You are on page 1of 63

Serial Al-Hikam

ALLAH MENGENALKAN DIRINYA

Kapan pun Allah memberikan sesuatu padamu, dalam rangka Dia memperlihatkan kebajikanNya padamu, dan kapan pun Dia menghalangi keinginanmu dalam rangka Dia memperlihatkan sifat Maha MemaksaNya. Dua hal di atas, masing-masing dalam rangka mengenalkan padamu sekaligus menghadapkan sifat Maha Lembutnya padamu. Sesuatu yang berbeda dalam perjalanan takdir Allah, naik turun dan bahkan bergolak dalam diri kita, sesungguhnya itu semua merupakan cara Allah mengenalkan ma'rifatNya, dan keduanya adalah rahmat dan kelembutan dariNya. Tidak bisa kita sebutkan dibalik sifat perkasaNya lalu kita merasa terjauhkan dari Maha LembutNya? Bukan begitu. Namun dibalik sifat perkasaNya yang bisa menghalangi kehendak kita pun, sesungguhnya tersembunyi Sifat Rahmat dan LembutNya. Orang yang beriman, baik diberi atau dihalangi apa yang diinginkan, mestinya sama saja nilainya. Orang beriman harus disibukkan memuji kepada Allah, baik dalam kondisi suka maupun duka. Namun hawa nafsu kita serta ketidakfahaman jiwa kita, membuat kita merasa pedih terhadap hal-hal yang kita rasakan gagal. Banyak orang yang memahami bahwa Kelembutan Ilahi serasa hilang ketika Allah memberikan cobaan yang bertubi-tubi. Salah faham yang luar biasa manakala kita memahaminya sedemikian sempit. Karena pada saat yang sama ia merasa su'udzon kepada Allah Ta'ala, dan cintaNya tak berpihak padanya. Padahal sesuatu yang terhalang, gagal, atau pun hal-hal yang tak memenuhi target cita-cita anda, adalah anugerah Allah pula. "Keterhalangan itulah hakikat pemberianNya." Allah Maha Tahu kondisi dan situasi batin kita, apakah Allah harus membentak kita, karena kita banyak lalai dan sering meremehkanNya, ataukah Allah harus memberikan "bisikan halus" yang indah karena jika "dibentak" Allah, si hamba malah celaka? Inilah yang harus difahami dengan benar. Bagaimana Allah mendidik kita dengan PengetahuanNya Yang Paripurna agar kita mengenal DiriNya, dan caranya hanya Allah yang menginteraksikan bentuk, ruang waktu dan metode yang "langsung" dariNya melalui

Serial Al-Hikam
2

kebahagiaan dan pepahitan.

Serial Al-Hikam
3

SANG ARIF TAK MENGHILANGKAN RASA FAQIRNYA

Sang arif itu tidak pernah hilang dari rasa terdesaknya, dan tidak pernah lari kepada selain Allah Swt . Mengapa demikian? Karena para arifun tidak pernah hilang rasa faqirnya kepada Allah Taala, rasa butuh akan inayah dan taufiqNya. Dia senantiasa ingin terus bergembira dan mesra bersamaNya, terus menerus berdzikir kepadaNya karena tidak ingin kehilangan Dia. Karena itu ia merasa jiwanya terdesak, agar terus bersamaNya, dekat denganNya, memandangNya. Dari berbagai arah, disanalah Allah, disanalah WajahNya. Karena Allah swt, adalah: Allah yang menerangi aspek alam lahiriyah dengan cahaya ciptaanNya dan menerangi rahasia batin dengan Cahaya sifat-sifatNya. Karena itulah cahaya alam lahiriyah sirna dan cahaya-cahaya qalbu dan rahasia jiwa tak pernah sirna. Maka dikatakan dalam syair: Sesungguhnya matahari di siang hari surup dengan datangnya malam/ dan matahari hati tak pernah sirna. Banyak orang terjebak oleh gambaran cahaya makhluk memancar yang tercetak dalam otak, lalu dianggapnya itu adalah cahaya Allah dalam jiwa. Sehingga diklaim cahaya itu sebagai pancaran Ilahi bahkan dianggapnya sebagai Allah. Jelas hal demikian merupakan ketersesatan. Jelasnya cahaya Allah dalam jiwa kita merupakan sesuatu pancaran yang tak pernah dibayangkan dan tak pernah dibatasi oleh warna dan bentuk. Seseorang hanya menjadi pantulan cermin CahayaNya, manakala kesiapan-kesiapan jiwanya bening dan jernih. Pantulan cahayanya juga jernih, sehingga itulah disebut sebagai Cahaya di atas cahaya. Cahaya Allah yang melimpah pada cermin kesiapan hamba, lalu memantulkan cahaya ubudiyah, karena disemai RububiyahNya atas kehambaanNya. Rabb tetap Rabb, dan hamba tetaplah hamba. Syeikh Abul Abbab al-Mursy mengatakan, Seandainya cahaya wali itu dibuka oleh Allah, niscaya banyak orang menyembahnya, karena sifat-sifatnya adalah pancaran dari Cahaya SifatNya dan karakternya merupakan Cahaya karakterNya.

Serial Al-Hikam
4

RESPONSI KAUM ARIFUN TERHADAP QABDL & BASTH

Orang-orang yang ma'rifat kepada Allah manakala mereka diberi keleluasaan jiwa (albasth) itu dinilai lebih menakutkan, dibanding ketika mereka diberi kesempitan jiwa (al-Qabdl), dan sedikit sekali orang yang bisa menepati aturan adab (bersama Allah) ketika diberi keleluasaan. Syeikh Zaruq mengatakan, hakikat ma'rifat itu menuntut si Arif (orang yang ma'rifat) untuk konsentrasi pandangannya kepada Tuhannya, mengambil pelajaran dari Sifat-sifatNya atas apa yang dilimpahkan kepada si Arif. Manakala si Arif dihadapkan pada perspektif keIndahanNya, ia segera mengingat keBesaranNya. Dan bila dihadapkan pada kebesaranNya, ia segera mengingat keIndahanNya. Karena ia senantiasa tidak pernah putus asa dari Allah, apa pun yang terjadi. Juga tidak merasa aman, kecuali hanya dari Allah. Sebab fenomena yang tampak, tidak mengharuskan sebagai kesamaan batin dari sifat-sifatnya. Karena itu tidak ada yang aman dari ujian Allah kecuali orang-orang yang tersesat (karena meremehkan cobaan Allah). Sehingga Abul Abas al-Mursy menegaskan, "Umumnya orang ketika diberi ketakutan, mereka akan sangat takut, ketika diberi harapan, mereka sangat berharap. Sedangkan orang arif ketika diberi ancaman ketakutan malah mereka mengharapkan, dan ketika diberi harapan malah ketakutan." Hal demikian bisa dilihat dari peristiwa Badar dan hadits ketika Nabi di gua Tsur, ketika Abu Bakr ash-Shiddiq mengatakan, "Wahai Rasulullah, jika mereka melihat pada jejak-jejak, mereka pasti mereka melihat kita," Lalu Nabi saw, menjawab, "Jangan gelisah sesungguhnya Allah bersama kita" Pada perang Badar Nabi SAW penah mengadu kepada Allah, "Oh Tuhan, bila sisa-sisa pasukan ini hancur, Engkau tidak bakal disembah lagi." Lalu Abu Bakr berkata, "Tinggalkan keluhmu pada Tuhanmu. Karena Allah telah menjanjikan pertolongan kepada kita." Dalam peristiwa ini Abu Bakr Ash-Shiddiq ra, berada dalam maqom "berpegang teguh pada janji Allah." Sedangkan Rasulullah saw, berada di posisi memandang, dimana pandangan itu tidak bisa meliputi Ilmu Allah yang Luas. Pandangan ini lebih sempurna,

Serial Al-Hikam
5

karena setiap yang sempurna dinilai dari kadar orang yang menampakkan kesempurnaan itu di dalamnya. Renungkan, dan Allahlah Yang Maha Menolong. Diantara sesuatu yang mengkhawatirkan keleluasaan Ilahi, adalah munculnya kesalahan atau terpleset, disamping seseorang tidak berpegang teguh pada adab. Karena itu disebutkan, "Tidak ada yang bisa konsisten di dalam keleluasaan Ilahi kecuali hanya sedikit orang." Maksudnya ketika kita diberi keleluasaan oleh Allah, maka mengalirlah rasa hangat dalam tubuh, yang tidak jarang mengundang kepentingan hawa nafsu di sana, yang tentu saja relevan dengan su'ul adab dalam gerak dan praktek ruhani. Semua itu akan lebih sulit kecuali orang yang benar-benar mengendalikan nafsunya, mewujudkan kehormatan di hadapan Allah Ta'ala. Suatu ketika ada lelaki yang datang bertanya kepada Abu Muhammad al-Jurairy, -- rahimahullah - "Suatu ketika saya berada di alam keleluasaan mesra Ilahi (al-basth) dan Allah memang membuka pintu keleluasaan. Lalu saya terpleset sekali, kemudian aku terhijab dari maqomku. Bagaimana jalan kembali ke posisi semula? Tunjukkan diriku hingga sampai ke posisi semula?" Lantas Abu Muhammad menangis, lalu berkata, "Saudaraku semua itu ada dalam ketergenggaman sejenak, namun aku dendangkan sebuah syair kepada mereka, : Tinggal di rumah-rumah Inilah bekas-bekas peninggalan mereka Kau tangisi orang yang kau cinta Dengan duka dan kerinduan Berapa telah aku kupijaki seperempatnya dengan hati-hati Atau bertanya pada ahlinya atau menghiba Lalu ajakan nafsu memanggilnya Kau pisah orang yang kau kasihi, maka betapa Mulyanya orang yang bertemu.

Serial Al-Hikam
6

TUNTUTAN TERBAIK

Tuntutan terbaikmu adalah apa yang Dituntut oleh Allah padamu Banyak sekali permintaan, permohonan, dan tuntutan kita yang kita ajukan kepada Allah Ta'ala. Tetapi manusia sering lupa, tuntutan apakah yang terbaik dari sejuta tuntutan itu? Manusia banyak diberi peluang untuk memohon apapun, yang bermanfaat bagi dunia akhirat. Lalu permohonan apakah yang terbaik bagi diri anda? Manusia seringkali protes pada orang lain, pada diri sendiri, bahkan secara ekstrim protes kepada Allah. Apakah protes dan permintaan itu sudah selayaknya kita adukan? Mari kita pilih, dan pilihan kita pasti lemah. Maka kita serahkan saja pilihan tuntutan kita kepada Allah swt. Dan pilihanNya, adalah apa yang dituntut oleh Allah kepada kita adalah tuntutan kita yang terbaik. Ada tiga hal utama, dimana Allah menuntut kita: 1. Takhalli: Yaitu menepiskan segala sesuatu, kecuali sesuatu itu dari Allah Ta'ala. 2. Tahalli: Yaitu merias segala hal yang diridloiNya padamu, dan melaksanakan ridlo itu, kemudian mengembalikan semuanya kepada Allah Ta'ala. 3. Tajalli: Musyahadah terus menerus terhadap apa pun, bahwa semuanya tidak ada kecuali hanya Allah, dari Allah, kepada Allah, dan menyaksikan Allah bersama Allah. Takhalli juga berarti menepiskan segala kejahatan dan keburukan nafsu kita dari dalam diri kita. Takhalli juga bermakna menfanakan diri kita dalam kesunyian bersama Allah Ta'ala. Tahalli yang berarti menghias, juga bermakna menghias diri dengan segala kebajikan dan akhlak mulia, kehambaan yang bersahaja di hadapanNya. Tahalli berarti pula memandang segalanya sebagai manifestasi dari KemahaindahanNya. Sedangkan Tajalli bisa berarti Musyahadah dan Ma'rifat terhadap Tampilnya Allah melalaui Af'al, Asma' dan SifatNya, dalam

Serial Al-Hikam
7

kesemestaan dunia dan akhirat ini. Untuk mendukung tuntutan itu, dilaksanakan melalui tiga hal: 1. Thaat kepadaNya dan merasa cukup bersamaNya. 2. Benar dalam melaksanakan 'Ubudiyah (menuju kepadaNya) 3. Menegakkan Hak-hak RububiyahNya, dan melaksanakan perintahNya serta pasrah total pada Sifat PerkasaNya.

Rasulullah saw. Bersabda: "Allah tidak meminta pertanggungjawaban makhluk mengenai Dzat dan SifatNya, mengenai Qodlo dan QodarNya, tetapi meminta pertanggungjawaban mengenai perintah dan laranganNya."

