut dinisbahkan
kepada bapaknya (laki-laki yang menzinahi ibunya) maka ia berhak menjadi wali. Jika
tidak, maka ia tidak boleh menjadi wali bagi anak tersebut.

Menikahi Wanita Yang Dihamili Oleh Orang Lain

Sedangkan boleh tidaknya perempuan yang berzina menikah dengan laki-laki yang
bukan menghamilinya, para ulama berbeda pendapat terhadap hal tersebut:

1. Haram

Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut diharamkan, pendapat ini adalah
pendapatnya Hasan al-Bishry dan lain-lainya. Mereka berdasar pada firman Allah SWT :

�Dan perempuan yang berzina tidak menikahinya kecuali laki-laki yang berzina
atau pun musrik dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang yang beriman�
(An-Nur: 3).

Ayat ini menurut mereka menyatakan akan keharaman menikahnya perempuan yang
berzina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya.

2. Boleh

Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut dibolehkan. Sedang ayat di atas
bukan menjelaskan keharaman hal tersebut tetapi mununjukan atas pencelaan orang
yang melakukannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama.
Mereka pun berdasar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasa�y dari
Ibnu �Abbas, ia berkata: �Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, ia berkata:
Sesungguhnya istriku tidak bisa menjaga dirinya dari perbuatan zinah. Nabi pun
bersabda: �Jauhkalah dia�. Orang itu menjawab: �aku khawatir jiwaku akan
mengikutinya (karena kecintaannya)�. Nabi pun bersabda padanya: �Kalau begitu
bersenang-senanglah dengannya� (Nailul Author 6/145)

Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah: �Sesuatu yang harom tidak dapat
menghalalkan yang haram�. (HR Baihaqy)

Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang kebolehan menikahnya seorang wanita
yang berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal :

a. Fuqoha Hanafiyah

Mereka menyatakan jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya dengan
laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. Demikian juga jika si wanita tersebut
sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Akan tetapi ia tidak
boleh menggaulinya selama belum melahirkan.

Dengan dalil sebagai berikut:

a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena
itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam firman-Nya:

�Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu� (an-Nisaa: 24)

b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Dengan dalil hal
tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh
karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan.

Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia
melahirkan, adalah sabda Rasulullah SAW : �Barang siapa yang beriman kepada Alloh
dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain� (HR Abu
Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita hamil disebabkan orang lain.

b. Abu Yusuf dan Zufar

Mereka berpendapat bahwa tidak boleh melakukan aqad nikah terhadap wanita yang
hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli
wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya. Sebagimana halnya kehamilan
yang sah, yaitu; sebagaimana tidak bolehnya melaksankan aqad nikah dengan wanita
yang hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil karena zina pun tidak
sah.

c. Fuqoha Malikiyah

Mereka menyatakan bahwa tidak boleh melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang
berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibra�a), hal
tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau ditunggui tiga bulan. Karena
aqad dengannya sebelum istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan. Baik
sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah
kehamilannya sebagimana hadits �janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang
lain� atau dikhawtirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda
kehamilan.

d. Fuqoha Syafi�iyah

Mereka Mengatakan jika ia berzina dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan
menikah dengannya, hal tersebut berdasr pada firman Allah:

�Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu� (QS. An-Nisaa: 24)

Juga sabda Rasulullah SAW : �sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang
halal�

e. Fuqoha Hanabilah <

Mereka berpendapat jika seorang wanita berzinah maka tidak boleh bagi laki-laki yang
mengetahu hal tersebut menikahinya, kecuali dengan dua syarat:

a. Selesai masa �iddahnya dengan dalil di atas, �janganlah ia menyirami dengan


airnya ladang orang lain� dan hadit shohih �Wanita yang hamil tidak boleh digauli
sampai ia melahirkan�

b. Wanita tersebut bertaubat dari zinanya berdasarkan firman Alloh SWT: �dan hal
tersebut diharmkan bagi orang-orang mu�min� (an-Nur: 3) dan ayat tersebut berlaku
sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharaman menikahinya sebab
Rasulullah SAW bersabda: �Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang
tidak memiliki dosa�

Jika hukum hudud belum diterapkan di negeri ini, maka orang yang melakukannya
harus banyak beristigfar dan segera bertaubat kepada Alloh dengan taubat nasuha, dan
tidak boleh mengulangi lagi hal tersebut. Karena tidak mungkin orang tersebut
melakukan hukuman hudud atau dirinya sendiri. Karena hukum hudud harus
dilaksanakn oleh negara dalam hal ini mahkamah khusus yang telah ditunjuk.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=101

FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
NOMOR : 4 TAHUN 2005
Tentang
ABORSI

Bismillahirrahmaanirrahiim

Majelis Ulama Indonesia, setelah


Menimbang :

a. bahwa akhir-akhir ini semakin banyak terjadi tindakan aborsi yang dilakukan
oleh masyarakat tanpa memperhatikan tuntunan agama;
b. bahwa aborsi tersebut banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki
kompetensi sehingga menimbulkan bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan
bagi masyarakat umumnya;
c. bahwa aborsi sebagaimana yang tersebut dalam point a dan b telah
menimbulkan pertanyaan masyarakat tentang hukum melakukan aborsi, apakah
haram secara mutlak ataukah boleh dalam kondisi-kondisi tertentu;
d. bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan
fatwa tentang hukum aborsi untuk dijadikan pedoman.

Mengingat :

1. Firman Allah SWT :


Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi
rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu
yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).
(QS. al-An`am[6]:151).
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar.” (QS. al-Isra`[17]:31).
”Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik. Dan orang yang
melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. Dan
orang-orang yang berkata: ”Ya, Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari
kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”. Sesungguhnya
Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-
tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan
yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan (alas an) yang benar, dan tidak berzina,
barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan
dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang
yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan
mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh,
maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-
benarnya.” (QS. al-Furqan[25]:63-71).
“Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur),
maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah
kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di
antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat
bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah
bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah.” (QS. al-Hajj[22]:5)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal
daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging, Kemudian Kami jadikan dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
(QS: al-Mu`minun[23]:12-14)
2. ”Seseorang dari kamu ditempatkan penciptaannya di dalam perut ibunya
dalam selama empat puluh hari, kemudian menjadi `alaqah selama itu pula
(40 hari), kemudian menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari); kemudian
Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan
dikatakan kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau
bahagia-(nya); kemudian ditiupkan ruh padanya.” (Hadits riwayat Imam al-
Bukhari dari `Abdullah).
”Dua orang perempuan suku huzail berkelahi. Lalu satu dari keduanya
melemparkan batu kepada yang lain hingga membunuhnya dan (membunuh
pula) kandungannya. Kemudian mereka melaporkan kepada Rasulullah. Maka,
beliau memutuskan bahwa diat untuk (membunuh) janinnya adalah
(memberikan) seorang budak laki-laki atau perempuan.” (Hadist muttafaq
`alaih –riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim- dari Abu Hurairah; lihat `Abdullah
bin`Abdur Rahman al-Bassam, Tawdhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram,
[Lubnan: Mu`assasah al-Khidamat al-Thiba`iyyah, 1994], juz V, h.185):
”Tidak boleh membahakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan
orang lain.” (Hadist riwayat Ibnu Majah dari `Ubadah bin al-Shamit, Ahmad dari
Ibn `Abbas, dan Malik dari Yahya).
3. Qaidah Fiqih :
”Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan dari pada
mendatangkan kemaslahatan.”
”Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan).”
”Hajat terkadang dapat menduduki keadaan darurat.”

Memperhatikan :

1. Pendapat para ulama :


a. Imam al-Ghazali dari kalangan mazhab Syafi`I dalah Ihya` `Ulum al-Din,
tahqiq Sayyid `Imrab (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2004), juz II, hal.67 :
jika nutfah (sperma) telah bercampur (ikhtilah) dengan ovum di dalam
rahim dan siap menerima kehidupan (isti`dad li-qabul al-hayah), maka
merusaknya dipandang sebagai tindak pidana (jinayah).
b. Ulama Al-Azhar dalam Bayan li-an-Nas min al-Azhar asy-Syarif (t.t.:
Mathba`ah al-Mushhaf al-Syarif, t.th.), juz II, h. 256 :
Jika aborsi dilakukan sebelum nafkhi ar-ruh, maka tentang hukumnya
terdapat empat pendapat fuqaha`.Pertama, boleh (mubah) secara
mutlak, tanpa harus ada alasan medis (`uzur); ini menurut ulama
Zaidiyah, sekelompok ulama Hanafi –walaupun sebagian mereka
membatasi dengan keharusan adanya alasan medis, sebagian ulama
Syafi`i, serta sejumlah ulama Maliki dan Hanbali.Kedua, mubah karena
adala alasan medis (`uzur) dan makruh jika tanpa `uzur; ini menurut
ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi`i. Ketiga, makruh secara
mutlak; dan ini menurut sebagian ulama Maliki. Keempat,haram; ini
menurut pendapat mu`tamad (yang dipedomani) oleh ulama Maliki dan
sejalan dengan mazhab Zahiri yang mengharamkan `azl (coitus
interruptus); hal itu disebabkan telah adanya kehidupan pada janin yang
memungkinkannya tumbuh berkembang.
Jika aborsi dilakukan setelah nafkhi ar-ruh pada janin, maka semua
pendapat fuqaha` menunjukkan bahwa aborsi hukumnya dilarang
(haram) jika tidak terdapat `uzur; perbuatan itu diancam dengan sanksi
pidana manakala janin keluar dalam keadaan mati; dan sanksi tersebut
oleh fuqaha` disebut dengan ghurrah.
c. Syaikh `Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa Al-Azhar) dalam Ahsan al-
Kalam fi al-Taqwa, (al-Qahirah: Dar al-Ghad al-`Arabi, t.th.), juz IV, h.
483:
Jika kehamilan (kandungan) itu akibat zina, dan ulama mazhab Syafi`i
membolehkan untuk menggugurkannya, maka menurutku, kebolehan itu
berlaku pada (kehamilan akibat) perzinaan yang terpaksa (perkosaan) di
mana (si wanita) merasakan penyesalan dan kepedihan hati. Sedangkan
dalam kondisi di mana (si wanita atau masyarakat) telah meremehkan
harga diri dan tidak (lagi) malu melakukan hubungan seksual yang haram
(zina), maka saya berpendapat bahwa aborsi (terhadap kandungan
akibat zina) tersebut tidak boleh (haram), karena hal itu dapat
mendorong terjadinya kerusakan (perzinaan).
2. Fatwa Munas MUI No.1/Munas VI/MUI/2000 tentang Aborsi.
3. Rapat Komis Fatwa MUI, 3 Februari 2005; 10 Rabi`ul Akhir 1426 H/19 Mei 2005
dan 12 Rabi`ul Akhir 1426 H/21 Mei 2005.
Dengan memohon taufiq dan hidayah Allah SWT

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG ABORSI


Pertama : Ketentuan Umum

1. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan


sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati.
2. Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan
sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar.

Kedua : Ketentuan Hukum

1. Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding


rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun
hajat.
a. Keadaan darurat yang berkaitan dengan kehamilah yang membolehkan
aborsi adalah:
1. Perempuan hamil menderita sakit fisik berat seperti kanker
stadium lanjut, TBC dengan caverna dan penyakit-penyakit fisik
berat lainnya yang harus ditetapkan oleh Tim Dokter.
2. Dalam keadaan di mana kehamilan mengancam nyawa si ibu.
b. Keadaan hajat yang berkaitan dengan kehamilan yang dapat
membolehkan aborsi adalah:
1. Janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang
kalau lahir kelak sulit disembuhkan.
2. Kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang
berwenang yang didalamnya terdapat antara lain keluarga
korban, dokter, dan ulama.
c. Kebolehan aborsi sebagaimana dimaksud huruf b harus dilakukan
sebelum janin berusia 40 hari.
3. Aborsi haram hukumnya dilakukan pada kehamilan yang terjadi akibat zina.

Keputusan fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap muslim yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak
untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 12 Rabi`ul Akhir 1426 H
21 Mei 2005

MAJELIS ULAMA INDONESIA


KOMISI FATWA,
Ketua Sekretaris

K.H. Ma`ruf Amin Hasanudin

http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Ite
mid=15

Pengkhususan Hukuman Zina Dengan Tiga Hal


Dikirim oleh Kontributor || Rabu, 28 Juni 2006 - Pukul: 10:32 WIB

Alloh ‘Azza wa Jalla mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan


dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga hal, yaitu Pertama , Alloh melarang
hamba-hambaNya untuk merasa kasihan kepada para pelaku zina sehingga mencegah
mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina itu. Sebab, Alloh ‘Azza wa
Jalla mensyari'at kan hukuman tersebut didasarkan pada kasih sayang dan rahmatNya
pada mereka. Alloh itu sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut
tidaklah mencegah Alloh untuk memerintahkan berlakunya hukuman ini. Oleh
karenanya janganlah kasih sayang yg ada di hati kalian itu mencegah kalian untuk
melaksanakan perintah Alloh.

Hal ini -walaupun sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud)yang
disyari'atkan- namun disebutkan dalam hukuman zina suatu kekhususan, karena
memang sangat penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak
mempunyai perasaan marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka
pada pencuri, atau orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka
cenderung lebih kasihan pada pezina ketimbang kepada para pelaku dosa lainnya. Dan
realita membuktikan hal itu. Oleh karena itu Alloh melarang mereka, jangan sampai
rasa kasihan mereka itu membuat tidak diberlakukannya hukuman Alloh ‘Azza wa
Jalla.

Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul? Penyebabnya yaitu karena perbuatan
zina ini bisa terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam
jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya (melampiaskan
libido. pent) dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling
banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara hati manusia itu secara tabiat,
punya perasaan kasihan pada orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di antara
mereka yang siap memberikan bantuan pada mereka, walaupun sebenarnya bentuk
dari percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal seperti ini sudah tidak
dipungkiri lagi. Dan hal itu memang sudah diakui oleh orang-orang.

Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi dengan adanya suka sama
suka dari kedua belah pihak, bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan lainnya yang
membuat jiwa orang-orang itu geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh, sehingga timbullah perasaan kasihan yang
mungkin akan menghambat ditegakkannya hukuman Alloh I. Ini semua timbul dari iman
yang lemah. Kesempurnaan iman itu dapat dicapai dengan adanya kekuatan yang
dengan itu perintah Alloh dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang)
terhadap orang yang dijatuhi hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Alloh
dalam perintah dan rahmatNya.

Kedua, hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam
hukuman zina yang ringan saja, Alloh menggabungkan antara hukuman terhadap fisik
dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari
negerinya selama satu tahun.

Ketiga, Alloh‘Azza wa Jalla memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik
itu cambuk ataupun rajam, pent) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-
orang mukmin, bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat
menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hukuman tersebut lebih efektif untuk tujuan
"zajr" (membuat jera pelaku dan membuat takut orang lain melakukannya). Hukuman
bagi pezina yang "muhshan" (sudah berkeluarga) diambil dari hukuman Alloh terhadap
kaum Nabi Luth' u yang dilempar dengan batu. Yang demikian itu karena perbuatan
zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth' u) adalah sama-sama
perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang
bertentangan dengan hikmah Alloh di dalam penciptaan perintahNya. Kerusakan dan
bahaya yang ditimbulkan oleh praktek liwath (homosex) itu sungguh sulit untuk
dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut lebih pantas dan lebih baik
untuk dibunuh saja; sebab dia itu mengalami kerusakan yang tidak bisa diharapkan
untuk baik kembali selamanya. Semua kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah
menyerap habis rasa malu dari mukanya, sehingga dia tidak akan malu lagi kepada
Alloh, juga kepada makhlukNya. Hati dan jiwa orang tersebut sudah dipengaruhi oleh
sperma pelaku liwath seperti berpengaruhnya racun dalam tubuh seseorang.

Ada perbedaan pendapat di antara sebagian orang; apakah orang yang menjadi pelaku
liwath itu bisa masuk Surga atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku
mendengar Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini.

Mereka yang mengatakan tidak akan masuk Surga memberikan hujjah dengan
beberapa hal: Di antaranya, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak
akan masuk Surga anak seorang pezina."

Bila nasib dan kondisi anak hasil zina sudah demikian, padahal dia tidak mempunyai
dosa apa-apa, hanya saja dia dicurigai sebagai tempat berbagai kejelekan dan
kekotoran, serta dia pantas untuk tidak mendatangkan kebaikan apa pun selamanya,
disebabkan karena dia tercipta dari nuthfah (sperma) yang kotor; bila tubuh yang
tumbuh menjadi besar dengan barang yang haram saja sangat pantas untuk masuk api
Neraka, maka bagaimana lagi dengan tubuh yang memang tercipta dari sperma yang
haram?

Mereka mengatakan: Orang yang menjadi pelaku liwath itu lebih jelek dari anak hasil
zina, lebih hina dan lebih kotor pula. Dia itu memang pantas untuk tidak mendapat
taufik kebaikan. Dia juga pantas dihalangi untuk mendapatkan taufik tersebut. Dan
setiap kali dia melakukan amal yang baik, maka Alloh akan menggandengkannya
dengan amalan lain yang dapat merusaknya, sebagai hukuman baginya. Dan memang
jarang kita dapati bahwa orang yang sudah seperti itu di masa kecilnya, kecuali dia
akan lebih parah di masa tuanya. Dia tidak berhasil mendapatkan ilmu yang
bermanfaat, amal yang shalih dan taubat yang nashuha.

Namun setelah diteliti, yang lebih pas untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa
bila orang tersebut bertaubat dan kembali kepada Alloh, kemudian mendapatkan
karunia taubat yang nashuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua lebih
baik dari kondisi di masa kecilnya, lalu merubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan
berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan
pendekatan diri kepada Alloh, juga menjaga pandangan matanya, menjaga
kemaluannya dari yang haram dan benar-benar jujur kepada Alloh dalam mu'amalah-
nya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan termasuk
ahli Surga. Sebab, Alloh Maha mengampuni seluruh dosa. Bila taubat itu -kita ketahui-
dapat menghapus segala macam dosa, sampai dosa syirik kepada Alloh, membantai
para nabi dan para waliNya, atau sihir, kufur dan lain semacamnya, maka kita tidak
boleh membatasi penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan
dan karunia Yang Maha Kuasa, hikmah Alloh menetapkan bahwa: "Orang yang
bertaubat dari dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa."

