You are on page 1of 7

IBU HAMIL, MENYUSUI APA WAJIB MENGQADHA PUASA ATAU BAYAR FIDYAH

Ibu hamil dan menyusui adalah dua macam udzur dibolehkannya meninggalkan puasa. Namun, dia diwajibkan menggantinya. Ini adalah kesepakatan (ittifaq) para fuqaha (para ahli fiqih), sejak dahulu hingga hari ini. Jika dia memiliki daya tahan tubuh yang kuat, dan tidak khawatir terhadap kesehatan dirinya dan janinnya, maka dia boleh memilih, puasa atau tidak. Keduanya dibenarkan, namun puasa lebih afdhal, karena tubuhnya kuat tadi. Hanya saja, para fuqaha berselisih (ikhtilaf), dengan apa dia harus mengganti puasa. Qadhakah (berpuasa pada hari di luar Ramadhan)? Atau fidyah? Perlu diketahui, Qadha merupakan mengganti puasa di hari selain Ramadhan, karena dia masih mampu untuk berpuasa dihari lain tersebut. Seperti musafir, orang sakit yang masih punya harapan sembuh, hamil dan menyusui, pekerja keras, orang yang perang, dipaksa/diancam untuk tidak puasa. Sedangkan Fidyah adalah mengganti puasa bagi orang yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, dengan memberikan makanan pokok kepada orang miskin, sebanyak jumlah hari yang dia tinggalkan. Seperti sakit menahun yang tipis kemungkinan sembuh, orang yang sangat tua, yang selalu bergelut dengan pekerja keras tiap hari. Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, ibu hamil dan menyusui termasuk golongan ini. Untuk Qadha dalilnya adalah firman Allah Taala: Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah (2): 184) Untuk Fidyah dalilnya adalah kalimat selanjutnya: Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al Baqarah (2): 184) Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar, sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya. Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit. Sedangkan ayat tentang Fidyah, tidak dirinci. Nah, Khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir (Tafsir Al Quran al Azhim, Jilid 1, hal. 215. Darul Kutub al Mishriyah), bahwa ada empat pandangan/pendapat ulama: Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan wajib qadha dan fidyah sekaligus. Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy Syafii, jika Si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya. Kedua, kelompok ulama yang mewajjibkan fidyah saja, tanpa qadha. Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma. Dari kalangan tabiin (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir, Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabiut tabiin (murid para tabiin) seperti Al Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakhai. Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Abbas pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil: Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha. Nafi bercerita bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa, maka dia menjawab: Hendaknya dia berbuka, dan sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum. (Riwayat Malik ) Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus. Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah. Demikianlah berbagai perbedaan tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti. Seorang ahli fiqih abad ini, Al allamah Syaikh Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus. Beliau berkata: Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka, jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah, di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi. Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).

Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena seringkali hamil, sehingga selalu melalui bulan Ramadhan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja. Ada pun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam. Wallahu Alam

Risalah ini ditulis untuk penantian kelahiran anak dari salah seorang Istriku dan sahabat sahabat lain yang dikarunia-i Allah. Menurut madzhab Maliki: wanita hamil & wanita menyusui bila khawatir jatuh sakit dikarenakan berpuasa, baik yg dikhawatirkan itu dirinya sendiri atau anaknya atau kedua2nya, maka boleh saja berbuka puasa dan wajib mengqadha puasanya kelak. Bagi wanita hamil tidak diwajibkan membayar fidyah sdg bagi wanita menyusui wajib membayarnya. -Menurut madzhab Hanafi: bila wanita hamil atau wanita menyusui cemas akan timbulnya bahaya akibat berpuasa, maka boleh mereka berbuka, baik kecemasan itu atas dirinya sendiri, atas anak, atau atas kedua2nya. Bila mampu, mereka wajib mengqadha puasa mereka tanpa harus membayar fidyah. -Menurut madzhab Hambali: wanita hamil dan wanita menyusui boleh utk tdk berpuasa apabila mereka khawatir akan timbulnya bahaya atas diri mereka dan anak sekaligus, atau atas diri mereka saja. Dan dlm keadaan dmk mereka hanya berkewajiban melakukan qadha tanpa fidyah. Adapun kalau kekhawatiran itu tertuju kpd diri anak saja, maka selain qadha juga wajib fidyah. -Menurut Madzhab Syafii: wanita hamil dan wanita menyusui, apabila khawatir akan mengalami bahaya tak tertanggungkan akibat berpuasa, baik itu kekhawatiran atas 1)diri mereka dan anak sekaligus, atau 2)atas diri mereka saja, atau 3)atas anak saja, maka mereka wajib berbuka, tak usah berpuasa. Dalam ketiga keadaan ini mereka mengqadha puasa mereka kelak. Kemudian untuk keadaan yg ke-3 yaitu bila kekhawatiran hanya tertuju pada anak, maka selain qadha juga wajib membayar fidyah. Dari semua keterangan di atas, jelaslah bhw berbuka puasa bagi wanita hami dan wanita menyusui itu boleh saja, bila merasa khawatir atas keselamatan dirinya atau anaknya. Bagaimana cara Mengganti Puasanya ? - Menurut Jumhur Ulama Di dalam kitab Kifayatul Akhyar, disebutkan bahwa masalah wanita hamil dan menyusui dikembalikan kepada motivasi atau niatnya. Kalau tidak puasa karena mengkhawatirkan kesehatan dirinya, maka dianggap dirinya seperti orang sakit. Maka menggantinya dengan cara seperti mengganti orang sakit, yaitu dengan berpuasa di hari lain. Sebaliknya, kalau mengkhawatirkan bayinya, maka dianggap seperti orang tua yang tidak punya kemampuan, maka cara menggantinya selain dengan puasa, juga dengan cara seperti orang tua, yaitu dengan membayar fidyah. Sehingga membayarnya dua-duanya.

Pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Namun menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, wanita yang hamil atau menyusui cukup membayar fidyah saja tanpa harus berpuasa. Karena keduanya tidak berpuasa bukan karena sakit, melainkan karena keadaan yang membuatnya tidak mampu puasa. Kasusnya lebih dekat dengan orang tua yang tidak mampu puasa. Dan pendapat kedua shahabat ini mungkin tepat bila untuk menjawab kasus para ibu yang setiap tahun hamil atau menyusui, di mana mereka nyaris tidak bisa berpuasa selama beberapa kali ramadhan, lantaran kalau bukan sedang hamil, maka sedang menyusui. Membayar Fidyah Membayar fidyah memang ditetapkan berdasarkan jumlah Hari yang ditinggalkan untuk berpuasa. Setiap satu Hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib membayar fidyah kepada satu orang fakir miskin.Sedangkan teknis pelaksanaannya, apakah mau perhari atau mau sekaligus sebulan, kembali kepada keluasan masing-masing orang. Kalau seseorang nyamanmemberi fidyah tiap hari, silahkan dilakukan. Sebaliknya, bila lebih nyaman untuk diberikan sekaligus untuk puasa satu bulan, silahkan saja. Yang penting jumlah takarannya tidak kurang dari yang telah ditetapkan. Berapakah Besar Fidyah? Sebagian ulama seperti Imam As-SyafiI Dan Imam Malik menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi SAW. Yang dimaksud dengan mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung makanan, kira-kira mirip orang berdoa. Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengatakan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah SAW atau setara dengan setengah sha kurma atau tepung. Atau juga bisa disetarakan dengan memberi makan siang Dan makan malam hingga kenyang kepada satu orang miskin. Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili jilid 1 halaman 143 disebutkan bahwa bila diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675 gram atau 0,688 liter. Sedangkan 1 sha` setara dengan 4 mud . Bila ditimbang, 1 sha` itu beratnya kira-kira 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha` setara dengan 2,75 liter. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin Pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin ketika ditanya ketika seorang wanita melahirkan di bulan Ramadhan dan setelah Ramadhan itu ia tidak mengqadha puasanya karena kekhawatirannya pada si bayi yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan melahirkan pada bulan Ramadhan selanjutnya, bolehkan bagi wanita itu untuk membagikan uang sebagai pengganti puasa . "Dan hendaknya wanita itu berusaha semampu mungkin untuk mengqadha puasa Ramadhan yang telah berlalu sebelum datangnya Ramadhan yang kedua, jika hal itu tidak bisa ia lakukan maka tidak masalah baginya untuk menunda qadha puasanya itu hingga setelah Ramadhan kedua". [Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65]. Sedangkan ketika hukumnya bagi wanita hamil dan menyusui jika ia tidak berpuasa di bulan Ramadhan adalah Tidak boleh bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa pada

siang hari Ramadhan kecuali ada udzur (halangan), jika wanita itu tidak berpuasa karena ada suatu udzur, maka wajib bagi kedua wanita itu untuk mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah tentang orang sakit. "Artinya : Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada akhir hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 185] Wanita menyusui dan wanita hamil ini bisa disamakan atau diartikan sebagai orang sakit, akan tetapi jika udzur kedua wanita itu karena ada rasa khawatir terhadap bayi atau janin yang dalam perut maka di samping mengqadha puasa, kedua wanita itu diharuskan memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya berupa makanan pokok, bisa berupa gandum, beras, korma atau lainnya. Sebagian ulama lainnya berpendapat: Tidak ada kewajiban bagi kedua wanita itu kecuali mengqadha puasa, karena tentang memberi makan orang miskin. tidak ada dalilnya dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, ini adalah madzhab Abu Hanifah dan merupakan pendapat yang kuat [ Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, syaikh Ibnu Utsaimin, 3/66]

