You are on page 1of 5

1

PIDATO KETUA UMUM DPP PERADIN RAPAT KERJA NASIONAL PERSATUAN ADVOKAT INDONESIA Tangerang, 11-12 November 2011

QUO VADIS PROFESI ADVOKAT DI INDONESIA


I. PROFESI ADVOKAT DAN (LEMBAGA) BANTUAN HUKUM A. Periode Awal Kekuasaan Kehakiman Dalam lintasan sejarahnya, profesi advokat bukanlah suatu profesi yang lahir dari kultur masyarakat di Indonesia secara genuine melainkan suatu profesi yang terlahir berdasarkan proses transplantasi hukum sebagai konsekuensi yang harus diterima (taken for granted) dari pemerintah kolonial dengan asas konkordansi dan ketunggalan hukum (een heidsbeginsel) yang dianut dalam politik hukumnya. Advokat sebagai suatu profesi dalam sistem peradilan di Indonesia pertama ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (Reglement op de Rechterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (RO) Staatsblad 1847 No. 23 jo. Staatsblad 1848 No. 57) seperti disebutkan dalam Pasal 185 Bab VI yaitu Para Advokat sekaligus sebagai Pengacara. Sifat dari pemberian jasa dan pekerjaan Advokat ditetapkan dalam peraturan mengenai Hukum Acara Perdata (Reglement of de Burgerlijke Rechtsvordering, Rv) dan Hukum Acara Pidana (Reglement of de Strafvordering, Sv). Dalam profesi Advokat melekat kewajiban untuk memberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma (prodeo) dan hal ini sudah terlihat di dalam ketentuan RO yang menegaskan bahwa Advokat harus memberikan kewajiban bantuan hukum cuma-cuma atau setengah dari honorariumnya kepada mereka yang telah memperoleh ijin untuk mengajukan perkara di muka pengadilan. Ketentuan yang mengatur profesi Advokat dalam RO inilah yang diidentifikasi oleh Adnan buyung Nasution dalam paper-nya yang dipresentasikan pada forum First International on Legal Aid and Legal Service di London tahun 1976 sebagai ketentuan yang pertama kali mengatur tentang bantuan hukum di Indonesia dalam arti yang formil. Dengan demikian tidak mengherankan jika pengaturan mengenai profesi advokat selalu diikuti adanya kewajiban prodeo seperti yang dapat disebutkan dalam ketentuan peraturan lainnya yang tercatat sebelum masa kemerdekaan sebagai berikut : 1. Staatsblad Tahun 1847 Nomor 40 tentang Reglement op de Rechtsvordering (RV), dalam peradilan khusus golongan Eropa (Raad van Justitie) ditentukan bahwa para pihak harus diwakili oleh seorang advokat atau procureur. 2. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3 ditentukan bahwa, orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan. 3. Staatsblad Tahun 1926 Nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan Bantuan Hukum, ditentukan bahwa, pengawasan terhadap orang-orang yang memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan. 4. Staatsblad Tahun 1927 Nomor 496 tentang Regeling van de bijstaan en vertegenwoordiging van partijen in burgerlijke zaken voor de landraden,