Dan Alloh sendiri telah memberikan jaminan bahwa barangsiapa yang bertaubat dari
perbuatan syirik, pembunuhan jiwa dan zina, Alloh akan mengganti perbuatan-
perbuatan jeleknya dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang
umum mencakup setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.

Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman: "Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang aniaya


terhadap diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Alloh, sesungguhnya
Alloh akan mengampuni seluruh dosa, seungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha
Pengasih." (Az-Zumar: 53) Dan tidak akan keluar dari keumuman ayat ini satu macam
dosa pun. Namun hal ini hanya khusus bagi mereka yang bertaubat.

Bila ternyata orang yang menjadi pelaku perbuatan liwath itu di masa tuanya lebih
jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan karunia taubat nashuha dan amal shalih,
tidak segera mengganti ketaatan yang dia tinggalkan dan tidak pula mau
menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga tidak mengubah perbuatan-perbuatan
jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam ini sulit untuk mendapatkan husnul
khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam Surga di saat akan meninggal kelak.
Hal itu sebagai hukuman baginya. Sungguh Alloh memberikan hukuman atas perbuatan
yang jelek dengan kejelekan lainnya, sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek
yang akan diterimanya, sebagaimana Alloh juga memberikan ganjaran bagi sebuah
perbuatan baik dengan perbuatan baik lainnya.

(Dikutip dan diolah dari: JANGAN DEKATI ZINA, Karya Al-Imam Ibnu Qayyim Al-jauziyah)

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/5389
Konsultasi : Nikah

Bolehkah Wanita yang Pernah Zina Menikah

Pertanyaan:

Ustad bagaimana hukumnya bagi wanita atau pria yang pernah berzina menikah
dengan orang lain selain dengan orang yang pernah berzina dengannya?
tolong disertakan dalil2nya.

Rika

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Ada sebuah ayat yang kemudian dipahami secara berbeda oleh para ulama. Meski pun
jumhur ulama memahami bahwa ayat ini bukan pengharaman untuk menikahi wanita
yang pernah berzina.

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mu'min. (QS. An-Nur : 3)

Lebih lanjut perbedaan pendapat itu adalah sbb :

1. Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama

Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah
mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina.

Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana
dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu ?

Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini. Dalam hal ini mereka mengatakan
bahwa lafaz �hurrima� atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman
namun tanzih (dibenci).

Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada
kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh)
dengan ayat lainnya yaitu :

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS> An-Nur : 32).

Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-
Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi
wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya
dari menikah secara syah.

Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :

Dari Aisyah ra berkata,�Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang


berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau
bersabda,�Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram
tidak bisa mengharamkan yang halal�. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).

Juga dengan hadits berikut ini :

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,�Istriku ini seorang yang suka


berzina�. Beliau menjawab,�Ceraikan dia�. �Tapi aku takut memberatkan
diriku�. �Kalau begitu mut�ahilah dia�. (HR. Abu Daud dan An-Nasa�i)

2. Pendapat Yang Mengharamkan

Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk
menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi
Thalib, Al-Barra� dan Ibnu Mas�ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang
menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita
yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh
laki-laki yang baik (bukan pezina).

Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah
pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja
dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).

Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya
rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.

Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,�Tidak akan masuk surga
suami yang dayyuts�. (HR. Abu Daud)
3. Pendapat Pertengahan

Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.
Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan
belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.

Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada
larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara
syar�i.

Nampaknya pendapat ini agak menengah dan sesuai dengan asas prikemanusiaan.
Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak untuk bisa hidup normal dan
mendapatkan pasangan yang baik.

Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/6860

Konsultasi : Masalah Umum

Terlanjur Berzina

Pertanyaan:

Assalamualaikum pak Ustadz!


Langsung saja apakah bila kita terlanjur melakukan zina, terus tak ada orang yang
mengetahui, hanya kita berdua. Kemudian kita bertaubat tapi dalam hati kita masih
ada perasaan mengganjal kalau belum dihukum rajam di dunia. Takut akan hukuman
yang lebih pedih di akhirat. apakah langkah terbaik yang harus kita tempuh ustadz?
syukron katsiron atas perhatiannya.
Wassalam!!

Musafak

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Zina adalah dosa besar, maka untuk itu wajiblah bagi mereka yang terlanjur
melakukannya untuk bertobat dengan tobat yang sesungguhnya. Meminta ampunan
dari Allah SWT dan bersumpah untuk meninggalkan perbuatan itu untuk selama-
lamanya.
Sedangkan di dunia ini, secara hukum syariah, pelaku zina harus dihukum sesuai
dengan hukum Allah, yuitu dirajam dengan dilempari batu hingga mati. Itu berlaku
bagi orang yang berzina dan sudah pernah menikah sebelumnya. Sedangkan bila belum
pernah menikha sebelumnya, maka hukumannya adalah cambuk 100 kali dan
diasingkan selama setahun ke luar tempat tinggalnya.

Namun semua itu hanya bisa dilakukan bila seseorang melakukan zina di dalam wilayah
hukum syariat yang tegak. Diputuskan perkaranya dan dijatuhkan vonisnya oleh sebuah
mahkamah syriah yang formal, resmi dan diakui secara hukum. Begitu pula eksekusinya
hanya dilakukan perdasarkan keputusan tetap dari institusi yang bersangkutan.

Dalam konteks negeri kita, semua itu tidak bisa dilakukan. Karena negeri ini tidak
mengakui syariah Islam. Padahal mayoritas penduduknya muslim, namun apresiasi
syariah mereka teramat rendah, apalagi pemimpinnya yang buta syariah. Sejak
penjajah datang ke negeri ini, huklum Islam sudah lenyap, bahkan ketika penjajah
pergi, justru hukum penjajah-lah yang mendominasi.

Maka tidak mungkin bagi kita untuk merajam pezina atau mencambuknya. Sehingga
bagi pezina, yang bisa dilakukan hanyalah bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.

Apalagi kewajiban untuk menjalankan hukum rajam dan cambuk itu bukan semata-
mata kewajiban yang bersangkutan, melainkan kewajiban seluruh umat Islam,
terutama para penguasanya. Di akhirat mereka akan ditanya tentang hal itu. Entah
mereka akan menjawab apa.

Yang penting sekarang ini kita sudah menyampaikan kepada para penguasa yang
beragama Islam itu bahwa hukum Islam itu wajib dijalankan. Dan sebagai penguasa,
kewajiban itu ada di atas pundak mereka. Tetapi bila mereka menolak, itu urusan
mereka dengan Allah SWT. Semoga saja mereka bisa menjawab pengadilan akhirat
yang tidak bisa dipolitisir itu. Sebab kalau tidak bisa menjawab dengan benar,
bersiaplah untuk dibakar hidup-hidup di neraka. Nauzu billahi min zalik.!!!

Semoga kita dicatat oleh para malaikat sebagai orang-orang yang selalu
memperjuangkan syariat Islam ini, sehingga nanti di akhirat bisa menjawab dengan
bukti bahwa kita sudah berjuang untuk menegakkan syariat Islam.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.pesantrenvirtual.com/tanya/059.shtml

Perkawinan Setelah Melakukan Zina


Seri ke-59, Kamis, 14 Desember 2000

Tanya:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.


Yang ingin saya tanyakan:
Apakah bila seseorang (laki-laki) menikah dengan seseorang (perempuan) yang
perempuan dalam keadaan hamil (oleh perbuatan silaki-laki tsb.) harus diulang setelah
kelahiran si anak? Saya menanyakan ini - karena ada pendapat lain yang mengatakan
tak perlu nikah ulang, selama pernikahan itu dilakukan antara perempuan dan laki-
laki, ayah dari anak tsb.

Apakah ini termasuk aib yang harus ditutupi? Tidak boleh diketahui orang lain? bahkan
keluarga dekat. Bagaimana dengan hak silaturahmi anak tersebut, juga hak kasih
sayang yang seharusnya ia dapatkan dari lingkungan terdekat (keluarga) juga
perkembangan jiwa si anak - karena dia seakan ikut menanggung kesalahan orang
tuanya.

Demikian, terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Saya ingin menanyakan masalah yg berkaitan Zinah, hal ini sering kali ditanyakan oleh
teman-teman saya namun saya masih bingung untuk menjelaskannya yaitu bagaimana
hukumnya bagi seorang pasangan yg hamil duluan sebelum pernikahan dilaksanakan
walaupun akhirnya mereka menikah. Karena saya pernah dengar bahwa jikalau seorang
pasangan menikah karena kecelakaan maka setelah sijabang bayi lahir kedunia maka
mereka wajib melaksanakan pernikahan sekali lagi bagaimana hal ini ditanggapi dalam
agama Islam dan apakah ada cara lain yg membuat perkawinan mereka menjadi sah
apalagi mereka menyesali dan bertobat atas kelakuan mereka terdahulu. Demikianlah
pertanyaan saya semoga saudara-saudaraku di pesantren virtual bisa memberikan
jawaban yg bisa saya jelaskan kepada teman-teman saya. Atas bantuannya semoga
Allah memberikan ganjaran yg sepantasnya kepada saudara.

Jawab:

Para ulama dari keempat madzhab sepakat membolehkan perkawinan antara 2 insan
yang berzina sebelumnya. Jadi tidak perlu diulangi akad pernikahannya setelah sang
perempuan melahirkan anak. Hal ini ditegaskan dalam al-Quran surat al-Nur ayat 3 :
"Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau yang
musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak mengawini melainkan laki-laki yang
berzina atau yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
beriman". Adapun masalah status anak, jika anak ini lahir 6 bulan setelah akad nikah,
maka si anak sah dinasabkan pada si bapak.

Namun jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka anak
ini tidak bisa langsung dinasabkan pada Bapaknya, kecuali jika si Bapak menyatakan
secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya.

Yang menjadi perdebatan antar ulama adalah jika seorang laki-laki baik-baik
mengawini seorang perempuan yang telah melakukan zina. Sebagian ulama seperti
Imam Hasan al-Basri melarang hal tersebut dengan argumentasi dalil di atas yang
jelas-jelas mengharamkan seorang perempuan yang berzina untuk menikah dengan
laki-laki mukmin. Sementara mayoritas ulama membolehkan perkawinan ini dengan
berdasar pada ayat 24 surat al-Nisa`, "Dan dihalalkan bagi kamu sekalian selain yang
demikian". (selain yang tersebut dalam daftar perempuan yang tidak boleh dinikahi,
disini perempuan yang berzina tidak masuk kategori). Juga berdasar hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i dari Ibnu Abbas, diceritakan bahwa "Seorang
laki-laki datang mengadu pada Nabi saw, "Isteriku tidak menjauhi tangan-tangan nakal
(maksudnya berzina -red). Rasul pun menasehatinya, "Jauhilah dia!!" Laki-laki tadi
menjawab, "Tapi saya kahwatir hatiku masih terikat padanya." Rasul menimpali,
"(kalau begitu) pertahankan saja" (Nail al-Authar 6/145).

Mayoritas ulama ini juga memberikan catatan-catatan sbb:


1- Madzhab Hanafy:
Jika si perempuan yang berzina tersebut terbukti tidak hamil, maka akad
pernikahannya sah. Dan jika si perempuan sudah hamil akad nikahnya sah juga, tapi si
suami tidak boleh menggaulinya hingga ia melahirkan bayi hasil zinanya.

2- Madzhab Maliky:
Tidak boleh menikahi seorang perempuan yang berzina kecuali setelah berlalu 3 bulan
(3 masa haid). Kurang dari itu, perkawinannya batal, baik perempuan itu sudah hamil
atau belum.
3- Madzhab Syafii :
Membolehkan perkawinan tersebut dengan dalil hadis Aisyah di atas.

4- Madzhab Hanbaly:
Boleh mengawini perempuan yang berzina, dengan 2 syarat:
- Setelah masa 'iddah selesai, yaitu sampai si perempuan melahirkan.
- Si perempuan bertaubat dari perbuatan haram tersebut.

Tata cara perkawinannya tetap mengikuti prosedur biasa, yaitu dengan mendatangkan
2 saksi dan wali. Juga disunnahkan mengadakan walimah. Yang penting perkawinan
tersebut telah memenuhi syarat-syarat pernikahan. Adapun nikah sirri, di mana wali,
saksi dan kedua mempelai menyembunyikan perkawinan ini dari masyarakat walaupun
keluarganya sendiri, menurut Imam Hanbal boleh-boleh saja meski makruh.

Apakah perzinahan yang mereka lakukan itu adalah 'aib? Iya, 'aibnya tetap saja 'aib.
Tak perlu diperbincangan. Bahkan dosa memperbincangkannya dengan nada
mencemoohkan. Apalagi menghina. Karena apapun bentuk cemoohan dan hinaan itu
tindakan berdosa. Kalau memang perlu diketahui, dan ada maslahat di situ, juga tak
ada maksud lain kecuali kebaikan, ya tak apa-apa diberitahukan saja.

Perlu disadari keluarganya, bukankah betapapun besarnya sebuah dosa, Allah swt.
lebih luas pintu ampunannya? Perkawinan mereka sah. Tinggal yang terpenting mereka
menyesali sedalam-dalamnya perbuatan dosanya itu, dan kini menjadi pasangan yang
baik-baik. Sudah tak ada masalah. Anaknya yang hasil zina itu juga mempunyai hak
yang sama dengan manusia biasa. Dia terlahir atas kehendak Allah, dalam keadaan
fitri, tak punya dosa.

Kamran As'ad Irsyady


Tanggapan dari Anda

Assalamu'alaikum
Saya seorang muslim berumur 20 tahun yang tinggal di Jakarta ingin menanyakan lebih
lamjut kepada PV mengenai pernikahan dua orang yang berzina.
Saya pernah mendengarkan ceramah seorang ustadzah terkenal di Indonesia bahwa
memang pernikahannya sah secara hukum nikah akan tetapi secara moral belum.
Ibarat kita ingin mengecat ulang tembok karena bernoda yang tidak dapat dihilangkan,
maka cara terbaik adalah bukan dengan menimpa noda tersebut dengan cat baru
dengan maksud menutupinya, akan tetapi kita mengerok tembok tersebut terutama
pada noda hingga catnya bersih, barulah kita mengecatnya dengan cat yang kita
inginkan. Begitu pula dengan pernikahan dua orang yang berzina, mereka memiliki aib
dan noda yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan hukum Allah di dunia yaitu
rajam, setelah mereka dirajam maka ibarat kita membersihkan noda dan mengerok
cat di tembok tadi, mereka sudah suci kembali. Maka pernikahan yang mereka lakukan
setelah dirajam akan membuat mereka tidak termasuk pezina yang menikahi pezina
akan tetapi menjadi mukmin yang menikah dengan mukminah.
Bagaimana pendapat Anda?

Tanggapan:

Terima kasih atas tanggapan Anda. Ada beberapa hal yang urgen kita diskusikan lagi, 1-
Islam adalah agama toleran, noda sehitam apapun dapat hilang dengan kebaikan,
bahkan noda tersebut memang harus ditimpa dengan kebaikan. Allah berfirman dalam
surat al-Anfal:8/38, "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang
telah lalu". Rasulullah dalam sebuah hadits juga menyatan, "Bertaqwalah dimana kamu
berada. Ikutilah kejelekan (yang telah kamu perbuat) dengan kebaikan, maka
(kebaikan itu) akan menghapusnya".

2- Islam adalah agama yang menjunjung tinggi penegakan hukum, akan tetapi syariat
Islam juga mengenal mekanisme taubat dan dispensasi bahkan bebas hukum. Syehk
Ibnu Qayyim al-Jauzi dalam kitab A`lam al-Muwaqi`in mengatakan bahwa Allah
menjadikan hudud (vonis) sebagai hukuman bagi para pelaku kejahatan, namun Dia
(Allah) membebaskan pelaku kejahatan yang bertaubat nashuha secara syara` dan
ketentuan hukum. Dengan demikian, tidak ada sama sekali dalam syariat Allah
mengenai vonis hukuman bagi orang yang bertaubat. Dalam al-Quran dan hadits
banyak sekali kita jumpai statemen Allah dan RasulNya yang pada intinya
mengungkapkan Maha Kasihnya Allah bagi orang-orang yang bertaubat bahwa orang
yang bertaubat dari dosa statusnya seperti orang yang tidak berdosa. (Lihat al-
Maidah:5/39, Al-Anfal:8/37, Al-Nisa:4/16). Bahkan secara spesifik dan lugas, al-Qur'an
menegaskan pembebasan vonis zina dengan taubat sebagaimana firman Allah dalam al-
Nisa: 4/16, "Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu,
maka berilah hukuman kepada keduanya. Namun jika kemudian mereka bertaubat dan
memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat
dan Maha Penyayang".
Tersebut juga dalam Shahih Bukhori dan Muslim sebuah hadits riwayat Anas bin Malik,
dia berkata, "Saya bersama Rasul saw, kemudian ada seorang laki-laki datang dan
berkata: 'Saya telah berbuat kejahatan yang berhak divonis had, laksanakanlah
hukuman atas saya'. Rasulpun tidak menanyakan apa-apa, kemudian datanglah waktu
salat. Laki-laki tersebut pun kemudian salat bersama Nabi saw. Setelah selesai salat,
laki-laki itu menghadap Rasul dan mengulangi pengakuannya. Rasulpun berkata,
'Bukankah kamu tadi salat bersama kami?'. Dijawab: 'Iya.' Rasulpun bersabda,
'Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa kamu.'
Sebagai catatan, memang ada pendapat tegas yang mengatakan bahwa taubat tidak
bisa menggugurkan seluruh vonis had yang khusus menyangkut 'hak' Allah, seperti zina,
pencurian, minum khamr, baik setelah diajukan di pengadilan ataupun belum, sebab
jika dibolehkan pengguguran vonis had dengan hanya taubat, maka tentunya setiap
penjahat bisa saja bebas dari hukuman dengan hanya mengaku bertaubat. Dan ini
tentunya malah akan lebih mendorong tumbuhnya kejahatan. Pendapat ini dipegang
oleh mayoritas Malikiyyah, Syafi'iyah, Zhahiriyyah, Zaidiyah dan Ibazhiyyah.

Namun berpijak dari ekplisit ayat-ayat al-Quran dan hadis, serta berpegang dengan
asas penutupan aib dalam Islam -apalagi dalam konteks hukum Indonesia yang lebih
menitik-beratkan pada hukum konvensional, kami lebih memilih pembebasan vonis had
zina dengan taubat selama memang benar-benar ikhlas demi kemaslahatan dibuktikan
dengan perkawinan antara keduanya, apalagi perbuatan zina tersebut tidak
menyangkut hak-hak individu orang lain.

