You are on page 1of 3

Namakan Dia Paradoks Modal Sosial, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Biaya Transaksi dalam Ekonomi

Dalam ekonomi, modal atau capital bukan istilah yang baru. Pelaku ekonomi dari hierarki yang paling bawah sampai yang paling atas, seluruhnya mengerti esensi tentang modal. Kalau modal dalam pengertian uang, faktor produksi, dll, gua rasa pengertiannya sangat sempit. Gua juga bisa jamin bahwa ucapan atau lirik tak ada yang abadi sangat senada pada pengertian modal yang seperti itu. Yang harus kita ingat adalah terdapat hal-hal dalam ekonomi yang tidak bisa dikonversikan pada nominal. Adakah yang tercerahkan? Yes, Aufklarung! Orang-orang yang menciptakan istilah modal sosial adalah manusia-manusia aufklarung, manusia yang merasa diberi amanah oleh Tuhan untuk berpikir dan meneliti kritis tentang segala sesuatu yang ada di sekitar mereka. Modal sosial itu lah yang gua maksud sebagai salah satu hal dalam ekonomi yang tidak bisa dikonversikan pada nominal, tapi nilai dan keabadian. Mmm, sekarang apa itu modal sosial? Modal sosial bisa gua artiin adalah modal di luar status quo, sifatnya bukan fisik tetapi berupa organisasi kepercayaan, ajaran, nilai, budaya, dll yang berfungsi pada proses menghasilkan output optimum pada kondisi sosial dan ekonomi. Sekarang mari kita bicara tentang ideologi. Ideologi dalam ati sederhana adalah himpunan gagasan atau ide akibat pengaruh internal maupun eksternal. Ide-ide sederhana yang ada di dalam pikiran tiap manusia dihimpun dan diterapkan baik secara doktrin atau yang sifatnya pragmatis yang kemudian akan mengatur segala bentuk tingkah laku tiap manusia. Manusia-manusia zaman modern adalah manusia yang tergabung dalam satu organisasi raksasa yang namanya negara. Oleh karena itu ide-ide tiap individu tadi tergabung sebagai ide besar negara, ideologi negara. Kita bisa membagi ideologi negara tersebut dalam dua kategori, yaitu ideologi agama dan non-agama. Dan seringkali ideologi agama dianggap sebagai ideologi terbaik sepanjang peradaban dunia, dan bukan ideologi non-agama. Lo semua mungkin bingung apa itu biaya transaksi? Gua mungkin bisa umpamain ini dengan sederhana. Misalnya lo mau beli BB, tapi lo nggak punya internet buat tahu harga BB, terus lo harus ngeluarin biaya tertentu buat surfing informasi di warnet. Itu salah satu biaya transaksi. Atau gini aja deh, gua kasih contoh lain lagi. Di Indonesia, katanya mau bikin KTP itu gratis. Tapi pada kenyataannya lo harus ngeluarin sejumlah uang, misalnya lima puluh ribu rupiah, untuk bikin tuh KTP. Nah itu juga biaya transaksi. Asumsi ekonomi selama ini

menyatakan biaya transaksi tidak diperhitungkan dalam terbentuknya general equilibrium (keseimbangan sempurna). Tetapi pada kenyataannya, biaya transaksi itu sangat mempengaruhi keseimbangan tersebut. Sepertinya gua bisa bilang, kalau lo sekarang lagi makan es krim magnum dengan harga sekian, sesunguhnya lo juga udah ikut menanggung biaya pungutanpungutan liar sewaktu truk pembawa es krim magnum itu jalan dari pabrik sampai ke swalayan atau warung emperan. Walupun pungutan liar, uang preman, dan sejenisnya masuk dalam kategori biaya transaksi tidak resmi, tetapi tetap saja namanya biaya transaksi. Daritadi gua udah banyak bertele-tele. Now, this is the point. Baik buruknya setiap perangkat hukum, ekonomi, politik, dll, gua rasa hampir seluruhnya ditentukan oleh modal sosial yang ada. Semakin banyak kebaikan-kebaikan pada modal sosial yang dimiliki, semakin murah juga biaya-biaya transaksi yang terbentuk. Indonesia, salah satu contoh negara yang jumlah modal sosialnya banyak akibat kemajemukan budaya & mungkin agama/kepercayaan yang ada. Bukan hanya itu, pada modal sosial yang ada di Indonesia, hampir seluruhnya mengajarkan dan memiliki nilai2 kebaikan. Dengan adanya kemajemukan nilai-nilai kebaikan yang terdapat pada modal sosial di Indonesia, kenapa biaya transaksi di perekonomiannya sangat mahal? Kalau kalian baca bukunya Francis Fukuyama, mahalnya biaya transaksi ini juga terjadi pada beberapa negara yang ideologinya berlandaskan pada agama. Amerika Serikat, contohnya, adalah negara yang modal sosialnya sering dianggap buruk misalnya dengan individualismenya yang tinggi, kapitalis, dll. Tapi Amerika adalah salah satu negara yang biaya transaksinya sangat murah pada perekonomiannya, dengan catatan bahwa modal sosial mereka sering dianggap buruk. Kenapa negara-negara yang berideologi agama atau negara-negara yang kemajemukan nilai kebaikan pada modal sosialnya tinggi seperti Indonesia, biaya transaksi mahal? Sementara negara-negara yang dianggap punya banyak nilai buruk pada modal sosialnya, misalnya seperti Amerika Serikat, biaya transaksi sangat murah di perekonomiannya. Negara-negara berideologi nonagama, misal Cina dengan komunisnya, biaya transaksi pada perekonomiannya juga murah. Gua mungkin bisa ambil contoh sederhana saja yang terjadi di Indonesia. Kalau lo misalnya seorang developer/kontaktor yang hendak membangun perumahan, lo sering dengan terpaksa harus memberikan sejumlah besar duit di luar pajak, biaya IMB, dll, agar lo bisa membangun perumahan itu. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh kegiatan perekonomian yang ada di Indonesia dan bayangkan apa dampaknya bagi perekonomian, Sementara di Cina ataupun Amerika Serkat misalnya, biaya yang lo keluarin untuk hendak membangun perumahan itu tidak

akan sebesar di Indonesia atau negara-negara lain yang berideologi agama. Atau gua kasih contoh lain lagi. Kalau lo naksir ama satu cewek di Indonesia, lo harus menanggung banyak biaya buat traktir teman-temannya agar lo bisa tahu informasi tentang cewek yang lo taksir (semakin banyak informasi yang lo inginkan, semakin banyak pula biaya yang akan lo keluarkan buat traktir teman-temannya. Biaya yang lo keluarin di sini adalah biaya transaksi.). Ini sekedar lelucon saja, tapi kalau dipikir-pikir, banyak benernya. Negara yang dianggap "good boy" justru biaya transaksinya sangat mahal. Dan sebaliknya negara-negara yang dianggap"bad boy", malah biaya transaksinya murah. Ini kondisi dimana secara teori dan intuisi harusnya tidak terjadi, tapi pada kenyataannya terjadi. Ini lah yang kita bisa beri nama sebagai PARADOKS.

8 Oktober 2011

Harry Samuel Silaban

You might also like