Professional Documents
Culture Documents
Rifat Khan
1
Pengantar Buku
Alhamdulillah ya, akhirnya buku kumpulan puisi ini kelar juga. Walaupun dengan usaha, kemampuan dan materi sendiri. Saya bersyukur bisa menyelesaikan buku ini. Pada dasarnya semua puisi yang ada dalam buku ini adalah puisi sederhana. Saya sebagai pemula sangat menyadarinya. Sekedar meluangkan hobi menulis dan sebagai catatan kecil saja dan mudah-mudahan untuk berikutnya akan ada buku yang jauh lebih baik dan variatif dari buku ini. Buku kumpulan puisi ini saya beri judul Perempuan Berpayung Hujan. Judul yang lumayan menarik menurut saya. Karena Perempuan dan Hujan adalah hal yang begitu saya sukai. Saya termasuk pengagum hujan dan perempuan. Jika ada yang membenci perempuan, berarti anda termasuk lelaki kurang normal. He. Pabila ada juga yang membenci hujan, mohon mengertilah, karena setiap manusia memiliki kesenangan yang berbeda-beda. Buku kumpulan puisi ini memuat puisi-puisi yang saya yang dibuat dari Tahun 2010 sampai dengan akhir 2011. Sebagian besar puisi dalam buku ini terinspirasi oleh hujan, malam, Ibu dan perempuan. Disamping ada beberapa tema lainnya yang coba diangkat. Terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan atas semua pihak yang secara tidak langsung banyak membantu dalam proses
pembuatannya. Khususnya kepada teman saya Fatih Kudus Jaelani yang banyak memberi masukan atas karya-karya saya. Juga kepada perempuan dari Solong Montong Betok yang banyak menjadi inspirasi dalam puisi saya. Terima kasih banyak dan mohon maaf kalau ada kekurangan. Mari Menulis!!!!
Rifat Khan
Di Ruang Operasi
Dikematian. Aku merindukan senyummu. Merambah lewat jendela atau sela-sela pintu ruang operasi. Yang asing, kau akan kukenali walau mata lama terpejam. Tentang kita ditaman, memetik bunga dan merangkainya berpuluh tahun. Membimbing anak-anak kita belajar membaca dan mengeja iqra. Kutau kau tak pernah mengeluh tentang mereka atau tentangku yang setiap pagi harus kau buatkan kopi manis setengah cangkir. Maaf. Sering marah atau mengeluh kepadamu. Saat kau lupa menyiram kembang atau jarang memberi makan burung kecial yang kutinggal pergi. Dikematian. Kau mungkin tak tau. Baju telah kurapikan dalam lemari. Warisan yang tak sempat kutulis karena memang tak ada. Tapi, anak kita cukup sebagai pertanda. Bahwa kita pernah mengukir cinta dan menyerukannya pada dunia. Ajarkan kepada mereka dan penuhi hatinya dengan Tuhan. Sebab tatkala lupa dan sendiri, mereka akan sadar Tuhan masih menuntun dan menina bobokannya. Dalam kasihNya. Nopember 2011
Menunggu Hujan
