You are on page 1of 109

KUMPULAN PUISI

Perempuan Berpayung Hujan

Rifat Khan
1

Pengantar Buku
Alhamdulillah ya, akhirnya buku kumpulan puisi ini kelar juga. Walaupun dengan usaha, kemampuan dan materi sendiri. Saya bersyukur bisa menyelesaikan buku ini. Pada dasarnya semua puisi yang ada dalam buku ini adalah puisi sederhana. Saya sebagai pemula sangat menyadarinya. Sekedar meluangkan hobi menulis dan sebagai catatan kecil saja dan mudah-mudahan untuk berikutnya akan ada buku yang jauh lebih baik dan variatif dari buku ini. Buku kumpulan puisi ini saya beri judul Perempuan Berpayung Hujan. Judul yang lumayan menarik menurut saya. Karena Perempuan dan Hujan adalah hal yang begitu saya sukai. Saya termasuk pengagum hujan dan perempuan. Jika ada yang membenci perempuan, berarti anda termasuk lelaki kurang normal. He. Pabila ada juga yang membenci hujan, mohon mengertilah, karena setiap manusia memiliki kesenangan yang berbeda-beda. Buku kumpulan puisi ini memuat puisi-puisi yang saya yang dibuat dari Tahun 2010 sampai dengan akhir 2011. Sebagian besar puisi dalam buku ini terinspirasi oleh hujan, malam, Ibu dan perempuan. Disamping ada beberapa tema lainnya yang coba diangkat. Terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan atas semua pihak yang secara tidak langsung banyak membantu dalam proses

pembuatannya. Khususnya kepada teman saya Fatih Kudus Jaelani yang banyak memberi masukan atas karya-karya saya. Juga kepada perempuan dari Solong Montong Betok yang banyak menjadi inspirasi dalam puisi saya. Terima kasih banyak dan mohon maaf kalau ada kekurangan. Mari Menulis!!!!

Rifat Khan

Jalan Setapak di Perian


(Salam Untuk Ibu)
* Di perian. Detak jantung terlalu jauh dari ibu. Menghitung malam tanpa bintang, dan asapasap rokok kian bercerita. Tentang matamu yang basah menanti pagi. Atau tentang baju yang harumnya kian memudar dalam laci. Di gelap-gelap jalanan. Rintik-rintik gerimis adalah pengharapan dalam hati. Sekedar membasahi jalanan, dan membawa jauh jejakmu berlayar. Entah kenapa di malam seperti ini, kala hati ingin jauh berlari. Tanganmu seakan menarik dan berucap, cepat kembali karena cinta terlalu berat kutanggung sendiri. ** Aku adalah cerita. Membentuk muara dalam jalan tak rata. Sejauh dua kilometer. Disepanjang luka kian tercecer. Sedang malam disini tak seperti malam dirumahmu. Tak ada Ibu yang membuat teh manis dengan air matanya. Tak ada hati yang setia merapikan tempat tidur sebelum pagi menjelma. Ah, aku tak mau luka membawa langkahku kembali ke hatimu. Aku hanya ingin tersenyum dan menyeka semua rintik hujan dimatamu. Meskipun ku tau, kau tak akan pernah menghendaki itu. *** Di ujung malam. Aku tak ingin meraba, jalan mana yang akan ku tapak. Ke kiri atau ke kanan. Jalanan begitu lengang dihatimu. Tak berarah dan tak berpenghuni. Kosong. Di sisasisa inginku, tanganku beku dan bibirku kelu tak berlagu. Sementara rumahku adalah nyanyian pilu. Dan kamar yang merindu menantiku pulang membawa hidup dan mimpiku yang dulu. Seperti gonggongan anjing dalam malam bisu, saat kau menangis sendu. Di sisiku, namun hatimu mendambanya memendam rindu. Di sela-sela inginmu yang akan membunuhku jika tak mengantarmu pulang pagi-pagi mengetuk pintu rumah dan menemui ibumu. Perian, 22 Oktober 2011

Di Ruang Operasi
Dikematian. Aku merindukan senyummu. Merambah lewat jendela atau sela-sela pintu ruang operasi. Yang asing, kau akan kukenali walau mata lama terpejam. Tentang kita ditaman, memetik bunga dan merangkainya berpuluh tahun. Membimbing anak-anak kita belajar membaca dan mengeja iqra. Kutau kau tak pernah mengeluh tentang mereka atau tentangku yang setiap pagi harus kau buatkan kopi manis setengah cangkir. Maaf. Sering marah atau mengeluh kepadamu. Saat kau lupa menyiram kembang atau jarang memberi makan burung kecial yang kutinggal pergi. Dikematian. Kau mungkin tak tau. Baju telah kurapikan dalam lemari. Warisan yang tak sempat kutulis karena memang tak ada. Tapi, anak kita cukup sebagai pertanda. Bahwa kita pernah mengukir cinta dan menyerukannya pada dunia. Ajarkan kepada mereka dan penuhi hatinya dengan Tuhan. Sebab tatkala lupa dan sendiri, mereka akan sadar Tuhan masih menuntun dan menina bobokannya. Dalam kasihNya. Nopember 2011

Jam Tiga Malam


Ting ting ting. Tiga kali jarum waktu itu berbunyi. Kau masih bersembunyi dalam tubuhku. Masih mencium aroma nafasku. Kau terkadang gemetar dan lupa bertanya. Bahwa waktu sudah terlampau jauh untuk kita bercerita dan bercinta. Waktu sudah mendekap kita dalam ribuan detik. Jangan tanya hari esok, sebab esok kita akan terpisah lagi. dan nafas kita akan saling mencari. Pada jam-jam lainnya dan pada jalan-jalan yang dulu pernah mempertemukan kita. Nopember 2011

Kutatap Luka dimatamu


Alunan lagi itu mulai terdengar. Sebuah lagu lama. Dengan penyanyi yang nyentrik dan badannya kurus tak berisi. Lagu itu sering kau nyanyikan. Ketika kekasihmu hilang dalam senja. Matamu terlalu berair, sering aku berkata demikian. Keringkan dan lantas kau akan berkata, aku kan perempuan, jadi pantas menangis. Sesaat kau akan tersenyum walau rintik-rintiknya masih menetes dipipi. Aku suka memandang luka dimatamu. Berair, memang. Karena kau tak mampu mengeringkannya setiap tahun. dan aku akan selalu menatapnya hingga senyum itu kau tuang dalam segelas air. Akan kuminum, kuhabiskan segera. Tak bersisa. Nopember 2011

Menunggu Hujan
Tiga bocah dua lelaki satu perempuan. Aku pernah menyapa dan memandang lekat bola mata mereka. Ya, mereka menunggu hujan dengan doa masing-masing. Bocah pertama, berharap hujan membawa bapaknya yang lima tahun lalu meninggalkannya dalam perut Ibunya. Ia tak menangis dan hanya tertawa menunggunya. Pohon anggur sesaat diterpa gerimis. Bocah kedua menadah tangan dan berdoa. Hujan, Ibuku lama meninggalkanku. Bawa dia kepadaku walau beberapa menit saja. Lantas ia memejamkan mata dan hujan mulai menetes dipipinya. Jalanan mulai basah, sementara bocah ketiga yang satu-satunya perempuan membuka ikat rambutnya dan menari. Seraya hatinya berdoa. Tuhan, aku ingin sebuah boneka. Boneka dengan rambut panjang dan akan kupajang diranjang. Sebagai teman berbagi saat hujan datang disudut kamarku. Nopember 2011

Di Musim Hujan
Matamu akan kukenang. Pada gemerincik hujan atau pada air yang menggenang. Pada daun-daun yang basah dan pada nyanyian kodok seusai hujan. Matamu akan kubaca. Pada sapaan petir dan mendungnya awan, dan pada jalanan basah disepanjang luka. Sebab matamu adalah arah. Aku akan berjalan menujunya dan berhenti berpijak dikelopaknya. Matamu bisa kusebut rindu yang menyala. Yang menggonggong serta memanggil hatiku. Karena dalam matamu, aku melihat diriku. Jauh sebelum kau terlelap dan hidup bersamanya. Nopember 2011

Kereta yang Membawamu


Sebelum sore, aku akan menata kamar ini. Menyambutmu datang. Dengan bunga-bunga melati dan hiasan indah di ranjang. Sebab kereta akan membawamu kembali. Sehabis singgah di Banyuwangi, rehat di Bali, dan kau akan kembali ke kamar ini. Melepas ransel dan membuka sepatu yang dua minggu tak kau ganti. Sebelum sore, aku akan berdiam dan menyiapkan sesajen. Agar kau mengingat, bahwa hidup memang seperti ini. Nopember 2011

10

Menjelang Maghrib di Bangle


(Sebuah Catatan Kecil)

Menjelang Maghrib di Bangle. Tuhan menamparku pada bocah yang masih ingusan. rok merah seragam sekolah masih ia kenakan. tampak debu dan keringat dipipi. mulutnya tak henti memakan bakso tusuk harga lima ratus. tak peduli hidup besok akan membuatnya menangis. di bangle, sebelum Joben. burung-burung bernyanyi dengan nada dua perempat. sesekali singgah di atas genteng sekolah. sekolah dasar dengan kelas sederhana dan begitu minim. tak ada halaman dengan bunga-bunga. tak ada ukiran indah dan tembok yang bercat rapi. Berdiam disini. angin seakan berbisik. memaksa tuk menapak lebih jauh lagi tentang seorang Ibu dengan tujuh anak dan suami telah lama membeli sebuah rumah di bawah kamboja. atau seorang kakek tua yang masih menjadi kuli sawah walau kaki dan tangan sudah tak kuat berpegang. kemana anak-anaknya? anak-anak yang harusnya memberi makan dan memberi mimpi indah sebelum ajalnya menjelang. Di Bangle. hidup berwarna hitam putih. hidup sulit dipikul dan terlalu berat untuk ditinggalkan.

Bangle, 03 Nopember 2011

11

Kepada Ibu
(Yang Tua dan Lelah) Ibu. diburu waktu jejak kakimu adalah rindu. dalam padang rindang tak bertuan. sejuta hati akan menyebut dan menjunjung tinggi namamu dalam terang dan gersang. dalam mimpi, sayangmu tiada bertepi. membalut sekian juta rindu. kau akan tetap tersenyum dan bertahta di kalbu. Ibu. untaian kata adalah do'a. kau selalu ajarkan itu. detak jantung adalah pujapuja bagi pencipta. itu petuahmu nyata. maka, ketika sore jalanan lengang dan sepi, tatkala pagi hari berganti. sujudmu tak henti mengucap do'a untuk anakmu. ditelapak kakimu ada surga. perkataan yang lama kudengar dalam pelajaran sekolah dan pengalaman nyata. Surga yang ingin kudekap dalam hidupku, hari ini dan nanti. Ibu. saat raga harus lelah dan hati kian gelisah. maka biarkan aku memelukmu dan bersimpuh. menanti belaian dan harum nafasmu seperti berpuluh tahun lalu. tatkala aku sering menangis dan lelap dalam pelukmu. sembari kau mendongeng tentang kancil dan buaya. dongeng yang mengantarku menjadi dewasa. terimakasih Ibu.