3- Islam mempunyai 2 vonis hukuman bagi pezina, yaitu rajam (bagi pezina yang sudah
menikah) dan jilid seratus kali (bagi pezina yang belum menikah).

4- Adapun masalah status keimanan pezina setelah divonis hukuman had, ia memang
telah benar-benar seorang mukmin/mukminah bukan fasiq lagi. Seorang pezina yang
sudah dirajam/jilid, ia memang sudah terbebas dari konsekuensi vonis Allah, tapi ia
masih mempunyai beban konsekuensi kemanusian atas anak hasil hubungan mereka.
Maka sebagai realisasi tanggung jawab kemanusian (hablun minannas) dan demi
menghindarkan kesemrawutan penasaban si jabang bayi hasil perzinahan tersebut,
maka Islam secara bijak mengatur mekanisme perkawinan antar-pezina, di samping
sebagai apresiasi taubat nashuha dengan menutupinya dengan berbuat kebaikan.

Wassalam
Kamran Asad Irsyady

http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=97&
Itemid=19

Status Anak Hasil Hubungan di Luar Nikah


Dikirim oleh Kontributor Special || Kamis, 08 Juni 2006 - Pukul: 13:07 WIB

Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah
sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam
arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang
mena-burkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak
dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama
saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu
tidak berbapak. (Al Mabsuth 17/154, Asy Syarhul Kabir 3/412, Al Kharsyi 6/101, Al
Qawanin hal : 338, dan Ar Raudlah 6/44. dikutip dari Taisiril Fiqh 2/828.)
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah: "Anak itu bagi (pemilik) firasy dan bagi laki-laki
pezina adalah batu (kerugian dan penyesalan)." (HR: Al-Bukhari dan Muslim)

Firasy adalah tempat tidur dan di sini maksudnya adalah si istri yang pernah digauli
suaminya atau budak wanita yang telah digauli tuannya, keduanya dinamakan firasy
karena si suami atau si tuan menggaulinya atau tidur bersamanya. Sedangkan makna
hadits tersebut yakni anak itu dinasab-kan kepada pemilik firasy. Namun karena si
pezina itu bukan suami maka anaknya tidak dinasabkan kepadanya dan dia hanya
mendapatkan kekecewaan dan penyesalan saja. (Taudlihul Ahkam 5/103.)

Dikatakan di dalam kitab Al-Mabsuth, "Seorang laki-laki mengaku berzina dengan


seorang wanita merdeka dan (dia mengakui) bahwa anak ini anak dari hasil zina dan si
wanita membenarkannya, maka nasab (si anak itu) tidak terkait dengannya,
berdasarkan sabda Rasulullah: "Anak itu bagi pemilik firasy, dan bagi laki-laki pezina
adalah batu (kerugian dan penyesalan)" (HR: Al Bukhari dan Muslim)

Rasulullah telah menjadikan kerugian dan penyesalan bagi si laki-laki pezina, yaitu
maksudnya tidak ada hak nasab bagi si laki-laki pezina, sedangkan penafian
(peniadaan) nasab itu adalah murni hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Al Mabsuth
17/154)

Ibnu Abdil Barr berkata, Nabi bersabda, "Dan bagi laki-laki pezina adalah batu
(kerugian dan penyesalan)? Maka beliau menafikan (meniadakan) adanya nasab anak
zina di dalam Islam." (At Tamhid 6/183 dari At Taisir)

Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina
maka :

• Anak itu tidak berbapak.


• Anak itu tidak saling mewarisi de-ngan laki-laki itu.

Bila anak itu perempuan dan di kala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali
hakim, karena dia itu tidak memiliki wali.

Rasulullah bersabda, "Maka sulthan (pihak yang berwenang) adalah wali bagi orang
yang tidak memiliki wali?" (Hadits hasan Riwayat Asy Syafi\'iy, Ahmad, Abu Dawud, At-
Tirmidzi dan Ibnu Majah.)

Satu masalah lagi yaitu bila si wanita yang dizinahi itu dinikahi sebelum beristibra
dengan satu kali haidh, lalu digauli dan hamil terus melahirkan anak, atau dinikahi
sewaktu hamil, kemudian setelah anak hasil perzinahan itu lahir, wanita itu hamil
lagi dari pernikahan yang telah dijelaskan di muka bahwa pernikahan ini adalah
haram atau tidak sah, maka bagaimana status anak yang baru terlahir itu ?

Bila si orang itu meyakini bahwa pernikahannya itu sah, baik karena taqlid kepada
orang yang memboleh-kannya atau dia tidak mengetahui bahwa pernikahannya itu
tidak sah, maka status anak yang terlahir akibat pernikahan itu adalah anaknya dan
dinasabkan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Qudamah tentang
pernikahan wanita di masa ?iddahnya di saat mereka tidak mengetahui bahwa
pernikahan itu tidak sah atau karena mereka tidak mengetahui bahwa wanita itu
sedang dalam masa ?iddahnya, maka anak yang terlahir itu tetap dinisbatkan kepada-
nya padahal pernikahan di masa ?iddah itu batal dengan ijma para ulama, berarti
penetapan nasab hasil pernikahan di atas adalah lebih berhak. (Al-Mughniy 6/455.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan hal serupa, beliau berkata, ?
Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan (yang sah),
maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah
mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang saya ketahui,
meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan
begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya
haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya). (Dinukil dari nukilan Al Bassam
dalam Taudlihul Ahkam 5/104)

Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta\'ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha
berat siksanya.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/20769

Konsultasi : Ibadah

batas Batas Zina

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr.Wb

Saya Ingin bertanya, sebenarnya yang dimaksud zina tuh apa? dan apa batas batas nya?
apakah berpegangan tangan juga sudah termasuk zina?

terimakasih

Ikhsan

Jawaban:

Assalamu alaikum wr.wb.


Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Saudara Ikhsan, zina adalah hubungan seksual atau kelamin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang belum atau tidak memiliki ikatan pernikahan.Hubungan
seksual yang dimaksud menurut Abdul Qadir Audah adalah memasukkan penis meskipun
hanya sebagian ke dalam vagina, baik itu menyebabkan sperma keluar maupun tidak.
Sementara menurut ulama madzhab Maliki, Syafii, dan Hambali hubungan sesksual
tersebut tidak hanya dilakukan pada vagina, tetapi juga pada dubur. Menurut mereka,
status hukum dari hubungan seksual yang dilakukan pada vagina dan dubur adalah
sama. Keduanya dikatakan zina.

Nah, Islam memandang zina di atas bukan hanya sebagai dosa besar; tetapi juga
sebagai tindakan yang akan membuka gerbang berbagai perbuatan memalukan lainnya,
akan menghancurkan pilar-pilar keluarga, akan mendatangkan perselisihan dan
pembunuhan, meruntuhkan nama baik, serta menyebarluaskan sejumlah penyakit baik
jasmani maupun rohani. Karena itu Allah befirman,

"Janganlah kalian mendekati zina. Sebab zina adalah perbuatan keji dan suatu jalan
yang buruk" (QS 17: 32).

Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah adalah dera atau cambuk sebanyak
seratus kali. Sementara, hukuman bagi pelaku zina yang sudah menikah adalah rajam
(dilempari batu sampai mati). Dalilnya adalah sabda Rasul saw. yang
berbunyi,"Ambillah oleh kalian dari-Ku dan terimalah ketentuan-Ku. Sungguh kini Allah
telah menetapkan keputusan bagi mereka yang berzina hukumannya adalah cambuk
seratus kali serta diasingkan (dipenjarakan) selama satu tahun. Sedangkan bagi pezina
yang telah menikah dicambuk seratus kali cambukan dan dirajam sampai mati" (HR
Bukhori).

Walaupun demikian ada pula yang berpendapat bahwa keduanya (baik yang belum
menikah maupun yang sudah menikah sama-sama dihukum dengan cambuk sebanyak
seratus kali sesuai dengan makna lahiriah surat an-Nur ayat 2.

Dengan demikian, zina semacam itulah yang mendapatkan hukuman cambuk dan
rajam.Hanya saja, perbuatan memperturutkan hawa nafsu dan syahwat dengan cara
yang salah dan mendekati bentuk perzinahan di atas juga menurut sebagian ulama
juga termasuk zina dan dosa meskipun tidak mendapatkan hukuman seperti di
atas.Misalnya melihat wanita dengan syahwat disebut dengan zina mata, mendengar
suara wanita yang bukan istrinya dengan disertai syahwat disebut zina telinga, dan
seterusnya termasuk di dalamnya memegang dan menyentuh wanita yang bukan
mahramnya.Jika hal itu dilakukan berarti telah melakukan dosa dan harus bertobat
kepada Allah Swt.

Wallahu a'lam bish-shawab.


Wassalamu alaikum wr.wb.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=974
&Itemid=30

Nasab Anak yang Dinikahi Waktu Hamil


Ditulis oleh Dewan Asatidz

Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh
pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar.
Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Yth.
Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Assalamu'alaikum Wr. Wb. Sungguh, saya mengucapkan
banyak terima kasih atas kesediaan Bapak untuk menjawab pertanyaan saya beberapa
waktu yang lalu. Sekarang, ada satu persoalan yang membuat saya bingung: Saat ini,
barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang hamil di luar nikah
(meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai tindak lanjut dari keadaan yang
sudah terlanjur tersebut orang biasanya melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa
yang semacam ini adalah termasuk pembunuhan) atau melakukan pernikahan.
Pertanyaan saya, apakah pernikahannya ini sah? sebab, ada ustadz yang bilang bahwa
pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru menikah.
tapi, yang seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di
kalangan masyarakat kita. Bagaimana ini Bapak? sebab, kasus ini memang terjadi di
tetangga saya, dan sebagian orang yang percaya terhadap ungkapan ustadz tersebut
(barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW) menganggap bahwa pernikahan
tetangga saya tersebut tidak sah. katanya, ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus
menikah ulang lagi. lho, pertanyaan saya, berarti pernikahaan kemarin hanya main-
main dong, apakah boleh main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin
selama belum nikah ulang berarti zina dong (karena belum sah) Sungguh, atas
jawabannya (bagaimana dengan pada zaman Nabi SAW) dihaturkan banyak terima
kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Harianto Widodo Jawaban: Assalamualaikum Wr.Wb,
Saudara Harianto yang baik, Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui
sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil.
Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang
hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara
ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah
tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu,
ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan
memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya
Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. Dalam Impres No. 1 Tahun
1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama
dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3)
ayat , yaitu : 1. Seorang wanita hamil di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya. 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya. 3. Dengan dilangsungkan
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak
yang dikandung lahir. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI,
penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang
menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan
terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan
pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian
hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status
anak zina. Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang
tidak menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai
kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang dilahirkan kelak,
dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini wanita tersebut dengan
kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria yang mengawini dianggap benar
sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat
ulama Hanafi yang menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan)
terhadap seorang anak adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak
tanpa keturunan alias anak haram. Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan
tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai
hubungan darah dan hukum yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di
sinilah letak kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang
pada kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis. Sebagai akhir dari penjelasan ini
adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan
ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau
berkata:"Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang
halal."Sahabat yang mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu
Abbas yang disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50). Demikian penjelasan
saya, semoga Allah menjauhkan kita dan saudara-saudara kita dari perbuatan dosa,
Amien. Wassalamulaikum , Kuni Khairunnisa

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/11389

Konsultasi : Nikah

Cara Berhenti Zinah ?

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr Wb

selamat malam pak ustad, langsung to the point saja, saya adalah seorang yang telah
beberapa kali berzina, saya tau perbuataan ini adalah perbuatan hina dan dibenci
Allah, saya pernah taubat karena takut akan siksa Allah kepada orang2 yang berzina,
tapi selang beberapa waktu saya kembali berzina lagi, tolong bimbingan pak ustad,
bagimana saya bisa menjauhkan diri saya dari zina ini sebelum saya terlalu jauh. Saya
ingin sekali berhenti tetapi hati saya masih suka goyah dan kembali terjerumus
kembali ke perbuatan hina tersebut. tolong bantuan pak ustad.

Waalikumsalam Wr Wb

Hamba Allah

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Anda memang sudah waktunya untuk bertaubat untuk terakhir kalinya. Sebab Anda
tidak pernah tahu kapankah Allah SWT akan mencabut nyawa Anda. Bisa saja dalam
waktu sebulan lagi, atau seminggu lagi atau malah dua tiga hari lagi. Bahkan bisa saja
sekarang ini nyawa Anda dijemput malaikat Izrail.

Malaikat yang satu ini tidak pernah merasa punya kewajiban untuk memberikan info
sebelumnya bahwa dia akan segera mencabut nyawa seseorang. Dia bisa datang kapan
saja tanpa ba` bu` lagi. Tinggal masalahnya kembali kepada kita ini, apakah kita
sudah siap untuk menghadap Allah dengan segala dosa yang belepotan ini ?. Sudah
siapkan kita mempertanggung-jawabkan semua kelakuan tak bermoral kita ini di
hadapan Sang Maha Adil ? Tahankah kulit kita ini untuk dibakar api neraka yang panas
membakar ?

Maka dari itu, selagi kesempatan taubat nashuha masih ada, selagi ajal belum sampai
batang tenggorok dan selagi semua belum terlambat, taubatlah untuk yang terakhir
kalinya.

Dan jauhilah semua hal yang membawa Anda tergoda kembali melakukan zina.
Tinggalkan semua teman perempuan Anda. Batasi pergaulan dengan mereka sebatas
yang memang dibolehkan saja. Jangan berduaan tanpa mahram, jangan melihat aurat
mereka, jangan berikan peluang syetan untukmenggoda iman Anda. Sebaiknya Anda
bergaul dengan teman laki-laki. Semua itu adalah jalan-jalan untuk menjauhi zina.

Apalah artinya air mata penyesalan bila kita tidak merubah ruang pergaulan kita
dengan teman-teman yang kuat imannya. Tinggalkan jauh-jauh teman-teman Anda
yang selama ini hanya membiarkan Anda berzina. Carilah teman yang beriman dan
bertakwa yang akan selalu mengingatkan Anda untuk menjauhi zina. Tinggalkan semua
wanita yang bisa dan biasa Anda ajak berzina.

Bila Anda belum beristri, maka menikah sudah fardhu `ain hukumnya bagi Anda.
Carilah wanita shalihah yang menarik hati Anda. Dia akan menjaga kecintaan Anda dan
mencegah Anda dari perbuatan terkutuk itu.

Terakhir, semoga Allah SWT melapangkan hati Anda dan membukakan pintu-pintu
hidayah-Nya. Dan tentunya semoga Allah SWT menerima taubat Anda dan dijauhkan
dari neraka. Amien Ya Rabbal Alamin.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg07562.html

[media-dakwah] STATUS ANAK ZINA

yudith intanwidya
Wed, 09 Aug 2006 03:56:24 -0700

Assalamu'alaikum wr wb

Aduh, afwan baru bangun neh.... lom gitu ngeh apa maksudnya.
Emang ada ya yg namanya "anak haram". Kok bisa sih disebut "anak haram"?
Yang haram itu yg mananya? Kenapa anak yg baru lahir itu yg nanggung sebutan
"haram"? Bukankah yg haram itu kelakuan emak dan bapak si jabang bayi itu??

Setau saya, anak yg lahir walaupun tanpa nasab itu adalah masih menyandang
nasab ibunya. Contohnya : nabi Isa a.s , nasabnya kan Isa bin Maryam (klo gk
salah inget neh)
Afwan klo rada tulalit. Mohon penjelasan lbh lajut.
Jazakumullah....

Wassalamu'alaikum wr wb

Henny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:


Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan adanya perempuan yang
hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan zina). Dan sebagai
tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut orang biasanya
melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini adalah termasuk
pembunuhan) atau melakukan pernikahan.

Pertanyaannya, apakah pernikahannya ini sah?

Ada ustadz yang bilang bahwa pernikahannya ini tidak sah sebab harus
menunggu bayi itu lahir dan baru menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya
tidak lazim dan malah membuat malu (aib) di kalangan masyarakat kita.

Ada ustadz berpendapat atau (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW)
menganggap bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya,
ketika anaknya sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi.

lho, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah boleh


main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum nikah
ulang berarti zina dong (karena belum sah)

Pencarian tentang ayat-ayat, hadis dan pendapat ulama mengenai permasalahan


ini Saya rangkum sbb :

Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina
baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu
merupakan dosa besar.

QS 17 : 32. Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

QS 24 : 2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah


tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

QS 3 : 135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji


atau menganiaya diri sendiri[*], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain
dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui.
[*]. Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana
mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti
zina, riba. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana
mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil.

Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para
ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak
memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa
mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu,
ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan
dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum
Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.

Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : pertama, harus menunggu sampai
kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan status anak yang
dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang mengawini
wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, siapapun pria
yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili, kecuali wanita
tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang menyatakan bahwa
menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak adalah lebih baik
dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan alias anak haram.
Perkawinan dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran
bayi, dan anak yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum
yang sah dengan pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak
kompromistis antara hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada
kemaslahatan, aspek sosiologis dan psikologis.

Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar
pada hadis 'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya
Rasulullah SAW ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang
perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya
nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang
mebolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang
disebut madzab Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).

Nasab anak

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:


Sa`ad bin Abu Waqqash dan Abdu bin Zam`ah terlibat perselisihan mengenai
seorang anak. Kata Sa`ad: Ini adalah anak saudaraku `Utbah bin Abu Waqqash,
yang dia amanatkan kepadaku, dia adalah putranya, perhatikanlah
kemiripannya! Abdu bin Zam`ah menyangkal dan mengatakan: Dia ini saudaraku,
wahai Rasulullah! Dia lahir di atas tempat tidur ayahku dari budak
perempuannya. Sejenak Rasulullah saw. memperhatikan kemiripan anak itu,
memang ada kemiripan yang jelas dengan Utbah. Kemudian beliau bersabda: Dia
adalah untukmu, wahai Abdu. Nasab seorang anak itu dari perkawinan yang sah,
dan bagi pezina itu adalah batu rajam. Hindarilah wahai Saudah binti Zam`ah
dari perkara tersebut! (HR Bukhari & Muslim).
Anak angkat atau anak di luar nikah adalah haram menasabkannya kepada
seseorang yang tidak bersambung nasab dengan anak tersebut.