Serial Al-Hikam
8

ALLAH TIDAK PERNAH MENUNDA BALASANNYA

"Maha Besar Allah manakala si hamba melakukan amal ibadah kontan, lalu Allah menunda balasannya" Allah senantiasa membalas amal hamba seketika, sama sekali tidak pernah menunda, walau pun kelak di akhirat masih diberi balasan lebih besar lagi. Adapun balasan seketika yang kita terima adalah bertambahnya dekat kita kepada Allah, bertambah baik hati kita, bertambah terpuji akhlak kita, bertambah sabar, tawakkal, ridlo, ikhlas, yaqin, ma'rifat dan mahabbah kita kepada Allah Ta'ala.' Dunia ini kotor, dan karena itu Allah ingin membalasnya dengan keagungan yang luhur yang kelak bisa kita rasakan ketika di akhirat yang merupakan wilayah yang agung. Balasan yang kita terima di dunia adalah balasan langsungnya berupa pencahayaan iman kita di sini, karena memang itulah yang kita butuhkan di dunia. Kenapa demikian? Menurut Syeikh Zarruq, karena ada tiga alasan utama : Pertama, Allah Maha Murah dan Mulia dan Yang Maha Murah nan Mulia itu manakala memberikan anugerah pasti sempurna, dan memberikan keutamaan pasti sampai. Kedua, seorang hamba sesungguhnya sangat faqir kepada Allah, membutuhkan hajat seketika dan hajat yang akan datang, lalu Allah memberikan yang dibutuhkan hambanya berupa pahala dan kebajikan kelak di akhirat. Ketiga, maksud Allah Ta'ala pada hamba-hambaNya yang ikhlas adalah menunggalkan DiriNya dalam hati hamba, kemudian Allah mempertegas apa yang harus dihadapi si hamba. Dan kalau toh pun balasannya dibalik ketaatan hamba berupa Taufiq, maka itu lebih dari cukup bagi si hamba. Karena itu Ibnu Athaillah asSakandary melanjutkan: "Cukuplah bahwa yang disebut balasan bagimu, adalah, bahwa Allah Ridlo padamu sebagai hamba yang taat kepadaNya." Sebab yang layak bagi kita semua tak lebih adalah serba kurang yang melekat pada diri kita, sifat kurang yang lazim dan niscaya.

Serial Al-Hikam
9

Sedangkan hasrat untuk meraih kesempurnaan diri kita tidak akan pernah bisa diraih kecuali berkat rahmat dan fadhalNya, sebagaimana dalam Al-Qur'an dijelaskan: "Kalau bukan karena fadlanya Allah padamu dan rahmatNya, kalian tidak akan pernah bisa bersih dari dosa." (an-Nuur 21) "Kalau bukan karena fadhal Allah dan rahmatNya, niscaya kalian mengikuti syetan, kecuali hanya sedikit (yang tidak mengikuti)." (an-Nisa, 23) "Tetapi sesungguhnya Allah menganugerahi kamu dengan memberikan hidayah bagi iman, manakala kamu jujur." (Al-Hujurat 17) Penjelasannya: Taat merupakan kesempurnaan bagimu yang didalamnya ada TaufiqNya dalam rangka menyempurnakan dirimu. Taat merupakan rasa aman bagimu di dunia dan akhirat, dan segala apa yang anda raih bermula dari rasa aman anda. Bahwa anda bisa taat, berarti itu merupakan kemuliaan bagimu di dunia dan di akhirat, berupa keistemewaan, disamping adanya pahala. Bahkan beliau melanjutkan: "Cukuplah balasan bagi orang-orang yang beramal ibadah, bahwa Allah membukakan hatinya di dalam ibadahnya, dan segala anugerah yang melimpah pada mereka berupa kemesraan denganNya." Keindahan taat dan kemanisan mesra bersama Allah dalam munajat merupakan anugerah dan sekaligus balasan ngsung atas kepatuhaan kita kepadaNya, bahkan kebeningan jiwa yang memancarkan cahaya di ruang batin kita. Oleh sebab itu sebagian Sufi mengatakan, "Di dunia ini ada syura, siapa yang masuk syurga di dunia ini, ia tidak lagi rindu pada syurga di akhirat bahkan tidak pada sesuatu pun yang diinginkan, dan syurga itu adalah Taat kepada Allagh Azza wa-Jalla." Yang lain menegaskan, "Tak ada yang menyerupai nikmat syurga, kecuali dirasakan kalangan yang bergantrung hatinya kepada Allah di malam hari melalui lezatnya munajat."

Serial Al-Hikam
10

Dalam Al-Qur'an dijelakan: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka Yang Maha Rahman akan menjadikan bagi mereka rasa cinta yang dalam." (Maryam: 96).

Serial Al-Hikam
11

ADA APA DIBALIK AMAL DAN WARID

Tiada amal yang lebih diharapkan untuk diterima ketimbang amal yang sirna dari pengakuanmu padanya, dan hina wujudnya di sisimu. Maksudnya, tak ada amal yang memberikan manfaat bagi anda, dan memberikan harapan bagi hati anda, berupa pencerahan qalbu, kemarifatan dan keparipurnaan, pahala dan lain sebagainya, dibanding amal yang membuat anda tidak merasa beramal karena yang anda saksikan adalah selain diri anda (Allah). Sehingga anda tidak memiliki pengakuan bahwa anda yang berbuat amaliyah itu, karena sesungguhnya Allah yang berbuat. Bukan anda. Dari situ pula anda memandang apa yang anda lakukan sangat kurang, masih penuh dengan cela dan cacat, bahkan anda menjadi sangat hina di sana, sangat teledor akan perintah Allah selama ini. Dalam konteks diterimanya amal, salah satu indikasinya anda justru tidak merasa berbuat, karena tanpa anugerah Allah, anda tidak bisa berbuat kebajikan. Di sinilah manusia dibagi tiga kategori dalam hal berbuat baik. 1) Manusia yang tidak melihat pada amal perbuatannya, 2) Orang yang merasa sangat hina dengan amaliyahnya, karena belum pantas di hadapan Allah, dan 3) Orang yang mengintegrasikan keduanya. Kemudian beliau melanjutkan soal anugerah yang mendahului amal kita., dengan menekankan sebagai berikut: Sesungguhnya Allah mendatangkan warid kepadamu agar dengan warid itu anda sendiri menjadi waridnya. Warid adalah kejutan yang turun dalam hati, yang mengeliminasi seluruh kebisaan hati menjadi tempat mengalirnya anugerah Ilahi. Sehingga dengan warid tersebut posisi hamba menjadi warid bagi Tuhannya, lalu seluruh amaliyah bathiniyahnya pun terasa tidak tampak, karena yang berperan adalah Allah. Apa pun gerak gerik kebajikan lahiriyah maupun bathiniyah kita jangan sampai kita lihat atau kita saksikan. Yang mesti kita lihat adalah penggerak, dan pembuat amal kebaikan itu, dibalik amal.

Serial Al-Hikam
12

Disinilah Allah menyelamatkan kita dari sikap takjub terhadap amal, karena pembuat dan penggerak amal itu adalah Allah, bukan kita. Syeikh Zaruq menyimpulkan bahwa faidah Warid itu ada tiga: 1) Datang kepada Allah tanpa sebab akibat dari diri, 2) Keluar dari penyembahan terhadap alam semesta secara global, dan 3) Keluar dari penjara nafsu tanpa henti. Nah hal ini ditegaskan dalam hikmah berikut: Allah mendatangkan warid kepadamu agar Allah menyelamatkan dirimu dari belenggu tipudaya dan perbudakan dunia. Dengan warid dari Allah, bukan darimu, berarti anda tidak memiliki ketergantungan selain Allah. Selain Allah adalah tipudaya yang tidak bisa dijadikan sandaran maupun tempat bergantung. Inilah hakikat kebebasan, karena sang hamba terbebaskan dari belenggu perbudakan, hanya kepada Tuhannya saja satu-satunya yang mengikatnya, bahkan tak ada hasrat selain kepadanya selamanya. Kemudian Ibnu Athaillah mengingatkan faidah ketiga: Sesungguhnya Allah menurunkan warid kepada agar kamu keluar dari penjara wujudmu menuju hamparan musyahadahmu kepadaNya. Anda adalah orang yang terpenjara melalui liputan yang menyelubungi anda. Begitu juga anda dibatasi dalam eksistensi dzat anda sepanjang anda belum dibuka ke hamparan lapang yang luas. Karena itu ketika cahaya Warid itu muncul yang meliputi seluruh wujud, anda pun tidak mengenal dunia dan akhirat dan lainnya. At-Tustari menyebutkan Disaat Allah mencerahkan ilhamku, Allah menyelubungiku dan aku mendekatkan diri dari kedekatan Engkau Melihatku. Maksudnya sejak ia marifat kepada Allah, yakni marifat Lillah dari Allah. Karena Allah swt adalah yang Maha Tahu manakah awliyanya.

Serial Al-Hikam
13

PUNCAK KENIKMATAN

Sepanjang Allah melimpahi anda, rizki taat kepada Allah dan merasa cukup denganNya, ketahuilah sesunggunya Allah telah menyempurnakan nikmat lahir dan batin kepadamu. Setelah membincangkan posisi anda di depan Allah, maka AlFudhail bin Iyadl menegaskan, bahwa ketaatan hamba kepada Tuhannya menurut kadar derajat posisi si hamba itu, Dengan kata lain pula bahwa puncak dari kenikmatan itu sesungguhnya adalah ketaatan menjalankan perintahnya secara lahiriyah, dan merasa cukup jiwanya bersama Allah secara batin. Maksudnya seseorang mengerjakan amaliyahnya semata karena perintah Allah, bukan karena motivasi tertentu. Sang hamba hanya bagiNya, bersamaNya, bukan karena sebab atau akibat tertentu. Seorang hamba ketika beribadah, akan senantiasa bermusyahadah RububiyahNya. Inilah yang dimaksudkan dengan menegakkan syariat disatu sisi dengan tetap berselaras dengan hakikat. Sebab dengan cara inilah seseorang bisa meraih keringanan, keselarasan, keparipurnaan dalam hakikat, yakni bebas dari merasa bisa berupaya dan berdaya serta beramal. Sang hamba akan meraih nikmat agung dan sariguna yang sempurna. Dikatakan bahwa nikmat terbesar adalah keluar dari diri. Ada pula yang mengatakan, nikmat itu adalah apa yang menghubungkan dengan Allah dan memuttuskan dengan makhluk. Bahkan ada yang mengatakan, segala yang tidak mendatangkan penyesalan dan tidak mengakibatkan siksaan, itulah nikmat besar. Dengan merasa cukup Allah sebagai satu-satunya harapan dan masa depan, maka dia pada saat yang sama akan merasa cukup denganNya. Oleh sebab itu mulailah dijadikan suatu perspektif yang luhur ke depan: 1. 2. Taat kepada Allah sebagai cita-cita dunia akhirat. Kedamaian hati bersamaNya, dan tidak menoleh selainNya, adalah keparipurnaan hakikat. 3. Bisa beribadah adalah anugerah yang tiba, karena itu sebagai rasa syukur harus dimunculkan setiap ibadah. Ibadah sebagai wujud syukur, bukan beban dan kewajiban. 4. Ibadah dan kepatuhan, adalah bentuk lain dari kehambaan. Dan tidak ada nikmat paling agung ketimbang menjadi hamba Allah. 5. Segeralah kembali dan menuju, suatu kenyataan bahwa

Serial Al-Hikam
14

ketaatan secara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan sebagai puncak nikmat.

Serial Al-Hikam
15

NIKMAT MAUJUD DAN NIKMAT ANUGERAH Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandary

"Dua nikmat dimana segala yang maujud muncul dari kedua nikmat itu, dan segala yang terjadi muncul dari keduanya: Nikmat diwujudkan, dan nikmat anugerah. Pertama, Allah memberi nikmat padamu melalui perwujudan dirimu, kedua memberi nikmat dengan limpahan anugerah padamu." Sesuatu keharusan dari yang ada dan sekaligus anugerah. Jika tidak, maka mahluk tak pernah ada sejak awal, dan kembali dalam ketiadaan di akhirnya, sebagaimana firman Allah Taala: "Dan benar-benar Aku ciptakan kamu sebelumnya dan engkau bukan apa-apa." (Qs. Maryam: 9) Itulah disebut maujud. Karena itu pula Allah berfirman: "Kalau bukan karena nikmat Tuhanku jelas aku tergolong orang yang diseret ke neraka" (Ash-Shoffaat : 58) Nikmat tersebut salah satu nimat anugerah. Abu Madyan alGhauts berkata, "Allah Taala yang mengawali dan segala yang ada bergantung padaNya. Materi ini muncul dari kenyataan kemurahanNya. Jika seandainya materi ini putus, robohlah wujud ini." Dua nikmat tersebut merupakan simpul dari seluruh nikmat Allah Taala yang tiada terhingga. Karena itu syukur yang utama harus kita ungkapkan adalah rasa syukur karena kita dijadikan dan dihidupkan di dunia ini. Sebab tanpa mensyukuri wujud diri kita yang ada ini, manusia akan terus protes pada fakta dan kenyataan takdir. Belum lagi nikmat anugerah yang melimpah setelah diwujudkan, berupa keimanan dan kemarifatan kita kepada Allah swt, rizki lahir dan rizki batin, rizki taat dan rizki batin berupa rasa cukup bersama Allah Taala. Apalagi yang harus kita sombongkan? Manalagi yang harus kita andalkan? Apakah amal-amal anda menjamin anda masuk syurga? Apakah kebajikan dan taat anda adalah kartu visa bebas dari neraka? Mengapa masih ada sikap-sikap arogan dan egois? Bukankah seluruh sikap tersebut menghijab pandangan mata anda untuk melihat nimat Allah yang tiada hingga itu?