Selong, 04 Nopember 2011

12

Tiga Hari di Jogja


Di Malioboro. hati telah kau isi dengan mendung. dengan langkah malu-malu dan dengan senyum agak kaku. kau santap lagi sate di atas meja. memandang langit dan berharap pada hujan. sebab hujan adalah tangis, dan tangis itu adalah suatu do'a. seperti burung-burung berkicau memuja Tuhannya dipuncak Borobudur. menatap langit senja dan membuka ingatanmu. tentang wanita berbaju ungu dengan hati dipenuhi benih api. wanita yang memagutmu jauh dan memasungmu begitu erat dengan matanya. yah matanya, agak kehitaman seperti pasir. pasir di Pantai Siung. dengan aroma-aroma dan balutan kain putih bergores darah. darah para bidadari. yang membawa langkahmu menari dan berpijak di alun-alun kota Jogja. menikmati angin, angin yang tentunya tak sama dengan angin dalam kamarnya yang berhembus melalui sela-sela rambut dan harum ketiaknya. Rebahkan saja, nafasmu adalah tangisan abadi dan jejakmu adalah kepahitan duniawi. di stasiun tugu Jogja, kereta akan membawamu menepi ke ujung malam. dan menepi dari semua yang kau namakan cinta.

Nopember 2011

13

Mengenal Seorang Atheis


Dalam satu meja aku mengenalmu bercerita menggenggam malam yang mendung namun tanganmu kaku tak berdarah hanya senyum coba kau tawarkan aku terdiam, memandang segelas kopi kopi yang jatuh dari matamu masih manis walau tak bergula sebagai cermin tatkala terlupa Kau selalu berkata, Aku menunggu hujan reda dan aku tak pernah menjawab atau bertanya kenapa kau begitu membenci hujan ? Kini tanganmu mulai bergetar kopi di atas meja tak jua kau minum dan kau kembali berkata, Tuhan itu tak pernah ada aku tak pernah membenarkan atau pun menyanggahnya Kini rintik hujan sudah menghilang kau mencoba melangkah, aku pun begitu jua dan di persimpangan, jalan menuntun kita berbeda kau akan kembali memungut repihan hatimu yang terjatuh dan aku akan berjalan pada mimpi dan hidupku yang baru Oktober 2011

14

Muara Kenangan
Kutulis namamu digaris-garis pantai Seiring pasir-pasir berterbangan di Pantai Air Manis Seraya kita menatap ombak Yang sesekali menegur ibu jari dan memberi nyilu pada segenap rindu Entah sejak kapan, aku mulai menitip rindu padamu Sejak pertemuan di Padang berbulan lalu atau sejak ibu masih menggendong dan sesekali mendongeng dengan bibirnya tentang si Kancil dan Buaya Harum tubuhmu masih sama, persis saat kuselipkan setangkai mawar tujuh warna ditelingamu dan dalam-dalam hatimu diawal tahun lalu saat kita terdiam dan memandang Kota Tua diseberang jembatan Siti Nurbaya Ah, biarlah kita terlelap Semenit atau mungkin selamanya Sebab takdir dan jarum jam akan tetap berjalan dan membawa kita kembali ke muara kenangan

2011

15

Ketika Kau Bisu


Kita masih dalam gelap seperti meraba maka biarkan tanganku erat memelukmu biarkan tubuh kita menyatu membisu menghembuskan nafas yang sama kita terdiam dan lelah dalam senggama berulangkali ataupun terlelap sama sekali aroma kita bercampur, gerak kita memacu seperti tengah menikmati dan menyesali nasib yang sama bertahun lalu biarkan daun-daun mawar itu layu tak berair, kita jangan peduli sama sekali sebab tubuh masih diingin didekap dan bibir masih ingin dilumat atau dijilat setiap apa yang kita perbuat adalah takdir hingga titik-titik itu tak terasa melebur dan mencair dalam wajahmu bakar saja, aku mulai tak peduli sebab aku sudah terbakar habis jauh sebelum kau menyalakan api didekat mata dan ujung kakiku

22 September 2011

16

Malam Senandung Hujan


Berdiam dikamar. Aku mulai tak peduli tentang jalanan yang riuh. Atau tentang temanteman yang menikmati kopi diguyuran hujan. Aku akan berdiam membuat puisi. Sebab puisi-puisiku telah lama mati. Sejak kau tinggal pergi dengan air mata. Subuh-subuh sebelum kubuka pintu dan jendela. Nopember 2011

17

Kemarau di Bulan Syawal


Kali ini kemarau begitu lekat dimatamu tak berair mata ataupun bermata air hambar, sungguh tak berasa empat puluh lima menit kau terdiam beku, seperti bayi berumur satu hari yang sesekali merengek dan manja kepadanya yang duduk tiga puluh senti di depanmu sebuah adegan harus kutonton berulang dari jarak kurang lebih dua meter sunyi, hanya ditemani segelas teh hangat yang tak mampu mencairkan kebekuan ini yang dibuat dengan tersenyum oleh sang Ibu Aku adalah petaka musim kemarau dimana sang petani kerap menangis dan terkadang juga menyesali dan harus mau tak mau mencari mata air lain yang lebih berair dan jelas muara tujuannya Solong, 4 September 2011

18

Perempuan Yang Lupa


Ia datang dengan lekuk tubuhnya dengan bungkusan berwarna merah muda Ia adalah perempuan malam dalam gerimis dengan gelang dan cincin di tangan cincin seorang tunangan yang pergi setahun lalu maka setiap gerak tubuhnya adalah air akan kuhempaskan berulang dengan suara telanjang, seperti bayi berumur satu bulan tanpa pernah tau apa namanya dosa namun yang terasa semua begitu seperti surga maka perempuan itu kini bermain dengan matanya sesekali menoleh dan mengeringkan air di pipi yang tak mampu ia hapus hanya dengan tisu dan kembali hilang dalam gelap-gelap hatinya dalam redup-redup jiwanya, ia adalah sebuah merpati yang pagi-pagi harus kembali sebelum ia berujung mati

7 September 2011

19

Jalan-Jalan Kecil
Kali ini kau masih terdiam dibawah gerimis sesekali mengeringkan ujung rambutmu yang basah kebimbangan menggantung diwajahmu dilema,lebih tepatnya disebut menentukan jalan mana akan kau tempuh kau masih terdiam dipersimpangan itu setelah sekian lama kau berlalu meninggalkan rumah kecil dihatiku rumah sederhana dengan dua kamar tidur dan sebuah teras yang lumayan nyaman disekelilingnya ditumbuhi pohon bonsai dan bunga mawar dengan tujuh warna yang dibelakangnya terdapat danau, dimana ikan-ikan biasa bermain dengan bocah yang masih belum punya nama aku masih duduk dengan rokok dan segelas kopi kali ini aku tak mendekatimu sedikitpun bahkan enggan untuk sekedar menyapa karena aku yakin kau sudah dewasa dan tau kemana akan kau tapakkan langkahmu namun sungguh sedikitpun aku tak menghalangimu jika kelak kau putuskan membalik arah dan menapaki lagi jalan-jalan kecil menuju rumahmu dihatiku 2011

20

Sahur dan Ibu


ketika pagi masih lengang hanya terdengar suara dari speaker mesjid sahur... sahur...sahur seorang ibu terbangun dan memasuki dapur dengan sarung lusuh yang tujuh tahun lalu dibeli di pasar lama, sebelum dipindah ke terminal pasar dimana bapak biasa berdagang setiap paginya pasar yang juga memaksanya untuk jadi penganggur kali ini ia memasak tempe dan tahu membuat secobek sambel dengan aroma khasnya walau mata masih ngantuk ia tak pernah mengeluh seperti saat mendongeng anaknya ketika masih balita tentang si kancil dan buaya yang berulang ia ceritakan disaat semua telah terhidang ia mulai membangunkan mulai dari suami yang sudah dua puluh sembilan tahun lalu bersamanya kemudian anak-anaknya yang masih bermain dalam mimpi ia tak pernah meminta anaknya untuk mencuci piring terlebih dahulu atau menghangatkan sayur bayam sisa makan semalam ia hanya berkata, makanlah sambil tersenyum kecil surga terasa dekat dan menggantung dimatanya makanan harus disantap pagi ini, makanan yang kita sepakati harus mengakhirinya sebelum adzan subuh menggema Ramadhan 2011

21

Surga Lain Selain Hatimu


Selamat... kau bisa membuatku jatuh cinta berulang kepadamu tanpa perlu kau melebur karang lautan dan tanpa perlu kau mendaki gunung aku sudah melebur dalam anganmu betapa ingin melihat pelangi itu muncul dalam bening matamu yang sesekali berubah warna menjadi biru atau sekedar melihat garis-garis tawamu dalam butiran hujan dan rimbun dedaunan betapa sulit menjatuhkan mangga dari hatimu dan menanam ribuan kamboja yang dititip Ibu pagi tadi membuahkan kebimbangan, apakah aku harus mencari surga lain dan keluar dari hatimu

2011

22

Surat Tak Tersampaikan


Luka itu kian menganga, Aisha dengan balutan-balutan kecil tak berwarna dan darah kian menetes menjauhi surga deburan ombak kian tak berasa menghempas dan sesekali menelanjangi apakah kau pernah mengerti, aisha ada kicauan rindu dan ada gumpalan marah karena kau pergi meninggalkan segala membuatku terasing dari Tuhan dan cinta memaknai surga dan neraka, aku mulai tak peduli hanya ingin berjalan pada mimpi, sesekali terbangun namun engkau terdiam dan mati dalam embun

Juli 2011

23

Teriakkan Kata Itu Lagi


Teriakkan kata itu lagi, saat ranting-ranting kamboja berjatuhan saat anak tujuh tahun menangis dikuburan meratapi ibunya yang mati siang tadi teriakkan kata itu lagi, ketika sunyi menari ditepian hati dan ribuan setan mulai singgah dikepala dan bernyanyi-nyani dengan satu mata teriakkan kata itu lagi, saat bapak menghamili janda muda saat seorang yatim piatu kian teraniaya dan makan ayam hanya sekali setahun teriakkan kata itu lagi, saat ribuan ummat sujud tanpa masalah saat tonggakan dibank terlupa oleh lebaran dan seorang peminta masih terlelap diteras mesjid teriakkan kata itu lagi, ketika ayam berkokok dipagi hari ketika segelintir perempuan mulai menjual diri untuk membeli baju dan sepatu hak tinggi Sungguh hanya ingin mendengar kata itu dari cerobong mesjid atau dari bising jalan raya bergumam, berdegup, bersuara dan berteriak lantang Allahu Akbar,,, Allahu Akbar,,, Allahu Akbar,,, dalam lelap malam dan dingin pagi

Malam Lebaran 2011

24

Salam Untuk Ternate


: Untuk Fatih Kudus Jaelani

Langit disini tidak sama dengan langit di Ternate Terkadang membuatmu rindu akan masakan bunda dan tentang resah manja kakak yang biasa mencurhati Jalan setapak disini tak sama dengan jalan di Ternate Mengantarmu kepada lelaki tua yang kau panggil Bapak Yang telah pergi saat kau masih dalam perut wanita itu Dua hari lalu seorang anak perempuan bertanya Siapa dia lelaki yang sedikit tampan itu Yang masih berlagu walau langit mendung Yang masih tertawa walau bumi termakan usia Apakah dia seorang gila ? atau mugkin dia adalah seorang penyair muda memikirkan gadis tujuh belas tahun cintanya yang dulu yang telah meninggalkannya dalam malam tak berbintang yang telah menjadikannya penyair tanpa hawa diranjang Aku tak tau anakku, Yang pasti dia adalah bayi dua puluh dua tahun lalu Yang senantiasa menangis dan menetek susuku Hingga ia terlelap dan menyebut nama Tuhannya Walau masih mengeja dan sedikit terlupa

