You are on page 1of 6

KAJIAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGESTIMASI POTENSI MIKROALGA SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN

Penny Dyah Kusumaningrum


1) 1)

Pusat Riset Terknologi Kelautan Badan Riset Kelautan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta Email : penny_dyah@yahoo.co.id Abstrak

Using of fossil fuel energy increases in majority sectors include industry, transportation and domestic, proportional with the depletion of oil reserves which is the non-renewable energy. That is encourage the people to find the fossil fuel alternative. There are many studies to try some plants can be used for biofuels, one of them is microalge which has many advantages over traditional oilseed crops such us corn, soybean, palm oils, castor, crop, sunflower, soy, coconut, casava and jantropha. The advantages are better yield, rapid growth, better use of land, reducing pollution and frequent harvest. Indonesia has geographic potential with the large tropical sea area with the enermous sun light, so there is high microalgae diversity. It can be predictably that Indonesia has the big resources of microalgae for biofuel. To know the potential of microalgae as renewable energy, the mapping of distribution and area is needed for providing information of the microalgae resources in Indonesia. Remote sensing technology can be used for mapping the micoalgae resources. The final results are the area information and estimation the microalgae potency as renewable energy. Keyword : microalge, remote sensing, estimating

1. Pendahuluan Kebutuhan energi merupakan sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia saat ini, energi mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan sesuai kesepakatan dunia dalam World Summit on Sustainable Development. Pemakaian energi dunia untuk waktu mendatang seperti diperkirakan Energy Information Administration (EIA) hingga tahun 2025 masih didominasi oleh bahan bakar dari fosil; minyak, gas alam dan batubara, untuk energi terbarukan masih relatif sedikit. Sedangkan dari segi pemakaian, sumber energi minyak secara global didominasi untuk transportasi, dan ini sampai tahun 2025 diperkirakan masih terus berlanjut meningkat, sedangkan untuk daerah komersial dan tempat tinggal dapat dikatakan tidak banyak perubahan. Kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275 milyar watt di tahun 2002 melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun 2025, dan untuk mendapatkan energi listrik tersebut sebagian besar adalah dari batubara yaitu hampir 40%, diikuti dengan gas yang semakin meningkat. Penggunaan energi di Indonesia juga seperti yang terjadi di dunia secara umum yaitu meningkat pesat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan perekonomian maupun perkembangan teknologi. Pemakaian energi mix di Indonesia saat ini lebih dari 90% menggunakan energi yang berbasis fosil, yaitu minyak bumi 54,4%, gas 26,5% dan batubara 14,1%. Untuk energi dengan Panas bumi 1,4%, PLTA 3,4%, sedangkan energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya 0,2% (Anonim, 2007). Data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan bahwa minyak bumi mendominasi 54 persen penggunaan energi di Indonesia. Sedangkan penggunaan gas bumi sebesar 26,5 persen dan batubara hanya 14 persen dari total penggunaan energi. Dari data tersebut juga menyebutkan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia hanya cukup untuk 18 tahun ke depan, sementara cadangan gas bumi masih mencukupi untuk 61 tahun ke depan dan cadangan batu bara baru habis dalam waktu 147 tahun lagi. Habisnya cadangan minyak bumi tak berarti akan menghentikan kebutuhan terhadap energi bahan bakar. Karena itu tidak sedikit upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan berbagai kalangan akademisi untuk mencari sumber energy alternatif lain. Banyak sumber-sumber energi lain yang mulai dimanfaatkan seperti gas, uranium, tenaga air, panas bumi, dan bioenergi, bahan bakar yang berasal dari bahan nabati.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009

A - 129

Di sisi lain, banyaknya hasil riset dan penelitian menunjukkan ekses negatif emisi gas buang dari pembakaran minyak bumi terhadap atmosfer, lingkungan hidup dan manusia; juga mendorong upaya penggunaan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Salah satu sumber energi alternative yang saat ini sedang dikembangkan adalah mikroalga dari laut. Selain sebagai bahan dasar kosmetik, tumbuhan laut ini ternyata menyimpan kandungan bahan bakar berlimpah. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kadar minyak dalam ganggang melebihi buah jarak, jagung, kedelai, dan tumbuhan nabati lainnya (Majalah Gatra, Edisi 40/XV, 19 Agustus 2009) Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dimana hampir 75% 2 wilayahnya adalah lautan dengan luas mencapai 5,8 juta km termasuk jenis perairan tropis dengan kelimpahan sinar matahahari sebagai bahan fotosintesis tumbuhan, perkembangan biota lautnya termasuk mikroalga jauh lebih tinggi dibanding di daerah subtropis. Berdasarkan kenyataan itulah, Indonesia memiliki potensi mikroalga laut yang sangat melimpah. Besarnya potensi mikroalga sebagai sumber energi yang terbarukan, maka pemetaan distribusi dan luasannya sangat dibutuhkan untuk penyediaan informasi potensi mikroalga di Indonesia. Salah satu teknologi yang digunakan untuk penyediaan informasi tersebut adalah menggunakan teknologi penginderaan jauh untuk memetakan potensi sumber daya mikroalga laut. Hasil akhir yang didapatkan adalah informasi luasan dan distribusi potensi mikroalga laut sebagai sumber energi terbarukan. Penelitian terdahulu mengenai estimasi produksi panen menggunakan teknologi penginderaan jauh sudah banyak dilakukan di berbagai negara di Asia Tenggara termasuk di Srilanka dan Indonesia. Di Srilanka penggunaan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan LAI (Leaf Area Index) ditujukan untuk memprediksi hasil teh dengan tingkat akurasi 95%. Di Indonesia, BBSDLP telah melakukan estimasi produksi sejak tahun 1998. Hasil penelitian ini sangat menjajikan dengan tingkat akurasi 90% (Anonim, 2007). Hasil akhir yang diharapkan adalah adanya informasi mengenai potensi mikroalga sebagai bahan acuan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang lestari dan berkelanjutan. 2. Metode Penelitian Metoda yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi pustaka tentang potensi mikrolga sebagai bahan bakar nabati yang bersifat terbarukan dan pemanfatan teknologi penginderaan jauh untuk mengestimasi potensi mikroalga. 3. Pembahasan 3.1 Deskripsi Mikroalga Mikroalga yang dikenal pula sebagai fitoplankton merupakan salah satu habitat tertua yang hidup di muka bumi, banyak ditemukan di perairan terbuka diseluruh dunia dengan ukuran 5-30 mm. Organisme ini melakukan proses fotosintesa untuk mengubah cahaya matahari dan karbondioksida (CO2) menjadi sumber energi atau karbohidrat (Cristi, 2004).