Serial Al-Hikam
16

"Sungguh sedikit sekali kalian bersyukur", demikian peringatan Allah kepada kita.

Serial Al-Hikam
17

NAFSU, KELELUASAAN & HIMPITAN

"Nafsu cenderung meraih keleluasaan (al-Basth), sebagai bagiannya dengan munculnya rasa senang, sedangkan nafsu tidak memiliki bagian dalam keterhimpitan (al-Qabdl)." Itulah kelanjutan dari pilihan kaum 'arifun yang lebih senang pada nuansa keterhimpitan, disebabkan sirnanya bagian-bagian konsumsi nafsu di sana. Dalam kitab Lathaiful Minan dikatakan, "Keleluasaan sering mentergelincirkan kaki para tokoh Sufi, dan karenanya mereka sangat hati-hati, sedangkan pada keterhimpitan itu lebih dekat dengan keselamatan, karena ia berada dalam genggaman Ilahi, dan Allah Maha Meliputi di dalamnya. Basth atau keleluasaan adalah kenyataan yang keluar dari sang waktu Sufi, sementara AlQabdl merupakan kenyataan yang layak di negeri dunia ini. Negeri dunia adalah tempatnya menjalankan tugas, memikul beban, dalam ketidakpastiannya, dan negeri dimana para Sufi berjuang untuk berselaras dengan kewajiban Ilahi." Para Sufi menjelaskan, "Keterhimpitan adalah bagi arwah, sedang al-Basth adalah keleluasaan arwah. Qobdl adalah Hak Allah diperuntukkan darimu, sedangkan al-Basth adalah hakmu dariNya. Hak Allah tentu harus lebih diutamakan dibanding hakmu dariNya. Instrumen-instrumen Qobdl dan Basth ini kembali pada soal pemberian dan halangan akan harapan pemberian itu sendiri, sehingga Ibnu Athaillah melanjutkan: "Terkadang Allah memberikan anugerah kepadamu, padahal Dia sedang menghalangimu. Terkadang Allah menghalangi harapanmu, padahal sesungguhnya Allah memberikan anugerah padamu". Kadang Allah memberikan anugerah berbeda dengan cover dan bungkusnya. Kelihatannya jelek covernya, tapi dalamnya ada mutiara, begitu juga kadang bungkusnya indah dan mulia, tapi dalamnya kehinaan. Kita tidak boleh terjebak oleh itu semua. Jika bungkusnya jelek, jangan susah dan gelisah, begitu juga jika bungkusnya bagus jangan tiba-tiba bergembira. Semua harus dipandang bahwa baik pemberian maupun halangan, sama-sama dari Allah Ta'ala. Jangan keduanya membuat kita terbelenggu lalu

Serial Al-Hikam
18

lupa

pada

Allah

Ta'ala.

Menurut seorang Sufi, "Apa pun yang menyibukkan dirimu dari Allah Ta'ala, berupa pekerjaan duniawi harta, keluarga, anak-anak, maka hal itu mengundang kecaman dari Allah Ta'ala." Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan: "Kalau anda dibukakan pintu kefahaman jiwa, maka keterhalangan cita-cita anda hakikatnya adalah pemberian." Karena halangan itu pun hakikatnya juga pemberian dan anugerah dari Allah, dan sekaligus menjadi nikimat manakala keterhalangan itu justru menyambungkan hatimu dengan Allah, dan memutuskan hatimu dari makhluk Allah. Disiniliah kuncinya Ridlo, sebagaimana dikatakan Syeikh Abdul Wahid bin Zaid, "Ridlo itu pintu Allah teragung dan tempat istirahatnya para ahli ibadah serta syurga dunia.

Serial Al-Hikam
19

MENYIKAPI QABDL DAN BASTH

Allah Menggenggam anda agar engkau tidak terus menerus dalam hamparan keleluasaanNya, dan Allah menghamparkan keleluasaanNya padamu agar Dia tidak membiarkanmu dalam GenggamanNya, dan Allah mengeluarkan dari kondisi keduanya agar dirimu tidak ada arah tujuan selain kepadaNya. Qobdl (ketergenggaman Ilahi) dan Basth (keleluasaan Ilahi) adalah dua kondisi yang ada dalam hati. Kadang kita dalam situasi Qabdl dan kadang dalam situasi Basth. Kadang malah berimbang diantara kedua kondisi itu. Semua itu dijadikan sandaran agar si hamba menyadari bahwa dalam situasi yang tercekam dalam GenggamanNya, si hamba sadar bahwa itu pun dari Allah Ta'ala, hal demikian juga sebaliknya ketika hamba dalam kebahagiaan dan kegembiraan, agar si hamba menyadari itu semua dari Allah, sehingga bukan Qabdl dan Basth itu tujuannya, tetapi Allah lah tujuan kita semua. Imam Al-Junaid al-Baghdady menjelaskan, "Ketakutan telah mencengkamku dalam GenggamNya dan harapan telah meleluasakan diriku dalam KeleluasaanNya, sedangkan hakikat telah menyatukan diriku denganNya, Kebenaran telah memisahkan diriku. Manakala Dia menggenggamku dengan ketakutan, Dia telah menfanakan diriku dari diriku. Jika telah membuka harapanNya padaku, Dia melepaskannya dan mengembalikan padaku. Manakala Dia menyatukan dengan hakikat, Dia menghadirkan diriku bersamaNya. Manakala Dia memisahkan diriku dengan dengan kebenaran, Dia mempersaksikan padaku selain DiriNya, lalu Dia menutupiku dariNya. Semua itu, Dialah yang menggerakkan diriku pada rasa tentramku, dan Dialah yang memperingatkan ketakutan padaku, bukan pada rasa sukariaku. Hadirku untuk merasakan makanan (ruhani) dan kemurahanku. Siapa tahu Dia menfanakan diriku dari diriku, lalu memberikan kesenangan atau menghapuskan diriku, lalu Dia memberikan anugerah rasa ringanku." Faris ra, mengatakan, "Pertama-tama adalah ketergenggaman Ilahi, kemudian keleluasaanNya, lalu tiada Genggaman dan Keleluasaan, karena keduanya naik turun dalam wujud, sedangkan fana' dan Baqa', tidak"

Serial Al-Hikam
20

Sebenarnya Allah memberikan ancaman dalam ketakutan pada para penempuh, adalah sebagai awal perjalanan agar si hamba benar-benar kembali murni hanya kepada Allah Ta'ala, fana' dari hawa nafsunya, lalu Allah mengarahkan pada al-Basth (keleluasaan) agar si hamba terus menerus dalam kemesraan denganNya. Dalam pergantian ketergenggaman dan keleluasaan, si hamba diselaraskan dengan persepsi hakikat yang ada pada diri mereka masing-masing, sesuai dengan derajat dan karakternya.

Serial Al-Hikam
21

MEMILIH GURU, SAHABAT, DAN PEMIMPIN

Janganlah anda berguru atau bersahabat dengan orang yang tidak membangkitkan dirimu dan menunjukkan kepada Allah, baik kondisi ruhani (haal) maupun kata-katanya. Ketika anda berbuat buruk, ia memberitahu kalau perbuatan itu baik bagi anda, karena sesungguhnya anda telah bergabung pada orang yang lebih buruk daripada diri anda. Orang yang tidak membangkitkan dirimu, tingkah laku ruhani maupun ucapannya yang bisa menunjukkan kepada Allah adalah orang yang sesungguhnya belum menempati posisi hakikat, belum mampu menghilangkan hasratnya dari sesama makhluk, bahkan dia lebih rela pada kepentingan dirinya. Walaupun orang tersebut sangat luas pengetahuannya, sangat banyak ibadahnya, sangat dalam pemikirannya, toh, orang yang demikian biasanya sangat mengandalkan ikhtiar amalnya, dan memuji dirinya sendiri. Sebaliknya orang yang bisa membangkitkan diri anda, tindakan, tingkah laku jiwa maupun ucapannya menunjukkan diri anda kepada Allah, adalah orang yang mampu menghilangkan ketergantungannya terhadap sesama makhluk, sementara qalbunya penuh dengan Musyahadah terhadap hakikat Ilahiyah. Bahkan seandainya anda memandang sejenak pun, anda menjumpainya sangat sibuk dengan kepentingan Allah, bersama Allah, dan ketika ia bicara seluruh ucapannya senantisa menuju satu titik simpul: Allah. Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily mengatakan, Janganlah anda berguru atau bergabung pada orang yang mementingkan dirinya dibanding diri anda, karena itu bisa tercela. Dan juga orang yang mementingkan dirimu dibanding dirinya, karena hal itu tidak langgeng. Bergabunglah pada orang yang apabila menyebut sesuatu senantiasa menuju kepada Allah. Dan Allah mencukupi orang itu ketika orang itu ada, begitu juga Allah menggantikannya ketika orang itu tidak ada. Ucapannya adalah Cahaya Qalbu, dan Musyahadahnya adalah kunci-kunci keghaiban rahasia Untuk mencari panutan, pemimpin atau bahkan sahabat dekat orang yang benar-benar tingkah laku dan ucapannya senantiasa

Serial Al-Hikam
22

menjurus kepada Allah saat ini memang langka. Karena di tengahtengah pergumulan zaman yang gila ini, para tokoh ummat, para pemimpin Islam, para Ulama dan Kyai semakin langka yang mementingkan ummat untuk menuju kepada Allah. Mereka malah sebaliknya saling bergelora untuk mementingkan dirinya sendiri, mementingkan sanak keluarganya, mementingkan perutnya. Sebagaimana ditulis di dinding Pesulukan Thariqat Agung (PETA) Tulung Agung, dengan sebuah peringatan keras berbunyi: Dajjal Kecil, Naudzu Billah Hai Orang-orang yang dijuluki oleh masyarakat sebagai Ulama, Pemimpin Islam, Tokoh Islam.. Jangan kau jual Prinsip dan Akidahmu Untuk kepentingan perut dan keluargamu. Jauhilah orang-orang seperti ini.. Sebuah gambaran era dewasa ini, dimana para tokoh Islam dan Ulama telah menjual akidah dan keyakikannya demi masa depan hawa nafsunya. Seluruh gerakan keagamaan maupun kebajikan yang berlambangkan agama maupun atas Nama Allah, sementara tidak mampu memberikan Cahaya Ilahiyah yang bisa menunjukkan Wushul kepada Allah, maupun tidak bisa mendekatkan diri anda kepada Allah, sesungguhnya adalah gerakan kemunafikan dan kefasikan yang akan mendekatkan dan menyelubungi anda dengan hawa nafsu anda. Gerakan ini justru semakin mempertebal hijab antara anda dengan Allah. Begitu juga saat ini banyak orang yang secara retorik mengatasnamakan keluhuran, perjuangan, Jihad, bahkan meneriakkan Takbir, tetapi sama sekali retorikanya tidak meyentuh Qalbu, melainkan hanya membangkitkan emosi permusuhan terhadap sesama makhluk. Begitu juga sebaliknya ada kalangan atau tokoh yang mengibarkan semangat perdamaian, kebersamaan, kerukunan, dan seluruh lambang kebajikan, hanya akan sia-sia belaka manakala tidak memiliki niat menuju kepada Allah. Bahkan menyelipkan niat pribadi, memanjakan diri, dan semakin takut manakala tidak lagi jadi anutan atau pemimpin. Ulasan ini kita tutup dengan ucapan indah dari Asy-Syadzily, Aku bertanya kepada guruku tentang sabda Nabi SAW: Buatlah mudah dan jangan berbuat kesulitan, tebarkan kegembiraan dan janganlah membuat mereka terusir. Beliau menjawab, Tunjukkanlah mereka kepada Allah dan janganlah engkau

Serial Al-Hikam
23

tunjukkan mereka kepada selain Allah. Orang yang menunjukkan jalan kepada dunia, maka dunia akan menggulung anda. Orang yang menunjukkan jalan amal, maka amal itu akan membuat anda terbebani. Dan orang yang menujukkan anda kepada Allah, maka benar-benar menjadi penasehat anda.