13 Oktober 2011

25

Sore di Loang Gali


Kita merasa senasib Menyaksikan pohon beringin tua Merasa seimbang diterpa angin dan gemerincik air kian terdengar Aku kini mulai mengerti Tuhan menitipku disini Saat lampu-lampu jalan redup dan mereka mulai menebang kayu peninggalan nenek dulu penyebab longsor dan tanah terkikis dimana empat puluh tahun lalu nenek biasa berteduh dengan pelepah daun pisang saat gerimis hujan membasahi saat cinta tumbuh dihati bersama lelaki dan aku melihatnya jelas dalam bisikan angin, dan hijau dedaunan sore ini

Februari, 2011 _Loang Gali : Sebuah daerah di Lombok Timur, Kecamatan Lenek

26

Di Pemakaman
Kita akan mati dalam sekarat dengan kain putih yang dibeli kemarin diiringi zikir dan syafaah untuk Nabi di gank-gank tempat biasa bermain jenazah akan diangkat dan dipayungi jalanan lumpur di Lendang bedurik akan menjadi jalan setapak buat pergi ke pemakaman Kedondong tempat dimana Tuhan sudah menanti dengan kuda putih dan lilin suci dimana Bapak telah ditanam lima tahun lalu disini dan hanya berteman dengan malam dan lirih daun kamboja

September 2011 _Syafaah : Semacam Zikir untuk orang yang baru meninggal _Lendang Bedurik : Daerah di dekat Kota Selong NTB _Kedondong : Nama Pemakaman Umum di Lombok Timur

27

Berteduh di Sembalun
Yang kulihat dimatamu hanya bebukitan Tandus dan hanya tetes-tetes air hujan dipipi Perih memang, kau menanti dengan sepotong roti Amaq yang telah pergi dan Inaq yang selalu menyendiri Bocah kecil sepuluh tahun Tak tau warna seragam sekolah Tak atau bagaimana bentuk huruf A Ia hanya terdiam sepi di pematang sawah Memandang rerumputan dan menangisi Kamar tiga kali tiga mulai sepi dan kau bernyanyi dalam hati sendiri menggerutu tentang Amaq dan Inaq yang melupakanmu

Sembalun, Oktober 2011 _Amaq : Artinya Bapak (Bahasa Sasak) _Inaq : Artinya Ibu (Bahasa Sasak)

28

Perempuan Sasak
Dia berjalan masih mengenakan kebaya berwarna putih dan bermotif bunga-bunga dengan langkah-langkah kecil layaknya perempuan terkadang tersenyum tatkala berpapasan dia adalah perempuan Sasak satu-satunya dia adalah senjata saat bumi masih terjajah dia adalah sebuah batu saat yang lain terkikis bahkan terbuang dan bercampur aroma modern tanpa make-up dan rambut panjang kian terurai dengan sarung cantik melingkar dipinggangnya dia adalah perempuan Sasak satu-satunya ditengah bangunan tinggi, dia masih berjalan menunduk tanpa memamerkan paha atau membusungkan dadanya tanpa peduli ribuan omongan masuk ditelinga ia tetap berjalan membawa sekeranjang buah yang akan dijual pagi-pagi bersama Ibu dan adiknya dia adalah perempuan Sasak satu-satunya

Januari 2011 _Sasak : Suku Asli Lombok

29

Hada dibawah Pohon Anggur


dibawah pohon anggur, ia masih memakai baju itu baju tanpa lengan berwarna putih bercampur debu jauh dari ice cream padle pop ataupun sepeda mesin ia hanya bermain dengan sebilah kayu memetik buah anggur gadis kecil lima tahun itu bernama Hada, setelah ia memperkenalkan dirinya setengah jam lalu ia memberiku dua biji buah anggur, entah apa maknanya dengan senyum manis dan lantas ia berlari kebawah pohon anggur menemani adiknya kali ini aku melihat surga jauh dimatanya sebelum waktu kerap membawanya ke seorang lelaki dimana ia akan menangis setelah dipatahkan hatinya atau tersenyum saat cinta pertama menghinggapinya entahlah, ia belum mengerti jauh dunianya yang ia tau hanyalah menikmati buah anggur yang jatuh dan tercampur oleh debu, tanpa ragu memakan dan tersenyum puas lantas mengusap keringatnya sebelum malam memaksanya untuk pulang kerumah rumah yang membuatnya tersadar bahwa ia masih anak kecil

18 September 2011

30

Musim Hujan Tahun Lalu


Suatu saat nanti, aku ingin menikahimu menjadi lelaki yang akan tidur disampingmu yang membenarkan letak bantalmu saat posisi tidurmu mulai tak nyaman atau mungkin menemanimu memberi makan ikan yang kita pelihara di kolam belakang dengan bunga-bunga mekar disekitarnya yang senantiasa kau lihat, saat aku mulai beranjak kerja dan anak-anak mulai bersekolah belajar membaca dan mengeja namanya sendiri disaat hujan menyisakan hujan dan embun terlalu enggan memberi teduh suatu saat nanti, entah kapan itu aku ingin duduk bercerita dan kau disampingku bagaimana tingkah si Dadang saat ia menangis atau bagaimana lucunya saat kau mendongeng kepada anak kita yang masih berumur satu tahun maka biarkan pintu rumah tertutup selagi ku tiada karena aku lelaki pertama yang akan membukanya

September 2011

31

Sajak-Sajak Malam
Aku ingin menunggumu sekali lagi Saat hujan jatuh di depan rumahku Saat air tergenang membasahi tanah dan anak ayam mulai menetaskan telurnya Pada tembok-tembok yang biasa bercerita dan pada angin yang selalu membawa harummu Entah sejak kapan aku mulai menaruh hati Apakah disaat aku menciummu pertama kali Atau tatkala kau mulai berani telanjang dihadapanku Sungguhpun aku tak menemukan rahasia didirimu Aku tau saat lelap malam hidungmu kembang-kempis dan bibir tipismu sesekali menggigil menahan dingin Namun apakah kau tau, Saat kau terlelap, aku tak henti menatapmu dan hatiku bergetar begitu cepatnya Melebihi getaran bibirmu menahan dingin 22 September 2011

32

Ada Bulan di Matamu


Pernah aku berfikir betapa aku merindukan matamu Aku rindu melihat bulan disana Aku rindu cahayanya yang biasa bersinar saat kau tersenyum Atau berkedip-kedip sayu saat titik-titik air mengalir darinya Bertahun-tahun aku tak melihatnya Sejak penyakit membawamu jauh Membeli rumah di teras surga dengan perabotan mewah dan sebuah sofa Membuat kita terpisah sekian lama

September 2011

33

Rindu Adalah Rindu


Rindu adalah sebuah pedang tajam berkarat dan menempel dekat di ujung leher Rindu adalah makanan yang dipenuhi lalat dan terpaksa dimakan karena perut kelaparan Rindu adalah tangisan bayi sepuluh hari yang lahir tanpa bapak di hari lebaran Rindu adalah kecemasan hati seorang Ibu menunggu anak perempuannya yang belum pulang jam sebelas malam Rindu adalah tatapan kosong bocah enam tahun di depan toko es krim, tanpa uang sepeser pun dikantong Rindu adalah jeritan perih seorang janda muda menangisi kematian suaminya diatas kuburan malam-malam Rindu adalah sajadah lusuh yang tak pernah terpakai yang masih menggantung di dinding kamar dua tahun lalu Rindu adalah detak jarum jam beku sore-sore sementera perut keroncongan menanti saat berbuka Rindu adalah tubuh yang menggigil menanti hujan ditengah musim kemarau maka, ikhlaskanlah rinduku membelai-belai relung hatimu menghitung jumlah helai-helai rambutmu, memaknai setiap jengkal tubuhmu dan menghirup aromanya mesra, karena kau pun pasti tau betapa rindu terlalu menyiksa

6 Agustus 2011

34

Gadis Manis dengan Rambut Sebahu


Gadis manis dengan rambut sebahu Akan kulantunkan namanya berulang kali Ia telah membuat malam beraroma beku Mengantongi mimpi-mimpinya dan bernyanyi tanpa suara ditengah malam Irisan-irisan matanya hampa Sinarnya putih pucat tak berair Kosong, tak ada pertanyaan yang harus ditanyakan dan tak ada jawaban yang harus didengar Gadis manis dengan rambut sebahu Mengingatmu hari ini membawaku jauh Ke sudut bilik-bilik warnet dulu Tanganmu dingin, wajahmu layu Kau bunga di musim gugur, Saat ku enggan menyapa, Kau akan menegur dan berucap sapa Kenapa rindu harus datang Saat kau mulai pergi berkelana Entah dimana harus menanam dan menuainya, Sekali lagi

September 2011

35

Membisik Malam
Jauh-jauh malam Aku akan mulai menyendiri Melihat wajahmu tak lagi bernyanyi dan tawamu kian menjauh dari hari Kau perempuan dalam perang syarafku Sikapmu dingin dan matamu lama terpejam Aroma mu berganti dengan aroma malam Malam yang sunyi dan tanpa bisik angin Kau tak butuh sebuah ucap atau janji Betapa kenyataan kian jauh dan kau semakin berlari Membuat ku sendiri dalam malam dan tak akan terlelap, sampai shubuh membawaku pergi, dan menyesali aku tak bisa setampan dia dimatamu

3 Oktober 2011

36

Pertanyaan Itu
Disebuah rumah kecil Tinggal seorang kakek Yang biasa bertanya pada dedaunan Dimana Tuhan ? Sambil mencabut jenggotnya satu-satu yang mulai kering bercampur daki dan akupun mulai terbiasa bergumam dan bertanya seperti itu Pada dinding-dinding kamar atau pada daun pintu yang terbuka Lama-lama aku mulai bosan Karena disetiap gank kecil di jalan setapak kerumahku di sudut-sudut jalan menuju Joben atau di setiap pojok kamarku Ia mulai terbiasa menyapaku dan tersenyum kecil menatapku

September 2011

37

Untuk Habib Fansury


Kau datang lagi dengan sorot mata yang sama seperti lima tahun lalu, datang memintaku membawa anakmu yang telah ditinggal bapaknya memohon padaku menikahimu dan menjadikanmu perempuan kedua, karena aku telah hidup dengan seorang istri dan anakku Yang menurutku begitu cantik dengan mata berbinar betapa seutas hati sedikit tak bergetar dan darah disekujur tubuhku sedikit tak mencair betapa kau terlupa, atas apa yang kau ucap bagaimana kau pergi membiarkanku sendiri menangis dalam malam sepanjang enam kilometer atas permintaanmu membelikan sebuah kulkas dan rice cooker yang waktu itu aku belum mampu kembalilah, disini sudah bukan rumahmu betapa langkahmu kian goyah dan lunglai dan aku sedikit tak bermaksud menegakkannya apalagi berniat merangkulmu kembali aku terlalu bahagia dengan hidupku kini