Tiga bocah dua lelaki satu perempuan. Aku pernah menyapa dan memandang lekat bola mata mereka. Ya, mereka menunggu hujan dengan doa masing-masing. Bocah pertama, berharap hujan membawa bapaknya yang lima tahun lalu meninggalkannya dalam perut Ibunya. Ia tak menangis dan hanya tertawa menunggunya. Pohon anggur sesaat diterpa gerimis. Bocah kedua menadah tangan dan berdoa. Hujan, Ibuku lama meninggalkanku. Bawa dia kepadaku walau beberapa menit saja. Lantas ia memejamkan mata dan hujan mulai menetes dipipinya. Jalanan mulai basah, sementara bocah ketiga yang satu-satunya perempuan membuka ikat rambutnya dan menari. Seraya hatinya berdoa. Tuhan, aku ingin sebuah boneka. Boneka dengan rambut panjang dan akan kupajang diranjang. Sebagai teman berbagi saat hujan datang disudut kamarku. Nopember 2011
Di Musim Hujan
Matamu akan kukenang. Pada gemerincik hujan atau pada air yang menggenang. Pada daun-daun yang basah dan pada nyanyian kodok seusai hujan. Matamu akan kubaca. Pada sapaan petir dan mendungnya awan, dan pada jalanan basah disepanjang luka. Sebab matamu adalah arah. Aku akan berjalan menujunya dan berhenti berpijak dikelopaknya. Matamu bisa kusebut rindu yang menyala. Yang menggonggong serta memanggil hatiku. Karena dalam matamu, aku melihat diriku. Jauh sebelum kau terlelap dan hidup bersamanya. Nopember 2011
10
Menjelang Maghrib di Bangle. Tuhan menamparku pada bocah yang masih ingusan. rok merah seragam sekolah masih ia kenakan. tampak debu dan keringat dipipi. mulutnya tak henti memakan bakso tusuk harga lima ratus. tak peduli hidup besok akan membuatnya menangis. di bangle, sebelum Joben. burung-burung bernyanyi dengan nada dua perempat. sesekali singgah di atas genteng sekolah. sekolah dasar dengan kelas sederhana dan begitu minim. tak ada halaman dengan bunga-bunga. tak ada ukiran indah dan tembok yang bercat rapi. Berdiam disini. angin seakan berbisik. memaksa tuk menapak lebih jauh lagi tentang seorang Ibu dengan tujuh anak dan suami telah lama membeli sebuah rumah di bawah kamboja. atau seorang kakek tua yang masih menjadi kuli sawah walau kaki dan tangan sudah tak kuat berpegang. kemana anak-anaknya? anak-anak yang harusnya memberi makan dan memberi mimpi indah sebelum ajalnya menjelang. Di Bangle. hidup berwarna hitam putih. hidup sulit dipikul dan terlalu berat untuk ditinggalkan.
11
Kepada Ibu
(Yang Tua dan Lelah) Ibu. diburu waktu jejak kakimu adalah rindu. dalam padang rindang tak bertuan. sejuta hati akan menyebut dan menjunjung tinggi namamu dalam terang dan gersang. dalam mimpi, sayangmu tiada bertepi. membalut sekian juta rindu. kau akan tetap tersenyum dan bertahta di kalbu. Ibu. untaian kata adalah do'a. kau selalu ajarkan itu. detak jantung adalah pujapuja bagi pencipta. itu petuahmu nyata. maka, ketika sore jalanan lengang dan sepi, tatkala pagi hari berganti. sujudmu tak henti mengucap do'a untuk anakmu. ditelapak kakimu ada surga. perkataan yang lama kudengar dalam pelajaran sekolah dan pengalaman nyata. Surga yang ingin kudekap dalam hidupku, hari ini dan nanti. Ibu. saat raga harus lelah dan hati kian gelisah. maka biarkan aku memelukmu dan bersimpuh. menanti belaian dan harum nafasmu seperti berpuluh tahun lalu. tatkala aku sering menangis dan lelap dalam pelukmu. sembari kau mendongeng tentang kancil dan buaya. dongeng yang mengantarku menjadi dewasa. terimakasih Ibu.