Serial Al-Hikam
24

MEMAHAMI INDAHNYA KEGAGALAN Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandary

Sesungguhnya kegagalan terasa menyakitkan, semata karena anda tidak faham sesuatu dari Allah di dalam kegagalan itu. Jika anda faham, anda akan melihat adanya kelembutan Ilahi, karena semuanya adalah rahmat dan kemurahan dariNya. Jadi seperti dikatakan juga oleh Ibnu Athaillah, Siapa yang menyangka terlepasnya kelembutan Ilahi atas takdirnya (yang keras) semata karena piciknya pandangan orang itu. Di atas juga disebutkan, Jika Allah membukakan pintu kefahaman, maka kegagalan adalah hakikat pemberian. Dan kelak dibelakang akan kita jumpai kata-kata beliau yang indah, Hendaknya bisa memperingan beban atas derita cobaan pada dirimu, manakala engkau mengenatui bahwa Allahlah yang memberi cobaan itu padamu. Jadi bila kita mengenal Allah Maha Kasih, Maha Lembut, Maha Mulia dan Maha Murah, maka segala bentuk keterhalangan kehendak kita, sesungguhnya sama sekali tidak akan merubah pendirian kita akan Sifat-sifat LembutNya dan KasihNya kepada kita. Karena itu beliau melanjutkan hikmahnya yang agung: Terkadang Allah membukakan pintu Taat pada Allah bagimu, dan tidak membukakan pintu suksesnya keinginanmu. Bahkan Allah pun menentukan suatu tindakan dosa padamu, dan tindakan itu malah membuatmu sampai ke hadiratNya. Taat itu sendiri adalah anugerah yang luar biasa, bukan sekadar suksesnya keinginan anda. Karena kegagalan atas cita-cita anda sesungguhnya teriringi oleh anugerah Allah dibalik semua itu. Jadi hakikatnya bukan gagal, namun anugerah pemberian. Pintu-pintu sukses yang sesungguhnya ada tiga, menurut Syeikh Zarruq: Pertama: Taqwa, sebagaimana firman Allah Taala, Sesungguhnya Allah menerima (memberikan Kabul) dari orang-orang yang bertaqwa. (Al-Maidah 27). Setiap amaliyah yang tidak disetrtai ketaqwaan hanyalah kepayahan dan kerja keras tanpa guna. Menjadi berguna manakala seseorang melakukannya dengan

Serial Al-Hikam
25

penuh sukacita bersama Allah Taala. Kedua: Ikhlas. Segala sesuatu kalau bukan karena demi Wajah Allah tidak diterima oleh Allah. Hadits Qudsy menegaskan, Aku Maha tidak butuh pendamping yang lain (syirik). Siapa yang beramal dimana ada unsur lain di dalamnya selain diriKu, maka Aku tinggalkan amal hamba itu dan unsur lain tersebut. Ketiga: rasa yakin mengikuti jejak Sunnah dan Kebenaran. Karena Allah tidak menerima amal hamba yang melakukan amaliyah kecuali dengan sikap benar dan mengikuti kebenaran. Siapa pun yang melakukan amaliyah dengan tiga kategori di atas, maka dia akan mendapatkan kemudahan atas amaliahnya karena ketiganya sebagai pertanda diterimanya amal. Jika tidak, maka hanya mendapatkan kepayahan dan kelelahan belaka. Sedangkan orang yang ditakdirkan dosa, menjadi sebab orang tersebut wushul kepada Allah, dimana hidayah justru terbuka paska tindakan dosa, karena tiga hal pula: 1. Rasa remuk redam atas tindakan dosanya, seperti dalam hadits Qudsi: Aku bersama orang yang remuk redam hatinya demi menuju kepadaKu. 2. Ditambah dengan taubat orang tersebut, Sesungguhnya Allah mencintai orangt-orang yang taubat. (Al-Baqarah : 222). 3. Semangat yang disertai kewaspada-an dalam menempuh keikhlasan, dan penyucian dosa-dosanya. Dalam hadits disebutkan, Betapa banyaknya membuat si empunya malah masuk syurga. dosa, malah

Syeikh Abul Abbas al-Mursi menafsirkan firman Allah swt : Allah memasukkan malam di dalam siang dan memasukkan siang di dalam malam. (Al-Hajj: 61) Maknanya adalah Allah memasukkan taat dalam maksiat, dan memasukkan maksiat di dalam taat. Seorang hamba yang penuh taat, lalu dia kagum atas prestasi taatnya, dan merasa dengan taatnya kepada Allah membuatnya hebat, lalu minta ganti rugi pahala dari Allah atas amal ibadahnya. Sikap demikian adalah kebaikan yang dihapus oleh keburukan. Rasa kagum atas prestasi ibadahnya adalah kejahatan di dalam dirinya. Itulah yang disebut masuknya taat dalam maksiat.

Serial Al-Hikam
26

Begitu juga ketika pendosa berbuat dosa, kemudian ia bertobat kembali kepada Allah Taala dengan remuk redam hatinya, merasa hina dan memohon ampunan padaNya, bahkan dia merasa lebih berdosa dari siapa pun jua, karena belum pernah ada dosa yang lebih hebat ketimbang dia. Kesadaran ini berarti maksiat yang masuk dalam taat. Kemudian mana yang disebut maksiat dan mana yang disebut ibadah taat?

Serial Al-Hikam
27

MANUSIA SUNGGUH SANGAT BUTUH KEPADA ALLAH Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandary :

"Sifat butuhmu itu, bagimu merupakan kelaziman yang pasti. Sedangkan sebab-sebab yang datang merupakan pengingat bagimu terhadap apa yang tersembunyi dari sifat aslimu. Sifat butuh yang substansial itu tidak pernah dihilangkan oleh faktorfaktor baru yang menghadang." Manusia memiliki sifat asli yang lazim, yaitu sifat butuh yang amat sangat. Sifat ini tidak bisa dihilangkan sama sekali selamanya. Namun manusia seringkali alpa dengan sifat aslinya yang sesungguhnya amatlah tak berdaya itu. Kemudian Allah mengingatkannya dengan faktor-faktor penyebab, agar ia menyadari, semisal adanya kecukupan, kefakiran, kemuliaan, kehinaan, kekuatan dan kelemahan, serta seluruh sifat yang yang menyadarkan akan sifat butuhnya pada Allah Taala. Jadi faktor penyebab itulah yang mestinya diharapkan justru mendukungnya, sehingga ketika mendapat nimat ia bersyukur, ketika mendapat cobaan ia bersabar dan ridlo, lalu terjadi interaksi rasa butuh dan fakirnya. Selanjutnya beliau menegaskan : "Baik-baik waktumu adalah waktu dimana kamu menyaksikan di dalamnya adanya wujud butuhmu kepada Allah, dan mengembalikan pada dirimu bahwa engkau penuh dengan kesalahan." Nafsu manusia lebih senang mengaku-aku bahwa dirinya adalah yang mampu, bisa berbuat, kuat dan merasa cukup. Padahal semua itu justru rekayasa dan spontanitas nafsu yang menghalangi kebajikan dan taqarrub. Firaun sampai menegaskan dirinya, "Akulah Tuhanmu yang luhur", semata karena Firaun memanjakan nafsunya sampai ia mengklaim seluruh usahanya, kekuatannya, kekuasaannya sebagai upaya murni dirinya. Ini semua gara-gara Firaun sepanjang usianya tak pernah sakit kepala atau demam, hingga ia mengaku sebagai Tuhan.

Serial Al-Hikam
28

MAKSIAT LEBIH BAIK KETIMBANG TAAT, KALAU...

Maksiat yang melahirkan sikap hina dina di hadapan Allah itu lebih baik ketimbang ketaatan keapada Allah yang melahirkan sikap merasa mulia dan sombong. Sebesar apa pun kemaksiatan dan dosa seseorang, jika memasuki pintu taubat, Allah tetap menyambutnya dengan Pintu Ampunan yang agung, bahkan dengan kegembiraanNya yang Maha dahsyat kepadamu. Karena sebesar langit dan bumi ini, jika anda penuhi dengan dosadosa anda, dikalikan lagi dengan lipatan jumlah penghuni planet ini, kelipatan dosa itu, sesungguhnya ampunan Allah masih lebih besar dan lebih agung lagi. Oleh sebab itu Ibnu Athaillah membesarkan hati orang yang telah berbuat dosa agar tidak putus asa terhadap ampunan Allah, bahkan orang yang berdosa namun bertobat dengan penuh rasa hina dina dihadapan Allah itu dinilai lebih baik, dibanding orang yang ahli ibadah yang merasa hebat, merasa suci, merasa paling mulia dan merasa sombong dengan ibadahnya. Mengapa ? Karena ada dosa yang lebih tinggi lagi disbanding maksiat, yaitu dosanya orang takjub atau kagum pada diri sendiri. Bahkan Rasulullah saw. Bersabda : Jikalau kalian tak pernah berbuat dosa, niscaya yang paling saya takutkan pada kalian adalah yang lebih dahsyat lagi, yaitu ujub (kagum pada diri sendiri). Bahkan betapa banyak orang yang dulunya ahli maksiat lalu diangkat derajatnya menjadi manusia mulia di hadapan Allah Taala. Begitu juga banyak ahli ibadah tetapi berakhir hina di hadapanNya gara-gara ia sombong dan merasa lebih dibanding yang lainnya. Orang yang beramar maruf nahi mungkar, apakah ia aktivis muslim, daI, ustadz, kyai, ulama, muballigh, ketika mereka menyerukan amar maruf nahi mungkar, lantas dirinya merasa lebih baik dari yang lain, adalah wujud kesombongan yang hina pada dirinya. Dibanding seorang preman yang bertobat, pelacur yang bertobat, maling yang bertobat dengan kerendahan jiwa di hadapan Allah,

Serial Al-Hikam
29

mereka yang merasa paling Islami itu justru menjadi paling hina, jika ia tidak segera bertobat. Nabi Adam as, mendapatkan kemuliaan luar biasa sebagai Nabi, Rasul, Khalifah, Abul Basyar, justru ketika sudah turun di muka bumi, karena tindak dosanya di syurga. Namun Nabi Adam bertobat dalam remuk redam jiwanya dan hina dina hatinya di depan Allah, justru Allah mengangkat dan menyempurnakan marifatnya ketika di dunia, bukan ketika di syurga dulu. Nabi Adam as, menjadi Insan Kamil ketika di dunia, bukan ketika di syurga. Oleh sebab itu terkadang Allah mentakdirkan maksiat pada seorang hamba dalam rangka agar si hamba lebih luhur dan dekat kepada Allah. Wacana ini dilontarkan agar manusia tidak putus asa atas masa lalu dan nodanya di masa lampau, siapa tahu, malah membuat dirinya naik derajat. Wacana ini pula tidak bias dipandang dengan mata hati, nafsu dan hasrat hawa. Misalnya, Kalau begitu maksiat saja, siapa tahu, kita malah naik derajat Kalimat ini adalah kalimat yang muncul dari hawa nafsu! Wacana mengenai naiknya derajat paska maksiat, hanya untuk orang yang sudah terlanjur maksiat, agar tidak putus asa dan tetap menjaga rasa baik sangka kepada Allah Taala (husnudzon). Apalagi di akhir zaman ini, jika disurvey, membuktikan bahwa orang yang kembali kepada Allah dengan taubatnya, biasanya didahului oleh kehidupan yang hancur-hancuran, maksiat yang bernoda. Akhir zaman ini juga banyak dibuktikan, khususnya di wilayah kota, betapa banyak orang yang merasa bangga diri dengan ahli ibadahnya, ketekunan dan taatnya, diam-diam ia ujub dan sombong, merasa lebih dibanding lainnya. Sifat hina dina adalah wujud kehambaan kita. Manusia akan sulit mengakui kehambaannya manakala ia merasa mulia, merasa sombong, ujub, apalagi merasa hebat dibanding yang lainnya. Karena itu rasa hina dina, apakah karena diakibatkan oleh kemaksiatan atau seseorang mampu menjaga rasa hina dina di hadapan Allah, adalah kunci terbukanya Pintu-pintu Allah Taala, karena kesadaran seperti itu, membuat seseorang lebih mudah fana di hadapanNya.