2011

38

Malam Satu Ramadhan


Tuhan kini mulai hadir dalam nafas kita dalam gang-gang kecil di dusunku Seperti cahaya yang menerangi bapak yang buta dan bagai ombak yang terhempas dengan irama merdunya Tuhan kali ini berbicara, mengajak kita duduk bersila menyebut asma-Nya dan tafakur didalamnya Seiring suara mercun-mercun dari bocah-bocah yang mulai belajar dan mengenal TuhanNya dalam ejaan abjad dan bacaan Iqra

31 Juli 2011

39

Sepotong Roti di Bibirmu


(Saat Nenek Tua Resah Kelaparan) Sepotong roti dibibirmu Ingin kumakan dengan bibirku Tanpa gula dan pemanis serba rasa dengan aroma yang jauh dari cinta Tuhan, izinkan ku bertanya Tentang hidup, mimpi dan nyata Tentang segala dan semua derita Sepotong roti dibibirmu Mulai layu tak terbasuh air mulai hilang dan tak bersisa Aku ingin menyapa tanpa kata dan ingin bernyanyi tanpa suara di malam buta Tuhan, kau maha bijaksana dan pencinta Ada surga dan neraka, kami hanya menerka Tanpa pernah tau ia ada dimana Sepotong roti, dibibirmu dan bibirku Mulai usang tak beraroma senja Tampar saja, biar luka sirna Aku mulai tak peduli, tentangmu Aku mulai jenuh ikuti cerita Memuja-muja dan mengeja namaMu Oh, sepotong roti yang hilang warnanya Jangan kau bicara tentang dunia Jangan kau meraba tentang cinta Jangan kau bertanya meronta-ronta Kepada Tuhan yang maha pencipta Sebab Tuhan hanya diam terluka

26 Oktober 2011

40

Jembatan Dekat Darmaga Labuan


Rerumputan seperti tandus Tak setetes embun atau pun hujan membasahi Lelaki tua dengan langkah gontai Masih seperti meratapi takdirnya Mengais sisa-sisa makanan Bekas para remaja kota yang berekreasi Tanah miliknya telah dicuri sekian lama Oleh tangan-tangan serakah Tanah yang dulu ia tempati bermain dengan Dua orang cucunya Yang tersisa hanya sepasang pakaian lusuh Yang sudah tiga bulan tak diganti Siang itu, pepohonan masih senantiasa merayu Menjadi peneduh terik mentari Lelaki tua masih terdiam kaku Seperti bayi umur dua hari Ia hanya menangis, namun air matanya Berkilau seperti fajar digelap pagi Dan aku terdiam menatap sepi

Meliwis, Oktober 2010

41

Sawah Paman Sepuluh Tahun Lalu


Tidak seperti ini sepuluh tahun lalu Masih hijau dan tanah subur makmur Seperti bibi yang senantiasa membawa makanan Tatkala azan zuhur menggema dan paman melahap tanpa lupa membaca bismillah Membasuh badan ditelaga, dan sembahyang bagi pencipta Masih kicau burung terdengar merdu Dan derai air seperti masuk ke dalam raga Membasuh, membasahi dan menyirami Sawah itu adalah penghidupan Tempat menanam padi dan menjadi biaya sekolah anaknya Tapi kini, suara-suara burung tak lagi terdengar Suara bising dan polusi kendaraan sehari-hari Seperti merobek dada kiri dan seakan disesali Sawah ini telah diubah menjadi industri 2010

42

Sebuah Gang Dirumahku


Hampir enam atau tujuh kali Setiap hari aku akan melewati gang ini Seperti hafal, tanpa harus meraba Bahkan dalam gelap aku bisa sampai dirumahku Dirumah ini, seorang ibu sederhana biasanya memakai sarung Yang dua puluh delapan tahun lalu hidup bersama lelaki Yang seharinya kupanggil bapak Tak ada yang begitu mewah Hanya diterangi lampu lima watt Dan tembok rumah yang mulai lapuk Termakan waktu dan terkikis hujan Namun disini hidup akan berjalan Dan kembali kelak ke sisi Tuhan Juni 2011

43

Hujan dalam Kamarku


Aku selalu menunggu dan mengagumi hujan Sebab hujan bisa saja membawa senyummu Tepat didepan mata tanpa harus bertemu Atau membawa bayangmu mengintip dari balik jendela kamarku yang mulai pudar warna catnya seperti malam ini, kau bermain disudut-sudut kamarku gemerincik hujan jauh membawa kakimu kesini dan bergoyang dengan merangkul boneka ditangan boneka yang sering kau bawa saat terbit purnama kau tampak lebih gemuk hari ini apakah karena hujan mengaburkan pandanganku atau kau terlalu bahagia sehingga tumbuh begitu cepat entahlah, yang pasti aku masih merindumu seperti menunggu hujan malam ini hujan yang terbiasa membasuh jiwaku jiwa yang berbulan-bulan kering tanpa sentuhmu

Juli 2011

44

Sekolah Sederhana di Suralaga


Hari ini adalah hari senin seorang anak sekolah dasar mulai malas memasang sepatu dan merapikan dasi ada upacara rutin yang senantiasa mengeluarkan keringat karena hampir sejam akan berdiri tegap dibawah mentari dengan kaki lusuh bercampur debu tatkala musim panas dan pada musim hujan terbenam Lumpur bendera hari ini mulai berkibar lebih tinggi dari gurauan pohon kelapa si anak tampak tergesa membawa tas berlari karena terlambat sekian menit dan upacara sudah dimulai dalam resah dan terik mentari pagi Ia hanya berdoa semoga guru tidak menghukum Atau menambah jam berdiri ditengah lapangan Tanpa pernah tau makna sebenarnya dari sebuah upacara

Maret 2011

45

Lelaki Itu
Senja telah menukar ingatannya tentang perempuan satu tahun lalu perempuan hujan dengan mata yang tajam yang sehari-harinya mengukir awan dan menggenggam langit dalam tiap langkahnya yang senantiasa bercerita tentang cintanya dan sesekali menangis lirih di ujung malam namun kali ini lelaki itu terdiam seperti bermain dalam lamunan seakan lupa menghisap rokok yang masih menyala ditangannya dan rambut itu tampaknya sudah tiga minggu tak disisir sejak perempuan itu pergi bersama angin dibalik jendela kamarnya jendela yang lusuh, dan sudah bertahun lamanya tidak dicat jendela yang biasanya mengintip dan menebar senyum perempuan itu yang terkadang membawa aroma mawar yang layu mawar yang dibeli disebuah toko depan pasar lama dan lelaki itu adalah malam malam yang dingin, malam yang gelap malam yang senantiasa mengubur mimpi-mimpi dan malam yang bisa membuat mati dan tak bersisa

2011

46

Cerita dari Matamu


Aku mulai terlupa akan warna-warna pelangi di matamu yang bermunculan seusai gerimis yang berkilauan seumpama emas hijau, biru, ungu, seakan semua mengabur dan tertumpah dalam debur dibalik dedaunan hijau, dan bocah-bocah asyik bermain di kali siang-siang seperti beberapa bulan lalu kau berulang menjatuhkan hujan dimatamu mengalir pelan di pipi dan menetes digaris-garis bibir yang akhirnya bermuara di laut biru laut yang kusamai maknanya dengan hatimu luas dan belum begitu kutau Yah, sudah sekian lama aku tak menatap matamu dan kuputuskan harus segera menatapnya hari ini dengan mengintip diam-diam, atau bahkan beradu pandang walau sedetik karena hanya dengan menatap matamu aku akan tau jalan pulang

3 Agustus 2011

47

Kabar di Terminal
ada bayi menangis lagi dalam kantong plastik, dalam bak sampah bayi yang berumur lima hari dengan tai lalat manis di kening bayi yang tak mau diakui bapaknya bayi yang malu dibawa pulang Ibunya tanpa seorang lelaki yang menghamilinya sepuluh bulan lalu Hari ini ada bayi menangis lagi tangisnya begitu perih dan takut sementara seorang nenek memainkan serulingnya berirama tentang cinta dan kesedihan

Awal Agustus 2011

48

Surat Tiga Tahun Lalu


Kau hanya terdiam dalam pagi kaku, bagai daun tak tersapa embun kau baca lagi surat tiga tahun lalu dari seorang lelaki yang mencintaimu dengan hati Surat itu masih harum, tak berubah meski terkikis hujan dan ditemani rayap surat yang tertumpuk antara buku-buku lama dan album foto usang pernikahanmu dengan lelaki yang pergi tanpa pesan membiarkanmu sendiri dengan bayi berumur satu tahun dalam-dalam matamu, dapat tertangkap harapan semoga lelaki tiga tahun lalu datang menyinggahimu menjadi cahaya jiwa dan penyeka air mata

Juli 2011

49

Won
Aku masih saja mengintip hatimu dari balik kaca, luar jendela, balik pintu dan dari apa saja yang bisa membuatmu sedikit saja mengingatku dihatimu setiap halaman hatimu kubaca satu persatu ada sedetik waktu tuk bisa berpadu dan sejurang jarak yang bisa memecah aku begitu hafal semua nyanyianmu dan aku begitu tau sedetil warnamu karena aku diam-diam menaruh hati padamu

20 Oktober 2010

50

Pertanyaan Berulang
dalam irama tak kukenali sebuah melodi merdu menarik hatiku memaksa bertanya tentangmu apakah wajahmu masih semanis dulu ataukah matamu masih seindah dulu atau sudahkah terjamah lelaki itu diam-diam aku mulai mengikuti alurmu sesekali terjatuh namun tak mengapa akan kubalut luka dengan pelepah korma tapi mimpi itu berulang menyapa seorang perempuan hamil dipagi buta seorang bocah kelak nanti memberiku pisau memaksaku segera membunuh ayahnya yang telah menjadikannya anak haram

Juli 2011

51

Malam Tiga Februari


Tangismu malam itu adalah jawaban yang mengendap dan membakar sunyinya malam seraya kau berbisik bahwa manusia tak pantas diharap dan kau terdiam sekian lama sengaja kau biarkan tirai menyibak rambutmu bahkan air mata kau biarkan menggenang dan meremas janji-janji yang pernah kuukir dengan sebatang tangkai kamboja dan menggantinya dengan luapan kekecewaan malam itu begitu mendung dan hati lirih menepi dengan suara gerak-gerak tubuhmu perlahan mencekik dan menyadarkan sudut-sudut hatiku lantas kau teriakan dekat ditelingaku kau benci dan sangat tak menghendaki ini dapat kubaca dan kumengerti kalutmu malam itu namun sedikit kau tak mampu membaca hatiku degup-degup hatimu kian tak berirama seperti seruling pengembala kehilangan dombanya dan ketika pagi menjelang dengan aroma khasnya kau masih terdiam dan memandangku sebagai manusia yang sedikit tak bisa memahamimu meski aku terlalu mencintaimu Yah, aku begitu menyayangimu dan aku terlalu tak bisa melupakanmu (Teruntukmu Yang Masih Merajai Lamunan) 2011

52

Saat Penguasa Berjalan dikotaku


Gigi emasnya terpancar terkena mentari raut senyumnya begitu mempesona dengan mobil mewah dan pengawal baja serta senjata dan rombangan berjuta menapaki jalan-jalan kumuh dikotaku menjilati rakyat-rakyat yang sedang kelaparan bahkan menyerempet pedagang kaki lima dan memberikan debu bising bagi peminta-minta Senyum-senyum itu seperti pahit seperti roti usang belasan tahun dan kita semua terpaksa menelannya atas nama pejabat dan para penguasa