12
Nopember 2011
13
14
Muara Kenangan
Kutulis namamu digaris-garis pantai Seiring pasir-pasir berterbangan di Pantai Air Manis Seraya kita menatap ombak Yang sesekali menegur ibu jari dan memberi nyilu pada segenap rindu Entah sejak kapan, aku mulai menitip rindu padamu Sejak pertemuan di Padang berbulan lalu atau sejak ibu masih menggendong dan sesekali mendongeng dengan bibirnya tentang si Kancil dan Buaya Harum tubuhmu masih sama, persis saat kuselipkan setangkai mawar tujuh warna ditelingamu dan dalam-dalam hatimu diawal tahun lalu saat kita terdiam dan memandang Kota Tua diseberang jembatan Siti Nurbaya Ah, biarlah kita terlelap Semenit atau mungkin selamanya Sebab takdir dan jarum jam akan tetap berjalan dan membawa kita kembali ke muara kenangan
2011
15
22 September 2011
16
17
18
7 September 2011
19
Jalan-Jalan Kecil
Kali ini kau masih terdiam dibawah gerimis sesekali mengeringkan ujung rambutmu yang basah kebimbangan menggantung diwajahmu dilema,lebih tepatnya disebut menentukan jalan mana akan kau tempuh kau masih terdiam dipersimpangan itu setelah sekian lama kau berlalu meninggalkan rumah kecil dihatiku rumah sederhana dengan dua kamar tidur dan sebuah teras yang lumayan nyaman disekelilingnya ditumbuhi pohon bonsai dan bunga mawar dengan tujuh warna yang dibelakangnya terdapat danau, dimana ikan-ikan biasa bermain dengan bocah yang masih belum punya nama aku masih duduk dengan rokok dan segelas kopi kali ini aku tak mendekatimu sedikitpun bahkan enggan untuk sekedar menyapa karena aku yakin kau sudah dewasa dan tau kemana akan kau tapakkan langkahmu namun sungguh sedikitpun aku tak menghalangimu jika kelak kau putuskan membalik arah dan menapaki lagi jalan-jalan kecil menuju rumahmu dihatiku 2011
20
21
2011
22
Juli 2011
23
24
Langit disini tidak sama dengan langit di Ternate Terkadang membuatmu rindu akan masakan bunda dan tentang resah manja kakak yang biasa mencurhati Jalan setapak disini tak sama dengan jalan di Ternate Mengantarmu kepada lelaki tua yang kau panggil Bapak Yang telah pergi saat kau masih dalam perut wanita itu Dua hari lalu seorang anak perempuan bertanya Siapa dia lelaki yang sedikit tampan itu Yang masih berlagu walau langit mendung Yang masih tertawa walau bumi termakan usia Apakah dia seorang gila ? atau mugkin dia adalah seorang penyair muda memikirkan gadis tujuh belas tahun cintanya yang dulu yang telah meninggalkannya dalam malam tak berbintang yang telah menjadikannya penyair tanpa hawa diranjang Aku tak tau anakku, Yang pasti dia adalah bayi dua puluh dua tahun lalu Yang senantiasa menangis dan menetek susuku Hingga ia terlelap dan menyebut nama Tuhannya Walau masih mengeja dan sedikit terlupa
13 Oktober 2011
25
Februari, 2011 _Loang Gali : Sebuah daerah di Lombok Timur, Kecamatan Lenek
26
Di Pemakaman
Kita akan mati dalam sekarat dengan kain putih yang dibeli kemarin diiringi zikir dan syafaah untuk Nabi di gank-gank tempat biasa bermain jenazah akan diangkat dan dipayungi jalanan lumpur di Lendang bedurik akan menjadi jalan setapak buat pergi ke pemakaman Kedondong tempat dimana Tuhan sudah menanti dengan kuda putih dan lilin suci dimana Bapak telah ditanam lima tahun lalu disini dan hanya berteman dengan malam dan lirih daun kamboja
September 2011 _Syafaah : Semacam Zikir untuk orang yang baru meninggal _Lendang Bedurik : Daerah di dekat Kota Selong NTB _Kedondong : Nama Pemakaman Umum di Lombok Timur
27
Berteduh di Sembalun