Serial Al-Hikam
30

LIHATLAH ALAM DENGAN MATA BATIN

Alam semesta ini tampak mempesona secara lahiriyahnya, sedangkan batin (dibaliknya) adalah pelajaran mulia. Nafsu hanya memandang pesona lahiriyahnya sedangkan hati memandang pada batin pelajaran mulia yang tersembunyi Syeikh Zarruq dalam syarah Hikam mengatakan, siapa yang memandang lahiriyahnya akan terpenjarakan, dan siapa yang memandang batinnya semesta akan mendapatkan petunjuk. Jika orang tenggelam pada alam semesta ia akan terlempar dariNya, dan jika merasa tenteram dengan dunia itu ia akan menentangNya. Apabila ia berpaling hati dari alam semesta maka ia akan dibukakan petunjuk di dalamnya. Orang yang cerdas akan lebih senang jika menghindari dunia dibanding menerima dunia, dan sangat hati-hati menerima dunia dibanding menghindarinya. Mereka, para Ulama Salaf - semoga Allah meridloi mereka -manakala dunia menghadap mereka, mereka mengatakan, "Duh, semua dosa telah dicepatkan siksanya." Sebaliknya jika kefakiran menghadap mereka, maka mereka katakana, "Selamat datang syi'ar kaum sholihin" Begitu pula Rasulullah SAW. yang telah maksum dari segala kesalahan dan kealpaan ketika dihadapkan pada tawaran kunci seluruh kekayaan di bumi, malah beliau menolaknya. Melainkan beliau memilih lapar sehari, makan sehari. Ketika putri tercintanya, Fathimah ra, memohon agar diberi seorang pembantu untuk menggiling gandum, karena sangat menderita dengan pekerjaan itu, malah beliau menunjukkan agar mengingat kepada Tuhannya ketika menjelang tidurnya, sembari bersabda beliau: "Maukah kamu saya beri petunjuk yang lebih baik dibanding seorang pembantu bagimu? Yaitu ketika kalian berdua ingin masuk ke tempat tidur, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, bertakbirlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh empat kali, dan itu lebih baik dibanding seorang pembantu." Semua itu demi upaya agar berlari dari hingar bingar duniawi, dan kembali kepada apa yang tersembunyi dibalik dunia ini. Bukankah dunia ini tak lebih dari kefanaan, kehancuran, tempat yang serba kurang dan tempat berjalan belaka? Namun seorang hamba diuji dirinya dengan kehidupan menempuh dunia ini, sekadar untuk memenuhi bekal kebutuhannya saja. Selebihnya, dunia hanyalah

Serial Al-Hikam
31

mimpi buruk belaka. Oleh sebab itu jika seseorang menuruti nafsunya, dunia pasti tampak mempesona. Sementara kalau menuruti hatinya, dunia hanyalah pelajaran berharga, karena yang tampak dihati adalah yang tersembunyi di balik semesta. Sebagian Sufi mengatakan, "Aku tinggalkan dunia ini karena begitu cepat sirnanya dunia, sedikit sekali kekayaannya, banyak sekali penderitaannya dan sangat hina sekali kawan-kawannya." Sebagian Ulama mengatakan, "Setiap aku memandang bentangan dunia berupa riasan indah, melainkan selalu dibukakan apa yang tersembunyi di dalamnya, berupa kesirnaan di dalamnya." Syeikh Abu Tholib al-Makky menegaskan, "Ini semua merupakan pertolongan Allah Ta'ala kepada orang yang dilimpahiNya dari para wali-waliNya yang sangat dekat kepadaNya. Siapa yang menyaksikan dunia pada awal sifatnya tidak akan meraih pelajaran di akhirnya. Siapa yang mengenal dunia dengan batin hakikatnya tidak akan terpengaruh oleh sifat lahiriyahnya. Siapa yang dibukanan dampak dunia tidak akan dipermainkan oleh hingar bingarnya. Nabi Isa as, bersabda, "Celaka wahai Ulama buruk, kalian seperti binatang set, fisiknya menjijikkan dan dalamnya berupa nanah." Allah memerintahkan kepada NabiNya SAW agar tidak memandang dunia: "Janganlah kamu menjulurkan pandangan matamu pada apa yang kami hiaskan pada dunia berupa pasangan-pasangan dari hangar binger dunia dimana Kami akan menguji mereka di dalamnya." (Thaha 131). Ayat tersebut menunjukkan bahwa dunia adalah ujian (fitnah), dan memandangnya sangat tercela, walau pun kategorinya tidak haram.

Serial Al-Hikam
32

LARI DARI ALLAH

Sungguh sangat mengherankan bagi orang yang lari dari Dzat yang tak pernah lepas baginya, dariNya, dan memburu sesuatu yang tidak abadi baginya di sisiNya. Sesungguhnya bukannya mata kepala yang buta, namun mata hatilah yang buta, yang ada di dalam dada. Yang tak pernah pisah dan lepas selamanya adalah Allah Taala. sedangkan yang tidak abadi di sisiNya adalah dunia dan seisinya. Karena itu sangat mengherankan jika kita memburu sesuatu yang abadi dan melepaskan Yang Abadi dan Permanen. Syeikh Zarug menegaskan, kenapa Ibnu Athaillah sangat heran, karena tiga faktor: 1. Orang tersebut sibuk dengan kebatilan demi kebatilan (duniawiyah) dan meninggalkan prioritas utamanya (Allah Taala). 2. Berpaling dari Allah demi dunia yang tidak hakiki. 3. Berpihak pada sesuatu yang tidak bisa mencukupi, jauh dari Yang Maha Mencukupinya. Itulah yang disebut dengan Kebutaan Matahati. Kebutaan esensial yang melanda masyarakat kita dewasa ini, adalah kebutaan matahatinya, karena sudah tertaburi oleh kepentingan dan hasrat untuk memburu dunia dengan mengabaikan prioritas Ilahiyah itu sendiri. Manuisia memiliki kecenderungan bahwa yang sementara dan relatif itu justru diprioritaskan, sementara yang utama, absolute dan abadi justru diabaikan. Situasi moral seperti inilah yang membuat manusia modern terasing dari dirinya sendiri, bahkan untuk memandang apa hakikat dunia, apa hakikat diri sendiri, dan apa hakikat yang abadi sirna dari pandangan hakikinya. Manusia kehilangan penglihatan jernihnya, sampai pada titik batas yang mengerikan, mereka terjerembab dalam kubangan lumpur duniawi yang gelap. Dan menggulitakan seluruh pandangan hatinya. Dampak dari kebutaan matahati ini, menurut Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily, ra, mengarah pada tiga hal; 1) Mendorong anggota badannya untuk berbuat maksiat kepada Allah Taala; 2) Tama terhadap sesama makhluk Allah; 3) Sok taat kepada Allah.

Serial Al-Hikam
33

Siapa pun yang mengaku telah memiliki matahati, sementara ada satu saja dari ketiga faktor itu, maka hatinya telah terpaku pada rekaan hawa nafsunya dan waswasnya syetan.

Serial Al-Hikam
34

JANGAN TINGGALKAN DZIKIR...

Janganlah meninggalkan dzikir, hanya karena anda tidak hudhur bersama Allah dalam dzikir. Karena kealpaanmu jauh dari dzikir itu lebih berbahaya ketimbang kealpaanmu kepadaNya ketika sedang berdzikir." Dzikir merupakan ibadah paling utama dan paling penting dalam perjalanan menuju kepada Allah Taala. Karena itu menempati posisi kunci dalam dunia Sufi. Karena itu jika seseorang berdzikir lisannya, sementara hatinya tidak hadir di depan Allah, sama sekali dzikir tidak bisa ditinggalkan. Sebab orang yang sama sekali jauh dari dzikir itu, resikonya lebih berbahaya ketimbang orang yang tidak hadir jiwanya ketika berdzikir. Allah swt, berfirman: Berdzikirlah kepadaKu, niscaya Aku mengingatmu. Dan firmanNya yang lain, Sebagaimana dzikirnya para penduhulumu atau lebih kuat dzikirnya dari itu. Dan wasiat Nabi saw, Hendaknya lisan kalian senantiasa basah dengan dzikirullah. Karena itu diperingatkan agar kita tetap berdzikir walaupun hati kita tidak hadir pada Allah. Sementara alpa pada Allah (dzikrullah) bisa berdampak lebih negatif. Hal demikian, menurut Syeikh Zaruq disebabkan karena tiga hal: Pertama, apapun adanya dzikir berarti menghadap, apa pun kondisinya. Sementara alpa itu berarti mengabaikan secara total. Kedua, dzikir bisa menjadi perias ibadah, sementara alpa dari Allah bisa menafikannya. Ketiga, adanya dzikir itu berarti siap menerima hembusan rahmat Allah, yang bisa meningkatkan dari yang lebih rendah menuju yang lebih tinggi, sedangkan alpa dari dzikir bisa mengosongkan semua itu. Siapa tahu Allah meningkatkan dzikir dengan hati alpa, menuju dzikir dengan sadar Ilahi, dari dzikir yang sadar Ilahi menuju dzikir Hadir Ilahi, dari dzikir Hadir Ilahi menuju dzikir dengan mengosongkan segala hal selain Allah. Dari sini bisa disimpulkan bahwa ragam hamba yang berdzikir terdiri dari:

Serial Al-Hikam
35

Dzikir lisan saja / Dzikir sadar hati / Dzikir Hadir Ilahi Dzikir dengan mengosongkan segala hal selain Allah. Karenanya Allah memperingatkan, Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah, dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepadaNya, pagi sampai sore (sore sampai pagi). Dialah yang melimpahkan rahmat kepadamu dan para malaikatNya. (AlAhzaab: 42) Sedangkan Imam Ghazali membagi dzikir menjadi: 1) 2) 3) 4) 5) Dzikir Dzikir Dzikir Dzikir Dzikir Lisan, Nafsu, Qalbu, Ruh, Sirr.

Konsekwensi kita selalu berdzikir kepada Allah dan alpa kepada Allah antara lain: Jika kita alpa kepada Allah pasti yang teringat di benak kita adalah selain Allah. Jika kita mnengingat sadar akan Allah, kita akan menapaki kemesraan demi kemesraan dengan Allah. Jika kita hadir di hadapan Allah, kita akan patuh dan tunduk kepadaNya. Jika kita lupa pada segala hal selain Allah, kita akan fana kepadaNya. Jika kita fana, segala yang ada akan tiada. Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily mengatakan, Hakikat dzikir adalah konsentrasi penuh kepada yang Diingat, sehingga yang lain tak teringat. Sebagaimana firman Allah swt, Dzikirlah dengan Nama Tuhanmu dan lakukanlah dengan sepenuhnya. Orientasi dzikir itu sendiri berkisar pada tiga hal pula: Marifatullah; Mengagungkan Allah; Ubudiyah kepada Allah. Dan semua itu sama sekali bukan hal berat bagi Allah. Yakni

Serial Al-Hikam
36

bukan hal yang terhalang jika Allah menghendaki.

Serial Al-Hikam
37

JANGAN BIARKAN HATIMU MATI

Diantara tanda-tanda matinya hati adalah jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah, dan tidak menyesali perbuatan dosa anda. Hati yang mati disebabkan oleh berbagai penyakit kronis yang menimpanya. Manakala hati seseorang tidak sehat, maka hati tentu sedang terserang penyakit-penyakit hati. Penyakit hati itu begitu banyak yang terkumpul dalam organisasi Al-Madzmumat, dengan platform gerakan yang penuh dengan ketercelaan dan kehinaan, seperti takabur, ujub, riya, hubbuddunya, kufur, syirik, dan sifat-sifat tercela lainnya. Ketika sikap-sikap mazmumat ini dihadapan pada kepentingan Allah, maka akan muncul tiga hal: Manusia semakin lari dari Allah, atau dia justru memanfaatkan simbol-simbol Allah untuk kepentingan hawa nafsunya, atau yang terakhir dia dibuka hatinya oleh Allah melalui HidayahNya. Ibnu Ajibah menyimpulkan dari al-Hikam di atas, bahwa kematian hati (qalbu) karena tiga hal: 1. Mencintai dunia, 2. Alpa dari mengingat Allah, 3. Membiarkan dirinya bergelimang maksiat. Sebaliknya faktor yang menyebabkan hati hidup, juga ada tiga: 1. Zuhud dari dunia 2. Sibuk dizikrullah 3. Bersahabat dengan Kekasih-kekasih Allah Sedangkan tanda-tanda kematian hati juga ada tiga: 1. Jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah. 2. Tidak menyesali dosa-dosanya. 3. Bersahabat dengan manusia-manusia yang lupa pada Allah yang hatinya sudah mati. Kenapa demikian? Karena munculnya kepatuhan kepada Allah merupakan tanda kebahagiaan hamba Allah, sedang munculnya hasrat kemaksiatan merupakan tanda kecelakaan hamba. Apabila hati hidup dengan marifat dan iman maka faktor yang menyiksa hati adalah segala bentuk yang membuat hati menderita berupa

Serial Al-Hikam
38

kemaksiatan hati kepada Allah. Yang membuatnya gembira adalah faktor ubudiyah dan kepatuhannya kepada Allah. Boleh saja anda mengatakan: Jika seorang hamba Allah bisa taat dan melaksanakan ubudiyah, itulah tanda bahwa hamba mendapat Ridlo Allah. Hati yang hidup senantiasa merasakan Ridlo Allah, lalu bergembira dengan ketaatan padaNya. Jika seorang hamba Allah bermaksiat kepadaNya, itulah pertanda Allah menurunkan amarahNya. Hati yang mati tidak merasakan apa-apa, bahkan sentuhan taat dan derita maksiat tidak membuatnya gelisah. Sebagaimana yang dirasakan oleh mayit, tak ada rasa hidup atau rasa mati. Rasulullah saw, bersabda, Orang yang beriman adalah orang yang digembirakan oleh kebajikannya, dan dideritakan oleh kemaksiatannya. Soal Respon Terhadap Dosa Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan, agar dosa dan masa lalu, jangan sampai membelenggu hamba Allah, yang menyebabkan sang hamba kehilangan harapan kepada Allah. Karena itu, rasa bersalah yang berlebihan yang terus menerus menghantui hamba harus dibebaskan dari dalam dirinya. Sang hamba harus tetap optimis pada masa depan ruhaninya di depan Allah. Kebesaran ampunan Allah tidak bisa didilampaui oleh seluruh dosadosa hambaNya. Ampunan Allah lebih agung, lebih besar dan lebih kinasih, pada hambaNya yang bertobat. Karena itu Allah berfirman, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri. Oleh sebab itu jangan sampai perbuatan maksiat itu membuat hamba-hamba Allah menjadi Suudzon kepada Allah. Dosa besar apa pun, jangan sampai menghalangi Husnudzon (baik sangka) anda kepada Allah. Wacana ini sekaligus mengingatkan kita pada pembuka kitab AlHikam, Diantara tanda-tanda bergantung atau mengandalkan amal adalah rasa pesimis kepada rahmat Allah ketika sang hamba berbuat dosa. Jika anda masih mengandalkan amal, bukan mengandalkan Allah, berarti anda akan pesimis jika kesalahan menimpa anda. Padahal