2
mengatur tentang penasehat hukum yang disebut zaakwaarnemers atau pada masa itu dikenal dengan sebutan pokrol. 5. Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa, Jika seseorang dituduh bersalah melakukan sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka jaksa menanyakan kepadanya, apakah ia berkehendak pada sidang pengadilan dibantu oleh seorang sarjana hukum atau ahli hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa, Tiap-tiap orang yang tersangka berhak mempertahankan dirinya pada sidang dengan bantuan seorang pembela. 6. Staatsblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB (Reglemen Indonesia yang diperbaharui) Pasal 123, Bilamana dikehendaki, kedua belah fihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa teristimewa, kecuali kalau yang memberi kuasa sendiri hadir. Pengaturan profesi advokat pada masa kemerdekaan di Indonesia yakni sebelum dimulainya orde reformasi kurang mendapat perhatian, hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya istilah advokat atau istilah lain yang sepadan dimasukkan dalam UUD 1945 maupun UUD RIS 1949, hanya yang disebutkan dalam ketentuan UUDS 1950 pada Pasal 7 Bagian V tentang HakHak Asasi Manusia ayat 4 bahwa, setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu. Selain profesi advokat, pada masa setelah kemerdekaan juga dikenal adanya istilah Pokrol atau yang sering disebut dalam istilah Bahasa Inggris bush lawyer yaitu mereka yang tidak berlatar pendidikan hukum namun setelah memperoleh pendidikan praktek hukum seperti; Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Pidana, diberikan izin pengadilan untuk memberikan nasehat hukum atau melakukan pem-belaan bagi pencari keadilan di hadapan pengadilan. Oleh karena dalam prakteknya pokrol ini juga bertindak selayaknya profesi Advokat maka Menteri Kehakiman kala itu menerbitkan suatu peraturan dengan tujuan penertiban dalam pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh Pokrol yaitu Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tentang Pokrol. Merebaknya kegiatan Pokrol di lingkungan peradilan ini merupakan implikasi pengaturan bantuan hukum yang ditegaskan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 35 bahwa, Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan adanya kenyataan yang tak dapat dipungkiri terkait jumlah Penasehat Hukum di seluruh Indonesia yang tercatat masih sangat sedikit berdasarkan hasil Rekapitulasi Menteri Kehakiman vide lampiran Surat Nomor M.Kp.04.13-374 Perihal Pengangkatan Penasehat Hukum untuk wilayah hukum Pengadilan Tinggi Bandung yang hanya berjumlah 126 orang saja yang telah diangkat1. Hal lain yang mendasari keberadaan profesi Pokrol tidak lain karena prosedur beracara (onderzoek) yang berlaku di pengadilan tidak menganut adanya keharusan didampingi atau diwakili oleh Advokat atau Penasehat Hukum (verplichte procureurstelling), akan tetapi siapa saja yang mampu dan terampil memberikan bantuan hukum dapat diperkenankan2 termasuk penunjukkan
1

R. Rambe dan Teguh Trimulyanto, Himpunan Perundang-Undangan Peraturan Advokat Pengacara, Cetakan Pertama Tahun 1991, hlm. 39 2 Periksa pada Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), Hukum Acara Perdata (Reglemen Acara Perdata Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1947 No. 52 jo. 1849 No. 63 dan Het Herziene Indonesisch Reglement/H.I.R. Staatsblad 1941 No. 44, Regelemen Hukum Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Reglement Tot Regeling Van Het Madura (RBg.) Staatsblad 1927 No. 227.

3
kandidat jurusan Hukum dapat diperkenankan untuk menjadi pembela dalam persidangan berdasar Pasal 250 ayat (5) H.I.R. Bahkan Calon Hakim dalam lingkungan peradilan pun dapat menjadi kuasa dari pihak yang berperkara dengan ketentuan pembelaan tersebut bukan merupakan mata pencaharian pokok sehari-hari (beroep) dan tidak sebagai Panitera Pengganti dalam perkara yang bersangkutan3. Oleh karena itu profesi Pokrol inilah (dan bukannya profesi Advokat) sebagaimana diidentifikasi oleh (Alm) Daniel S. Lev dalam tulisannya Bush Lawyers in Indonesia, Stratification, Representation and Brokerage yang sebenarnya banyak berperan pada periode awal lahirnya kekuasaan kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga legislatif dan eksekutif. Selain itu dapat ditunjukkan bahwa peraturan pengawasan terhadap Pokrol yaitu Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I. dan Menteri Agama R.I. Nomor KMA/003/SK/I/1983 dan Nomor 3 Tahun 1983 lebih dulu ada ketimbang peraturan pengawasan terhadap Penasehat Hukum yaitu Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I. dan Menteri Kehakiman R.I. Nomor KMA/005/ SKB/VII/1987 dan Nomor M.03-PR.08.05 Tahun 19874. Peraturan pengawasan terhadap Penasehat Hukum diatas diadakan untuk mengakomodir ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bahwa, Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Penasihat Hukum dan Notaris namun ketentuan tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 dan diberikan kewenangannya kepada Organisasi Advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 12 ayat 1 bahwa, Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat. B. Periode Kemandirian Profesi Advokat Perjuangan PERADIN agar profesi advokat ini diatur dalam suatu undangundang tersendiri (lex specialis) dengan tujuan untuk menjadi suatu profesi yang benar-benar mandiri bersama dengan pentingnya pengaturan lembaga bantuan hukum merupakan usulan yang dibahas dalam Kongres PERADIN yang ke III tahun 1970 yaitu pada masa kepemimpinan Lukman Wiriadinata, SH, usulan mana telah menjadi kesimpulan pada Seminar Hukum Nasional III tahun 1974 tentang Peranan Profesi Hukum dalam Pembinaan dan Pembaharun Hukum Nasional bahwa perlu adanya pengaturan bagi Advokat dan Notaris. Sebelumnya dalam Kongres PERADIN yang ke II Tahun 1969, PERADIN Jawa Tengah telah memperkenalkan naskah RUU Profesi Advokat5. Disamping itu absennya kode etik profesi yang mampu mengikat secara materil dan mempunyai sanksi atas pengingkaran janji profesi adalah kelemahan PERADIN pada saat itu sebagai organisasi profesi dan menjadi alasan yang bisa dimengerti (sine ira et studio) mengenai pentingnya pengaturan tentang profesi ini disusun. Keinginan ini makin mendesak dengan adanya pemikiran PERADIN untuk mendirikan Yayasan LBH tingkat Nasional. Lembaga Bantuan Hukum yang kita kenal saat ini dan telah terbentuk di seluruh Provinsi Indonesia merupakan inisiatif PERADIN sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Dewan Pimpinan Pusat PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970 dengan nama Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum (Legal Aid/Public Defender) disingkat LBH, sedangkan sebagai langkah pertamanya (pilot project) adalah yang dikukuhkan di
3