Yang kulihat dimatamu hanya bebukitan Tandus dan hanya tetes-tetes air hujan dipipi Perih memang, kau menanti dengan sepotong roti Amaq yang telah pergi dan Inaq yang selalu menyendiri Bocah kecil sepuluh tahun Tak tau warna seragam sekolah Tak atau bagaimana bentuk huruf A Ia hanya terdiam sepi di pematang sawah Memandang rerumputan dan menangisi Kamar tiga kali tiga mulai sepi dan kau bernyanyi dalam hati sendiri menggerutu tentang Amaq dan Inaq yang melupakanmu
Sembalun, Oktober 2011 _Amaq : Artinya Bapak (Bahasa Sasak) _Inaq : Artinya Ibu (Bahasa Sasak)
28
Perempuan Sasak
Dia berjalan masih mengenakan kebaya berwarna putih dan bermotif bunga-bunga dengan langkah-langkah kecil layaknya perempuan terkadang tersenyum tatkala berpapasan dia adalah perempuan Sasak satu-satunya dia adalah senjata saat bumi masih terjajah dia adalah sebuah batu saat yang lain terkikis bahkan terbuang dan bercampur aroma modern tanpa make-up dan rambut panjang kian terurai dengan sarung cantik melingkar dipinggangnya dia adalah perempuan Sasak satu-satunya ditengah bangunan tinggi, dia masih berjalan menunduk tanpa memamerkan paha atau membusungkan dadanya tanpa peduli ribuan omongan masuk ditelinga ia tetap berjalan membawa sekeranjang buah yang akan dijual pagi-pagi bersama Ibu dan adiknya dia adalah perempuan Sasak satu-satunya
29
18 September 2011
30
September 2011
31
Sajak-Sajak Malam
Aku ingin menunggumu sekali lagi Saat hujan jatuh di depan rumahku Saat air tergenang membasahi tanah dan anak ayam mulai menetaskan telurnya Pada tembok-tembok yang biasa bercerita dan pada angin yang selalu membawa harummu Entah sejak kapan aku mulai menaruh hati Apakah disaat aku menciummu pertama kali Atau tatkala kau mulai berani telanjang dihadapanku Sungguhpun aku tak menemukan rahasia didirimu Aku tau saat lelap malam hidungmu kembang-kempis dan bibir tipismu sesekali menggigil menahan dingin Namun apakah kau tau, Saat kau terlelap, aku tak henti menatapmu dan hatiku bergetar begitu cepatnya Melebihi getaran bibirmu menahan dingin 22 September 2011
32
September 2011
33
6 Agustus 2011
34
September 2011
35
Membisik Malam
Jauh-jauh malam Aku akan mulai menyendiri Melihat wajahmu tak lagi bernyanyi dan tawamu kian menjauh dari hari Kau perempuan dalam perang syarafku Sikapmu dingin dan matamu lama terpejam Aroma mu berganti dengan aroma malam Malam yang sunyi dan tanpa bisik angin Kau tak butuh sebuah ucap atau janji Betapa kenyataan kian jauh dan kau semakin berlari Membuat ku sendiri dalam malam dan tak akan terlelap, sampai shubuh membawaku pergi, dan menyesali aku tak bisa setampan dia dimatamu
3 Oktober 2011
36
Pertanyaan Itu
Disebuah rumah kecil Tinggal seorang kakek Yang biasa bertanya pada dedaunan Dimana Tuhan ? Sambil mencabut jenggotnya satu-satu yang mulai kering bercampur daki dan akupun mulai terbiasa bergumam dan bertanya seperti itu Pada dinding-dinding kamar atau pada daun pintu yang terbuka Lama-lama aku mulai bosan Karena disetiap gank kecil di jalan setapak kerumahku di sudut-sudut jalan menuju Joben atau di setiap pojok kamarku Ia mulai terbiasa menyapaku dan tersenyum kecil menatapku
September 2011
37
2011
38
31 Juli 2011
39
26 Oktober 2011
40
41
42
43
Juli 2011
44
Maret 2011
45
Lelaki Itu