Serial Al-Hikam
39

kita harus menggantungkan diri pada Allah, mengandalkan Allah, bukan mengandalkan amal. Karena mengandalkan amal, bisa menciptakan rasa arogansi spiritual, dengan merasa paling banyak beramal dan taat, kemudian merasa paling benar, paling dekat dengan Allah. Dalam soal harapan dan ketakutan, biasanya hamba terbagi menjadi tiga golongan; 1. Golongan pemula, biasanya terliputi oleh rasa khawatir dan takut, dibanding dorongan harapan. 2. Golongan menengah, biasanya seimbang natara harapan dan ketakutannya. 3. Golongan yang sudah sampai kepada Allah, lebih didominasi rasa harapan yang optimis kepada Allah. Inilah yang tergambar pada saat gurunya Al-Junaid, Sarry asSaqathy dalam kondisi Maqbudl (terhimpit oleh suasana ruhaninya dalam Genggaman Allah). Ada apa gerangan wahai paman? Tanya Junaid. Oh, anakku, ada seorang pemuda datang kepadaku, kemudian bertanya padaku, Apakah hakikat taubat itu?. Aku jawab, hendaknya engkau tidak melupakan dosa-dosamu. Tapi pemuda itu mengatakan sebaliknya, Tidak. Tapi justru hendaknya engkau melupakan dosa-dosamu.. Lalu pemuda itu keluar begitu saja. Kemudian al-Junayd menegaskan, Ya, menurutku yang benar adalah kata-kata si pemuda tadi. Karena itu jika aku berada di musim panas, lalu mengingat musim dingin, berarti aku berada di musim dingin. Pandangan As-Sary, benar, bagi para pemula. Sedangkan pandangan al-Junaid untuk mereka yang sudah sampai kepada Allah. Bagaimana respon mereka yang mencapai tahap Marifatullah? Siapa yang marifat kepada Allah maka semua dosa adalah kecil di sisi KemahamurahanNya. Maksudnya, jika kita mengenal sifat dan Asma Allah yang Maha Murah, para hamba akan terus optimis terhadap ampunan Allah, karena tidak ada yang melebihi kebesaran dan keagungan ampunan Allah. Sampai-sampai Rasul Allah SAW, menegaskan dalam hadits, Jika kalian semua berdosa, sampai dosa itu memenuhi langit, kemudian kalian bertobat, Allah pun mengampuni kalian. Jika sudah tidak adalagi hambaNya yang

Serial Al-Hikam
40

berbuat dosa, lalu datang para hamba Allah yang berbuat dosa, para hamba ini pun memohon ampun kepada Allah, maka Allah juga mengampuni mereka.. Karena sesungguhnya Allah Maha Ampun lagi Mengasihi. Namun, seorang hamba tidak boleh terjebak oleh ghurur, dengan alibi, mengabaikan dosa, dan menganggap enteng dosa-dosa itu. Hal demikian ditegaskan lagi oleh Ibnu Athaillah: Tak ada dosa kecil jika anda berhadapan dengan KeadilanNya, dan tak ada dosa besar jika anda berhadapan dengan FadhalNya. Hikmah ini harus difahami di dunia ini dengan penafsiran demikian: Apabila seorang hamba berbuat kepatuhan, ketaatan, ubudiyah, berarti itulah tanda bahwa sang hamba mendapatkan limpahan FadhalNya Allah. Sebaliknya jika sang hamba bermaksiat, menuruti hawa nafsunya, berarti merupakan pertanda bahwa si hamba berhadapan dengan KeadilanNya. Tak ada yang lebih kita takutkan dibanding kita menghadapi Keadilan Allah, dan tak ada yang lebih dahsyat harapan kita dibanding kita menyongsong Fadhal dan RahmatNya.

Serial Al-Hikam
41

JALAN KEMESRAAN

Manakala makhluk Allah membuatmu merasa gentar maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak membukakan pintu kemesraan denganNya kepadamu. Kemesraan Ilahiyah terkadang muncul ketika seseorang menghadapi kegentaran dengan sesama makhluk yang membuatnya lari kepada Allah, dengan menggantungkan masalahnya kepada Allah Taala dan pada saat rasa butuhnya begitu menguat maka ia dapatkan kemesraan kepada Allah secara total. Al-Qadhy Abdurrahim al-Qusyairy ra, mengatakan: Kemesraan adalah kegembiraan rahasia jiwa, tanpa terlibatnya hati dalam urusan makhluk. Kemesraan adalah kehidupan hati dengan kemuliaan qurb (kedekatan). Kemesraan adalah kedekatan padaNya. sejuknya kehidupan dengan keleburan

Kemesraaan adalah ekstase pada Sang Kekasih dengan tanpa mengintaiNya. Kemesraan di bawah wushul dan di atas angan. Diantara Jalan Kemesraan adalah rasa mencekam yang muncul akibat interaksi dengan sesama makhluk yang menimbulkan berbagai masalah dalam hidupnya, sehingga hamba lari dari makhluk menuju Allah Taala. Wujud pelariannya bukannya ia anti terhadap makhluk, tetapi hatinya sama sekali tidak berkait dengan mereka, hanya kepada Allah Azza wa-Jalla. Terkadang manusia enggan melepaskan bebannya dalam jiwanya, dengan berbagai alasan keluhan, rasa jengkel, rasa dendam, rasa gelisah, yang sengaja dipeliharanya, padahal Allah menunggu para hambaNya untuk segera datang kepadaNya. Beliau melanjutkan: Sepanjang (manakala) dirimu mengucapkan keinginan (melalui doa) sesungguhnya Allah hendak memberimu anugerah. Namun ungkapan itu sebagai wujud dari ubudiyah, berdoa dalam rangka meraih rasa butuh kepada Allah Taala. Doa sebagai pertanda, bahwa anugerah Allah bakal tiba, dimana kehendak anda didahului oleh KehendakNya.

Serial Al-Hikam
42

Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah saw, bersabda:

Abdullah

bin Umar

ra,

bahwa

Siapa yang di izinkan dirinya untuk berdoa kepadaNya, maka pintu-pintu rahmat dibukakan padanya, dan tak ada yang lebih dicintai oleh Allah dari pada memohon kepada Allah ampunan dan kesejahteraan. Karena itu sebagai hamba harus berdoa, karena berdoa itu pertanda turunnya anugerah. Sekaligus menjaga rasa butuh kita kepada Allah, bukannya memaksa Allah mengikuti selera kita, karena hakikatnya kehendak Allah menurunkan anugerah itu lebih dahulu ketimbang doa kita.

Serial Al-Hikam
43

ISYARAT BUKAN TANDA MARIFAT

Bukan disebut orang yang ma'rifat, manakala ia berisyarat, ia mendapatkan Allah lebih dekat kepadanya, dari isyaratnya tadi. Tetapi orang yang Arif (ma'rifat) adalah orang yang tidak punya isyarat, karena fana'nya dalam WujudNya dan terliput dalam Musyahadah padaNya. Bukanlah disebut orang yang Arif (ma'rifatullah) yang sempurna dan hakiki adalah bukanlah orang yang apabila mendapatkan isyarat dalam hatinya tentang Asma dan sifatNya, lantas merasa telah bertemu Allah Swt, karena isyarat itu. Berarti masih bukan tergolong orang yang 'Arifun, manakala masih: 1. Mengandalkan dan bergantung pada isyarat-isyarat hakikat, 2. Merasa sudah sampai kepadaNya, karena Isyarat Hakikat itu; 3. Adanya sebab akibat yang menjadi perantara (berupa isyarat) antara dirinya dengan Allah; 4. Berkutat dengan rahasia-rahasia Ilahi, dan lupa akan kelemahan dan kefanaan diri. 5. Masih ada ketakutan dan kegelisahan dibalik Isyarat yang diterima 6. Adanya isyarat menunjukkan adanya jarak jauh antara dia dan Dia. 7. Adanya keasyikan tersendiri dibalik isyarat-isyarat yang diterima. Orang yang tergolong 'Arifun, adalah manakala: 1. Tidak lagi punya isyarat, karena telah fana' dalam Ilahi, lebur dari segala isyarat maupun peringatan. 2. Runtuhnya isyarat, karena karena menyaksikan KeparipurnaanNya. Bukan karena kekurangan dan keteledorannya dari interaksi dengan Jalal dan JamalNya. 3. Telah fana dalam WujudNya dari wujudnya sendiri 4. Telah fana dalam PenyaksianNya dari penyaksian dirinya sendiri. 5. Kemana pun menghadap hanya Wajah Allah yang tampak di mata hatinya. 6. Hanya Allah yang diharapkan, bukan limpahan manifestasi sifatsifatNya, baik limpahan nikmat maupun penampakan kekuarangan atau dosanya. 7. Tidak ada lagi ketakutan dan kegelisahan

Serial Al-Hikam
44

Serial Al-Hikam
45

INGIN MELIHAT POSISI ANDA DI SISI ALLAH?

Manakala anda ingin melihat posisi anda di sisiNya, maka lihatlah bagaimana Allah memposisikan dirimu (saat ini). Allah menjadikan makhluknya menjadi dua kelompok Kelompok celaka dan kelompok bahagia. Saat ini dimana anda diantara dua kelompok tersebut, apakah anda masuk kelompok celaka yang paling celaka, atau kelompok bahagia bahagia. Lihatlah dan refleksikan dimana hati anda saat itu. besar. posisi dalam paling

Bila anda masuk dalam posisi sedang taat dan penuh ubudiyah, berarti Allah sedang meninggikan derajat anda. Bila anda sedang maksiat dan mengingkari perintahNya, berarti Allah sedang menghinakan anda. Bila anda bersemangat untuk taubat, berarti Allah sedang mengampuni anda. Bila anda mengulur-ulur taubat anda berarti Allah belum mengampuni diri anda. Jika hati anda terus menerus membenarkan wujud Tuhanmu dan Dialah Satu-satuNya yang berkuasa dan Diraja, serta diri anda meneladani jejak RasulNya, maka anda berada dalam golngan orang-orang yang mendapatkan limpahan kebajikan. Sebaliknya jika anda mengingkari semua itu, anda tergolong paling celaka ketika itu. Apabila anda masuk golongan hamba yang berbahagia, tetapi anda ingin melihat posisi anda, apakah tergolong ahlul Qurbi (kalangan yang dekat dengan Allah) atau ahlul Bu'di (kalangan yang jauh dari Allah) maka coba anda tengok hati anda: Kalau anda mengenal Allah melalui makhluk-makhlukNya di semesta raya ini, maka anda tergolong kelompok yang jauh dari Allah. Tetapi kalau anda mengenal Allah melalui Allah, maka anda tergolong kaum yang dekat dengan Allah. Anda yang menuju Allah tetapi masih melalui perantara semesta makhluk ini anda belum menemukan Allah, dan anda sulit selamat - kecuali Rahmat Allah --, melainkan anda harus ditolong oleh seorang Mursyid yang Kamil- Mukammil yang bisa mengantar anda di hadapan Allah. Bila anda tergolong Ahlul Yamin, dan ingin mengetahui posisi anda apakah tergolong orang yang mulia atau tergolong yang terhina:

Serial Al-Hikam
46

Lihatlah apakah anda tergolong orang yang menjalankan perintahnya atau justru melanggar laranganNya. Kalau anda melanggar perintahNya meremehkan ajaranNya, maka anda tergolong orang ang terhinakan. Termasuk terhinakan pula posisi anda manakala, adalah ketika anda malas-malasan beribadah, anda menerjang larangan dan memusuhi para waliNya. Demikian yang diuraikan panjang lebar oleh Ibnu Ajibah al-Hasani dalam Syarah al-Hikam.