Larangan menasabkan anak kepada orang yang bukan bapanya yang sebenar
dijelaskan oleh Allah Subhanahu Wata‘ala dalam firmanNya: (Surah Al-Ahzâb:
4-5)

4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja.
Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak


mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Perempuan (isteri) yang mengandung bukan melalui pernikahan yang sah atau
bukan dengan suaminya, kemudian perempuan itu menasabkan kanak-kanak yang
lahir daripada kandungannya itu kepada suaminya, dia telah membuat dosa yang
sangat besar serta melakukan pembohongan.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Muslim dan Abu Daud
daripada Sa‘ad bin Abi Waqqas Radhiallahu ‘anhu, bahawa Nabi Sallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda:

Hadis riwayat Saad bin Abu Waqqash ra., ia berkata:


Kedua telingaku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang
mengakui seseorang dalam Islam sebagai ayah, sedangkan ia tahu bahwa itu
bukan ayahnya, maka diharamkan baginya surga (HR Muslim 95)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:


Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Nasab anak itu dari perkawinan yang sah
sedangkan bagi pezina itu adalah batu rajam (HR Muslim 2646)

Maksudnya: “Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya (dalam nikah yang
sah).”
(Diriwayatkan oleh Jamaah melainkan at-Tirmidzi)

Para ulama telah ijmâ‘ bahwa tempo minimum seorang wanita itu hamil dan
melahirkan anak ialah enam bulan. Penentuan enam bulan itu berdasarkan
maksud 2 ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang masa hamil (tempo
mengandung) dan penyusuan. Firman Allah Subhanahu Wata‘ala:

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan, (Surah Al-Ahqâf: 15)

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(Surah Luqman: 14)

Ke-2 ayat diatas, jika dilihat menyatakan tempo penyusuan anak adalah 2
tahun atau 30 bulan (dari sejak hamil hingga melahirkan 30 bulan – masa
menyusui 24 bulan = masa hamil 6 bulan).

Asy-Syeikh Mohammad Ali ash-Shabuni dalam kitabnya Rawâi‘ al-Bayân


menyebutkan bahawa telah diriwayatkan, bahwa seorang perempuan menikah,
kemudian melahirkan anak setelah enam bulan daripada perkawinannya. Dia
dihadapkan kepada khalifah Utsman Radhiallahu ‘anhu. Beliau akan merejam
perempuan tersebut, tetapi Ibnu Abbas berkata kepada Utsman: “Perempuan ini,
jika dia menentang kamu dengan kitab Allah, kamu akan kalah. Allah berfirman
(Surah Al-Ahqâf: 15; Surah Luqman: 14)

Begitu pula sebaliknya, jikalau anak tersebut lahir kurang daripada enam
bulan, maka anak tersebut tidaklah bersambung nasabnya dengan suami atau
tidak boleh dinasabkan kepada suami wanita yang melahirkan anak tersebut.
Dia dinasabkan kepada ibunya yang melahirkannya saja dan jika hendak
dibinkan atau dibintikan bolehlah kepada ibunya atau kepada nama Abdullah
atau salah satu daripada Asmâ’ullah al-Husna.

Tersebut dalam kitab Hâsyiah al-Baijuri ‘alâ Fath al-Qarîb dan dalam kitab
al-Tuhfah karangan al-Imam Ibnu Hajar bahwa enam bulan itu setiap bulan
dihitung 30 hari. Ini berarti enam bulan itu ialah 180 hari dan dua lahzhah
ialah tempo wathi‘ dan tempo mengeluarkan anak.

Pendapat ulama Syafie, 180 hari itulah juga yang menjadi pendapat jumhûr
ulama, kecuali Imam Malik yang menyatakan 175 hari. Bahkan terdapat sebagian
negara seperti Syria telah menetapkan dalam undang-undangnya bahwa tempo
minimum hamil atau mengandung itu ialah 180 hari. (lihat Fiqh al-Islami wa
Adillatuh 7/678)

Pengiraan 180 hari itu adalah bermula dari waktu suami isteri itu boleh
bersatu yang memungkinkan anak itu lahir daripada benih suami berkenaan
setelah akad nikah yang betul (sah).

Oleh karena itu, anak-anak yang lahir kurang dari 180 hari atau 6 bulan
sejak tanggal pernikahan suami istri maka tidak boleh di bin dan bintikan
kepada suami perempuan tersebut.

Berkata Dr. Sobri Abdul Rauf iaitu seorang Ustaz Fiqh al-Muqaran di
University al-Azhar :

"Jika lelaki yang berzina kawin dengan perempuan yang berzina dengannya,
kemudian mereka memperolehi anak selepas 6 bulan daripada al-Dukhul
al-Syar'ie. Maka anak itu dinasabkan kepada bapaknya, karena ia datang dari
jalan yang dibenarkan. Adapun jika ia dilahirkan sebelum tempoh 6 bulan dari
tarikh al-Dukhul, maka anak itu tidak dinasabkan kepada suaminya, maka ia
dinasabkan kepada ibunya saja.

Apabila wanita itu menegaskan bahwasanya ia telah hamil dari perbuatan zina
dgn lelaki yang sama yang menikahinya selepas kehamilan. Maka anak tersebut
adalah anak zina, maka ia tidak dinasabkan kepada bapanya, dan tidak
mewarisi antara bapa dan anaknya itu, ia hanya waris ibunya saja...."

wallahu a'lam.
abdulkadir

k_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1122528614604>
http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?pagename=IslamOnline-Arabic-Ask
_Scholar/FatwaA/FatwaA&cid=1122528614604

Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang kebolehan menikahnya seorang


wanita yang berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa
hal;

1. Fuqoha Hanafiyah menyatakan: Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka
aqad nikahnya dengan laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. Demikian
juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah dan
Muhammad. Akan tetapi ia tidak boleh menggaulinya selama belum melahirkan.
Dengan dalil sebagain berikut:

a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh
karena itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam firman-Nya: Dan kami
menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24)

b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Dengan
dalil hal tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada
bapaknya. Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan.

Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut


sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya
ladang orang lain (HR Abu Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita
hamil disebabkan orang lain.

2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: tidak bolah melakukan aqad nikah
terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut
menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi aqad
dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana tidak
bolehnya melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang hamil bukan karena zina
maka dengan wanita yang hamil karena zina pun tidak sah.

3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: tidak boleh melaksanakan aqad nikah dengan


wanita yang berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang
hamil (istibraa), hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau
ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum istibra adalah aqad yang
fasid dan harus digugurkan. Baik sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau
belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits
janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau dikhawtirkan
dapat tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda kehamilan.

4. Fuqoha Syafiiyah: Jika ia berzina dengan seorang wanita, maka tidak


diharamkan menikah dengannya, hal tersebut berdasar pada firman Allah: Dan
kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) juga sabda
Rasulullah SAW : sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal

5. Fuqoha Hanabilah berpendapat jika seorang wanita berzinah maka tidak


boleh bagi laki-laki yang mengetahu hal tersebut menikahinya, kecuali dengan
dua syarat:

a. Selesai masa iddahnya dengan dalil di atas, janganlah ia menyirami dengan


airnya ladang orang lain dan hadit shohih Wanita yang hamil tidak boleh
digauli sampai ia melahirkan

b. Wanita tersebut bertaubat dari zinanya berdasarkan firman Allah SWT: dan
hal tersebut diharamkan bagi orang-orang mumin (an-Nur: 3) dan ayat tersebut
berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharaman
menikahinya sebab Rasulullah SAW bersabda: Orang yang bertaubat dari dosanya
seperti orang yang tidak memiliki dosa

Jika hukum hudud belum diterapkan di negeri ini, maka orang yang
melakukannya harus banyak beristigfar dan segera bertaubat kepada Allah
dengan taubat nasuha, dan tidak boleh mengulangi lagi hal tersebut. Karena
tidak mungkin orang tersebut melakukan hukuman hudud atau dirinya sendiri.
Karena hukum hudud harus dilaksanakn oleh negara dalam hal ini mahkamah
khusus yang telah ditunjuk.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
sumber: Syariahonline

Status Anak Zina Di Akhirat

Oleh: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin

Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :

Anak zina itu menyimpan 3 keburukan” [Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud]
Sebagian ulama menjelaskan, maksudnya dia buruk dari aspek asal-usul dan
unsur pembentukannya, garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia
merupakan kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan yang
menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu terus menjalar turun
temurun, dikhawatirkan keburukan tersebut akan berpengaruh pada dirinya
untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi
negative dari pribadi Maryam dengan firmaNya.
“Artinya :

Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah


seorang penzina” [Maryam : 28]

Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang tuanya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya :

Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” [Al-An’am :
164]

Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan akhirat hanya ditanggung
oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan sifat bawaan yang negative itu akan
terwarisi dan akan membawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal
ini tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan mempebaikinya sehingga
menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi wara’, dengan demikian menjadi satu
kombinasi yang terdiri atas tiga komponen yang baik. Wallahu a’alam.

[Fatawa Islamiyah 4/125]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa
Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa’id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim,
Penerbit Griya Ilmu]

Jika anak zina itu adalah perempuan jika tiba masa anak itu menikah, beliau
berkemungkinan tidak boleh diwalikan oleh bapaknya. Tidak ada masalah
perwalian bagi anak lelaki.

Perlu diterangkan di sini bahwa tidak ada halangan bagi bapaknya untuk
bertanggungjawab atas anak tersebut dengan membiayai perbelanjaan kehidupan
anak.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/11163

Konsultasi : Nikah

Hukum Cambuk Bagi Pezina

Pertanyaan:
Assalamu'alaikum warrahmatullah..

Pak Uztad, saya ingin bertanya sekaligus berkeluh kesah. Pada masa lampau saya
pernah melakukan perbuatan keji dan termasuk dosa yang teramat besar, yaitu
berzina.
Sampe sekarang perbuatan itu masih menghantui saya. Insyaallah saya sudah tobat
nasyuha. Saya alhamdulillah sudah merasa dekat dengan Allah sekarang. Setiap kali
sholat saya bisa merasakan kedekatan denganNya. Dan juga dalam kegiatan sehari-hari
lainnya.
Namun bagaimanapun juga, perbuatan zina yang telah saya lakukan dimasa lalu masih
mengganjal dalam hati saya. Saya tahu Allah maha pengampun dan penyayang. Jika
mengingat kedekatan saya dengan Allah sekarang ini saya terkadang yakin bahwa Dia
mengampuni saya. Tapi kalau ingat bahwa zina adalah perbuatan yang termasuk dosa
besar dan ada hukumannya (yaitu cambuk) maka saya merasa ada yang mengganjal.
Saya ingin bertanya mengenai hukuman cambuk ini. Apakah jika sudah dihukum
cambuk berarti dosa kita bisa diampuni sepenuhnya oleh Allah? Kemudian siapa yang
berhak mencambuk kita? Apakah saya boleh menunjuk seorang teman dan melakukan
hukuman cambuk itu dengan rahasia? Karena dalam hal ini tidak banyak orang yang
tahu mengenai perbuatan zina saya. Saya tidak ingin orang tua saya tahu mengenai hal
ini, karena akan menghancurkan kebanggan mereka terhadap saya. Mengingat mereka
sudah tua, saya tidak ingin melukai hati mereka dengan perbuatan saya yang hina di
masa lalu.
Pak Uztad, saya mohon penjelasan atas kegundahan hati saya.

Wassalamu'alaikum warrahmatullah

Hamba Allah

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh


Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.

Hukuman cambuk 100 kali atau rajam bagi pelaku zina adalah ketetapan (hudud) dari
Allah SWT yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hukum cambuk 100 kali bagi
pelaku zina yang belum pernah menikah dan rajam (dilempari batu hingga mati) bagi
pelaku zina yang sudah pernah menikah sebelumnya.

Dan pelaksanaan hukuman itu menjadi bagian rangkaian taubatnya seseorang. Artinya,
belumlah lengkap taubat seorang pelaku zina manakala belum menjalani hukuman
cambuk / rajam. Tentunya bila yang bersangkutan berada di dalam wilayah huku Islam
yang menerapkan hukum hudud. Namun semata-mata menjalani hukuman cambuk /
rajam saja tanpa didasari dengan taubat, tidaklah akan menghilangkan dosa zina.

Tetapi perlu dipahami bahwa hukum cambuk atau rajam hanya boleh dilakukan oleh
sebuah mahkamah syar`iyah yang formal dan legitimate. Artinya, berlakunya hukum
itu harus diakui secara syah dan formal di dalam suatu negara, meski barangkali wujud
sebuah negara itu belum 100 % berbentuk negara Islam. Dengan demikian, tindakan
eksekusi cambuk atau rajam yang dilakukan oleh perorangan, kelompok pengajian,
jamaah, ormas atau pesantren tertentu, tidak bisa dibenarkan dalam hukum syariah.
Sebab pelaksananya haruslah seorang penguasa negara, yang kemudian dia bisa
mewakilkannya kepada para hakim yang resmi diangkat oleh negara itu.

Selain itu, di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa hanya zina yang dilakukan di
wilayah hukum Islam saja-lah yang bisa diproses dan divonis sesuai hukum Islam. Bila
zina dilakukan di luar wilayah hukum Islam, maka pengadilan / mahkamah syar`iyah
tidak berhak melakukan proses hukum pada kasus itu, sebab terjadi di luar wilayah
hukumnya.

Maka dalam kasus Anda, vonis dan eksekusi hukum cambuk atau rajam tidak mungkin
dilakukan, karena Anda tinggal di Indonesia yang pemerintahnya secara resmi menolak
hukum Islam, nauzu billahi min zalik. Maka yang bisa Anda lakukan hanyalah bertaubat
saja kepada Allah SWT, minta ampun sejadi-jadinya dan menyesali semua perbuatan
zina itu.

Dan tentunya yang paling utama adalah bertekad kuat dan serius untuk tidak
mengulanginya lagi. Bila taubah nashuha seperti ini berhasil Anda lakukan, insya Allah
Dia akan menerimanya dengan bahagia.

Adapun tidak terlaksananya hukum cambuk atau rajam, bukanlah salah Anda, selama
Anda siap untuk menjalani hukuman. Namun karena negara ini dipimpin oleh mereka
yang anti hukum Islam sehingga hukum Islam tidak bisa diterapkan, maka menjadi
semacam `dosa kolektif` dari penguasa umat ini yang telah meninggalkan penerapan
hukum Islam di negerinya sendiri. Terutama mereka yang punya kemampuan untuk bisa
memproses berlakunya hukum Islam di negeri ini. Mereka berdosa besar karena tidak
memperjuangkan penerapan hukum Islam. Yang paling besar doanya tentu saja adalah
mereka yang selalu menggembar-gemborkan gerakan anti hukum Islam. Dan buat
rakyat muslim pada umumnya, akan ikut berdosa bila tidak ikut mendukung gerakan
penerapan hukum Islam, sebab hukumnya wajib. Sebagaimana firman Allah SWT yang
teramat jelas dan terang di dalam Al-Quran.

Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa : 65)

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(QS. Al-Maidah : 44)

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Maidah : 45)

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik.(QS. Al-Maidah : 47)
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-2.html

KRITERIA DOSA BESAR MENURUT Al-QUR'AN DAN HADIS


Oleh : Burhan Djamaluddin

Di dalam ajaran Islam, dikenal adanya dosa besar dan dosa kecil. Namun tidak didapati
rincian dalam al-Qur'an dan Hadis, dua sumber agama Islam, tentang kesalahan apa
saja yang dikategorikan dosa besar dan dosa kecil.

Dalam al-Qur'an, misalnya surat al-Nisa' ayat 37, dan surat al-Najm ayat 32, disebut
kata kaba'ir dan kaba'ir al-ism. Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, hanya 3 ayat
dalam al-Qur'an yang mengandung kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism. Dalam ayat-ayat
itu, yang disebut kaba'ir tidak jelas. Kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism, yang biasanya
diterjemahkan dengan dosa besar dan muncul dalam al-Qur'an sebanyak 3 kali itu,
semuanya tidak menyebut kesalahan apa saja yang disebut dosa besar.

Hadis, yang fungsinya antara lain menjelaskan yang masih umum dalam al-Qur'an,
tidak banyak membantu kita untuk dapat memahami kesalahan apa saja yang disebut
dosa besar. Dalam Hadis, justeru yang terungkap hanya dosa-dosa yang paling besar
diantara dosa-dosa besar (akbar al-kaba'ir), yaitu syirik, durhaka kepada kedua orang
tua, saksi palsu, mundur dari medan perang melawan orang kafir, dan sihir. Jika ada
dosa paling besar, tentu ada dosa besar dan dosa kecil. Dengan demikian, perincian
dosa-dosa besar belum jelas adanya. Bahkan, ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an atau
Hadis yang mengacu kepada arti dosa-dosa besar belum jelas. Oleh karena itu, tulisan
ini mencoba mengungkap kriteria-keriteria dosa besar, baik melalui sumber pertama
(al-Qur'an) maupun sumber kedua (Hadis) Rasulullah, dengan cara menelusuri istilah
atau ungkapan yang digunakan dalam dua sumber ajaran Islam tersebut.

Sebelum dicoba diuraikan ungkapan-ungkapan yang mengacu kepada arti dosa besar
dalam al-Qur'an dan Hadis, terlebih dahulu dikemukakan beberapa ungkapan yang
biasa diterjemahkan dengan arti dosa dalam bahasa Indonesia.

Istilah-Istilah Dosa Dalam Al-Qur'an

Dalam al-Qur'an, terdapat sejumlah istilah atau kata yang biasa diterjemahkan dengan
dosa dalam bahasa Indonesia. Istilah-istilah tersebut ,misalnya: al-itsm, al-zanb, al-
khith'u, al -sayyi'at dan al-hub.

Kata al-itsm dengan berbagai bentuk kata jadiannya, menurut perhitungan Muhammad
Fuad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 44 kali dalam al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf,
kata al-itsm, berarti 'amila ma la yahillu (mengerjakan sesuatu yang tidak halal atau
tidak dibolehkan agama). Makna kata al-itsm, seperti diungkap Lewis Ma'luf, umum
sekali, yaitu mencakup semua amal yang dilarang agama. Padahal al-Qur'an, ketika
menunjuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya zina, mengungkapnya dengan kata
fahisyat. Jadi, tidak selamanya hal-hal yang dilarang agama disebut al-itsm oleh al-
Qur'an. Berbeda dengan Lewis Ma'luf, Al-Raghib al-Asfahani, salah seorang pakar
bahasa al-Qur'an, mengemukakan bahwa kata al-itsm berarti sebutan bagi perbuatan-
perbuatan yang menghambat tercapainya pahala. Dengan kata lain, al-itsm adalah
sebutan bagi tindakan yang menghambat terwujudnya kebaikan.