Senja telah menukar ingatannya tentang perempuan satu tahun lalu perempuan hujan dengan mata yang tajam yang sehari-harinya mengukir awan dan menggenggam langit dalam tiap langkahnya yang senantiasa bercerita tentang cintanya dan sesekali menangis lirih di ujung malam namun kali ini lelaki itu terdiam seperti bermain dalam lamunan seakan lupa menghisap rokok yang masih menyala ditangannya dan rambut itu tampaknya sudah tiga minggu tak disisir sejak perempuan itu pergi bersama angin dibalik jendela kamarnya jendela yang lusuh, dan sudah bertahun lamanya tidak dicat jendela yang biasanya mengintip dan menebar senyum perempuan itu yang terkadang membawa aroma mawar yang layu mawar yang dibeli disebuah toko depan pasar lama dan lelaki itu adalah malam malam yang dingin, malam yang gelap malam yang senantiasa mengubur mimpi-mimpi dan malam yang bisa membuat mati dan tak bersisa
2011
46
3 Agustus 2011
47
Kabar di Terminal
ada bayi menangis lagi dalam kantong plastik, dalam bak sampah bayi yang berumur lima hari dengan tai lalat manis di kening bayi yang tak mau diakui bapaknya bayi yang malu dibawa pulang Ibunya tanpa seorang lelaki yang menghamilinya sepuluh bulan lalu Hari ini ada bayi menangis lagi tangisnya begitu perih dan takut sementara seorang nenek memainkan serulingnya berirama tentang cinta dan kesedihan
48
Juli 2011
49
Won
Aku masih saja mengintip hatimu dari balik kaca, luar jendela, balik pintu dan dari apa saja yang bisa membuatmu sedikit saja mengingatku dihatimu setiap halaman hatimu kubaca satu persatu ada sedetik waktu tuk bisa berpadu dan sejurang jarak yang bisa memecah aku begitu hafal semua nyanyianmu dan aku begitu tau sedetil warnamu karena aku diam-diam menaruh hati padamu
20 Oktober 2010
50
Pertanyaan Berulang
dalam irama tak kukenali sebuah melodi merdu menarik hatiku memaksa bertanya tentangmu apakah wajahmu masih semanis dulu ataukah matamu masih seindah dulu atau sudahkah terjamah lelaki itu diam-diam aku mulai mengikuti alurmu sesekali terjatuh namun tak mengapa akan kubalut luka dengan pelepah korma tapi mimpi itu berulang menyapa seorang perempuan hamil dipagi buta seorang bocah kelak nanti memberiku pisau memaksaku segera membunuh ayahnya yang telah menjadikannya anak haram
Juli 2011
51
52
12 Juli 2011
53
Juli 2011
54
Mimpi-Mimpi Pesakitan
berikan padaku tiga atau empat buah kata akan kugubah jadi sajak penuh makna walau kutau takkan mampu menyentuh hatimu mainkan untukku nada-nada dan musik langit akan kugetarkan dunia dengan alunannya namun selalu iramanya tak merdu tanpa senyummu dan ketika bulan masih dalam peraduannya kau bawakan kembang tujuh rupa dan sesaji memaki-maki hatiku yang terlalu dalam memujamu membiarkan gerimis hujan membasahi rambutmu dan membiarkan angin malam mengetuk hatimu sampai kuterbangun dan kau menghilang pasti dalam degup-degup kebingungan hatiku telah menjadi hampa kau tinggal tiada
April 2011
55
56
12 Juni 2011
57
2011
58
59
Juni 2011
60
2011
61
Malam-Malam Pengasingan
lagi-lagi kau harus menelan beberapa butir obat dan bila kau mengingatnya masih bersama lelaki itu lelaki yang begitu tak kau kenal namun begitu menyita perhatianmu beberapa minggu terakhir ini dan perempuan seperti itu layaknya asap yang kau hirup penuh dengan bayangan dan tiada kepastian dan kali ini kau biarkan otak kirimu melayang menyusuri malam, merambah hutan, menangisi takdir memang luka kian dalam dan perempuan itu masih tersenyum melihatmu terbaring mati kian mendambanya
62
2011
63
Melewati Rumahmu