Surat Ketua Mahkamah Agung No. 1902/P/2196/M/1959 Perihal Penunjukkan pembela berdasar Pasal 50 (5) H.I.R. dan Surat Ketua Mahkamah Agung No. m/96/II/97/K/I/1969 Perihal Izin Membela erkara Bagi Lulusan SMKA/SHD yang bukan hakim tertanggal 4 Februari 1969 cc KPN dan PT seluruh Indonesia. (R. Rambe, Op.Cit., hlm. 40-41) 4 R. Rambe, Ibid., hlm. 47-59. 5 P. Wirjanto, Profesi Advokat. Penerbit Alumni 1979, hlm. 41

4
Daerah Khusus Ibukota Jakarta vide Surat Keputusan Gubernur KDH DKI Jakarta tanggal 14 November 1970 No. 1 b.3/1/31/706. Dalam perjalanannya tidaklah berlebihan apabila peran LBH memang sangat signifikan dalam menumbangkan represi kepemimpinan rejim Orde Baru yang kemudian memunculkan tuntutan reformasi di semua aspek melalui pengungkapan berbagai pelanggaran HAM yang terakumulasi sebagai ketidakpuasan masyarakat (social discontentment) terhadap pemerintah, akan tetapi pada hakikatnya LBH itu sendiri merupakan wadah inisiatif professional para advokat yang tergabung di dalam PERADIN untuk mewujudkan tanggung jawab moralnya dalam membela hak asasi manusia dengan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu. Beberapa nama besar dari Pengurus PERADIN yang menjadi anggota Dewan Penyantun dan Penasehat LBH bisa disebutkan diantaranya adalah Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hien, Suardi Tasrief, Harjono Tjitrosoebono dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh senior inilah yang memberi warna profesionalisme dari lembaga yang dibentuk oleh PERADIN yang kemudian menjadi contoh bagi organisasi advokat lainnya untuk secara terbatas menjadikan bantuan hukum cuma-cuma (probono) sebagai tolok ukur keberhasilan program pengabdiannya kepada masyarakat. Lahirnya Undang-Undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 telah memberikan status yang jelas bagi profesi Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri. Selain saat ini Organisasi Advokat sebagai wadah satu-satunya profesi Advokat menjadi terlalu polemik serta menguras energi dan pikiran banyak kalangan, agaknya isu sentral yang justru menjadi salah satu maksud dan tujuan dibentuknya undang-undang ini justru sebaliknya jauh dari perhatian yaitu mengenai kewajiban profesi advokat untuk memberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma ex Pasal 22 Undang-Undang Advokat dan derivasi peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma. II. ALIENASI ADVOKAT DALAM UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM Bantuan hukum pada hakikatnya inheren dengan profesi advokat an sich sehingga kewajiban bantuan hukum yang dipaksakan melalui suatu peraturan perundang-undangan kepada profesi advokat mensiratkan kesan adanya pelimpahan tanggung jawab negara (state obligation) untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat miskin atas keadilan, oleh karena itu dalam prakteknya peraturan pemerintah ini tidak efektif. Ditambah lagi putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 telah menganulir ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Advokat yang mengatur tentang ketentuan pidana bagi seseorang yang bukan advokat memberikan bantuan hukum kepada masyarakat. Putusan tersebut membawa kepada suatu milieu bahwa saat ini siapapun dapat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma tanpa terikat pada kode etik dan sumpah profesi advokat. DPR R.I. melalui Sidang Paripurnanya tanggal 4 Oktober 2011 yang lalu telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum menjadi suatu Undang-Undang. Namun dari materi yang termuat dalam Undang-Undang Bantuan Hukum vis a vis Undang-Undang Advokat, ada hal yang sangat perlu sedini mungkin disikapi, dicermati, dan diamati secara ilmiah berikut dengan implikasi sosio-filosofis-yuridisnya yaitu ditempatkannya profesi advokat bersama dengan profesi lainnya (baca : dosen dan paralegal) sebagai Pemberi Bantuan Hukum dibawah Standar Bantuan Hukum yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
6