Berbeda dengan Lewis Ma'luf dan al-Asfahani, al-Maraghi (penulis tafsir al-Maraghi),
mengatakan bahwa al-itsm sama dengan al-zanb. Sesuatu perkataan atau tindakan
baru dapat disebut al-itsm, demikian al-Maraghi, bila mendatangkan bahaya yang
menimpa jasmani, jiwa, akal, dan harta benda (materi). Ibn Mandhur, penulis kamus
Lisan al-Arab, lebih khusus lagi mengartikan al-itsm dengan al-khamar. Alasan yang
dikemukakan Ibn Mandhur ialah bait syair Arab yang berbunyi "syaribtu al-itsm hatta
dlalla 'aqliy, kazalika al-itsm tazhabu bi al-'uqul" (saya meminum al-ism, "al-khamar",
maka ingatanku hilang. Memang khamar dapat menghilangkan ingatan).

Dalam al-Qur'an, terdapat dua tindakan yang dapat dikategorikan al-itsm, yakni
meminum khamar dan bermain judi, seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah
ayat 219. Memang, mengartikan al-itsm dengan sesuatu yang menghambat perbuatan
baik, mendatangkan bahaya, dan bahkan secara eksplisit sama dengan khamar, seperti
yang dilakukan oleh ibn Mandhur, tidak jauh dari hakikat kata al-itsm, seperti yang
ditunjukkan oleh al-Qur'an. Seseorang yang meminum khamar dan bermain judi,
misalnya, dapat mengganggu aktifitas yang positif, dapat membahayakan kesehatan
jasmani dan rohani,dan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan negatif lainnya.

Dari sejumlah kata al-itsm yang muncul dalam al-Qur'an, terlihat bahwa kata al-ism
digunakan untuk menyebut pelanggaran yang memiliki efek negatif dalam kehidupan
seseorang dan masyarakat.

Kata al-zanb dengan berbagai bentuk kata jadiannya disebut sebanyak 48 kali dalam
al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf, kata al-zanb berarti tabi'ahu falam yufarriq israh
(menyertai dan tidak pernah berpisah). Kata al-zanab yang dirangkai dengan binatang,
misalnya zanab al-hayawan berarti ekor binatang. Ekor binatang biasanya terletak di
belakang, dekat dengan tempat keluarnya kotoran. Ekor, kalau begitu,
menggambarkan keterbelakangan atau kehinaan. Ungkapan zanab al-qawm berarti
masyarakat terkebelakang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ungkapan al-zanb
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dosa, ditujukan kepada
perbuatan-perbuatan yang mengandung nilai kehinaan dan keterbelakangan, seperti
letak ekor binatang yang dekat dengan tempat keluarnya kotoran.

Diantara 48 kata al-zanb yang muncul dalam al-Qur'an adalah terdapat dalam surat Ali
Imran ayat 135. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta
ampun dari dosa (al-zanb), karena mengerjakan fahisyat, maka Allah akan
mengampuni dosa mereka. Kata fahisyat berarti al-zina atau ma yusytaddu qubhuh
min al-zunub (dosa yang paling jelek atau paling besar). Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa kata al-zanb mengacu juga kepada perbuatan dosa yang paling jelek
termasuk zina. Apalagi, diantara ulama tafsir, misalnya al-Maraghi, memang
mengartikan kata fahisyat dalam ayat itu dengan arti zina.

Tindakan lain yang dikatakan al-zanb oleh al-Qur'an adalah mengubur hidup-hidup
anak perempuan, seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah. Tindakan mereka
disebutkan dalam surat al-Takwir ayat 9. Perbuatan masyarakat Jahiliyah seperti
diungkap dalam ayat itu termasuk perbuatan keji, sebab tindakan itu tidak mengenal
perikemanusiaan sama sekali. Dalam Islam, merusak tubuh manusia yang telah
meninggal, jika tidak ada kepentingan keilmuan atau kepentingan lain, diketegorikan
dosa, apalagi mengubur hidup-hidup manusia.

Mendustakan ayat-ayat Allah diungkap pula dengan kata al-zanb, seperti terdapat
dalam surat al-Anfal ayat 54. Hal ini, menurut pandangan Allah, karena dosa
mendustakan ayat-ayat Allah termasuk dosa paling besar. Dalam ajaran Islam, puncak
ajaran agama adalah tauhid (mengesakan Allah). Oleh karena ajaran tauhid paling
penting dalam ajaran Islam, maka orang-orang yang menganggap Allah memiliki anak,
seperti dalam surat al-Maidah ayat 18, dikatakan sebagai orang berdosa besar.

Dari sekian banyak ayat yang mengadung kata al-zanb dalam al-Qur'an, dapat
dipahami bahwa kata al-zanb digunakan untuk menyebut dosa terhadap Allah dan dosa
terhadap sesama manusia. Kebanyakan kata al-zanb muncul dalam bentuk yang sangat
umum, sehingga tidak dapat diketahui apakah dosa yang ditunjukkannya termasuk
dosa besar atau dosa kecil. Untuk mengetahui besar kecilnya dosa yang ditunjuk oleh
kata al-zanb harus didukung oleh petunjuk lain yang terdapat dalam konteks ayat yang
memuat kata al-zanb itu, atau petunjuk dari Hadis Rasulullah.

Al-khith'u juga termasuk salah satu kata yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan arti dosa. Bentuk kata kerja madli (kata kerja lampau) dari kata al-
khith'u ialah khati'a. Penggunaan kata khathi'a fi dinih berarti salaka sabila khatha'in
amidan aw ghaira amidin (mengikuti jalan yang salah, baik disengaja maupun tidak
disengaja). Nampaknya, kata al-khith'u ini dianggap sama dengan kata al-zanb oleh
Lewis Ma'luf. Namun, Lewis menambahkan pendapat lain bahwa al-khith'u khusus
digunakan untuk mengungkap kesalahan yang tidak disengaja.

Berbeda dengan Lewis, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-khith'u dengan arti
melenceng dari arah yang sebenarnya. Pengertian melenceng seperti diungkap al-
Asfahani ini, memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, niat mengerjakan sesuatu
yang salah, kemudian benar-benar dikerjakan. Kesalahan seperti ini dinamakan al-
khith'u al-tamm (betul-betul salah). Kedua, niat mengerjakan sesuatu yang boleh
dikerjakan tetapi yang dikerjakan justru sebaliknya. Dengan kata lain, benar niatnya,
tetapi tindakannya salah. Ketiga, niat mengerjakan yang tidak boleh dikerjakan, tetapi
yang dilakukan sebaliknya, yaitu mengerjakan perbuatan yang boleh dilakukan. Yang
disebut ketiga ini, salah niatnya tetapi benar tindakannya. Kata al-khith'u dalam al-
Qur'an, menurut perhitungan Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, muncul sebanyak 22 kali.
Diantara kata al-khith'u yang muncul dalam al-Qur'an ialah dalam surat al-Isra' ayat 31.
Kata al-khith'u dalam ayat ini dirangkai dengan kata kabiran (besar). Kata kabiran
adalah sifat dari kata al-khith'u, sehingga rangkaian dua kata yang disebut terakhir ini
berarti dosa besar. Dengan demikian, kata al-khith'u dalam ayat ini dapat
diterjemahkan sebagai dosa besar jika dirangkai dengan kata kabiran.

Dari sekian banyak ayat al-Qur'an yang mengandung kata al-khith'u dapat dipahami
bahwa kata ini digunakan untuk menyebut dosa yang cukup bervariasi, misalnya dosa
terhadap Allah, dan dosa terhadap sesama manusia. Juga dapat dipahami bahwa al-
Qur'an, ketika menggunakan kata al-khith'u atau al-khathiat, tidak menjelaskan secara
tersurat, apakah dosa yang ditunjukkannya dosa besar atau dosa kecil. Untuk
membedakan dosa yang ditunjukkannya, dibutuhkan petunjuk lain, seperti adanya
kata kabiran dalam ayat 31 surat al-isyra' yang dikutip di depan.

Seperti disebut di depan, kata al-sayyi'at juga termasuk kata yang diterjemahkan
dalam bahasa Indoenesia dengan arti dosa. Kata ini dengan segenap kata jadiannya,
menurut perhitungan Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 167 kali.
Seorang pakar bahasa al-Qur'an, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-sayyi'at
atau al-su' dengan kullu ma yaghummu al-insan min al-umur al-dunyawiyyat wa al-
ukhrawiyyat wa min al-ahwal al-nafsiyyat wa al-badaniyyat wa al-kharijat min fawat
malin wa jahin wa faqd hamim (segala sesuatu yang dapat menyusahkan manusia, baik
masalah keduniaan maupun masalah keakhiratan, atau baik masalah yang terkait
dengan kejiwaan atau jasmani, yang diakibatkan oleh hilangnya harta benda,
kedudukan dan meninggalnya orang-orang yang disayangi).

Ternyata kata al-sayyi'at yang muncul dalam al-Qur'an, semuanya merujuk kepada arti
yang disebutkan al-Asfahani tersebut. Dalam al-Qur'an, surat Thaha ayat 22, dikatakan
bahwa Tuhan memerintahkan Nabi Musa untuk memasukkan tangannya ke ketiaknya,
niscaya tangan Nabi Musa akan keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacad. Hal itu
sebagai mu'jizat lain yang dimiliki Nabi Musa dari Tuhannya. Kata al-su', dalam ayat ini
berarti penyakit, yaitu al-barash (belang), yang banyak menimpa tangan, penyakit
yang selalu menyusahkan orang yang ditimpanya. Oleh karena itu, sangat tepat bila
kata al-su' diartikan juga dengan al-huzn (susah). Sesuatu hal yang jelek juga
dikatakan al-su', dan karena itu kata al-su' dalam hal ini dilawankan dengan al-husna
(baik), dan al-sayyiat dilawankan dengan kata al-hasanat, seperti terdapat dalam
surat al-Nisa' ayat 79.

Dalam al-Qur'an, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan al-su antara lain: perzinaan


(Surat al-Nisa' ayat 22), menjadikan syetan sebagai teman (surat al-Nisa' ayat 38),
mengubur hidup-hidup anak perempuan seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah
(surat al-Nisa' ayat 58-59). Dari sekian banyak kata al-su' atau al-sayyi'at yang muncul
dalam al-Qur'an, kelihatannya tidak selalu mengacu kepada arti dosa besar (seperti
yang disebutkan dalam Hadis Rasulullah) atau dosa kecil. Terkadang kata al-su'
digunakan untuk menyebut dosa besar, seperti zina (surat al-Isra' ayat 32), membunuh
anak perempuan hidup-hidup (surat al-Nahl ayat 59), dan sebagainya. Terkadang juga
kata al-su' ada yang mengacu kepada dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-
Nisa' ayat 31. Disamping itu, ada lagi kata al-su' dalam al-Qur'an yang tidak jelas
mengacu kepada dosa besar atau dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-A'raf
ayat 95, surat al-Ra'd ayat 6, surat Yunus ayat 28, surat al-Naml ayat 90, surat Ghafir
ayat 40, dan lain-lain.

Kata al-hub, yang diterjemahkan dengan arti dosa, muncul dalam al-Qur'an sebanyak
satu kali, yaitu dalam surat al-Nisa' ayat 2. Menurut al-Asfahani, kata al-hub sama dan
sinonim dengan kata al-itsm. Oleh karena kata al-hub ini muncul hanya satu kali dalam
al-Qur'an, tidak dapat diketahui berbagai makna yang timbul dari kata tersebut,
apakah ia mengacu kepada arti dosa besar atau dosa kecil, atau dosa secara umum.
Khusus dalam surat al-Nisa' ayat 2 di atas, karena kata al-hub dirangkai dengan kata
kabiran, maka rangkaian itu diterjemahkan dengan dosa besar.

Kriteria Dosa Besar


Tidak mudah untuk menentukan kriteria dosa besar dalam al-Qur'an. Kesulitan itu
tetap terasa, walaupun istilah-istilah yang biasa diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan dosa telah dijelaskan sebelum ini. Diantara lima istilah tersebut,
tidak satu pun yang secara eksplisit dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan dosa besar. Bila al-Qur'an menyebut dosa besar, maka istilah-istilah tersebut
dirangkai dengan kata kabir atau adim (dua kata yang berarti besar). Oleh karena itu,
ditemukan rangkaian kata-kata: isman adiman, isman kabiran, zanban adiman,
khith'an kabiran, atau huban kabiran, untuk merujuk dosa-dosa besar. Dengan
demikian, jika ditemukan kata ism, zanb, khith' saja, maka tidak dihukumi sebagai
dosa besar, tanpa melihat indikator lain yang dapat mengantarkan kita memahaminya
sebagai dosa besar.

Sebagai dikatakan di atas, Hadis pun tidak banyak membantu kita menjelaskan
kekaburan itu. Yang disebut dalam Hadis hanyalah dosa-dosa terbesar diantara dosa-
dosa besar. Sedangkan dosa besar itu sendiri masih kabur. Setelah tidak jelas macam-
macam dosa besar, menurut al-Qur'an dan Hadis, maka ijtihadlah yang harus
difungsikan untuk mengetahui macam-macam dosa besar. Oleh karena dasar untuk
mengetahui dosa besar itu ijtihad, maka hasilnya menjadi relatif. Jika dampak negatif
yang ditimbulkan suatu tindakan pelanggaran dijadikan tolok ukur untuk mengetahui
dosa besar, kesulitan yang ditemui ialah bahwa dampak negatif itu sendiri relatif juga.
Suatu pelanggaran, yang dianggap oleh seseorang memiliki dampak yang relatif cukup
besar bagi dirinya, belum tentu dirasakan sebagai hal yang sama oleh orang lain.
Dalam menyelesaikan problem ini, akan digunakan tolok ukur lain, yaitu istilah apa
yang digunakan al-Qur'an ketika mengancam pelanggar suatu aturan. Tentu yang
dianalisa adalah bahasa yang digunakan oleh al-Qur'an atau Hadis tersebut.

Berdasarkan tolok ukur kebahasaan itu, dosa besar menurut al-Baruzi, seperti dikutip
al-Ghimari setidak-tidaknya ada lima belas kategori, yaitu dosa besar yang diancam
dengan hukuman had, dosa besar yang ditandai dengan ungkapan "fahisyah", dosa
besar karena pelanggaran yang dilakukan termasuk perbuatan syetan, dosa besar
karena Allah tidak menyenangi tindakan itu termasuk pelakunya, dosa besar karena
pelaku dosa diancam dengan laknat, dosa besar karena Allah marah terhadap
pelakunya, dosa besar ditandai dengan ungkapan "shalat yang dikerjakan seseorang
ditolak Allah", dosa besar karena pelakunya dikecam sebagai orang merugi, dosa besar
ditandai dengan ungkapan "bukan dari golongan kami", dosa besar ditandai dengan
ungkapan "Allah menutup pintu taubat bagi pelaku dosa", dosa besar ditandai dengan
ungkapan "kemaksiatan menghabiskan kebaikan", dosa besar ditandai dengan ancaman
wayl, dosa besar karena tindakan itu membatalkan amalan shaleh, dosa besar ditandai
dengan ungkapan "Allah tidak menyenangi pelaku dosa", dan dosa besar ditandai
dengan ungkapan "tidak perlu ditanyakan resiko yang akan diterima pelaku dosa".
Macam-macam dosa besar yang dikemukakan al-Baruzi tersebut, tidak dijelaskan
semua di sini, karena disamping tidak memungkinkan dari segi tempat yang
disediakan, juga karena sebagian besar dari dosa-dosa tersebut, sudah disebutkan
dalam Hadis Rasulullah, bahkan ada yang termasuk dosa terbesar. Oleh karena itu
hanya sebagian saja yang akan diuraikan di sini.

1. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Hukuman Had.

Terdapat sejumlah ayat al-Qur'an yang mengancam sebuah pelanggaran dengan


hukuman had, misalnya surat al-Baqarah ayat 178. Ayat ini membicarakan hukuman
had bagi pembunuh, atau terkenal dengan qishash. Secara eksplisit, memang sudah
dikatakan dalam Hadis bahwa dosa pembunuhan termasuk dosa besar. Namun, tidak
semua pelanggaran yang diancam dengan hukuman had disebut oleh Hadis Rasulullah.
Dalam Hadis disebutkan bahwa dosa besar karena diancam hukuman had hanyalah
zina, dan saksi palsu. Padahal dosa besar dengan tolok ukur ancaman had bagi sebuah
pelanggaran cukup banyak, misalnya: membunuh, zina, qazaf (tuduhan palsu),
mencuri, pengacau di jalan, liwath (homo seksual) .

Kata had berasal dari kata kerja hadda. Kalimat hadda Allah 'anna al-syarra, berarti
kaffahu wa sharrafahu (menjauhkan atau memalingkan). Tegasnya, Allah menjauhkan
kita dari bahaya. Ungkapan hadda al-muzniba berarti aqama 'alyhi al-had bima
yamna'u ghairahu wa yamna'uhu min irtikab al-zanb (menerapkan hukuman had
kepada seseorang yang berbuat dosa, agar dia jera dan agar orang lain yang
mengetahui hukuman tersebut dapat juga jera). Kemudian muncullah istilah had dan
dalam bentuk jamaknya hudud, yang berarti hukuman yang diterapkan di dunia bagi
pelanggar hukum tertentu, seperti pencurian dengan hukuman potongan tangan, zina
dengan hukuman rajam, pembunuhan dengan hukuman qishash, dan sebagainya.

Hukuman bagi pembunuhan, perzinaan, qazaf, mencuri, mengacau di jalan, dan


liwath (homoseksual) dikategorikan dosa besar, bukan saja karena diancam dengan
hukuman had, tetapi karena dampak negatif dari tindakan- tindakan tersebut memang
besar. Di sini, untuk menilai tindakan-tindakan tersebut sebagai dosa besar, bukan saja
acuan kebahasaan tetapi juga acuan dampak negatif yang ditimbulkannya.
Pembunuhan, misalnya, memiliki dampak negatif yang cukup besar, sebab
pembunuhan tidak saja menghilangkan nyawa orang yang terbunuh. Lebih dari itu,
pembunuhan dapat menambah penderitaan keluarga yang ditinggalkannya, terutama
jika yang terbunuh itu orang yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga.