perempuan dengan bibir tipis itu malam ini mengusai penuh hatiku menukar jendela dengan pintu terbuka membelalak mata dan menarik telingaku begitu ia bermain dan menguasai hatiku bau parfumnya masih menyebar disini jejak-jejak kakinya masih tergambar jelas raut redup dan sayu matanya masih mengintip malam ini melewati jalan setapak kerumahnya dan ketika kaki mulai berhenti berjalan Ia suguhkan teh hangat dengan sepiring kwaci dan sebentuk senyum manis yang begitu tipis sampai mimpi tak bisa dibedakan dengan nyata sampai langit tak bisa dilekatkan dengan bintang ia masih saja bermain dan mengotak-atik hatiku sungguh, hanya ingin mengingatnya walau malam sunyi dan langit sepi menapak jalan kerumahmu
64
Melewati Rumahmu 2
dan pada kekasih dan bendungan itu telah kutanamkan hati sedalam lima meter delapan bulan lalu bersama rindu yang tak terkikis oleh musim dan waktu dan air ini masih harum seperti dulu seperti aroma parfummu waktu itu jalan setapak ini selayaknya menunggu jejak-jejak hatiku melewati rumahmu senyummu terasa di setiap langkah ini seperti angin dingin menusuk dinding hati dan kau berdiam tak menanti pagi menawarkan segelas kopi pahit tanpa gula dan pada kekasih dan bendungan itu aku akan menunggu dibalut waktu akan kurawat dan kutanam hatimu selalu dalam bingkai luka dan rinai tawaku
65
2011
66
67
Mei 2011
68
Juni 2011
69
Juni 2011
70
2011
71
72
Perempuan Yang Datang Pagi Ini dengan Alis Tersusun Rapi dan baju Ungu Berseri
Pagi ini tak seperti biasa dia datang dengan tergesa seakan perasaan ini memaksa dan letihpun sungguh tak terasa sementara lelaki itu menunggu resah sang perempuan hanya terlihat pasrah dan aku masih bekerja walau lelah aku mencintainya dengan hati bukan dengan keangkuhan yang sulit dimengerti dan perempuan itu seperti lupa bahwa hati tak bisa dibagi dan hanya bergumam tentang mimpi dan pertigaan hati tapi senyumnya masih manis pagi ini dengan alis mata yang tampak tersusun rapi walau ku tau hatinya mungkin meringis sepi dan bibir tipisnya terlihat kering pucat pasi dan bila kau masih ragu akan semua kenyataan ini mohon jadikan kami sebagai pelipur hati dikala sepi jangan tanamkan cinta yang kemudian melukai hati
31 Mei 2011
73
Perempuan Kedua
masihkah kau mengingatku ketika perempuan itu membelaimu dan meneduhkanmu dengan candanya mengganti hitammu dengan warnanya menenteramkan malammu dengan cintanya masihkah kau menyebut namaku ketika ia menuntun tanganmu mesra menyusuri garis pantai dan menyinggahi surga menghangatkan kaki hingga ujung rambutmu dan membuat satu lingkaran penuh dihatimu masihkah kau mencipta puisi untukku di saat ia mulai berkuasa di otakmu hidung mancung dan bibir tipisnya lekat dimatamu desah nafasnya membalut nafasmu dan mengukir erat hatimu dengan namanya seperti aku mengingatmu sekarang disaat kematian duduk setia menunggu disampingku
29 Mei 2011
74
75
(inspired by : Perempuan cantik yang ngaca di depan warnet, siang 27 Mei 2011)
76
Perempuan Berkacamata
Siapa dia yang datang dengan mata berbinar dan kacamata itu seperti lusuh dan rapuh namun kerap bisa menusuk-nusuk otakku dan sama sekali tak mengurangi indahnya perempuan itu seperti biasa termenung sesekali berdecak, berkata dan mengigau entah kenapa siang ini dia tak biasa seperti ada beban menggantung dalam kepala jarum jam ditangannya beku tak bersuara begitu dalam ia memaknai desah angin seakan lupa jikalau waktu kian belari dan masih saja menyungging senyum dan berkata aku anak kecil dan ingin main boneka senyumnya begitu manis, dan aku suka
Mei 2011
77
Mei 2011
78
Mei 2011
79
19 Mei 2011
80
Dia Marah