12 Juli 2011

53

Kau Yang Kukira Dewasa


Kau yang kukira dewasa senja ini menitip pertanyaan tentang siapa yang pantas dan bisa jadi pendampingmu kau yang kukira dewasa hatimu telah kau bungkus rapi dengan benih-benih besi dan kau sulam lembut dengan api kau yang kukira dewasa masih bermain dengan boneka dan merenung menikmati senja

Juli 2011

54

Mimpi-Mimpi Pesakitan
berikan padaku tiga atau empat buah kata akan kugubah jadi sajak penuh makna walau kutau takkan mampu menyentuh hatimu mainkan untukku nada-nada dan musik langit akan kugetarkan dunia dengan alunannya namun selalu iramanya tak merdu tanpa senyummu dan ketika bulan masih dalam peraduannya kau bawakan kembang tujuh rupa dan sesaji memaki-maki hatiku yang terlalu dalam memujamu membiarkan gerimis hujan membasahi rambutmu dan membiarkan angin malam mengetuk hatimu sampai kuterbangun dan kau menghilang pasti dalam degup-degup kebingungan hatiku telah menjadi hampa kau tinggal tiada

April 2011

55

Lelaki Pengantar Bunga


Kerap kali perasaanya berat dan letih Lelaki itu kali ini seperti biasa tersenyum setelah beberapa energi pulih dan pagi sudah mulai membuka janji dan kesetiannya yang sudah empat bulan terakhir menjadi rutinitasnya mengantar bunga dan menaruhnya tepat waktu walau dingin masih menggantung dan ngantuk masih mendera dan menyayat hatinya pasti ia selalu melangkahkan kakinya dan tak lupa menyiapkan bekal dan hati untuk memulainya perjalanan berpuluh kilometer akan ia tempuh dengan sisa-sisa senyum dan semangkok bakso entah dia merasa bodoh atau mungkin merasa hebat kali ini ia terduduk menikmati angin dan menunggu membiarkan nafasnya mengeluh dan menariknya pelan tanpa lupa memegang sebuah kunci, dan handphone ditangan dan tatkala senja datang, dan sebuah pesan masuk ia bergegas bangun dari tidur dan mimpi-mimpinya merapikan baju dan berangkat mengakhiri pekerjaanya jam sudah pada waktunya dan dia mesti mengantar balik walau perjalanan bersisakan kabut dan gerimis ia sedikitpun tak kelihatan letih dan meringis bahkan tidak sesekali menyesali takdirnya sebagai pengantar bunga demi hatinya

Pemandangan di Balik Kaca Juni 2011

56

Kau Yang Kukenal Delapan Bulan Lalu


Kau yang kukenal delapan bulan lalu hanya untukmu, ku rangkai seikat kamboja kusulap jadi mawar merah mempesona kurangkai tiap kata dan kugubah jadi sajak bermakna namun kau masih ragu tak percaya andaikan kau tau, gelisah ini akan hilang saat senyum manis mu menyeruak masuk menggetar-getarkan seluruh isi ragaku Kau yang kukenal delapan bulan lalu hanya untukmu, semua mimpi lain terabaikan prinsip dan keyakinan selama ini luntur terkikis bahkan menjadi lupa siapa aku hanya untuk sekedar bisa menyentuh dan memegang hatimu walau sekejap namun kau terdiam saja menutup mata Kau yang kukenal delapan bulan lalu setiap malam kulantunkan puja puji untukmu bernyanyi dalam gelap dan menangis dalam lelap mengigau dan hanya terfikir menyebutmu walau bibir ini kelu dan lidah ini beku namun wajahmu tetap berkuasa dalam nyata dan maya, bahkan dalam dingin embun dan panasnya terik mentari dalam rindu, senyap, sunyi, sepi dan lelah datanglah membawa semua repihan hatimu dan ceritakan padaku semua cinta dan citamu

12 Juni 2011

57

Aku Akan Menjawab Namaku Iga


sudah kuduga kau akan datang menunggang kuda putih baik hati memegang seikat bunga yang kunanti dan sebuah lilin putih tanpa api aku masih disini membalut malam dan merangkai kisah itu, karena aku perempuan dengan rambut panjang yang selalu kau belai dan tubuh ramping yang selalu kau dekap walid, duka itu kian rapuh membiru dan air mata kian berubah warna tatkala kau datang maka cahaya itu bersemi mengendus-endus dan menyapa lembut maka dalam gelap tanganku meraba dan senantiasa terkepak dan terbang menuju dan berlabuh di dasar hatimu kian jauh sampai terlupa akan waktu suaramu merdu memanggil namaku, Iga dan matamu bening menatapku seakan waktu dan jam berhenti namun degup hati melaju tinggi betapa aku ini hanya perempuan merindumu walau raga hampir mati sampai ku terlelap dan kau menjaga pasti

2011

58

Aku Akan Menjawab Namaku Iga (2)


dentang lonceng pagi itu berbunyi burung-burung terdiam berbaris rapi dan kau masih memandangku pasti senyum dibibirmu begitu tipis manis ribuan saksi dan kau masih merangkulku membenamkan warna sendu dan menyemainya membuka kelopak mataku dan menciumnya dengan lirih seperti angin kau menyapa "Syah...." semua menyahut riang kau dan aku terbenam dalam suka melihat gumpalan awan sejuk menaungi dan kemarau ini diringi hujan bernyanyi Iga, kaulah penanam masa depanku penenteram lelah dan penjaga pagiku maka sayapku kini telah kau sulam dari titik air mata dan cinta kasih mu akan selalu kujaga walau raga tak bermakna 2011

59

Perempuan Yang Pergi Tanpa Kata


Lemari itu telah kosong dan sepi tanpa tangis tanpa janji dan cinta kau bergegas mengemas sayangmu dan enggan membalik lagi jejakmu menanggalkan kacamata dan sepatu merah tua tanpa selembar kertas sebagai tanda atau sekedar salam pamit kau lupa bahkan untuk sekedar menyapa kucing yang sudah tiga tahun kau bersama begitu berat harus kau pijak langkah itu tanpa senyum dan cinta darinya tanpa kata dan sekedar cium hangatnya tanpa peluk dan sentuhan lembutnya diatas kapal sunyi, berulang kali kau hembuskan asap dari sebatang rokok yang menempel di bibirmu sesekali air mata menetes dan bercampur air laut membentuk suatu muara kalut perih dibatinmu memang, tak ada kata, tak ada janji dan cinta yang ia tinggal hanya luka dan rindu masih melanda dalam hati kau terus berucap, semoga kelak semua berbeda

Juni 2011

60

Bidadari Jatuh Terluka


dia datang dengan aroma lavender menyeruak ke dalam lemari besi membuka hati dan sedikit telinga lantas membiarkan semut menggigitnya mengerdip ia menahan sakit dan darah masih menetes disayapnya air matanya laksana berlian dengan kilau dan wewangian surga tak ubahnya seperti hujan sejuk dan matanya sedikit sayu bidadari itu malam ini datang membawa makanan dan semangkok kurma aku melahapnya dan ia menatap dan pandangannya begitu dekat dengan surga namun tangannya terkadang membawaku ke neraka dan Tuhanku kali ini hanya sedikit tersenyum

2011

61

Malam-Malam Pengasingan
lagi-lagi kau harus menelan beberapa butir obat dan bila kau mengingatnya masih bersama lelaki itu lelaki yang begitu tak kau kenal namun begitu menyita perhatianmu beberapa minggu terakhir ini dan perempuan seperti itu layaknya asap yang kau hirup penuh dengan bayangan dan tiada kepastian dan kali ini kau biarkan otak kirimu melayang menyusuri malam, merambah hutan, menangisi takdir memang luka kian dalam dan perempuan itu masih tersenyum melihatmu terbaring mati kian mendambanya

Kumbung, Juni 2011

62

Jangan Panggil Aku Monyet


Jangan panggil aku monyet ketika suaraku melukaimu ketika lakuku membuatmu kecewa atau ketika mimpiku menghalangi mimpimu Jangan panggil aku monyet di saat hatimu tergores perih di saat ragamu berulang kuhancurkan atau ketika lehermu tercekik karenaku Tolong jangan panggil aku monyet karena ku hanya manusia dengan dosa namun setidaknya mencoba dewasa walau perih dan luka kian terasa

2011

63

Melewati Rumahmu
perempuan dengan bibir tipis itu malam ini mengusai penuh hatiku menukar jendela dengan pintu terbuka membelalak mata dan menarik telingaku begitu ia bermain dan menguasai hatiku bau parfumnya masih menyebar disini jejak-jejak kakinya masih tergambar jelas raut redup dan sayu matanya masih mengintip malam ini melewati jalan setapak kerumahnya dan ketika kaki mulai berhenti berjalan Ia suguhkan teh hangat dengan sepiring kwaci dan sebentuk senyum manis yang begitu tipis sampai mimpi tak bisa dibedakan dengan nyata sampai langit tak bisa dilekatkan dengan bintang ia masih saja bermain dan mengotak-atik hatiku sungguh, hanya ingin mengingatnya walau malam sunyi dan langit sepi menapak jalan kerumahmu

Joben, 13 Mei 2011

64

Melewati Rumahmu 2
dan pada kekasih dan bendungan itu telah kutanamkan hati sedalam lima meter delapan bulan lalu bersama rindu yang tak terkikis oleh musim dan waktu dan air ini masih harum seperti dulu seperti aroma parfummu waktu itu jalan setapak ini selayaknya menunggu jejak-jejak hatiku melewati rumahmu senyummu terasa di setiap langkah ini seperti angin dingin menusuk dinding hati dan kau berdiam tak menanti pagi menawarkan segelas kopi pahit tanpa gula dan pada kekasih dan bendungan itu aku akan menunggu dibalut waktu akan kurawat dan kutanam hatimu selalu dalam bingkai luka dan rinai tawaku

Joben, Juni 2011

65

Perempuan dan Secangkir Kopi


Yang menjadi penantian adalah kamu Untuk membuka atau sekedar membiarkan angin dan semut hitam masuk ke celah hatimu tak ubah penantian ini seperti menunggu gerbang STKIP terbuka dan wajah-wajah manis akan berlalu lalang pemandangan sehari-hari yang terlihat dari balik kaca memberi ruang-ruang kecil dan aku termenung sudah saatnya tersadar bahwa hati tak bisa dipaksa bahkan sangat tidak bisa diarahkan dan ditujukan walau harus dihujam dengan sebilah pisau dan segenggam cokelat seperti penjual gula yang hadir dengan pesonanya begitu mudah ia terpikat dan membuka semua hartanya namun ini begitu jauh berbeda dan sangat tak biasa ia masih menjadi misteri dan masih tanda tanya dan ketika kelak kau terbangun dan mencicipi kopi ini mungkin kau akan sadar manismu masih tertinggal disini tak pernah terganti oleh sekian musim dan gerimis angin