Serial Al-Hikam
47

IBADAH KOK CARI UNTUNG

Siapa pun yang beribadah kepada Allah karena motivasi kepentingan tertentu dengan harapan dariNya, atau beribadah dalam rangka menolak bencana dari Allah, maka sesungguhnya orang tersebut tidak berpijak dengan benar sesuai SifatNya. Kenapa demikian?Karena betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan (Lillaahi Ta'ala), tetapi demi yang lain, kepentingan duniawi, naiknya jabatan, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa. Apakah Allah Ta'ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi laranganNya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu? Bukankah kita beribadah karena kita harus melakukan atau menyambut sifat RububiyahNya melalui sifat Ubudiyah kita? Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dariNya, bersamaNya, menuju kepadaNya? Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah dan laranganNya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka? Bukankah Rasulullah saw, mengkhabarkan, "Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja." Dalam kitab Zabur Allah berfirman, "Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembahKu karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, aku tidak pantas untuk ditaati?" Suatu hari Junaid Al-Baghdady dibangunkan oleh pamannya sekaligus gurunya, Sary as-Saqathy. "Ada apa paman?" "Aku melihat seakan-akan aku ada dihadapan Allah dan Dia berkata kepada saya.Wahai Sary, Aku menciptakan makhluk mereka merasa mencintaiKu. Begitu Aku menciptakan dunia, mereka lari semua dariKu dan tinggal sepuluh persen. Lalu Aku

Serial Al-Hikam
48

menciptakan syurga, sisa makhluk itu pun lari semua (ke syurga), tinggal satu persen saja. Lalu Aku memberikan cobaan kepada mereka ini, mereka pun lari semua dariKu tinggal 0,9 persen. Aku bicara pada makhlukKu yang tersisa itu yang masih bersamaKu. "Bukan dunia yang kalian kehendaki, juga bukan syurga yang kalian inginkan, juga bukan neraka yang membuat kalian lari, lantas apa yang kalian mau?" "Engkau lebih Tahu apa yang kami mau" jawab mereka. "Aku hendak memnindihkan bencana cobaan pada kalian sebanyak nafas kalian, yang bisa menghancurkan gunung-gunung, apakah kalian masih bersabar?" TanyaKu pada mereka. Dan mereka pun menjawab, "Manakala Engkau Sendiri Yang memberi cobaan, lakukanlah sekehendakMu." Mereka itulah hamba-hambaKu yang sebenarnya. Semua ini jadi renungan kita agar dalam setiap niat dan motivasi ibadah kita agar semata hanya menuju Allah, Lillahi Ta'ala, agar kitaterbebas dari penjara kemakhlukan, dan menyatu dalam Musyahadah denganNya. Ikhlas, adalah ruh dari seluruh ibadah kita. Bukan yang lainnya.

Serial Al-Hikam
49

HUSNUDZON KEPADA ALLAH

Jika saja anda tidak mampu berbaik sangka (husnudzon) kepada Allah melalui kemahaindahan sifat-sifatNya, maka berbaiksangkalah kepada Allah karena adanya anugerah muamalah Allah yang menyertai anda. Bukankah Allah telah mengembalikan diri anda, melainkan pada kebajikan? Dan bukankah Allah telah melimpahkan kepada anda , melalui pintu anugerahNya? Husnudzon atau berbaik sangka kepada Allah, merupakan salah satu dasar utama kita membangun hubungan dengan Allah Taala. Banyak hamba-hamba Allah yang menggugat Allah atas taqdir yang diterima dengan rasa pahit, lalu ia menggedor-gedor langitNya, agar dibuka pintu anugerah yang sesuai dengan selera si hamba ini. Tetapi Ibnu Athaillah as-Sakandaru begitu jeli memandang soal Husnudzon kepada Allah ini, karena banyak orang yang mengalami kesulitan-kesulitan psikhologis ketika harus berbaik sangka kepada Allah terutama jika si hamba Allah ini tertimba takdir yang dirasakan tidak sesuai dengan keinginannya. Di sinilah kita harus belajar Husnudzon kepada Allah melalui sifat kemaaindahannya atas semua yang telah dilimpahkan kepada kita. Ketika seseorang terhalang untuk meraih apa yang diinginkannya, lalu terganjal di sana, ia protes kepada Allah. Protes ini muncul semata karena si hamba tidak bisa melihat hikmah dan keindahan Sifat Allah yang menyertai kegagalan itu. Padahal kegagalan itu adalah pemberian yang luar biasa, jika kita bisa memahaminya. Namun untuk memahaminya juga tidak mudah. Oleh sebab itu, si hamba diarahkan, jika gagal memahami kemahaindahan sifat Allah, minimal ia harus memahami melalui husnudzonnya kepada Allah atas anugerah yang selama ini dilimpahkan kepada hamba melalui amaliyah ibadahnya. Bahwa seorang hamba bisa beribadah, bisa berbuat baik, itu semua tidak lepas dari anugerah Allah. Tanpa anugerahNya, kita tidak bisa bekerjasama dengan Allah Taala. Bahkan Ibnu Athaillah menegaskan, bahwa semua yang terjadi ini, senantiasa kembali demi kebajikan kita semua. , dan segala yang berinteraksi dengan seluruh kehidupan kita sesungguhnya adalah

Serial Al-Hikam
50

anugerah

Ilahi

semata.

Kalau kita renungkan sejenak: Kita ini ada di dunia ini karena Dia, dank arena kebaikan dan anugerahNya pula. Kita diwujudkan dari situasi dan kondisi tidak ada, lalu menjadi ada. Kemudian allah masih terus melimpahkan kita dengan kemuliaan, kenikmatan, dan kita dijadikan sebagai hamba beriman. Bahkan harus kita syukuri kita dijadikan sebagai manusia. Coba, seandainya kita ditakdirkn jadi binatang atau batu. Kategori manusia berhusnudzon kepada Allah itu ada tiga: Pertama, Husnudzon keindahan SifatNya. kepada Allah karena keagungan dan

Kedua, Husnudzon kepada Allah karena IhsanNya, atau kebajikanNya. Ketigam, Husnudzon kepada Allah karena dua-duanya. Dan perilaku jiwa demikian ini, lebih sempurna dari kedua hal di atas. Karena itu Rabiah Adawiyah sampai bersyair: Cintaku kepadaMu terbagi dua Cinta Asmara, dan Cinta karena Engkau layak Dicinta Cinta Asmaraku padaMu, adalah kesibukanku mengingtatMu Dan mengabaikan hatiku dari selain DiriMu. Sedang Cinta yang Engkau layak Dicinta Adalah tersingkapnya tiraiMu untukku Hingga aku terus memandangmu Lalu tak ada puja di sana Tak ada pula di sini bagiku Tetapi hanya kepadaMu Puja itu Di sana Dan disini. Indah nian kata Rabiah. Semua itu karena Husnudzonnya kepada KekasihNya. Sebab apa saja yang dipandang dari kehidupan ini, tidak lain adah rasa CintaNya, Anugerah Kasih SayangNya kepadanya. Apa saja, dan dimana saja.

Serial Al-Hikam
51

HIDUP KOK MUTER-MUTER

Hijrahlah Kepada Allah dan RasulNya Janganlah engkau berjalan dari satu alam ke alam lain, sehingga seperti binatang himar yang berputar, mengitari gilingan. Tempat ia berangkat adalah tempat yang ia tuju. Namun berangkatlah dari satu alam menuju pencipta alam, : (Dan kepada Tuhanmulah tempat tujuan akhir). Renungkan sabda Rasulullah SAW, Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Siapa yang hijrahnya demi dunia, ia akan meraihnya, atau kepada wanita, ia dapat menikahinya. Hijrah seseorang tergantung apa yang dijadikan tujuan hijrahnya. Pahamilah sabda Nabi itu, bahwa hijrah itu tergantung apa yang dijadikan tujuan hijrahnya. Renungilah persoalan ini, jika anda punya pemahaman yang benar. Tidak ada kehidupan yang sia-sia, ibadah yang hampa, melainkan jika anda berjalan dari alam ke alam lain, sama sekali tidak menuju kepada Pencipta alam semesta. Kenapa diibaratkan pada himar itu? Sebab yang dicari himar tidak lebih dari upahnya, yaitu bisa makan dan minum dari tuannya. Apakah kita beribadah juga hanya mencari upah dari Allah? Bukan menuju kepada Allah dan menghadap kepadaNya? Fakta menunjukkan mayoritas orang beribadah kepada Allah, bukan demi dan menuju Allah, tetapi demi kepentingan dirinya, demi kepentingan dunianya, bahkan demi akhirat. Padahal demi diri, demi dunia dan demi akhirat, semuanya itu termasuk alam, yaitu ciptaan Allah Taala. Jika demikian kita akan mengalami kesulitan Liqa Allah (bertemu allah), karena kita tidak menuju kepadaNya. Mestinya kita menyadari bahwa kita ini berasal dari Allah, dan kemana lagi kalau bukan menuju kepada Allah? Hikmah ini sungguh menegur kita. Betapa banyak yang kita lakukan atas nama Allah, atas nama agama, atas nama perjuangan, tetapi tidak tertuju kepada Allah, namun demi kepentingan hawa nafsu kita sendiri. Seluruh ubudiyah kita harus kita hijrahkan kepada Allah dan RasulNya. Kepada Allahlah orientasi amal ibadah kita, dengan cara

Serial Al-Hikam
52

mengikuti jejak KekasihNya itu.

Rasulullah

SAW,

demi

cintaNya

dan

cinta

Segala hal selain Allah dan RasulNya sungguh sia-sia dan hampa. Selama ini barangkali ada ketakutan dan kekawatiran jika orientasi anda adalah Allah dan RasulNya, kemudian anda kehilangan pekerjaan dan rizki Allah. Padahal sebaliknya, jika kita kerja, berbuat apa saja, demi Allah dan membela Rasulullah SAW, justru akan terbuka pintu rizkiNya. Namun jangan seperti suatu gerakan yang membela Allah dan RasulNya, tetapi ujungnya adalah sikap-sikap radikal dan jauh dari orintasi jiwa yang menghadap Allah. Tetapi orientasinya menang, bangga, dan kesombongan yang penuh arogan,. Justru ia semakin jauh dari Allah, walau pun berpakaian, seakan-akan seperti Ahlullah, ahli ibadah. Manusia yang bisa berhijrah kepada Allah, adalah manusia yang pergi menuju CahayaNya. Bukan kembali ke alam kegelapan dunia. Manusia inilah yang kelak bisa memandang dunia dengan kecamata Ilahiyah, bukan dengan kacamata dunia yang gelap.

Serial Al-Hikam
53

CARILAH KEMULIAAN YANG TAK SIRNA

"Apabila dirimu ingin meraih kemuliaan yang tak pernah sirna, maka janganlah berusaha mendapatkan kemuliaan melalui kemuliaan yang sirna." Syeikh Zarruq menegaskan, setiap kemuliaan di dunia ini sesungguhnya fana dan sirna. Sebaliknya sebagaimana dikatakan Ibnu Athaillah dalam kitabnya At-Tanwir, "Jika anda meraih kemuliaan bersama Allah maka abadilah kemuliaanmu. Tetapi jika anda meraih tanpa Allah, tiada abadi atas kemuliaanmu." Imam Al-Ghazali dalam statemennya menyebutkan bahwa Allah swt mengecam dunia ini 115 kali lebih dalam Al-Qur'an. Perburuan duniawi begitu kuat di alam modern dewasa ini, dan hampir seluruh aktivitas peradaban dunia diarahkan pada perburuan meraih puncak global: kekuasaan duniawi, kemuliaan duniawi, prestasi duniawi, yang secara keseluruhan akan sirna. Karena itu pasti yang serba duniawi tidak abadi, kemuliaannya pun sirna. Lalu alibi apalagi yang harus kita ajukan bagi sebuah kemuliaan yang tak abadi? Peristiwa-peristiwa bencana alam, peristiwa perang, peristiwa persaingan global, bahkan pada tingkat lokal, semacam Pilkada, Pilkades, Pemilu, pun sangat tidak tampak unsur-unsur Ukhrowinya, kecuali hanya memanfaatkan jargon-jargon akhirat untuk melegitimasi kepentingan duniawi. Cobalah anda tengok diri anda dari lompatan waktu di akhirat. Lihat diri anda sedang menelusuri jalan-jalan dunia, lorong-lorong pengap yang menyesakkan dada anda. Lihatlah diri anda sedang mengais sampah, mengendus-endus tumpukan sampah tidak ubahnya seperti anjing yang meraih sisa-sisa. Dimana hatimu ketika itu? Dimana jiwa bersama Tuhanmu ketika itu? Dimana jatidirimu saat-saat seperti itu? Apa yang memperdayaimu hingga dirimu durhaka pada Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Semestinya jiwamu, hatimu, ruhmu berada di singgasana kemuliaan bersama Allah, di Istana Allah, di lembah-lembah Malakut dan mengarungi Lautan Jabarut. Semestinya hatimu berada dalam Majlis bersama Rasul saw, para sahabat, para Sufi agung, para Ulama saleh, dalam limpahan

Serial Al-Hikam
54

Cahaya dan pencerahan. Semestinya pula dunia ini hanyalah wilayah dimana kita menjalankan perintah-perintahNya, menjauhi laranganNya, memancarkan peradabanNya, mengekspresikan kekhalifahanNya, dalam Khoiro Ummah (sebaik-baik ummat) di muka bumi. Dunia adalah limbah paling gelap dan paling kotor dari kemahklukan ini, dan di sinilah justru kita diuji, disempurnakan, dikokohkan agar bisa dan siap menghadap kepadaNya, dengan hati dan jiwa.