Malam ini dia marah menggetar-getarkan meja meronta-ronta memaki mantra meludahi mata dan memberi luka tak biasanya dia marah dengan muka merah dan suara lantang aku takut, kalau dia marah sebab darah masih mendidih, panas sebab perih masih menggores, sakit pejamkan matanya, rapikan bantalnya biarkan mimpi membalutnya, mesra jangan buat dia marah, sebab aku terlalu sayang
16 Mei 2011
81
2011
82
83
Jejak-Jejak Itu
(1) Sejenak di Suela Sengaja kau biarkan genangan air menyentuh kakimu bahkan memberikan kenyerian didalam hatimu seiring kau bergumam tentang kekalahanmu sakit memang, mencoba tegar dan kau terjatuh seiring kabut tipis jatuh tepat mengenai ujung kepala dan antara bebukitan yang pastinya tak serapuh engkau Gerak daun dan hijau rerumputan memaksaku berhenti hanya untuk sekedar menitip pesan pada hatimu terbanglah... temukan kembali dua sayapmu Suela, 16.30 Wita
(2) Malam Mendung Masih saja kau berdiam raut wajahnya belum jua nampak namun janji sudah terucap dan kau jangan terlambat malam-malam bisu lelaki dan perempuan tersedu walau hati menarik erat pulanglah jangan terlambat Jangan menangis kau datang tak sia-sia biarkan kopi ini membakar kebekuan jiwa dan mulailah berdikusi tentang cinta Toya, 19.56 Wita
84
(3) Di Rumah Teman dimana dia anakku ? seorang Ibu mulai bertanya mengais kepala dan meraba buka pintumu dan jangan kau bisu sebab jarum jam masih beku bahkan enggan untuk melaju sementara rindu kian beradu Penakaq, 21.15 Wita
(4) Melewati Joben Sengaja kubutakan mataku merebahkan segala keangkuhanku sengaja kutulikan telingaku mengikis semua naluri-naluriku melewati jalan setapak kerumah mu seperti embun, hatiku sejuk adanya dan bibir bergumam menyebutmu tak peduli beratus hari menahan rindu dan kau menghilang sekian lama Joben, 03.18 Wita
85
(5) Perbatasan Kalian beku, air ini beku sementara aku masih kelu kalian bernyanyi, daun ini bergoyang dan aku masih mengenang malaikat dengan senyum tipisnya bunga dengan kelopak manisnya dan hujan dengan segenap mendungnya Sisakan untuk ku perjalanan sebab kaki masih ingin menapak walau raga sudah digadai berbulan lamanya namun memikirkanmu tak ada batasnya selalu, tak ada perbatasan Jenggik, 03.57 Wita 29 April 2011
86
87
88
89
90
" Maaf, terlalu sering membuatmu kecewa..." memaksa hatiku untuk sekedar tersenyum Yah, sebuah makna yang harus kufahami dengan memutar otakku tujuh kali memang, Dia seperti malaikat, membelai dan menunggui pagimu menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selalu
91
92
93
Lukisan Pertiwi
: diantara yang bergigi dan terinjak
masih terdengar dalam tidur pulasku jeritan bayi yang belum makan semalam wewangian darah manusia yang baunya melebihi mayat wanita telanjang sehabis diperkosa dasi mereka penuh dengan motif bunga bermekaran sampai mencekik urat leherku diantara senyum-senyum palsu para penjilat bahkan sampai pada lidah nenekku yang sekarat masjid disana penuh luka, gereja bahkan teraniaya semua terbayang dikedua bola mataku memaksa bibirku untuk berucap negeriku sedang dimakan rayap negeriku sedang diperkosa pendusta rabunkah matamu anak-anakku tulikah telingamu wahai cucuku genggamlah tangan mereka dan rangkul rangkul dengan segenap jiwa dan kebesaran hatimu katakan pada mereka, bahwa kita adalah bangsa beradab 2011
94
95