Wanita Hamil dan Menyusui Qadha Puasa atau Bayar Fidyah?


Wanita hamil belum tentu menyusui, misalnya setelah dia hamil anaknya meninggal dunia. Maka hanya berlaku masalah kehamilan pada dirinya. Menyusui tak berarti baru saja melahirkan, karena ada saja wanita yang air susunya banyak dan bayinya sudah besar, tapi dia menyusui bayi orang lain. Yang seperti ini juga masuk dalam cakupan bahasan di atas. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, secara garis besar ada empat pandangan: 1. Keduanya harus mengganti puasa dan tidak perlu membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. (Lihat: Al-Hidayah syarh AlBidayah, juz 1 hal. 128, Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal. 506). 2. Keduanya harus membayar fidyah dan tak perlu mengganti puasa. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra, Ibnu Umar ra, Said bin Jubair, Qatadah 3. Bila dia hanya khawatir akan dirinya saja maka dia harus mengqadha, tapi bila mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya kalau berpuasa maka dia harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Syafii dan Hanbali. 4. Wanita hamil hanya boleh mengqadha dan tidak membayar fidyah, sedangkan wanita menyusui yang khawatir akan anaknya harus mengqadha plus membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab Maliki. Dalil-dalil: Dalil pendapat pertama: Dalil pendapat pertama adalah meng-qiyas-kan wanita hamil dan atau menyusui dengan orang sakit. Orang sakit boleh tidak puasa dan harus meng-qadha (mengganti) di hari lain sebagaimana jelas dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah ayat 184 dan 185. Dalil pendapat kedua:

Dalil pendapat kedua adalah fatwa dua orang sahabat Nabi SAW, terutama bagi madzhab yang menganggap bahwa fatwa sahabat itu menjadi salah satu dasar hukum bila tidak ada nash yang sharih. Riwayat Ibnu Abbas bisa ditemukan dalam Sunan Ad-Daraquthni, Tafsir Ath-Thabari dan lain-lain. Ibnu Abbas berkata, Bila seorang wanita hamil khawatir akan dirinya dan wanita menyusui khawatir akan bayinya di bulan Ramadhan, maka mereka boleh tidak puasa dan harus memberi makan orang miskin untuk tiap hari yang dia tinggalkan serta TIDAK PERLU MENGQADHA. (Tafsir Ath-Thabari, juz 3 hal. 427, nomor riwayat: 2758. Al-Albani mengomentari riwayat ini dalam Irwa` Al-Ghalil, juz 4 hal. 19, Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim.). Riwayat lain dari Ibnu Abbas adalah ketika dia melihat Ummu Walad (budak yang sudah melahirkan anak darinya) yang sedang hamil, maka dia berkata, Kamu ini sama dengan orang yang sukar melaksanakan puasa, maka kamu boleh berbuka dan harus memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang kamu tinggalkan serta TIDAK ADA KEWAJIBAN MENGQADHA (PUASA) atas dirimu. (Tafsir Ath-Thabari, no. 2759). Adapun riwayat Ibnu Umar dapat diperoleh dari Mushannaf Abdurrazzaq (juz 4, hal. 218) yang berkata, Dari Mamar, dari Ayyub, dari Nafi, dari Ibnu Umar, wanita hamil yang khawatir akan dirinya di bulan Ramadhan boleh berbuka tapi harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha. Dan banyak lagi riwayat dari kedua sahabat Nabi yang mulia ini dan shahih sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Irwa` AlGhalil juz 4, hal. 19-20. Dalil pendapat ketiga: Madzhab Syafii dan Hanbali sebenarnya sama dengan madzhab Hanafi yang meng-qiyaskan wanita hamil atau menyusui dengan orang sakit sehingga mereka wajib meng-qadha dan tidak berlaku pembayaran fidyah. Tapi mereka menambahkan bila keduanya khawatir akan keselamatan orang lain, dalam hal ini adalah janin atau bayi yang disusui yang kalau mereka puasa akan mengganggu kenyamanan si bayi, maka ada kewajiban lain yaitu harus membayar fidyah lantaran batal puasa gara-gara menyelamatkan orang lain. Setelah membaca dari beberapa literatur madzhab ini terutama kitab Al-Mughni maka sebenarnya mereka menggabung qiyas antara wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit sehingga wajib qadha dan meng-qiyas-kan pula keduanya dengan orang tua yang tak sanggup puasa sehingga wajib membayar fidyah. Dalam ushul fikih qiyas semacam ini biasanya dinamakan qiyas syabh. Dalil pendapat keempat: Pendapat yang membedakan antara wanita hamil dan menyusui beralasan bahwa wanita hamil di-qiyas-kan murni (qiyas taam) kepada orang sakit, sedangkan menyusui alasannya sama dengan alasan madzhab Syafii dan Hanbali. Tarjih:

Berhubung tidak ada nash sharih (yang jelas) dalam masalah ini maka membuka peluang untuk berbeda pendapat. Secara analogi mungkin pendapat Hanafi lebih kuat, karena memang banyak kemiripan antara hamil dan menyusui dengan orang sakit dengan harapan sembuh dibanding dengan orang tua yang tak mampu puasa atau orang sakit yang tak ada harapan sembuh. Sedangkan madzhab ketiga rasanya dalilnya agak dipaksakan dan membingungkan. Tapi bagi yang menganggap bahwa mengikuti fatwa sahabat Nabi SAW lebih utama daripada qiyas dan ini sebenarnya adalah pendapat madzhab Hanbali dalam ushul fikih tapi anehnya dalam masalah ini mereka tidak mengamalkannya maka lebih baik mengikuti fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar di atas. Sebab, meski tidak mashum tapi mereka belajar langsung kepada Rasulullah SAW dan lebih mengerti sunnah dibanding para imam madzhab itu. Inilah yang membuat saya sampai saat ini- cenderung pada pendapat kedua di atas yaitu mengikuti fatwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah dan tidak perlu meng-qadha. Lagi pula ini jelas lebih ringan bagi yang bersangkutan. Wallahu alam. Bagaimana cara membayar fidyah? Dalam beberapa riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa fidyah puasa Ramadhan dibayarkan dengan satu mudd (segenggam penuh tangan orang dewasa) burr (gandum terbaik). Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abbas adalah setengah sha = dua mudd gandum. Berhubung tak ada nash juga dalam masalah ini maka baiknya disamakan saja dengan zakat fitrah baik barang maupun uangnya. Sebaiknya dibayarkan kepada orang miskin atau orang tak mampu. Boleh kepada satu orang untuk semua hari atau beberapa orang. Dalam sebuah riwayat dari Ayyub bahwa Anas bin Malik rahimahullah ketika sudah tua dan tak mampu puasa beliau membayar dengan cara mengundang 30 orang miskin untuk satu kali makan di rumahnya, dan itu adalah pembayaran untuk 30 hari tidak puasa. (Lihat riwayatnya dalam Sunan Ad-Daraquthni, no. 2415). Silahkan pilih mana yang menurut anda lebih gampang. Semoga bermanfaat. Referensi: 1. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd (Al-Hafid), Dar Al-Jail Beirut, cet I 1989 M. 2. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Prof Dr. Wahbah Az-Zuhaili, program maktabah syamilah. 3. Fiqh As-Sunnah, As-Sayyid Sabiq, penerbit: Al-Fath lil Ilam Al-Arabi, cet II, 1999 M. 4. Al-Hidayah syarh Bidayatul Mubtadi, Ali bin Abu Bakr Al-Marghinani, Dar Al-Fikr Beirut tanpa tahun. 5. Irwa` Al-Ghalil, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktab Al-Islami, cet. 1985.

6. Al-Mawsuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kementerian Urusan Waqaf Kuait, program maktabah syamilah. 7. Al-Mughni, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, program Maktabah Syamilah edisi II. 8. Al-Mushannaf, Abdurrazzaq Ash-Shanani, tahqiq: Habiburrahman Al-Azhami, Program maktabah syamilah edisi II. 9. Sunan Ad-Daraquthni, program maktabah syamilah edisi II. 10. Asy-Syarh Al-Mumti ala Zaad Al-Mustaqni, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Dar Ibnu Al-Jauzi, cet I 1422 H. 11. Tafsir Ath-Thabari, tahqiq Syekh Ahmad Muhammad Syakir, Muassasah Ar-Risalah, cet I 1420 H.

You might also like