2011

66

Perempuan Itu Bernama Lia


: Fitri Aprilia Kupandangi lukisan perempuan di dinding kamarku perempuan yang lebih banyak diam dan selalu tegar wajahnya begitu mirip denganmu dan aku mengingatmu malam ini Lia... Lia... Lia... seruan itu memecah sunyi dan kau tak peduli ketika pagi kau terbangun semua telah berganti tak ada lagi bangku kuliah atau senyum manis temanmu bahkan gurau mereka tentang SPP dan makalah yang belum jadi kau terdiam, pecahan air menggenang dan menetes di pipi sesekali berkilauan terkena sinar mentari dari jendela pintu kamarmu terkunci rapi dan kau memilih menyendiri sementara sang Bapak diteras luar termenung membiarkan semut-semut menyicipi segelas kopinya tatapannya kosong, mungkin menyesali bahkan mungkin mengutuk jalan pikirannya sendiri yang tanpa ia sadari anaknya sudah dewasa dan sudah saatnya mengenal dan merasakan cinta kau paksakan tersenyum, walau mata itu lemah dan sedih menatap cermin kau tak sanggup mengambil sisir dan merapikan rambut Lia... Lia... Lia... panggilan itu terdengar sunyi sang Ibu kini tak mampu tersenyum membakar buku-buku yang tak lagi kau baca cobalah ingat apa yang kau ucap beberapa bulan lalu bukankah kau pernah berkata ketika menaiki anak tangga di kost mu kau ingin jadi bintang, yang selalu bersinar dan berguna raihlah dan yakinlah cahaya itu kian dekat memasuki aliran darahmu

67

Mei 2011

Kata-kata dari Tubuhmu


matamu menatap, asing alismu mengerut, perih bibirmu mengucap, pahit hidungmu mengendus, amis lidahmu berdecak, sesal telingamu mendengar, jerit nafasmu berbisik, kelu lehermu kosong sayapmu tegak tanganmu memeluk, hampa kakimu berpijak, hilang dan kau tetap masih bersamanya memeluk dan bercerita dengannya sementara aku masih duduk ditempat yang sama

Selong, 6 Juni 2011

68

Aku Yang Kau Panggil Perempuan


Ketika aku terlahir dan kau berkata tubuhku adalah embun tubuhmu adalah racun ketika malam menatapmu sendu kaupun masih berkata jiwaku adalah pasir jiwamu adalah batu saat kau menjerit lapar kau masih saja berkata mulutmu adalah pisau dan janjimu adalah belati kau perempuan bukan lelaki dan kau adalah malam bukan siang tapi hidupmu adalah sejarah dan matamu adalah emas bibirmu adalah kasih dan tanganmu adalah besi lantas kau angkat sebuah keranjang berisi apel dan jeruk-jeruk kusam layu menumpahkan dan menjerit siang-siang aku adalah perempuan dengan luka memar dan lelaki itu adalah iblis dengan taring panjang menikam dan membunuhku pelan, pelan sekali air matamu jatuh dan kau memungutnya hatimu kau buang dan mengganti dengan darah darah dari sejuta hati yang kau benci dan sama sekali kau tak mau peduli entah surga atau neraka kian menanti

Juni 2011

69

Aku Yang Kau Panggil Perempuan (2)


masih terdengar suara adzan siang ini sementara perempuan itu masih membawa bakul keringatnya jatuh menetes menyentuh bumi dan anak dalam gendongannya menangis tiada henti digenggamnya sebuah mimpi dan membuangnya jauh diganti dengan jerit dan tangis memilukan hati perempuan itu hanya termenung dengan mata kosong sesekali mengerdipkan matanya terkena debu anakku kau masih saja menangis, sedangkan Ibu hanya meringis Hari ini makanan telah dititip Tuhan, walau hanya pas-pasan sambil tangannya memegang air wudhu dan mengusap dimukanya dan ketika mentari tepat di atas kepala ia sempatkan menengadah dan berdo'a berharap Tuhan masih menuntunnya mesra dan setia menjaga dan memegang anak-anaknya

Juni 2011

70

Surat Bunuh Diri Tanggal 30 Juni 2011


Tanam mayatku tatkala hujan bernyanyi bisikkan do'amu tatkala bulan menerangi taburi kembang itu saat purnama menghampiri dan sirami saat bintang-bintang bisu dalam gelap adakah engkau akan bernyanyi sendu dan pilu atau bahkan berteriak riang dan tertidur lelap bagaimana aku telah pergi dan tak terlihat dan lelaki itu masih setia menunggumu diam bagaimana perihnya hati saat dia mencumbumu bagaimana sakitnya tubuh ini kala rindu menyiksa semoga kepergian ini membuat keraguanmu hilang dan menjadikan langkahmu tegap tuk berjalan dalam gelap, semoga senyummu memberikan seberkas sinar

2011

71

Dua Buah Surat Bunuh Diri dari Dua Perempuan Malang


Surat Pertama, maaf ayah maaf ibu suara terlalu berat tuk diucap biarlah surat ini jadi penjawab mungkin hari ini kalian menangis bahkan mengutuk tapi derita harus segera ditutup ini adalah hidup dan aku tak sanggup lihatlah betapa sehari-hari jantungku berdegup dan hari ini sebuah cerita harus berakhir lembut ketika sore dipemakaman, biarkan ibu guru ku berlutut menyesali atau memuji dirinya yang begitu kejam menghina dan memaki tatkala uang SPP tak mampu ku lunasi dan cicilan sumbangan perpisahan tak pernah kupenuhi begitu berat jalan hidup ini bapak, Ibu maaf aku harus pergi meninggalkan kalian terlebih dulu Surat Kedua, kemana lelaki itu pergi, hanya ini pertanyaan yang kutitip sekian rindu berlalu dan ia tak jua datang saat kehamilan menyerang dan batin dihujat ribuan mulut ia pergi dengan wanita yang baru sebulan ia kenal mendaki malam dan mewarnai siang tanpa peduli deritaku sampaikan pada lelaki itu kupilih ini bukan untuk menangisi atau menyesalinya namun karena hidup tak mampu lagi untuk ku raba hidup tak mampu lagi untuk ku bahas dan hidup tak mampu lagi untuk ku bercerita (Inspired by : Berita Pagi di Trans TV) 2011

72

Perempuan Yang Datang Pagi Ini dengan Alis Tersusun Rapi dan baju Ungu Berseri
Pagi ini tak seperti biasa dia datang dengan tergesa seakan perasaan ini memaksa dan letihpun sungguh tak terasa sementara lelaki itu menunggu resah sang perempuan hanya terlihat pasrah dan aku masih bekerja walau lelah aku mencintainya dengan hati bukan dengan keangkuhan yang sulit dimengerti dan perempuan itu seperti lupa bahwa hati tak bisa dibagi dan hanya bergumam tentang mimpi dan pertigaan hati tapi senyumnya masih manis pagi ini dengan alis mata yang tampak tersusun rapi walau ku tau hatinya mungkin meringis sepi dan bibir tipisnya terlihat kering pucat pasi dan bila kau masih ragu akan semua kenyataan ini mohon jadikan kami sebagai pelipur hati dikala sepi jangan tanamkan cinta yang kemudian melukai hati

31 Mei 2011

73

Perempuan Kedua
masihkah kau mengingatku ketika perempuan itu membelaimu dan meneduhkanmu dengan candanya mengganti hitammu dengan warnanya menenteramkan malammu dengan cintanya masihkah kau menyebut namaku ketika ia menuntun tanganmu mesra menyusuri garis pantai dan menyinggahi surga menghangatkan kaki hingga ujung rambutmu dan membuat satu lingkaran penuh dihatimu masihkah kau mencipta puisi untukku di saat ia mulai berkuasa di otakmu hidung mancung dan bibir tipisnya lekat dimatamu desah nafasnya membalut nafasmu dan mengukir erat hatimu dengan namanya seperti aku mengingatmu sekarang disaat kematian duduk setia menunggu disampingku

29 Mei 2011

74

Perempuan Itu adalah Ibu


kesakitan adalah sebuah rasa syukur berdiri diantara hidup dan mati, sangat sakit Nak dan kau masih saja tersenyum dan menguatkanku genggam tanganku Nak, ini dunia dunia yang kelak memberimu senyum riang dunia yang nantinya mengajarkanmu dewasa senyum di bibirmu manis Nak, ini anugerah bisikan di telinga Ibu bahwa kau bahagia bisikan sekali lagi tangismu adalah tangis kebahagiaan dan kau hanya mampu berkata, katakan pada dunia bahwa aku telah lahir sampaikan pada semesta aku akan membuat ibuku bangga beritakan pada jagat raya, aku akan berguna bagi nusa, bangsa dan agama Semoga, degup bibirku hanya mampu berkata, semoga ketika Tuhan menuntunmu dengan tanganNya mohon jangan pernah tinggalkan, walau hanya sekejap mata (Buat Keponakanku yang baru saja menatap dunia, semoga mentari senantiasa memberikan keteduhan dan malam selalu memberi naungan) 27 Mei 2011

75

Perempuan Cantik di Depan Cermin


Yang kutakutkan adalah masa tua dimana raga tak lagi berguna dan kaki ini tak kuat lagi menopang tubuhku yang montok ini tak lagi indah jemariku yang lentik ini akan menjadi kasar bibirku yang manis yang entah berapa lipstik habis tak lagi menarik untuk dilihat bahkan mereka mungkin meludah apakah hidungku yang mancung ini juga akan dipenuhi keriput ? Lantas ia ambil jam dinding dikamarnya melepas baterenya dan membiarkan jarum jam diam tak bergerak membunuh waktu dan Ia tertawa sendiri menikmatinya

(inspired by : Perempuan cantik yang ngaca di depan warnet, siang 27 Mei 2011)

76

Perempuan Berkacamata
Siapa dia yang datang dengan mata berbinar dan kacamata itu seperti lusuh dan rapuh namun kerap bisa menusuk-nusuk otakku dan sama sekali tak mengurangi indahnya perempuan itu seperti biasa termenung sesekali berdecak, berkata dan mengigau entah kenapa siang ini dia tak biasa seperti ada beban menggantung dalam kepala jarum jam ditangannya beku tak bersuara begitu dalam ia memaknai desah angin seakan lupa jikalau waktu kian belari dan masih saja menyungging senyum dan berkata aku anak kecil dan ingin main boneka senyumnya begitu manis, dan aku suka

Mei 2011

77

Perempuan Berkacamata (2)


Bulan masih di atas kepala kau terdiam lesu tak bersuara dan kacamata itu kini kau buka seperti membiarkan mata mencari makna cinta itu seperti bara cinta itu adalah perempuan buta yang membawa lelaki yang ia cinta datang menemuiku tanpa dosa cinta itu seperti sembilan raja mencari mahkota walau harus terluka kembali kau merebahkan raga berbisik pada angin dan menyeka air mata ah, aku terlalu muda berbicara tentang cinta dan terlelap memeluk boneka

Mei 2011

78

Perempuan Berkacamata (3)


selalu saja, siang menjadi indah tatkala kau tersenyum ramah dengan sepotong wafer coklat ditangan lantas kau buka sekantong makanan dan mulai bernyanyi tentang ombak dan laut dan kacamata itu mulai retak termakan zaman dan tergigit rayap namun kau tetap percaya cantikmu akan bersinar seperti surya dan pabila senja mulai memerah kau bergegas menunggu kereta malam yang menjemputmu menjauh dari hatiku ketika bulan mulai menyapa kau biarkan pintu dan jendela terbuka sambil berdo'a, semoga Tuhan senantiasa menjaga tanganmu masih erat memeluk boneka sementara hatimu perih menghitung luka