(3) Kutulis Sebuah Sajak Aku duduk dalam hening Channel TV tak lagi menarik bagiku Bahkan enggan untuk sekedar membaca koran pagi ini Teh di atas meja tak jua kuminum Beberapa panggilan di telepon genggamku terabaikan Bahkan enggan untuk sekedar menikmati kicau burung Hanya angan, dan tangan bergerak melalui pena Selembar kertas kosong yang lusuh Ku tulis sajak tentangmu, tentang harapan Tentang kita diguyur hujan Tentang kita merangkai mimpi Dan tentang kita yang terbalut dosa Selong, 2011 (4) Malam Pertama Kuinginkan puisimu tentangku Memuji helai rambut dan ujung kuku ku Menggambarkan hidungku yang sedikit mancung Atau tentang bibirku yang menurutmu menarik Kurindukan sajak dalam bait-baitmu Tentang segala yang ada padaku Bagaimana caraku berjalan, berfikir dan tertidur Semua tergambar jelas di puisimu Karena hanya engkau yang peduli akan ku Entah kenapa aku rindu puisi-puisi mu Saat malam seperti ini Bersama lelaki yang tak ku tau hatinya Dan tak pernah ingin hidup bersamanya Pancor, Januari 2011
96
2011
97
98
Hujan
Setidaknya aku bahagia melihat rintik hujan pagi ini sambil memandang senyummu perempuan yang begitu asing bagiku tak ku tau nama, asal dan inginnya sedikit kata akhirnya dia ucap terima kasih....." Lantas ia pergi menemui lelaki basah kuyup yang datang menjemputnya
Maret 2011
99
100
2010
101
Rabu Malam
Seorang iblis kembali menghampiriku membawa sebilah pisau dan menggemgamkannya ditanganku yang entah untuk membunuh siapa Semua karena kau sedang bersamanya
2011
102
Sajak Rindu
(1) Entah sejak kapan aku mulai membenci tetesan air dari kran belakang yang bisa membuyarkan lamunanku tentangmu... Ya, aku rindu melebihi tangisan bayi yang rindu tetek Ibunya (2) Bisa saja kau berdiri didepanku telanjang, dengan mata tertutup dan kau berkata, pinggang kita sama, dada kita pun sama lantas, apa yang engkau rindukan ? aku rindu sebentuk hatimu yang mungkin tak bisa lagi kutemui (3) Tiba-tiba aku senang berdiam di kamar menanti hembusan angin dari jendela yang membisikkan namamu tepat di telingaku atau melihat asap-asap rokok yang tersusun membentuk wajahmu kamar ini menjadi tempat terindah ketika rindu mulai meraja Januari 2011
103
Selepas Hujan
Selepas hujan hanya ada rindu membasahi selagi kau masih terjaga ucapkanlah satu kata pelipur lara selepas hujan aku hanya bisa berharap hujan datang membawamu dengan segala yang ada padamu
2010
104
105
106
Telur Pecah
biarlah nafas terlepas bukankah kematian adalah hal biasa aku bukan Tuhan yang bisa abadi aku bukan malam yg selalu menaungi keindahan bukan hanya dibumi aku ingin terlepas seperti hembusan angin mengalir di sungai amazone, terhempas di padang gurun afrika yang kubutuh saat ini adalah dia dia sang pemberi semangat dan penyandar lelah tapi dimana ? entah dimana ? harus cari di mana dia yang telah membawa semua menyisakan kebimbangan ah, biar saja terlepas, aku tak peduli Ku tulis disaat sepi dan raga serasa tak berarti
2010
107
Nopember 2010
108
BIODATA PENULIS
RIFAT KHAN Lahir pada tanggal 24 April 1985 di Pancor, Lombok Timur, NTB. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Selong pada tahun 2004. Aktif dikegiatan Mading Sekolah dan menulis sejak kelas 1 SMP. Aktif di Komunitas Menulis Rumah Sungai Lombok Timur. Beberapa karyanya pernah dimuat di Majalah Lokal seperti Buletin Embun Lombok Timur. Puisinya juga pernah dimuat di Blog Penyair Nusantara dan Kompas.com. Dan insyaAllah salah satu puisinya juga akan diterbitkan dalam buku antologi puisi Kado Untuk Padang . Sekarang Bermukim di Lombok Timur, NTB. Alamat Email : rifatkhan21@ymail.com Blog : http://rifatkhanblog.blogspot.com
109