Serial Al-Hikam
55

BEDA HARAPAN BEDA KHAYALAN

Harapan itu adalah suatu tindakan yang harus disertai amal. Jika tidak ada amaliyah, harapan berubah menjadi khayalan. Banyak orang berharap mendapatkan anugerah Allah. Banyak pula yang berharap tetapi tidak disertai tindakan nyata dalam amliyah sehari-hari. Lalu harapan tinggal jadi khayalan, atau sekadar berharap-harap. Tamanny atau khayalan semu hanyalah mimpi yang berlebihan dari keinginan hawa nafsu. Karena itu khayalan panjang ini sangat berbahaya bagi pertumbuhan kepribadian manusia. Apa pun alasannya, menyeret manusia pada ambisi dan mimpi, hanya akan membuat manusia menggerakkan hasratnya untuk melambung tinggi dan berakibat pada aktivitas yang emosional dan berbau ambisi nafsu. Termasuk dalam menjalankan dan mengharapkan kebajikan. Sesuatu kebaikan pun jika disertai oleh dorongan ambisi nafsu, akan kehilangan berkahnya, manakala ia berhasil mencapainya. Dikawatirkan seseorang setelah berhasil malah jauh dari Allah Ta'ala. Tetapi perjuangan yang dijalankan dengan ketulusan dan keikhlasan, walau pun tidak berhasil, sesungguhnya merupakan nilai agung di Mata Allah. Al-Hasan Ra menegaskan, "Wahai manusia takutlah kalian pada imajinasi khayalan ini, karena imajinasi itu adalah wadahnya syetan, dimana ia bersoleh di dalamnya. Maka demi Allah, tak seorang pun mendapatkan kebaikan dari Allah melalui khayalan imajinasi, baik dunia maupun akhirat." Al-Hasan juga menegaskan, "Banyak kaum yang mendapatkan inspirasi harapan ampunan dari Allah sampai ia mati, padahal ia tidak pernah berbuat kebajikan, sembari beralibi, "Aku berhusnudzon kepada Tuhanku". Ia dusta. Karena jika ia berhusnudzon kepada Allah pasti ia berbuat kebajikan." Lalu beliau membacakan ayat: Dan itulah sangkaanmu yang kau sangkakan pada Tuhanmu yang kau sangka membuatmu hancur, lalu kalian menjadi orang-orang yang merugi." (Fushilat 23). Ma'ruf al-Karkhy mengatakan, "Mencari syurga tanpa amal, adalah dosa. Dan berharap syafaat tanpa ragam dari aktivitas amaliyah adalah tipudaya. Mengharapkan rahmat Allah namun disertai maksiat adalah ketololan dan kebodohan."

Serial Al-Hikam
56

Serial Al-Hikam
57

BANGKIT DIBALIK KEGELISAHAN

Rasa susah atas hilangnya ketaatan kepada Allah dengan tidak disertai bangkit kembali kepada Allah, termasuk tanda-tanda tipudaya. Rasa susah adalah tersempitnya hati karena kehilangan sesuatu yang kita cintai, atau rasa takut terhadap datangnya hal-hal yang kita benci yang menimbulkan rasa gelisah. Seluruh ketakutan dan kekawatiran bahkan kegelisahan itu jika menumbuhkan kebangkitan diri menuju Allah berarti memiliki efek postif dan baik. Sebaliknya jika tidak, bahkan menikmati kegelisahan dan romantisme atas keputusasaan, justru berubah buruk, karena terpedaya oleh tipudaya nafsunya itu sendiri. Banyak orang yang mengalami krisis kejiwaan membuat dirinya tertimpa kemalasan, kejenuhan beribadah, dengan sejumlah alasan yang diungkapkan oleh nafsunya sendiri. Dan kegelisahan itu bisa menimbulkan putus asa karena merasa apa yang muncul itu dari dirinya, manakala tidak dikembalikan kepada Allah. Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, "Tangis itu bukanlah airmata yang meleleh, tetapi tangis sesungguhnya adalah meninggalkan dan melupakan perkara yang ditangisi." Berarti seseorang harus tetap menjaga semangat dan stamina bangkit kepada Allah Ta'ala. Hal demikian juga mengandung pelajaran bagi orang yang kehilangan waktu-waktu taatnya, kehilangan perbuatan baiknya, jangan sampai terjerumus dalam penyesalan yang ekstrim yang mengarah pada kegelisahan, lalu ia kehilangan harapan kepada Allah. Jika itu terjadi berarti kita telah masuk ke lembah tipudaya (ghurur). Sebagaimana di awal hikmah Ibnu Athaillah disebutkan, "Tandatanda seseorang masih mengandalkan amalnya, adalah jika orang itu berbuat salah atau dosa, maka harapannya kepada Allah berkurang. Munculnya harapan yang minim bisa disebabkan karena perasaan bersalah yang berlebihan, menyalahkan diri sendiri berlebihan, lalu merasa tidak pantas lagi menghadap Allah. Rasa tidak pantas menimbulkan semangat turun, lalu lambat laun malah jauh dari

Serial Al-Hikam
58

Allah.

Serial Al-Hikam
59

APA YANG DICARI PARA 'ARIFUN?

Tujuan pencarian para 'Arifun dari Allah, adalah benar dalam 'Ubudiyah dan menegakkan Hak-hak Rububiyah. Itulah tujuan utama kaum yang telah meraih ma'rifatullah, yakni agar kehambaannya berada di jalur yang benar serta upayanya adalah menegakkan Hak-hak Rububiyah dalam dirinya. Tujuan kaum Arifun, bukan agar mendapatkan rahasia-rahasia Allah, bukan ingin meraih karomah demi karomah, bukan ingin punya kemampuan linuwih. Justru orang yang ingin mencari semuanya itu, malah terlempar dari hamparan ma'rifatullah, terjebak dalam lapisan-lapisan hijab. Sebagaimana disebutkan bahwa Ubudiyah atau kehambaan adalah mewujudkan rasa fakir kepada Allah, rasa hina di hadapanNya, rasa tak kuasa dan rasa lemah, dan aturan-aturan ubudiyah itu benarbenar bisa diwujudkan. Sebab puncak dari Ma'rifatullah adalah hamba. Dan kesadaran akan kehambaan adalah tugas menjadi hamba yang benar, lahir maupun bathin. Kelak di belakang akan kita jumpai mengenai proses perjalanan, dimana seorang hamba pada awalnya fana' lalu apa pun tidak tampak termasuk dirinya sirna, semakin sirna semakin terhanguskan. Tetapi ketika meraih tahap paripurna, justru semakin fana, malah semakin baqo', semakin baqo malah semakin fana', semakin sadar malah semakin terhanguskan, semakin tersirnakan semakin ada dalam baqo'Nya. Orientasi pencapaian Ubudiyah dan penegakan hak Rububiyah (Ketuhanan) itu berkisar pada tiga hal: 1. Semangat bergegas menegakkan hak-hak tersebut, 2. Jiwanya berpaling dari segala hal selain Allah (makhluk) 3. Pasrah total di bawah berlakunya aturan-aturan takdir dan hukum-hukum Allah. Dengan kata lain ia sangat keras perjuangannya meraih ta'at, dan jiwanya merasa cukup bersamaNya. Hal demikian juga bisa kita lihat dalam peristiwa Isro' dan Mi'roj, yaitu ketika Rasulullah saw, bertemu Allah, justru harus turun ke dunia, untuk mewujudkan Hak-hak Rububiyahnya Allah di semesta raya, dengan membawa tugas Taklifiyah, dalam rangka menyempurnakan umatnya.

Serial Al-Hikam
60

ANTARA HAMBATAN DAN ANUGERAH

Pemberian dari makhluk itu bisa merupakan sedangkan halangan dari Allah itu adalah anugerah.

penghalang,

Kenapa demikian? Karena halangan dari Allah justru mendorong seseorang untuk kembali cepat menuju kepadaNya dan terus mengabadikan diri di hadapanNya, disamping memberikan peluang ikhtiar bagi diri anda. Karena mana mungkin Dia menghalangimu, sedangkan Dia tidak pernah pelit, tidak butuh apa-apa, dan selalu Ada? Bahwa Dia menghalangimu semata karena kasih sayang-Nya kepadamu. Karena pemberian dari-Nya itulah pemberian yang sesungguhnya dan terhalangnya keinginanmu itulah kenyataan dari anugerah pemberian-Nya. Pandangan ini hanya bisa dimengerti oleh orang yang memahamiNya. Tidak ada yang memahami kecuali orang yang benar hatinya. Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby mengatakan, "Apabila Allah menghalangimu, maka itulah pemberian-Nya. Dan manakala Allah memberi sesuatu padamu, maka itulah halangan-Nya. Maka pilihlah untuk tidak mengambil." Maksudnya jika pemberian itu justru menghalangimu dari Allah maka itu bukan pemberian yang hakiki, karena itu harus dihindari. Sedangkan kata-kata Ibnu Athaillah, bahwa pemberian dari makhluk itu dinilai sebagai penghalang, menurut Syeikh Zarruq karena tiga alasan : 1. Terjadinya ketergantungan dengan makhluk. Seorang bijak berkata, "Sabar terhadap ketiadaan itu lebih mudah ketimbang orang yang tergantung dengan anugerah orang." 2. Lebih berpihak kepada makhluk dan merasa senang dengan pemberian makhluk (bukan pemberian Allah). Manakala seseorang mulai bergantung pada makhluk, itulah awal dari bencana penjauhan dirimu dengan Allah Ta'ala. Na'udzubillah. 3. Lebih banyak bersibuk ria dengan mereka dengan asumsi adanya rasa selamat manakala bergantung dengan mereka. Si bijak berkata, "Harga diri yang bersih itu lebih utama ketimbang kesenangan yang berbuntut dibaliknya." Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily menegaskan, "Hendaknya lari dari

Serial Al-Hikam
61

kebaikan sesama itu lebih anda utamakan dibanding lari dari keburukan mereka. Sebab kebaikan mereka itu bisa menimpa hatimu, sementara keburukan mereka hanya menimpa badanmu. Musuh yang bisa mengembalikan dirimu kepada Allah itu lebih baik ketimbang sahabat yang menghalangimu menuju Allah Ta'ala." Sayyidina Ali Karmomallahu Wajhah mengatakan, "Jangan jadikan seorang pemberi nikmat antara dirimu dengan Allah, sebab jika engkau mengukur nikmat selain dari Allah berarti engkau terpuruk."

Serial Al-Hikam
62

RENUNGAN AWAL ( SUFINEWS)


Lewat sebuah Hadits Qudsi Allah mengajak hamba-Nya berdialog Hamba-Ku, Aku haramkan aniaya atas Diri-Ku Dan Kujadikan ia larangan bagimu Maka, janganlah saling menganiaya Hamba-Ku, Setiap dari kalian akan tersesat Kecuali mereka yang Kuberi petunjuk Maka mintalah bimbingan kepadaKu Pasti Ku bimbing Hamba-Ku, Setiap dari kalian tetap akan lapar Kecuali mereka yang Kuberi rezeki Maka mintalah nafkah kepada-Ku Pasti Kupenuhi Hamba-Ku, Setiap dari kalian adalah telanjang Kecuali orang yang Ku sandangi Maka mintalah pakaian kepada-Ku Pasti Ku cukupi Hamba-Ku, Tak ada artinya bagi-Ku Perilaku baik dan burukmu Maka berbuatlah sesukamu Hamba-Ku, Jika saja seluruh dari sesamamu Semenjak makhluk pertama hingga generasi paling purna Baik jin maupun manusia Semuanya bertakwa dengan sepenuh jiwa Laksana jiwa orang yang paling suci di antaramu Sungguh sedikit pun tidak menambahi Kemegah-agungan istana-Ku Dan kalaupun semuanya durhaka Laksana jiwa orang yang paling durjana di antaramu Sungguh sedikit pun takkan mempengaruhi Kemegahan istana-Ku Dan seandainya semuanya berdiri menyatu Di atas sebongkah batu Kemudian berdoa dan meminta Pasti akan Kupenuhi satu persatu pintanya Dan sungguh semua itu Takkan mengurangi sedikit pun apa yang ada pada-Ku Melainkan hanya bagai air yang menempel pada peniti Yang dientas dari samudera Hamba-Ku, Adanya dirimu hanya bagi dirimu Dan semua bergantung atas perbuatanmu Aku berikan kesempatan Dan nantinya Ku anugerahi balasan Siapa pun nantinya yang memperoleh kebaikan Hendaklah ia berterima kasih dan memuji Tuhan Dan yang menemukan keburukan Janganlah mengeluh dan menyalahkan Kecuali pada dirinya sendiri Rasulullah saw. bersabda: Orang-orang yang selalu menyayangi Akan disayang Maha Penyayang Maka, sayangilah penghuni bumi

Serial Al-Hikam
63 Niscaya engkau akan disayang penduduk langit

You might also like