Mei 2011

79

Masa Lalu di Benakmu


Ketika kau berjalan melewati jalan ini maka kau akan sadar, jejakmu akan berulang kau hempaskan pada lelaki yang sama lelaki yang pernah menjadikanmu bidadari di ranjangnya yang pernah melihat tubuhmu polos tanpa dosa disaat rakus ia menjamahmu dan selalu menciummu saat ini kau terlupa betapa langkahmu gontai tanpanya mengulang kembali jejak itu membuatmu harus meludah meludah mukamu bahkan meludah hatinya sampai kau terbangun siang ini betapa matamu masih digenggamnya erat dan darahmu masih menetes tanpanya kau hanya terdiam menggugurkan satu persatu helai rambutmu dan menanamnya dibawah pohon mangga depan rumahmu entah berapa tetes air mata telah terjatuh dalam setiap jejak yang akan kau ukir

19 Mei 2011

80

Dia Marah
Malam ini dia marah menggetar-getarkan meja meronta-ronta memaki mantra meludahi mata dan memberi luka tak biasanya dia marah dengan muka merah dan suara lantang aku takut, kalau dia marah sebab darah masih mendidih, panas sebab perih masih menggores, sakit pejamkan matanya, rapikan bantalnya biarkan mimpi membalutnya, mesra jangan buat dia marah, sebab aku terlalu sayang

16 Mei 2011

81

Rindu Meringis Rindu


Embun selalu berbisik dalam malam ketika Adam terjaga dan Hawa tiada sementara gerimis selalu menitip rindu pada siapa hasrat ini kuhempaskan desah nafasmu terbentur dinding Luka-luka menggores sekujur tubuh aku terjaga sementara kau berkelana pada siapa kisah ini akan kututurkan berulang kali harus kutegaskan bahwa kesepian memang menakutkan bahkan lebih menakutkan dari sekedar kematian

2011

82

Kulampirkan Sajak di Hatimu


Sempat saja kau titipkan senyummu pada tiap daun pohon yang bergoyang membuat mataku buta selain menatapmu masih saja kau selipkan lirih suaramu pada tiap helai hembusan angin membuatku tak mampu mendengar selain nafasmu seperti ombak mengetuk dinding-dinding hati seperti laju perahu nelayan bermuara padamu aku ikuti kemana arusmu dan terus memujamu butir pasir ini mengukir jejak-jejakmu perlahan membentuk raut muka menyerupaimu kugenangkan saja air ini disamudera pilumu sungguh, aku hanya ingin menikmati pagi ini dengan hanya engkau bermain di ruang hatiku membangun realita baru dan menguncinya erat erat, sampai detak waktu beku dan rindu berujung

Padak, 06 Mei 2011

83

Jejak-Jejak Itu
(1) Sejenak di Suela Sengaja kau biarkan genangan air menyentuh kakimu bahkan memberikan kenyerian didalam hatimu seiring kau bergumam tentang kekalahanmu sakit memang, mencoba tegar dan kau terjatuh seiring kabut tipis jatuh tepat mengenai ujung kepala dan antara bebukitan yang pastinya tak serapuh engkau Gerak daun dan hijau rerumputan memaksaku berhenti hanya untuk sekedar menitip pesan pada hatimu terbanglah... temukan kembali dua sayapmu Suela, 16.30 Wita

(2) Malam Mendung Masih saja kau berdiam raut wajahnya belum jua nampak namun janji sudah terucap dan kau jangan terlambat malam-malam bisu lelaki dan perempuan tersedu walau hati menarik erat pulanglah jangan terlambat Jangan menangis kau datang tak sia-sia biarkan kopi ini membakar kebekuan jiwa dan mulailah berdikusi tentang cinta Toya, 19.56 Wita

84

(3) Di Rumah Teman dimana dia anakku ? seorang Ibu mulai bertanya mengais kepala dan meraba buka pintumu dan jangan kau bisu sebab jarum jam masih beku bahkan enggan untuk melaju sementara rindu kian beradu Penakaq, 21.15 Wita

(4) Melewati Joben Sengaja kubutakan mataku merebahkan segala keangkuhanku sengaja kutulikan telingaku mengikis semua naluri-naluriku melewati jalan setapak kerumah mu seperti embun, hatiku sejuk adanya dan bibir bergumam menyebutmu tak peduli beratus hari menahan rindu dan kau menghilang sekian lama Joben, 03.18 Wita

85

(5) Perbatasan Kalian beku, air ini beku sementara aku masih kelu kalian bernyanyi, daun ini bergoyang dan aku masih mengenang malaikat dengan senyum tipisnya bunga dengan kelopak manisnya dan hujan dengan segenap mendungnya Sisakan untuk ku perjalanan sebab kaki masih ingin menapak walau raga sudah digadai berbulan lamanya namun memikirkanmu tak ada batasnya selalu, tak ada perbatasan Jenggik, 03.57 Wita 29 April 2011

86

Perempuan Malam dengan Luka


Seketika, kau biarkan tubuhmu rebah menengadah berharap embun membasuhi segenap kepiluan yang kau rasa beserta segala kecewa yang sedang mendera ini adalah neraka, sambil kau menatap tangan kirimu lantas surga seperti apa ? kau bertanya lirih hatimu terdiam tak dapat menemu jawaban karena surga hanyalah ibarat, angin membisikimu air matamu menetes pelan dipipi namun senyum dibibirmu terkuak, aku gila aku sangat gila seperti senja yang mendung seperti bulan yang redup dan hanya kau yang bisa hanya kau yang mampu menerangi dan membelaiku O, Maesa... adakah jiwa selayak engkau membasuh, menyinari dan menghangatkanku O, Maesa... adakah karya surga seindah engkau datanglah dan temani kerapuhan dan pilu ini

Curhat Seorang Teman April 2011

87

Sajak-Sajak di Montong Betok


(1) Untuk Yang Sakit dan Lelah
nyanyikan sebuah lagu, walau bibirmu kelu dan matamu sayu tentang malam dan langit mendung, tentang cinta dan pengharapan sekali lagi aku minta, walau infus masih membalut kulit tegarkan hati, karena hidup memang seperti ini, sulit Gadis yang selalu menjadi inspirasi, baik hati maupun raganya terbaring lemah dan bertarung melawan waktu, aku menunggu sayap-sayap malaikat kian merangkulmu dan menina bobokanmu ikuti nyanyiannya perlahan dan kau akan merasakan nyaman sentuhnya ketika hujan dan segenap kerinduan menyelimuti gerak-gerak hatimu yakinlah sehat itu datang bagai nyanyian burung yang selalu membelaimu seperti daun, kau selalu memberi naungan, walau perih adanya seperti hujan, kau selalu menyirami, walau akhirnya menggigit ujung leher malam menunggu, bintang tergerak melantunkan do'a bagi pencipta sembuhkan, walau dalam lelah tetap memohon sembuhkan selalu pintaku

Montong Betok, April 2011

88

(2) Malam Ganjil di Hatimu


belum sempat kubaca seutas makna yang kau sirat namun duka memang sudah nampak terlalu akrab mengelus-ngelus dan mengupas satu irisan hati berlabuh dan mengalir bagai air hujan di matamu menetes dan membentuk satu kebimbangan dijiwamu, abadi memang berat, diantara yang kau cinta dan mencintaimu karena kemelut terbesar seorang perempuan seperti ini aku mengingatmu sebagai sosok yang penuh akan kiasan namun aku salah berada disaat dan waktu seperti ini kugengggam saja sebagai pertanda ini perhatian terakhir, semoga gerbang ini terbuka lebar seperti memberi jalan tuk segera pulang tak baik ku berada terlalu lama dalam keresahan seperti ini gerak hati dan tanganmu seakan berkata jangan tambah sakit ini sorot matamu pun seakan pertanda kau tidak menghendaki ini biarlah angin membawaku pergi dan mungkin tak kembali, rapuh

Montong Betok, April 2011

89

(3) Bab Ketiga dalam Sajakku


Dia seperti malaikat, membelai dan menunggui pagimu menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selalu jarum jam yang kupunya terbatas, meniti pada kesibukan untuk segala mimpi-mimpiku tanpa harus mengabaikanmu andai saja jarum jam yang kau beri bisa lebih, mungkin aku bisa paling tidak hanya untuk sekedar menyamai apa yang ia beri untukmu ketika fajar menghadirkan seberkas sinar do'a itu mengalir seperti tetes hujan basah, menerpa kekosongan dan menikam semua kegelisahan dihatiku tentangmu berharap duka itu terkubur dan terseret jauh tanpa meninggalkan senyumnya senyum seorang yang bagimu seperti malaikat dengan dua sayap yang terus merangkulmu dan memberi indah pelangi dalam kelam jiwamu "...aku tak punya sayap,," berulang kali kukatakan padamu dengan segenap penyesalan akan jalan Tuhan yang dititip pada takdirku selalu saja kau memberi satu senyum, entah apa maknanya selalu saja kau memberi satu pengharapan, yang selalu ditangkap riang oleh hatiku mungkin hanya hatimu yang mampu berkata, "Terima kasih sudah mencintaiku dengan caramu sendiri..." bukankah hal terindah adalah ketika kita bisa mencintai dan dicintai seperti mendapatkan angin surga yang meringis masuk dalam telinga kaku, kau terdiam, dan lagi-lagi menatap ia yang bagimu malaikat tapi mencintaimu memang suatu kewajiban bagi hatiku, hatiku yang mungkin bodoh "... Aku tak mau kehilangan kasih sayangmu.." Sebuah pesan yang kau titip bersama angin senja itu lantas tak sadarkah kau sudah menghilangkan sendiri sayang itu, terkubur perih, menukik-nukik, mencincang dan merampok segenap perasaan itu

90

" Maaf, terlalu sering membuatmu kecewa..." memaksa hatiku untuk sekedar tersenyum Yah, sebuah makna yang harus kufahami dengan memutar otakku tujuh kali memang, Dia seperti malaikat, membelai dan menunggui pagimu menyeka air mata dan menenteramkan sakitmu, selalu

Montong Betok, April 2011

91

Puisi Ulang Tahun


ini hari, hari berbahagia meski ada yang terbaring lemah dipuskesmas meski tagihan listrik menumpuk meski cicilan di Bank belum terlunasi Biarkan bibir tergerak sedikit keatas pertanda senyum dari Ilahi tangan malaikat menjamah mengucap salam kau bukan sesiapa bila kau tak kenal Ibumu semoga matahari bersinar cerah bunga-bungapun mekar merekah setiap muka menyapa ramah pertanda ini rahmat Allah Semoga hari ini Tuhan tersenyum mengelus pundakku dan mengecup bibirku (Semoga Engkau sehat dan Tuhan berkenan) 2010

92

Diiringi Bulan (Seperti Jalan Ke Joben)


salam rindu pada daun,, aku mengadu teriakkan pada langit hitam, terus kucari untaian kata terniang melalui angin seperti jalan setapak kehatinya selalu, selalu diiringi bulan kemana kaki dan hati berpijak genggaman tangannya menarik erat kembali, dan kau jangan tersesat seperti malam memberi naungan selalu, selalu diiringi bulan semoga bulan mengisyaratkan ke hati sehingga ku dapat berkata aku pergi dan tak akan kembali mencoba melawan dan mengakhiri Labuhan Haji, April 2011