Demikian juga perzinaan, dikategorikan dosa besar, karena disamping diancam dengan
hukuman had, juga karena dampak negatif yang ditimbulkan zina cukup besar.
Penyakit kelamin, anak lahir tanpa orang tua sah dan hidup terlantar, cemoohan
masyarakat dan masih banyak lagi yang lainnya, adalah dampak-dampak yang
ditimbulkan perzinaan. Qazaf pun tidak kalah besar dampaknya bila dibandingkan
dengan pembunuhan dan perzinaan. Orang yang dituduh palsu, dalam hal ini wanita
baik-baik yang dituduh berzina, nama baiknya akan tercemar, termasuk nama baik
keluarganya. Wanita itu juga akan dikucilkan dari masyarakat, dan akan mengalami
penderitaan batin yang cukup hebat. Tidak mudah untuk memulihkan nama baiknya,
dan kalaupun bisa, membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan mental
yang cukup prima. Wajar bila penuduh palsu diancam dengan hukuman berat, yaitu
dipukul delapan puluh kali (hukuman had), kesaksian mereka ditolak selamanya, dan
mereka dikategorikan orang fasik. Demikian juga mencuri dan mengacau di jalan,
termasuk yang diancam dengan hukuman had oleh al-Qur'an. Hukuman-hukuman yang
diancamkan kepada pezina, pencuri, penuduh palsu, dan pengacau di jalan tersebut
cukup berat. Dengan melihat ancaman hukuman tersebut, tidak salah jika
pelanggaran-pelanggaran yang diancam dengan hukuman had dikategorikan dosa besar.

2.Dosa Besar Ditandai Ungkapan "Fahisyat'.

Dosa besar dapat dikenal juga dengan adanya ungkapan fahisyat bagi tindakan
pelanggaran. Diantara ayat yang menggunakan kata fahisyat untuk menunjuk suatu
pelanggaran adalah ayat 15 surat al-Nisa'. Dalam ayat ini, Allah menetapkan bahwa
para isteri yang dituduh mengerjakan perbuatan fahisyat, harus dibuktikan
kebenarannya oleh empat orang saksi. Kata fahisyat berarti qabihat dan syani'at (jelek
dan keji). Banyak mufassir menafsirkan kata fahisyat dalam ayat ini dengan arti zina.
Namun dalam beberapa ayat lain, kata fahisyat muncul dalam makna yang sangat
umum, misalnya dalam ayat 45 surat al-Ankabut. Dalam ayat disebut terakhir,
dikatakan bahwa shalat dapat mencegah seseorang dari perbuatan fahsya' (bentuk
jamak dari fahisyat). Kata fahisyat dalam ayat ini tidak dapat dipahami dengan makna
zina, karena tidak ada petunjuk yang mengantarkan kita untuk dapat memahaminya
dengan arti zina. Demikian pula kata fahsya' dalam ayat 169 surat al-Baqarah, ayat 28
surat al-A'raf, ayat 24 surat Yusuf, ayat 22 surat al-Nisa' dan sebagainya, muncul
dengan makna yang sangat umum. Kata-kata fahsya' atau fahisyat dalam konteks
seperti ini tidak dapat dipahami dengan mengacu kepada arti dosa besar atau dosa
kecil. Namun pada saat tertentu, misalnya ada petunjuk yang tegas yang mengarah
kepada arti dosa besar, kata fahisyat atau fahsya', dapat dijadikan dasar untuk
menghukumi sebuah pelanggaran sebagai dosa besar.

3. Dosa Besar Karena Pelakunya Diancam Dengan Laknat.

Dosa besar terkadang dapat diketahui dengan adanya ungkapan lain yang digunakan al-
Qur'an atau Hadis, selain yang dikemukakan di atas, yaitu pelakunya diancam dengan
laknat, misalnya dalam ayat 51-52 surat al-Nisa. Dalam ayat ini, Allah menyatakan
melaknat orang-orang musyrik dan orang-orang yang percaya kepada Thaghut dan
orang-orang yang mengakui bahwa orang kafir Makkah lebih benar jalannya dari orang-
orang beriman. Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata "la'ana" yang, dari segi
bahasa, berarti akhaza wa sabba (menyiksa dan mencaci) dan dapat juga berarti
ab'adahu min al-khair (menjauhkan dari kebaikan). Lebih jauh lagi, kata la'ana berarti
'azzaba (menyiksa). Al-Maraghi mengartikan kata la'ana dengan ab'adahu min al-khayr.
Dengan arti bahasa dan istilah dari kata la'ana seperti dikutip di atas, dapat dipahami
bahwa kata la'ana mengakibatkan jauhnya seseorang dari kebaikan, atau tegasnya,
jauhnya seseorang dari rahmat Allah. Orang yang dijauhi memang ada kemungkinan
karena tidak disenangi, dan dampak dari tidak disenangi orang antara lain tidak
mendapatkan kebaikan orang lain. Orang tidak disenangi dalam ayat di atas ialah
orang musyrik, dan kemusyrikan termasuk dalam akbar al-kabair (salah satu dosa
terbesar diantara dosa-dosa besar).

Orang-orang yang tidak disenangi Allah, seperti tercantum dalam al-Qur'an cukup
bervariasi, misalnya orang-orang kafir (Qs. al-Ahzab ayat 64). Bahkan golongan ini
dinyatakan secara tegas akan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala
di akhirat nanti. Golongan yang tidak disenangi Allah, juga termasuk orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang telah melanggar janji kepada Allah. Hati mereka pun enggan
dan kaku, serta keras bagaikan batu, sehingga tidak mau menerima ayat-ayat Allah.
Bahkan lebih jauh lagi, mereka berani merubah ayat-ayat Allah (ayat al-Qur'an),
seperti merubah arti dan mengurangi atau menambah huruf dan kata-kata dalam ayat
al-Qur'an tersebut.

Dalam Hadis Rasulullah pun terdapat kata la'ana, yaitu sabda Rasulullah: "la'ana Allah
al-rasyi wa al-murtasyi" (Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap).
Beberapa kata la'ana yang muncul, baik dalam al-Qur'an maupun dalam Hadis memang
mengacu kepada arti dosa besar. Apalagi pelanggaran-pelanggaran yang diungkap
dengan kata la'ana, dampak negatifnya memang besar, sehingga tepat bila kata la'ana
digunakan sebagai dasar untuk menghukumi pelanggaran yang ditunjuknya sebagai
dosa besar.

4. Dosa Besar Yang Ditandai Ungkapan "Kemaksiatan Dapat Merusak Kebaikan".

Dosa besar dalam kategori ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an, tetapi ditemukan
dalam Hadis Rasulullah. Hadis tersebut berbunyi: "Iyyakum wa al-hasad fa inna al-
hasad ya'kul al-hasanat kama ta'kul al-nar al-hathab" (Jauhilah sifat hasad (dengki),
sebab dengki itu dapat memakan amalan baik, sebaimana halnya api membakar kayu).
Dalam kamus Arab, kata hasad digunakan, misalnya dalam ungkapan "hasada fulan
ni'matahu wa 'ala ni'matihi" yang berarti "tamanna zawala ni'matih wa tahawwulaha
ilayhi" (Seseorang berharap hilangnya ni'mat yang didapat orang lain, dan dapat
berpindah ke tangan dia). Hasad, kalau begitu, adalah sifat yang tidak terpuji.
Kemudian, bagaimana sifat hasad dapat memakan amal-amal baik, sehingga
digambarkan sebagai api membakar kayu? Tidak dijelaskan oleh Rasulullah. Dapat
diduga bahwa alasan hasad dapat memakan amal-amal baik, adalah karena orang
kalau sudah hasad, tidak pernah merasa puas dengan nikmat yang diberikan Allah.
Bahkan, nikmat Allah yang ada di tangan orang lain diusahakan pindah ke tangannya.
Dalam pandangan orang hasad, kebaikan dan nikmat yang ada di tangannya selalu
dirasakan kurang. Bahkan, nikmat tersebut tidak diakui eksistensinya. Jadi, sifat hasad
sama dengan api yang membakar kayu. Yang tersisa hanya arang dan debu. Lama
kelamaan, arang dan debu pun akan hilang tanpa bekas. Gambaran hasad dapat
menghilangkan kebaikan bersifat abstrak. Proses hilangnya kebaikan oleh sifat hasad
tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, dibutuhkan perumpamaan. Kemudian, Rasulullah
mengambil perumpamaan: Hasad menghilangkan kebaikan sama dengan api membakar
kayu. Dengan cara mempersamakan seperti ini, sesuatu yang awalnya bersifat abstrak
berubah menjadi kongkrit. Ia menjadi seakan-akan dapat diihat, seperti halnya benda
nyata. Seseorang yang telah hangus amal baiknya, berarti ia tidak memiliki peluang
untuk memperoleh balasan kebaikan dari Allah. Sebaliknya, justeru balasan keburukan
(neraka) yang akan diperolehnya. Bila demikian, dapat dipahami kalau sifat hasad
dikategorikan sebagai dosa besar.

5. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Wayl (Celaka).

Dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang mengandung kata wayl (celaka), antara
lain dalam surat al-Muthaffifin ayat 1-3. Kata wayl menurut kamus bahasa Arab
berarti al-halak (kehancuran). Kata wayl dalam ayat 1 surat al-Muthaffifin tersebut,
menurut al-Maraghi, merujuk kepada arti kehancuran yang besar. Kehancuran besar
menggambarkan besarnya dampak yang ditimbulkan. Kehancuran besar dalam ayat ini
ialah menimbang dengan timbangan yang besar ketika membeli dan menimbang
dengan timbangan kecil ketika menjual. Tindakan ini jelas mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya dalam perdagangan, tanpa memperhatikan kerugian dan penderitaan
orang lain. Setidak-tidaknya, ada dua keuntungan yang diraih oleh orang yang
melakukan penipuan seperti itu: Pertama, keuntungan dari selisih timbangan barang
yang dibeli; Kedua, keuntungan dari selisih harga jual barang. Oleh karena itu,
tindakan tersebut sangat menguntungkan diri sendiri dan sangat merugikan orang lain.
Dengan demikian, adalah tepat bila al-Qur'an mengancam pelakunya dengan kata
wayl, yang merujuk kepada besarnya dosa bagi pelaku tindakan tersebut.
Al-Asfahani mengartikan kata wayl dengan al-qubh (jelek) atau al-tahassur
(penyesalan). Pengertian wayl seperti yang dikemukakan al-Asfahani, secara
etimologis, berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Lewis Ma'luf. Namun pada
hakekatnya, dua pengertian itu memiliki makna yang sama, yaitu merujuk kepada arti
kejelekan atau kejahatan yang besar, dan dampaknya menimbulkan kehancuran yang
besar pula. Pendusta lagi banyak berbuat dosa, sebagai dikatakan dalam al-Qur'an
surat al-Hujurat ayat 7, tepat diancam dengan wayl. Kedustaan sudah cukup
membahayakan, apalagi ditambah dengan kesenangan melakukan dosa.

6. Dosa Besar Ditandai Ungkapan"Allah Tidak Suka Melihat Pelaku Dosa".

Dosa besar dalam kategori ini ditandai ungkapan "la yandhuru" (tidak melihat). Kata
nadhara, bentuk kata kerja lampau dari kata kerja yandhuru, dalam al-Qur'an
ditemukan lebih seratus kali dengan berbagai bentuk kata jadiannya. Seperti dikatakan
di atas, kata la yandhuru, yang berarti tidak melihat, bukan saja berarti tidak melihat
karena tidak bertemu atau tidak menemukan, akan tetapi ungkapan itu memiliki arti
tertentu, yaitu tidak ingin melihat karena merasa tidak senang dengan sesuatu. Dalam
al-Qur'an, tidak ditemukan ungkapan la yandhuru, dalam arti seperti disebut terakhir.
Ungkapan la yandhuru dalam arti tersebut terakhir hanya ditemukan dalam Hadis,
misalnya "la yandhuru Allah 'azza wa jalla ila al-rajuli ata rajulan aw imrataan fi
duburiha" (Allah tidak senang melihat seseorang yang menyetubuhi sesama lelaki
(homoseksual) dan bersetubuh dengan perempuan melalui duburnya (sodomi).

Ungkapan la yandhuru (tidak mau melihat) seperti dalam Hadis di atas, disebabkan
ketidaksenangan kepada sesuatu. Ketidaksenangan boleh jadi menjurus kepada tidak
mau melihat yang tidak disenangi itu, sebab pada umumnya orang yang tidak senang
kepada sesuatu atau kepada seseorang, boleh jadi ia tidak mau melihat sesuatu atau
seseorang yang dibencinya. Dalam Hadis lain dikatakan: Salasatun la yukallimuhum
Allah yawm al-qiyamat wa la yuzakkihim wa la yandhuru ilayhim wa lahum 'azabun
alim: syaikhun zanin, wa malikun kazzab, wa 'ailun mustakbirun (ada tiga golongan
yang tidak diajak bicara oleh Allah di hari qiyamat, tidak dibersihkan hatinya, dan
akan disiksa dengan siksaan yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja pendusta,
dan orang miskin yang sombong).

Kata la yukallimuhum Allah (mereka tidak diajak bicara oleh Allah), bukan karena
Allah tidak bertemu dengan orang itu, akan tetapi ungkapan itu memiliki makna
kiasan, yaitu kiasan bahwa Allah tidak senang kepada mereka. Bahkan,
ketidaksenangan Allah itu ditegaskan lagi dengan kata berikutnya wa la yandhuru
ilayhim (Allah tidak mau melihat mereka). Mengapa Allah tidak senang kepada
mereka ? Tentu saja karena perilaku mereka sudah melampaui batas. Orang tua yang
berzina, dianggap melampaui batas, sebab orang tua seharusnya memberi contoh yang
baik kepada anak cucu. Raja yang berdusta juga sangat dibenci Allah, sebab raja
seharusnya jujur dalam menjalankan pemerintahan, bukan malah mengelabui
rakyatnya.

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan sebelum ini, dapat dipahami bahwa al-Qur'an tidak
menyebut secara tegas macam-macam dosa besar. Dalam al-Qur'an hanya terdapat
ungkapan-ungkapan yang dapat mengantarkan kita untuk dapat menghukumi sebuah
pelanggaran itu sebagai sebuah dosa besar. Dengan meresapi sejumlah istilah atau
ungkapan yang menjadi tanda untuk memahami dosa besar, sebagaimana yang
dikemukakan al-Baruzi, maka akan muncul puluhan macam dosa besar. Dosa-dosa yang
pernah diucapkan oleh Rasulullah hanyalah sebagian dari dosa-dosa besar yang
terdapat dalam ajaran Islam. Untuk mengetahui secara rinci macam-macam dosa
besar, kita hanya merujuk saja kepada ungkapan-ungkapan tersebut, baik yang
terdapat dalam al-Qur'an maupun Hadis.

Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel
Tamat S-3 dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/12/cn/7313

Konsultasi : Waris

Status Anak Hasil Zina : Dapat Wariskah Dari Ibunya?

Pertanyaan:

As.\
Sebelumnya ana ucapakan jazakallah.
Begini ustadz, ana punya kenalan muallaf (perempuan / msulimah). Profesi pengacara.
Sebelum Islam, dia punya dua anak, perempuan dan laki-laki. Tetapi kedua anak itu
hasil tanpa nikah resmi (maaf - zina). Pekan kemarin dia resmi menyatakan Islam.

Bagaimanakah setatus kedua anak itu ? Baik berkaitan hal waris, perwalian dan
kedudukan kedua anak itu di dalam Islam. Mengingat ibunya sudah resmi muslimah.

Jazakamullah
Was...,

Sholihun - Jogja

Sholihun

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Nasab kepada ayah yang dulunya menzinai seorang ibu dan tidak menikahinya secara
syah, jelas terputus. Artinya, meski secara biologis seorang anak adalah anak dari
seorang laki-laki, tetapi karena laki-laki itu tidak pernah menikahi ibu anak itu, maka
tidak ada hubungan nasab antara anak dan ayah biologis itu dalam pandangan hukum
Islam.

Sedagkan kepada ibunya, kedudukannya jelas sebagai ibu dan punya hubungan nasab.
Sebab ibu itulah yang mengandungnya, sehingga meski disebut anak haram yang
sebenarnya salah kaprah, namun dengan ibunya tidak bisa diputuskan hubungan
nasabnya.

Namun dalam kasus yang anda sampaikan, sayangnya tidak ada keterangan apakah
kedua anak itu ikut masuk Islam juga atau tidak. Sebab meski secara nasab bisa
dianggap anak ibu itu, tetapi kondisi mereka yang berlainan agama dengan ibunya
menimbulkan adanya penghalang yang mencegah bolehnya mereka mewarisi harta ibu
mereka.

Dari Usamah bin Zaid ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,�


Orang Islam itu tidak mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi orang
Islam. (HR. Bukhari 6267, Muslim 3027, Tirmizy 2033, Abu Daud 2521, Ibnu Majah
2719)

Maka bila bisa dipastikan bahwa kedua anak itu tidak atau belum masuk Islam
sebagaimana ibunya, jelaslah bahwa mereka tidak akan mendapatkan harta warisan
dari ibu mereka.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.tranungkite.net/v2/modules.php?name=News&file=article&sid=981

Budaya Mendekati Zina


Dilulus terbit pada Saturday, April 16 @ 14:05:40 MYT oleh LinuxPro

SriBunian05 menulis "


OLEH: SriBunian

Assalamu’alaikum wm.wrt.

KEBANYAKAN umat Islam menganggap perzinaan itu adalah semata-mata melakukan


persetubuhan haram dan inilah perbuatan maksiat yang dilarang keras dan merupakan
satu daripada dosa-dosa besar. Sebenarnya, dalam agama Islam, bukan perbuatan zina
itu saja yang dilarang keras, tetapi termasuk juga sebarang tindak- tanduk yang
membawa kepada berlakunya perbuatan yang terkutuk itu, iaitu sebarang perlakuan
ke arah menghampiri zina yang disebut sebagai "budaya taqrabul-zina".