Abdurrahman,SH, Aspek-Aspek Bantuan Hukum Di Indonesia, Cendana Press, 1983, Jakarta, hlm. 232 - 233

5
Hal ini jelas mengalienasi eksistensi dan esensi profesi advokat yang memang melekat dalam dirinya kewajiban bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu yang dalam pelaksanaannya tunduk kepada Kode Etik Advokat Indonesia dan Sumpah Profesi. Oleh karena itu setidaknya ada beberapa permasalahan yang harus disikapi dalam RAKERNAS PERADIN 2011 terkait dengan implementasi UndangUndang Bantuan Hukum yaitu : 1. Terkait peran mulianya dalam membela masyarakat yang lemah (pro bono advokat) inkorporasi advokat di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum telah mengalienasi profesi advokat itu sendiri; 2. Pengaturan bantuan hukum di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum berikut derivasi peraturan pelaksananya mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum reservatis reservandis di dalam Pasal 22 Undang-Undang Advokat jo. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Adanya pengaturan materi yang sama di dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda dalam implementasinya akan menimbulkan suatu keadaan disharmonis dan tumpang tindih (over-lapping); 3. Standar Profesi Advokat melalui pendidikan dan ujian sebagai syarat konstitutif yang harus ditempuh bagi calon advokat kehilangan fungsi dan nilai praktisnya dihadapan sertifikasi yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh Pemberi Bantuan Hukum bagi advokat yang akan direkrut menjadi anggota di dalam Undang-Undang Bantuan Hukum; 4. Sumpah Profesi yang dibebankan kepada advokat sebelum menjalankan profesinya di dalam Undang-Undang Advokat menjadi kehilangan makna penghayatannya dalam konteks advokat sebagai anggota Pemberi Bantuan Hukum karena tidak adanya beban sumpah terhadap anggota lainnya dari kalangan paralegal, dosen dan mahasiswa dalam tugas pelayanan bantuan hukumnya. 5. Standar Bantuan Hukum dalam implementasinya akan menjadi standar performance juga bagi advokat yang tergabung sebagai anggota Pemberi Bantuan Hukum. Jika demikian halnya maka akan terjadi ambivalensi stndar profesi bagi advokat dalam tugas pelayanan bantuan hukumnya yaitu Kode Etik Advokat dan Standar Bantuan Hukum. Apakah terhadap keduanya profesi advokat harus tunduk? Pilihan ini tentu membawa implikasi terhadap siapakah yang berwenang menindaknya, Organisasi Advokat atau Menteri sebagai pelaksana Standar Bantuan Hukum? Pokok pikiran diatas menjadi latar belakang yang mendorong kita menyambut Rapat Kerja Nasional Tahun 2011 ini terutama bagi PERADIN, selain RAKERNAS merupakan perintah Kongres yang secara periodik harus diadakan namun agaknya yang menjadikan RAKERNAS kali ini penting adalah dengan berlakunya Undang-Undang Bantuan Hukum bersama perangkat Standar Bantuan Hukum-nya yang ditetapkan oleh Menteri yang implementasinya bersinggungan pula dengan Standar Profesi Advokat harus kita tempatkan PERADIN cq POSBAKUMADIN yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum dari Menteri Hukum dan HAM sebagai salah satu alat bagi usaha pemerataan keadilan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Demikian sambutan RAKERNAS PERADIN 2011, dan Salam Juang PERADIN, Fiat

Justitia Ruat Coelum

You might also like