93

Lukisan Pertiwi
: diantara yang bergigi dan terinjak
masih terdengar dalam tidur pulasku jeritan bayi yang belum makan semalam wewangian darah manusia yang baunya melebihi mayat wanita telanjang sehabis diperkosa dasi mereka penuh dengan motif bunga bermekaran sampai mencekik urat leherku diantara senyum-senyum palsu para penjilat bahkan sampai pada lidah nenekku yang sekarat masjid disana penuh luka, gereja bahkan teraniaya semua terbayang dikedua bola mataku memaksa bibirku untuk berucap negeriku sedang dimakan rayap negeriku sedang diperkosa pendusta rabunkah matamu anak-anakku tulikah telingamu wahai cucuku genggamlah tangan mereka dan rangkul rangkul dengan segenap jiwa dan kebesaran hatimu katakan pada mereka, bahwa kita adalah bangsa beradab 2011

94

Empat Puisiku Yang Terlupakan


(Dedikasi Kepada Ibu) (1) Jalan Pulang Seperti biasa jalan ini berduri Menembus segenap penjuru hati Seperti dedaunan kerap menyapa Dan kemudian memberikan butiran embun Tepat mengenai ujung rambut Aku mengenangnya sepanjang jalan Belaian mesra serta tutur lembutnya Cerita manis dan ciuman hangatnya Berikut petuah dan harapan-harapannya Aku rindu kamu Ibu Sambut aku Montong Gading, Februari, 2011 (2) Seperti Katamu Aku sempat melayang Bimbang dalam senyum tak pasti Mengurai semua kisah dengannya Namun aku akan kembali Seperti katamu Aku pernah meninggalkan semua Membelai malam dan bintang Merajut mimpi bersama angin Tapi pasti aku akan kembali Seperti katamu Seperti racun Kau mengalir, mengalir, dan mengalir Dan terhembus di setiap hela nafasku Pancor, 2010

95

(3) Kutulis Sebuah Sajak Aku duduk dalam hening Channel TV tak lagi menarik bagiku Bahkan enggan untuk sekedar membaca koran pagi ini Teh di atas meja tak jua kuminum Beberapa panggilan di telepon genggamku terabaikan Bahkan enggan untuk sekedar menikmati kicau burung Hanya angan, dan tangan bergerak melalui pena Selembar kertas kosong yang lusuh Ku tulis sajak tentangmu, tentang harapan Tentang kita diguyur hujan Tentang kita merangkai mimpi Dan tentang kita yang terbalut dosa Selong, 2011 (4) Malam Pertama Kuinginkan puisimu tentangku Memuji helai rambut dan ujung kuku ku Menggambarkan hidungku yang sedikit mancung Atau tentang bibirku yang menurutmu menarik Kurindukan sajak dalam bait-baitmu Tentang segala yang ada padaku Bagaimana caraku berjalan, berfikir dan tertidur Semua tergambar jelas di puisimu Karena hanya engkau yang peduli akan ku Entah kenapa aku rindu puisi-puisi mu Saat malam seperti ini Bersama lelaki yang tak ku tau hatinya Dan tak pernah ingin hidup bersamanya Pancor, Januari 2011

96

Tuhan Mencubitku Pelan


Tuhan mencubitku pelan saat bayi-bayi kelaparan kurang gizi saat sang perempuan tersakiti dan ternodai saat gunung-gunung meletus mengeluarkan api Tuhan mencubitku pelan saat kehormatan diabaikan dan direndahkan saat para penguasa menindas dengan ganas saat si anak malang menangis putus sekolah Tuhan mencubitku pelan saat omongan dijalan lebih berharga dari renungan saat sang majikan menyiksa budaknya dengan kejam saat dunia dijadikan surga bagi para pendosa Yah, Tuhan tak lagi mencubitku saat ku terlelap dalam pelukanNya dan berzikir menyebut-nyebut namaNya

2011

97

Bukan Untuk Perempuan


Lelaki tergambar antara luka dan jeritan hati Lelaki mendamba mimpi walau berkabung sepi masih ditemani rembulan dan segenap kekecewaan menanti perempuan yang sedang dalam pelukan seorang memang benar, perempuan hanya racun merayap halus dan mencekik dengan rintihan sampai menukik dan memotong kemaluan Aku Lelaki, bukan batu, hewan atau boneka biar saja kukepakkan sayapku lirih hingga cinta itu membungkusku dalam pelukan hangatnya

Pancor Sanggeng, Maret 2011

98

Hujan
Setidaknya aku bahagia melihat rintik hujan pagi ini sambil memandang senyummu perempuan yang begitu asing bagiku tak ku tau nama, asal dan inginnya sedikit kata akhirnya dia ucap terima kasih....." Lantas ia pergi menemui lelaki basah kuyup yang datang menjemputnya

Maret 2011

99

Aku, Kau dan Leukimia


(dari film A Walk To Remember) Jamie tersenyum menanti kematian Tangannya kaku, lidahnya beku Namun senyum dari bibirnya begitu manis Ia menguatkanku Seperti tetes embun ia membasuhku Mengisi ruang hatiku dengan Tuhan dan membasuh tiap langkahku dengan ratusan injil Aku mengenangnya malam ini di perbatasan Virginia, di perbatasan hatiku yang telah kau ukir atas nama Tuhan ... Cinta itu sabar dan jujur Cinta itu tidak sombong dan egois Ia sudah mendapat mu'jizatnya Mu'jizatnya adalah kamu...... Perkataan itu membuat ku melayang ke surga berdansa dengan ratusan bidadari walau kutau kecantikannya tak bisa menyerupaiMu Yah, memang seperti angin aku bisa merasakannya disetiap hela nafasku 2011

100

Delapan Oktober di Pagi Beku


Wajahmu bisu adikku penuh dengan tanya aku bukan sesiapa malam ini mungkin sebagai yang asing bagimu coba mengurai dan mengingat Delapan Oktober aku menemukanmu terjatuh.... penuh sayatan luka tapi kini sedikit aku tak memahamimu bukan karena wajahmu berubah atau rambutmu bertambah panjang tapi karena hatimu telah pergi

2010

101

Rabu Malam
Seorang iblis kembali menghampiriku membawa sebilah pisau dan menggemgamkannya ditanganku yang entah untuk membunuh siapa Semua karena kau sedang bersamanya

2011

102

Sajak Rindu
(1) Entah sejak kapan aku mulai membenci tetesan air dari kran belakang yang bisa membuyarkan lamunanku tentangmu... Ya, aku rindu melebihi tangisan bayi yang rindu tetek Ibunya (2) Bisa saja kau berdiri didepanku telanjang, dengan mata tertutup dan kau berkata, pinggang kita sama, dada kita pun sama lantas, apa yang engkau rindukan ? aku rindu sebentuk hatimu yang mungkin tak bisa lagi kutemui (3) Tiba-tiba aku senang berdiam di kamar menanti hembusan angin dari jendela yang membisikkan namamu tepat di telingaku atau melihat asap-asap rokok yang tersusun membentuk wajahmu kamar ini menjadi tempat terindah ketika rindu mulai meraja Januari 2011

103

Selepas Hujan
Selepas hujan hanya ada rindu membasahi selagi kau masih terjaga ucapkanlah satu kata pelipur lara selepas hujan aku hanya bisa berharap hujan datang membawamu dengan segala yang ada padamu

2010

104

Siang Akhir Desember


: balasan puisi Fatih Kudus Jaelani : kulanjutkan untuk Amril Ayuni Siang bisa mendung tatkala sang perempuan yang dinanti keluar dengan rambut terurai rapi dan dengan senyum mekar berseri sebungkus nasi hanya pelepas rindu yang akhirnya ku buang jauh ke dasar laut disaat perjalanan kerumahmu begitu membingungkan aku hanya bersandar pada satu keyakinan seperti pagi yang bisa menduga aku bukan santapannya siang ini meninggalkan kewajibanku hanya untuknya yang akhirnya terbuang dengan percuma aku yakin, ini saatnya melepas walau air mata habis terkuras 2011

105

Last Day On December


kicau burung berubah merdu desir angin menyapa lembut belaian senja begitu indah tahun segera berganti, aku tegaskan nyanyian dedaunan merepih mesra bisikan surya menenangkan hati sekali lagi aku tegaskan, tahun segera berganti uraian senyum mu kian tergambar disela-sela dinding kelam kamarku adakah engkau yang senantiasa menemani membelai tidur dan membangunkan pagiku di tahun yang akan berganti semoga, ucap itu bergumam dihati semoga, kian bergumam begitu keras datanglah dan hiasi hidupku sampai mati 2010

106

Telur Pecah
biarlah nafas terlepas bukankah kematian adalah hal biasa aku bukan Tuhan yang bisa abadi aku bukan malam yg selalu menaungi keindahan bukan hanya dibumi aku ingin terlepas seperti hembusan angin mengalir di sungai amazone, terhempas di padang gurun afrika yang kubutuh saat ini adalah dia dia sang pemberi semangat dan penyandar lelah tapi dimana ? entah dimana ? harus cari di mana dia yang telah membawa semua menyisakan kebimbangan ah, biar saja terlepas, aku tak peduli Ku tulis disaat sepi dan raga serasa tak berarti

2010

107

Malam Jum'at di Bawah Pohon Mangga


Di Rumah Pak Syaiful duduk di tengah-tengah bidadari dan malaikat aku tersentak mati lampu, tapi wajahnya begitu terang bersinar ada duka disini di dalam keremangan ada suka terpancar disertai desiran air masuk ke tubuhku aku bukan nabi yang bisa bersabar sepenuhnya damai itu abadi seperti air yang mengalir menuju puncak surga malam jumat, terasa seperti malam lainnya bukan karena sang malaikat selalu memberikan canda dan bukan karena senyum manis bidadari ah,, aku mencoba berdiri memandang liukan bintang Cinta itu absrak, tidak memandang status, aku tegaskan masih ada keindahan di sisi ku masih ada kelemahan dihatiku tergetar saja disaat sang bapak mengetuk pintu hati untuk berlabuh aku diam, tapi senyumnya manis menurut kawanku Kudus Jaelani biarlah aku terlelap malam ini melihat lukisan indah dikamarku lukisan bidadari dengan sejuta makna dan seribu misterinya

Nopember 2010

108

BIODATA PENULIS

RIFAT KHAN Lahir pada tanggal 24 April 1985 di Pancor, Lombok Timur, NTB. Menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Selong pada tahun 2004. Aktif dikegiatan Mading Sekolah dan menulis sejak kelas 1 SMP. Aktif di Komunitas Menulis Rumah Sungai Lombok Timur. Beberapa karyanya pernah dimuat di Majalah Lokal seperti Buletin Embun Lombok Timur. Puisinya juga pernah dimuat di Blog Penyair Nusantara dan Kompas.com. Dan insyaAllah salah satu puisinya juga akan diterbitkan dalam buku antologi puisi Kado Untuk Padang . Sekarang Bermukim di Lombok Timur, NTB. Alamat Email : rifatkhan21@ymail.com Blog : http://rifatkhanblog.blogspot.com

109

You might also like