Lebih dua dekad perbuatan zina semakin menjadi-jadi. Hasilnya, pada satu ketika dulu
seluruh Negara heboh dengan pembuangan bayi yang masih lagi bertali pusat dan
bersalut dengan darah menandakan ia baru dilahirkan, masyarakat menjadi gempar
dan ada seorang menteri wanita UMNO yang bernama Shahrizat Jalil [adiknya Ketua
UMNO Lembah Pantai Shahrir Jalil digantung sepenggal oleh Lembaga Disiplin UMNO
kerana mengamalkan politik wang] telah memberi cadangan penubuhan sebuah ‘bank
bayi’ yang akan menjadi tempat menyimpan bayi-bayi terlibat dan diletakkan di
bawah jagaan Jabatan Kebajikan Masyarakat dan Marina Mahathir lebih berani dari itu
mencadangkan agar muda-mudi diberi pengajaran seks selamat dengan penggunaan
kondom bagi mengelak dari kehamilan.

Kita telah dapat membaca, melihat, mendengar dan menonton ada bayi-bayi ini
dibuang di merata-rata tempat seperti di tepi-tepi jalan, di longkang-longkang, di
tong-tong sampah sehingga ada bayi-bayi berkenaan di makan oleh anjing-anjing liar
dan bagi yang ada sedikit peri kemanusiaan, mereka meletakkan bayi-bayi yang tidak
berdosa ini di masjid-masjid, di surau-surau atau di tempat-tempat awam yang lain
dengan harapan bayi-bayi [yang tidak diundangkan kehadirannya] dapat diselamatkan
oleh pihak berkuasa atau oleh orang ramai. Amat malang, kes-kes pembuangan bayi ini
kebanyakannya melibatkan orang-orang Islam. Maruah umat Islam amat tercemar
dengan insiden ini yang menyebabkan orang-orang bukan Islam hilang hormat kepada
umat, budaya, amalan [ritual] dan ajaran Islam lagi. Perangai umat Islam [bukan
semua] semacam haiwan. Umat Islam dihina dan dianggap sebagai ‘terrorist’
mengancam keamanan dunia dan perlu dihapuskan.

Apabila muncul kepemimpinan baru dalam Negara ini dengan membawa mesej Islam
Hadharinya yang dijangkakan memberi sinar baru, lantas secara terburu-buru umat
Islam di Negara ini [diselewengakan fakta maklumat, diugut, diancam dan
dirasuahkan] memberi sokongan sampai 80% undi dalam pilihan raya umum tahun lalu
dengan harapan masalah-masalah penyakit sosial ini dapat diatasi, tetapi rupa-rupanya
ia semakin membiak dan berkembang subur dalam masyarakat.

Salah satu asas ajaran utama konsep Islam Hadhari ialah memperjuangkan ‘Islam
Liberal’ . Unsur-unsur yang ada dalam Islam Liberal ini ialah perkara-perkara yang
berkaitan dengan maksiat diberi liputan positif dan orang-orang yang menegakkan
amal makrof nahi mungkar dihina, diperlecehkan dan diberi gambaran yang buruk-
buruk agar rakyat turut membenci kepada golongan ini, orang buat maksiat
dipertahankan, dianggap mulia, berakhlak, bermoral, keperluan hak asasi manusia dan
kebebasan lebih penting walaupun ianya bertentangan dengan ajaran Islam [hak asasi
dan kebebasan dalam demokrasi yang sudah mati di negara ini tidak dipedulikan],
kebebasan dan kepuasan individu dibolehkan membelakangkan hukum dosa-pahala,
menuntut persamaan hak di antara lelaki-wanita dari segi peranan dan tanggungjawab
dalam budaya, social, ekonomi, politik, mengalakkan dan memberi sokongan
menghidupkan budaya ‘hedonisme’ yang memetingkan hiburan dan pesta-pestaan
bercampur-baur lelaki-perempuan, mabuk-mabuk dan menentang peraturan syariah
serta menentang Allah s.w.t secara langsung kerana ianya terkeluar dari kerangka
pemikiran Islam moderate dan progresif serta logic aqal manusia biasa sepertimana
Mohamad Nazri Aziz bersama-sama dengan 50 NGO dan lebih 200 orang individu
berpakat menolak undang-undang moral.

Bagi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menghayati ajaran Islam sebenar,
peristewa Zouk dan peristewa di Genting Highland amat menakutkan dan
membimbangkan terhadap masa depan umat, tetap bagi orang-orang yang tidak
menghayati ajaran agama seperti Nazri dan kumpulannya tidak akan merasai apa-apa
kerana mereka adalah ‘haiwan bertopengkan manusia kerana sebagai haiwan Allah
s.w.t tidak kurniakan aqal dan sebab itu mereka [haiwan] tidak berakhlak’, tetapi
sekiranya mereka [Nazri dan kumpulannya] manusia yang mempunyai aqal dengan
tersendirinya dipertanggungjawabkan terhadap akhlak. Nazri dan kumpulannya ini
adalah golongan anti kawalan moral bermakna mereka sebenarnya yang tidak bermoral
dan berakhlak.

Mingguan Malaysia pada 7.11.2004 melaporkan, gejala negatif ini menjadi semakin
teruk pada hari ini. Laporan Kajian Kesihatan Seksual dan Reproduktif Remaja di
Malaysia 2003 oleh Kementerian Kesihatan menunjukkan, remaja terutama pelajar
sekolah di negara ini begitu aktif melakukan kegiatan seksual termasuk hubungan seks
luar nikah. Semua ini menunjukkan budaya zina ini sedang berkembang pesat seiring
dengan pembangunan negara mengikut acuan ‘budaya barat’ bukan acuan budaya
Islam. Apabila gejala ini dibiarkan, dikhuatiri suatu hari nanti jerebu nilai yang
menghancurkan akan menyerang masyarakat Malaysia secara amnya.

Lambakan VCD lucah, filem dan drama selain gaya fesyen wanita yang pakai baju
singkat, seluar nampak pusat dan berbaju nipis. Faktor-faktor ini yang merangsang
keinginan. Psikologi manusia, benda yang singkat-singkat yang tertutup sikit, terbuka
sikit ini yang mereka hendak. 13% peratus remaja negara ini yang berusia 15 hingga 21
tahun pernah mengadakan hubungan seks sebelum berkahwin.

Satu kajian yang dijalankan bersama antara Kementerian Kesihatan, Pertubuhan


Kesihatan Sedunia, Universiti Malaya dan sebuah syarikat swasta terhadap remaja
dalam kelompok itu mendapati 76% daripada responden itu adalah remaja lelaki
manakala remaja perempuan pula sebanyak 61%.

Soal selidik yang dijalankan oleh satu jenama kondom mendapati, rakyat Malaysia kini
melakukan hubungan seks pertama kali pada usia lebih awal iaitu 19.3 tahun
berbanding purata tahun pada 2001. Dalam satu kajian lain yang dijalankan oleh
Kementerian Kesihatan terhadap kalangan remaja yang masih bersekolah (berumur 13
hingga 18 tahun), mendapati sebanyak 1.8% daripadanya mengaku pernah terbabit
dalam aktiviti seks.
Satu lagi kajian yang dibuat oleh Jabatan Psikologi dan Kaunseling Universiti Malaya
mendapati pelajar awal remaja berusia 12 hingga 15 tahun menggunakan seks bebas
sebagai alasan untuk berseronok dan melepaskan tekanan perasaan ekoran terlalu
banyak tegahan daripada ibu bapa.
Daripada cubaan pertama, mereka kemudian menjadi ketagih. Kajian ini mendapati
kebanyakan mereka yang melakukan hubungan seks bebas secara aktif adalah golongan
pelajar di sekolah menengah atas dan penuntut institut pengajian tinggi. Kebanyakan
mereka ini beranggapan perlakuan seks ini bukan sesuatu yang luar biasa malah ada di
antara mereka berbangga.

Antara lambang kejayaan seorang mukmin ialah mampu mengawal keinginan nafsu
seksnya. Dalam surah al-Mukminun ayat 6 hingga 7, Allah berfirman yang bermaksud,
“(Orang mukmin yang berjaya) ialah mereka yang memelihara kemaluan mereka
melainkan kepada isteri-isteri dan hamba-hamba perempuan mereka dan yang
demikian itu tidaklah dicela. Dan sesiapa yang mencari yang lain daripada ini, mereka
adalah golongan yang melampaui batas.”

Hal tersebut jelas dalam firman Allah yang bermaksud: “Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji dan seburuk-
buruk jalan” – (Sura al-Israk: 32).

Takrif “zina” itu luas, meliputi banyak aspek perlakuan. Rasulullah s.a.w
memperincikannya sebagaimana dalam sabda-sabda Baginda s.a.w. yang bermaksud:

“Zina dua mata itu menilik (memandang) perempuan yang ajnabi”.

“Zina kedua mata itu memandang, zina kedua telinga itu mendengar, zina kedua
tangan itu menjabat, zina kedua kaki itu melangkah dan zina hati itu mengingini,
mengangan-angankannya” – ( Riwayat Bukhari dan Muslim)

Demikianlah, semua perlakuan dalam perhubungan antara lelaki dan perempuan yang
sudah akil baligh dan bukan mahram itu, sama ada zahir atau batin, dikira perbuatan
zina belaka. Apa lagi perhubungan fizikal yang lebih rapat (bercumbu-cumbuan,
berdansa, berkepitan-kepitan atau berhimpit-himpitan), terutama dalam keadaan
aurat yang terdedah. Bila sudah berdua-duaan, yang pasti yang ketiga itu adalah
syaitan.
Berdasarkan hadis tersebut, jelaslah, pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan
yang bukan mahram itu sudah dikira perbuatan zina atau sekurang-kurangnya termasuk
dalam kegiatan “budaya taqrabul-zina” itu.

Dalam agama Islam, pergaulan bebas antara lelaki dan perempuan ajnabi itu dilarang
keras. Ini kerana segala tindak-tanduk dalam pergaulan bebas itu membuka peluang
atau menimbulkan dorongan dan memberi laluan mudah kepada mereka yang terlibat
melakukan mukadimah zina dan seterusnya melakukan kemuncak perbuatan yang
terkutuk itu. Itulah sebabnya Mufti Perak “menfatwakan” Konsert Sure Heboh sebagai
HARAM kerana menjurus kepada “budaya taqrabul-zina”.

Larangan melakukan tindak-tanduk yang membawa kepada perbuatan zina itu bukan
khusus ditujukan kepada pasangan yang berkenaan sahaja, tetapi termasuk juga orang
lain yang terbabit (bersyubahat).

Ramai orang tidak sedar, bahawa mereka turut terlibat dalam melakukan perbuatan
menghampiri zina itu. Di kalangan kita, masih ramai ibu dan bapa yang sengaja
[sportinglah kononnya seperti ibubapa Jeslina Hashim] memberi peluang kepada anak
gadis mereka berdua-duaan dengan teman lelakinya. Sebenarnya dalam Islam, tidak
ada istilah “teman lelaki” bagi perempuan atau “teman perempuan” bagi lelaki.

Ada-ada sahaja helah ibu bapa untuk tidak mengganggu anak gadis mereka yang
melakukan khalwat [berdua-duaan, berbual-bual mesra] dengan teman lelakinya.
Umpamanya, ada ibu yang masuk ke dapur, ada bapa yang ada-ada sahaja urusan yang
hendak dilakukannya, lalu keluar rumah atau masuk ke biliknya sendiri.
Ramai ibu bapa membenarkan anak gadis mereka keluar berdua-duaan dengan teman
lelakinya [tanpa pihak ketiga] dalam keadaan tidak dharurat. Mereka tidak sedar atau
sengaja tidak mahu menyedarinya, bahawa dengan tindakan itu mereka turut terlibat
atau bersyubahat atau secara tidak langsung meluaskan peluang kepada anak gadis
mereka menceburkan diri dalam kegiatan budaya taqrabul-zina, walaupun sebenarnya
mereka tidak mengharapkan anak gadis mereka melakukan perbuatan zina yang
sebenarnya itu.
Ramai yang tidak terfikir, kalau belum lagi melakukan zina, mungkin anak gadis
mereka melakukan mukadimah zina. Yang pastinya, anak gadis mereka sudah
melakukan zina mata, zina tangan, zina kaki atau zina hati dengan teman lelakinya
itu.

Kerana jahil dan terlalu terpengaruh kepada amalan budaya soial Barat yang dikatakan
moden, ramai orang menganggap apa yang mereka lakukan itu adalah perkara biasa,
sudah menjadi tradisi [seperti yang diperjuangkan oleh Sister In Islam dan Marina
Mahathir]. Malah, mereka menganggap itulah tindakan yang selari dengan zaman
moden sekarang ini. Tambahan lagi jika terhadap mereka ketika masa muda dulu, ibu
bapa mereka pernah bertindak demikian, membiarkan mereka berdua-duaan dengan
kekasih mereka.
Pengaruh budaya Barat dalam bidang ini harus disedari sebagai virus berbahaya yang
merosakkan budaya Islam, sekali gus meruntuhkan kekuatan umat Islam.

Pada peringkat awal orang-orang Barat [Keristian khususnya] melancarkan perang


bersenjata terhadap kerajaan-kerajaan Islam. Tetapi mereka gagal. Lalu mereka
menukarkan perang bersenjata itu kepada perang psikologi.

Dalam tahun 1268, seorang raja Perancis pernah mengemukakan saranan: “Adalah
suatu yang amat sukar dan mustahil untuk mengalahkan umat Islam melalui
peperangan dengan senjata dan kekerasan. Bedasarkan pengalaman yang disokong
oleh fakta sejarah sebelumnya, maka yang penting sekarang ialah mengatur langkah
lain untuk umat yang degil itu”.

Antara “langkah lain” itu ialah melancarkan perang psikologi dengan cara
mengumpankan corak hiburan yang membawa kepada amalan pergaulan bebas antara
muda-mudi Islam yang boleh diistilahkan sebagai “budaya taqrabul-zina” itu.
Hiburan dari Barat itu sengaja dieksport ke Negara Islam sebagai satu strategi perang
psikologi untuk melemahkan umat Islam. Tanpa kesedaran ini, umat Islam, bukan
sahaja tidak peka dengan “umpan” atau matlamat dan misi hiburan dari Barat itu,
malah mereka menerimanya sebagai hasil seni dan budaya yang mereka iktiraf sebagai
“budaya global”. Sebenarnya apa yang disebutkan sebagai “budaya global” itulah yang
merupakan “budaya taqrabul-zina” itu.

Tuduhan terhadap Barat dalam hal ini bukan tidak berasas. Kaum Yahudi dan Nasrani
memang selamanya mendendami dan memusuhi umat Islam. Allah SWT mengingatkan
Rasulullah s.a.w melalui firman-nya yang mafhumnya: “Orang-orang Yahudi dan
Nasrani tidak sekali-kali menyukaimu (Hai Muhammad) sehingga engkau menurut
agama mereka” – (al-Baqarah: 120)
Perkembangan budaya taqrabul-zina memang dirancang oleh musuh Islam untuk
menghancurkan umat Islam. Inilah yang dikatakan sebagai strategi dalam perang
psikologi mereka terhadap umat Islam.

Seorang orientalis pernah berkata, “Gelas minuman keras dan penyanyi perempuan
dapat menghancurkan umat Muhammad. Ini lebih berkesan daripada apa yang dapat
dilakukan oleh seribu meriam”.

Mudah sahaja manusia terseret dan tergelincir jatuh ke kubang maksiat zina yang amat
terkutuk itu, kerana kegiatan dan pergaulan bebas dalam dunia hiburan bercorak Barat
– musik, sukan dan sebagainya – itu adalah meliputi ciri-ciri “budaya taqrabul-zina”. Di
mana-mana sahaja, perbuatan maksiat dalam dunia budaya ini telah dan sedang
berlaku. Fenomena keruntuhan akhlak yang amat teruk sekarang, di kalangan muda
mudi Islam khususnya, sehingga merebaknya wabak bohsia, bohjan, kelahiran dan
pembuangan bayi luar nikah dan sebagainya adalah antara bukti-buktinya.
Kita ada dua persimpangan. Satu persimpangan yang dibawa oleh UMNO dengan Islam
Hadharinya akan memusnahkan umat dan tamadun Melayu-Islam di Malaysia ini pada
suatu hari nanti. Ini satu kepastian kerana tanda-tandanya jelas kelihatan sekarang
seperti pelbagai kes jenayah dan social kadarnya semakin meningkat dari masa ke
semasa. Bagaimana generasi yang akan datang yang lahir dalam system yang kotor dan
berbau ‘shit’, tidak berakhlak dan bermoral akan mewarisi mentadbir negara ini?
Kehancuran pasti akan datang. Bala Allah diturunkan dengan pelbagai kaedah dan
caranya.

Salah satu kaedah bala dari Allah ialah mengwujudkan sebuah kerajaan yang dipimpin
oleh orang-orang yang zalim, hilang pertimbangan kemanusiaan, pentingkan diri,
tindakan memilih bulu, tidak adil dalam perlaksanaan undang-undang, pembohong,
penipu, perasuah, pemecah amanah yang diberi, gilakan kuasa dan kekayaan tanpa
mengenal batas-batas halal-haram [contohnya : UMNO/BN menang dalam pilihan raya
dengan melakukan pelbagai penipuan dan penyelewengan serta menggunakan kuasa
yang ada untuk mengekalkan kuasa], pangkat dan kedudukan serta hidup dipenuhi
dengan kemewahan yang diperolehi secara haram tanpa perlu berusaha mengeluarkan
peluh, hanya perlukan air liur dan ‘connection’ dengan pemimpin-pemimpin yang
berkuasa memfaraidkan khazanah negara sesama mereka, sedangkan sebahagian besar
rakyat hidup menderita dengan kemiskinan. Rakyat terus ditekan dengan pelbagai
masalah kehidupan harian. Kos belanja hidup yang tinggi. Kerajaan telah hilang
tanggungjawab sebagai kerajaan kebajikan, sebaliknya ia lebih mementingkan
golongan peniaga yang mana pemimpin itu sendiri mempunyai kepentingan dalam
setiap urus niaga yang berlaku.

Persimpangan kedua ialah memilih jalan yang betul lagi benar. Jalan yang ditunjukkan
oleh Allah s.w.t dan NabiNya. Untuk mengikuti persimpangan kedua ini, jalan yang
benar ini banyak duri dan ranjaunya, penuh dengan cabaran, dugaan dan memerlukan
kesabaran serta ketakwaan tinggi kepada Allah s.w.t. Sekiranya kita berjaya mengikut
jalan kedua ini, maka seluruh rakyat tanpa mengira kaum dan agama akan hidup
bahagia dunia dan akhirat [bagi orang Islam].
Jadi, terpulanglah kepada kita untuk memilih, sama ada untuk menuju ke jalan
kehancuran atau untuk menuju ke jalan kebenaran dan kebahagian.

Sebagai penutup, ikuti tulisan Dr. Ismail Ibrahim, Pengerusi Majlis Fatwa Kebangsaan
dalam Mingguan Malaysia pada 10.4.2005 yang banyak mendapat perhatian
masyarakat, beliau berkata :”Di London tidak ada gerai untuk kita melepak, tetapi di
Bangsar atau Sri Hartamas, terlalu banyak gerai yang menarik kehadiran generasi tua
dan muda untuk berjaga malam. Di London bar atau pubnya kebanyakannya hanya
dibuka sehingga pukul 11 malam., tetapi di Bangsar dan tempat-tempat lain, mungkin
dibuka sehingga pukul 2 atau 3 pagi. Kalau undang-undang mengatakan mereka boleh
membuka hingga pukul 2 pagi umpamanya, mereka cuba-cuba juga membukanya
hingga pukul 3 atau 4 pagi, kerana biasanya pihak berkuasa tidak menghantar penguat
kuasanya untuk melihat sama ada para peniaga itu mematuhi peraturan dan undang-
undang yang dikuatkuasakan ataupun tidak[kalau bertindak, pihak penguatkuasa pula
akan dipersalahkan-penulis].
Sekian, terima kasih. Wassalam.

http://www.mediamuslim.info/index.php?option=com_content&task=view&id=80&Ite
mid=15

Malapetaka Akibat Zina


Dikirim oleh Kontributor || Ahad, 28 Mei 2006 - Pukul: 08:26 WIB

Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh praktek zina merupakan bahaya yang
tergolong besar, dan praktek tersebut juga bertentangan dengan aturan universal
yang diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab keturunan, menjaga kesucian
dan kehormatan diri, juga mewaspadai hal-hal yang menimbulkan permusuhan
serta perasaan benci di antara manusia disebabkan pengrusakan terhadap
kehormatan isteri, putri, saudara perempuan dan ibu mereka. Dan ini jelas akan
merusak tatanan kehidupan. Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya praktek zina itu
-bobotnya- setingkat di bawah praktek pembunuhan. Oleh karena itu, Allah
menggandeng keduanya di dalam Al-Qur'an dan juga Rasulullah dalam keterangan
hadits beliau.

Al-Imam Ahmad berkata: "Aku tidak mengetahui sebuah dosa -setelah dosa membunuh
jiwa- yang lebih besar dari dosa zina."

Dan Allah menegaskan pengharamannya dalam firmanNya: "Dan orang-orang yang


tidak menyembah tuhan lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari
Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina kecuali orang-
orang yang bertaubat ..." (Al-Furqan: 68-70).

Dalam ayat tersebut, Allah menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa,
dan vonis hukumannya adalah kekal dalam adzab berat yang berlipat ganda, selama
pelakunya tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan
beramal shalih. Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu jalan yang buruk." (Al-
Isra': 32).

Di sini Allah menjelaskan tentang kejinya praktek zina dan kata "fahisyah" maknanya
adalah perbuatan keji atau kotor yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan dapat
diakui kekejiannya oleh setiap orang berakal bahkan oleh sebagian banyak binatang,
sebagaimana disebutkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Amr bin Maimun Al-
Audi, dia berkata: "Aku pernah melihat -pada masa jahiliyah- seekor kera jantan yang
berzina dengan seekor kera betina. Lalu datanglah kawanan kera mengerumuni
mereka berdua dan melempari keduanya sampai mati."

Kemudian Allah juga memberitahukan bahwa praktek zina adalah seburuk-buruk jalan;
karena merupakan jalan kebinasaan, kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan
azab di akhirat nanti.
Dan karena menikahi mantan isteri-isteri ayah itu termasuk perbuatan yang sangat
jelek sekali, Allah secara khusus memberikan "cela" tambahan bagi praktek menikahi
isteri orang tua. Allah berfirman (setelah secara tegas melarang kaum muslimin untuk
menikahi isteri-isteri ayah mereka, pent): "Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)." (An-Nisa': 22).

Allah juga menggantungkan keberuntungan seorang hamba pada kemampuannya dalam


menjaga "kehormatan"nya. Tak ada jalan menuju keberuntungan tanpa menjaga
"kehormatan". Allah berfirman: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang
yang me- nunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (Al-Mukminun: 1-7).

Dalam ayat-ayat ini ada tiga hal yang diungkapkan, yaitu, pertama, bahwa orang yang
tidak menjaga kemaluannya, tidak akan termasuk orang yang beruntung, kedua , dia
akan termasuk orang yang tercela, dan ketiga, dia termasuk orang yang melampaui
batas. Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta berhak mendapat predikat
"melampaui batas' dan jatuh pada tindakan yang membuatnya tercela, padahal
beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih ringan ketimbang menanggung
sebagian akibat yang disebutkan tadi.

Selain itu pula, Allah telah menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah, tidak sabar
dan tidak mampu mengendalikan diri saat mendapatkan kebahagiaan, demikian pula
kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan, dia menjadi kikir, tak mau memberi, dan bila
mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh. Begitulah sifat umum manusia, kecuali
orang-orang yang memang dikecualikan dari hambaNya, yang diantaranya adalah
mereka yang disebut di dalam firmanNya : "Dan orang-orang yang memelihara
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari
yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (Al-
Ma'arij: 29-31).

Oleh karenanya, Allah memerintahkan Rasulullah untuk memerintahkan orang-


orang mukmin agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka, juga diberitahukan
kepada mereka bahwa Allah selalu menyaksikan amal perbuatan mereka. "Dia
mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati."
(Ghafir: 19).

Dan karena ujung pangkal dari perbuatan zina yang keji ini dari pandangan mata,
maka Allah lebih mendahulukan perintah untuk memalingkan pandangan mata sebelum
perintah untuk menjaga kemaluan, karena banyak musibah besar yang asal muasalnya
adalah dari pandangan; seperti kobaran api yang besar asalnya adalah percikan api
yang kecil. Mulanya hanya pandangan, kemudian khayalan, kemudian langkah nyata,
kemudian terjadilah musibah yang merupakan kesalahan besar(zina).

Oleh karenanya, ada yang mengatakan, bahwa barangsiapa yang bisa menjaga empat
hal maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya: Al-Lahazhat (pandangan
pertama), Al-Khatharat (pikiran yang melintas di benak), Al-Lafazhat (lidah dan
ucapan), Al-Khathawat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).

Dan seyogyanya, seorang hamba Allah itu bersedia untuk menjadi penjaga dirinya dari
empat hal di atas dengan ketat, sebab dari situlah musuh akan datang menyerangnya,
merasuk ke dalam dirinya dan merusak segala sesuatu.

(Dikutip dari: JANGAN DEKATI ZINA, ditulis oleh Al Imam Ibnu Qayyim Al-jauziyah)

http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Halal/3034.html

Halal dan Haram dalam Islam

oleh Yusuf Qardhawi

3.3.4 Pencangkokan Sperma (Bayi Tabung)

Kalau Islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina dan
pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi keluarga selalu bersih dari
anasir-anasir asing, maka untuk itu Islam juga mengharamkan apa yang disebut
pencangkoan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkoan itu bukan sperma
suami. Bahkan situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu perbuatan zina
dalam satu waktu, sebab intinya adalah satu dan hasilnya satu juga, yaitu meletakkan
air laki-laki lain dengan suatu kesengajaan pada ladang yang tidak ada ikatan
perkawinan secara syara' yang dilindungi hukum naluri dan syariat agama. Andaikata
tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah bentuk pelanggaran hukum, niscaya
pencangkoan ini dapat dihukumi berzina yang oleh syariat Allah telah diberinya
pembatasan; dan kitab-kitab agama akan menurunkan ayat tentang itu.

Apabila pencangkoan yang dilakukan itu bukan air suami, maka tidak diragukan lagi
adalah suatu kejahatan yang sangat buruk sekali, dan suatu perbuatan mungkar yang
lebih hebat daripada pengangkatan anak. Sebab anak cangkokan dapat menghimpun
antara pengangkatan anak, yaitu memasukkan unsur asing ke dalam nasab, dan antara
perbuatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam satu waktu yang justru
ditentang oleh syara' dan undang-undang, dan ditentang pula oleh kemanusiaan yang
tinggi, dan akan meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan
adanya ikatan kemasyarakatan yang mulia.27

3.3.5 Menisbatkan Anak Kepada Selain Ayahnya Sendiri Menyebabkan Laknat

Sebagaimana Islam telah mengharamkan seseorang ayah mengingkari anaknya tanpa


suatu alasan yang dapat dibenarkan, maka begitu juga Islam tidak membenarkan
seorang anak menyandarkan nasabnya kepada orang lain; dan dipanggil bukan dengan
panggilan ayahnya sendiri. Nabi menilai perbuatan tersebut sebagai kemungkaran yang
menyebabkan laknat dari Allah dan manusia.
Hal ini telah diriwayatkan dari atas mimbar oleh Ali r.a. dari suatu lembaran yang ada
padanya, dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:

"Barangsiapa mengaku ayah bukan ayahnya sendiri atau membangsakan dirinya kepada
keluarga lain, maka dia akan mendapat laknat Allah, Malaikat dan manusia
semuanya,Allah tidak akan menerima daripadanya nanti di hari kiamat, taubat maupun
tebusan." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dari Saad bin Abu Waqqash dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:

"Barangsiapa mengaku ayah bukan ayahnya sendiri, sedang dia tahu bahwa dia itu
bukan ayahnya, maka sorga tidak mau menerima dia." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

3.3.6 Jangan Membunuh Anak

Sesudah Islam melindungi masalah nasab dengan cara demikian, kemudian Islam juga
menetapkan untuk anak dan orang tua, masing-masing mempunyai hak, sesuai dengan
kedudukannya sebagai orang tua dan anak. Di samping itu Islam juga mengharamkan
beberapa hal kepada mereka masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak
tersebut.

Anak mempunyai hak hidup. Ayah dan ibu tidak boleh merenggut hidupnya si anak,
baik dengan membunuh ataupun dengan menanam hidup-hidup, sebagaimana yang
biasa dilakukan orang-orang Arab di zaman jahiliah. Ketentuan ini berlaku untuk anak
laki-laki maupun wanita.

Firman Allah:

"Jangan kamu membunuh anak-anakmu lantaran takut kelaparan, Kamilah yang akan
memberi rezeki kepada mereka maupun kepadamu; sesungguhnya membunuh mereka
suatu dosa besar." (al-Isra': 31)

"Dan apabila diperiksa anak perempuan yang ditanam hidup-hidup. Sebab dosa apakah
dia dibunuh?" (at-Takwir: 8-9)

Karena dorongan untuk berbuat yang mungkar ini ada kalanya soal ekonomi, misainya
karena takut kelaparan dan kemiskinan, atau alasan non-ekonomis, misalnya kaiena
takut tercela kalau si anak itu kebetulan perempuan, maka Islam mengharamkan
perbuatan biadab ini dengan sangat keras sekali. Sebab perbuatan seperti itu dapat
memutuskan kekeluargaan dan menyebabkan permusuhan.

Untuk masalah ini Rasulullah s.a.w. pernah ditanya: dosa apakah yang teramat besar?
Jawab Nabi: yaitu engkau menyekutukan Allah padahal Dialah yang menjadikan kamu.
Kemudian apa lagi? Maka jawabnya: yaitu engkau bunuh anakmu lantaran kamu takut
dia makan bersamamu. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Rasulullah s.a.w. pernah juga membai'at orang-orang perempuan sebagaimana halnya


ia membai'at orang laki-laki; yaitu dengan melarangnya perbuatan jahat tersebut dan
supaya dihentikan.
Bai'at tersebut berbunyi demikian:

"Hendaknya mereka (perempuan) tidak menyekutukan Allah sedikitpun dan tidak


mencuri dan tidak berzina dan tidak membunuh anak-anak mereka." (al-Mumtahinah:
12)

Dan di antara hak anak yang harus ditunaikan oleh ayahnya, ialah memberikan nama
yang baik. Seorang ayah tidak boleh memberi nama anaknya dengan nama yang dapat
mengganggu perasaan anak apabila dia sudah cukup dewasa. Dan diharamkan memberi
nama anaknya dengan Hamba Lain Allah misalnya: Abdun Nabi, (hamba Nabi), Abdul
Masih (hamba Isa al-Masih) dan sebagainya.

Di samping itu anak juga mempunyai hak perlindungan, pendidikan dan nafkah yang
samasekali tidak boleh diabaikan.

Sabda Nabi:

"Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan tiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban
tentang yang dipimpinnya itu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

"Cukup berdosa seseorang yang mengabaikan orang yang menjadi tanggungannya."


(Riwayat Abu Daud, Nasa'i dan Hakim)

"Sesungguhnya Allah akan minta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin


terhadap yang dipimpinnya, apakah dia itu memperhatikan, ataukah mengabaikan,
sampai pun Ia akan minta pertanggungjawaban kepada seorang laki-laki tentang
keluarga rumahnya." (Riwayat Ibnu Hibban)

3.3.7 Persamaan dalam Pemberian Kepada Anak-anak

Seorang ayah harus menyamakan antara anak-anaknya dalam pemberian, sehingga


dengan demikian mereka akan berbuat baik kepada ayah dengan lama.

Di samping itu seorang ayah dilarang mengistimewakan pemberiannya kepada salah


seorang di antara mereka tanpa ada suatu kepentingan yang sangat, sebab yang
demikian itu akan menjengkelkan hati yang lain dan akan mengobarkan api
permusuhan dan kebencian sesama mereka.

Ibu dalam hal ini sama dengan ayah.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:

"Berlaku adillah kamu terhadap anak-anakmu." 3 kali. (Riwayat Ahmad, Nasa'i dan Abu
Daud)

Kisah timbulnya hadis ini adalah sebagai berikut: Isteri Basyir bin Saad al-Ansari
meminta kepada suaminya supaya memberikan harta dengan istimewa kepada anaknya
yang bernama Nu'man --berupa kebun dan hamba-- dan ia bermaksud akan
mengkukuhkan hibah ini dan ia minta kepada Basyir supaya disaksikan oleh Nabi s.a.w.
Kemudian pergilah Basyir kepada Nabi dan berkata:

"Ya Rasulullah! Anak perempuan si fulan (isteriku) minta kepadaku supaya aku
memberikan hambaku kepada anaknya. Kemudian Nabi bertanya: Apakah dia
mempunyai saudara? Ia menjawab: Ya. Nabi bertanya lagi: Apakah semuanya kamu beri
seperti apa yang kamu berikan kepadanya? Ia menjawab: Tidak! Kemudian Nabi
bersabda: Yang demikian ini tidak baik, dan saya sendiri tidak akan mau menjadi saksi
kecuali pada hal yang baik." (Riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Daud)

Dalam satu riwayat dikatakan oleh Nabi:

"Jangan kamu jadikan aku untuk menyaksikan sesuatu dosa. Sesungguhnya anakmu
mempunyai hak yang harus kamu tunaikan, yaitu hendaknya kamu berlaku adil di
antara mereka; sebagaimana kamu mempunyai hak yang harus ditunaikan oleh anak-
anakmu, yaitu hendaknya mereka itu berbuat baik kepadamu." (Riwayat Abu Daud)

Dan dikatakan pula oleh Nabi:

"Takutlah kepada Allah dan berlaku adillah terhadap anak-anakmu." (Riwayat Bukhari
dan Muslim)

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa melebihkan itu diperbolehkan jika ada
sebab, misalnya si anak sangat membutuhkan karena suatu kesengsaraan dan
sebagainya yang tidak diderita oleh saudara-saudaranya yang lain.28

3.3.8 Menegakkan Hukum Waris dalam Batas Ketentuan Allah

Termasuk ketentuan seperti tersebut di atas, ialah dalam hal warisan. Seorang ayah
tidak dibenarkan menghalangi warisan untuk sebagian anaknya. Dia tidak dibenarkan
menghalangi waris untuk anak-anaknya yang perempuan atau menghalang waris untuk
anak-isterinya yang tidak berada di sampingnya.

Begitu juga seorang kerabat tidak boleh menghalangi kerabatnya yang berhak
mendapat waris, dengan suatu policy (siasat) yang dibuat-buat. Sebab masalah warisan
adalah suatu undang-undang yang telah ditetapkan Allah dengan segala
pengetahuannya, keadilannya dan kebijaksanaannya. Ia akan memberikan haknya
masing-masing dan Ia perintahkan kepada segenap manusia untuk melaksanakannya
menurut garis-garis yang telah ditentukan. Oleh karena itu barangsiapa menyalahi
aturan ini, baik dalam pembagiannya maupun batas-Batas ketentuannya, sama dengan
menuduh jahat kepada Allah.

Persoalan waris ini telah disebutkan Allah dalam tiga ayat; yang pada penutup ayat
pertama Allah berfirman sebagai berikut:

"Ayah-ayah kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
itu yang lebih dekat manfaatnya buat kamu. (Yang demikian itu) adalah satu ketentuan
dari Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana." (an-Nisa': 11)
Dan pada akhir ayat kedua Ia berfirman:

"(Yang demikian itu) tidak akan menyusahkan (ahli waris). Sebab sudah menjadi satu
ketentuan dari Allah, sedang Allah Maha Mengetahui dan Maha Sabar. Demikian itu
adalah ketentuan-ketentuan Allah. Oleh karena itu barangsiapa taat kepada Allah dan
rasulNya, maka Ia akan memasukkannya ke dalam sorga-sorga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka akan kekal abadi di dalamnya; dan yang demikian itu
adalah kebagiaan yang sangat besar. Dan barangsiapa durhaka kepada Allah dan
RasulNya serta melanggar ketentuan-ketentuan Allah, maka Ia akan memasukkannya
ke dalam neraka yang kekal abadi di dalamnya, dan dia akan mendapat siksaan yang
sangat hina, " (an-Nisa': 12-14)

Dan di akhir ayat ketiga Ia berfirman:

"Allah menjelaskan kepadamu supaya kamu tidak sesat; dan Allah Maha Mengetahui
tiap-tiap sesuatu." (an-Nisa': 176)

Justru itu, barangsiapa yang menyalahi hukum Allah dalam masalah warisan ini, berarti
dia telah sesat dari jalan yang benar yang telah dijelaskan oleh Allah sendiri, dan
berarti pula dia melanggar ketentuan-ketentuan Allah, Oleh karenanya tunggulah
hukuman Allah, yaitu: Neraka yang dia akan kekal di dalamnya, dan dia akan beroleh
siksaan yang sangat hina.

You might also like