Gambar 1. Kultur mikroalga dilihat dari perbesaran mikroskop

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009

A - 130

Sel mikroalgae dapat dibagi menjadi 10 divisi dan 8 divisi algae merupakan bentuk unicellulair. Karakteristik yang digunakan untuk membedakan divisi mikroalgae yaitu ; tipe jaringan sel, ada tidaknya flagella, tipe komponen fotosintesa, dan jenis pigmen sel. Selain itu morfologi sel dan bagaimana sifat sel yang menempel berbentuk koloni/filamen adalah merupakan informasi penting didalam membedakan masing-masing group. Menurut Kawaroe (2008), terdapat empat jenis milroalga yang berpotensi sebagai bahan bakar nabati yaitu : 1. Diatom (Bacillariophyceae) 2. The green algae (chlorophyceae) 3. The blue green algae (Cyanophyceae) 4. The golden algae (Chrysophyceae) Jenis-jenis mikroalga yang telah disebutkan diatas, beberapa jenis mikroalga yang bisa menghasilkan hidroakrbon sebagai produk fotosintesis. Mikroalga jenis inilah yang ditengarai berpotensi sebagai sumber energi namun sampai saat ini belum optimal pemanfaatannya. Melalui proses biofotolisis maupun fermentasi, mikroalga mampu menghasilkan proses energi hidrogen. Gas ini mudah dikonversi menjadi panas, listrik maupun bahan bakar lainnya tanpa menyisakan senyawa racun sehingga aman dan ramah buat lingkungan.

Gambar 2. Alga Diatome

Gambar 3. Alga Hijau 3.2 Keunggulan Mikroalga Keunggulan-keunggulan penggunaan mikroalga sebagai sebagai sumber energi yang terbarukan adalah (Suri, 2006 dan Dowd, 2008) : 1. Kelimpahan mikroalga di dunia sangat besar baik dari keanekaragaman maupun jumlahnya per satuan luas yang sama. 2. Berdasarkan posisi geografis, Indonesia memiliki lautan tropis yang sangat luas dengan kelimpahan cahaya matahari sehingga memiliki kandungan mikroalga yang sangat banyak. 3. Produktivitas mikroalga 2-5 kali lebih cepat dibandingkan tumbuhan pertanian penghasil biofuel lainnya pada luas lahan yang sama. 4. Dapat dibudidayakan pada air tawar maupun asin baik dengan kualitas rendah seperti limbah maupun fasilitas pengolahan air bersih. 5. Sistem mikroalga mampu mengurangi emisi CO2 di atmosfir, sehingga sumber energi dari mikroalga ramah lingkungan. 6. Beberapa spesies mikroalga memiliki memiliki kandungan minyak sangat tinggi mencapai 70% dari bahan baku. 7. Miroalga dapat dibudidayakan di bioreaktor dengan tujuan mencapai pertumbuhan maksimal untuk dapat memproduksi minyak dalam jumlah optimal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009

A - 131

3.3 Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan teknologi untuk memperoleh informasi atau fenomena alam melalui analisis suatu data yang diperoleh dari hasil rekaman obyek, daerah atau fenomena yang akan dikaji. Perekaman atau pengumpulan data penginderaan jaun (inderaja) dilakukan dengan alat pengindera sensor yang dipasang pada pesawat atau satelit (Lilllesand & Kiefer, 1994). Teknologi penginderaan jauh semakin berkembang seiring perkembangan teknologi sensor. Aplikasi satelit penginderaan jauh mempu memberikan data dan informasi tentang sumber daya alam baik di darat maupun kelautan secara teratur dan periodik. Salah satu pemanfaatan teknologi penginderaan jauh citra satelit merupakan hal yang tepat untuk wilayah laut indonesia yang sangat luas dalam usaha memperoleh informasi sumber daya kelautan, khususnya besarnya potensi mikroalga secara tepat dan akurat. Pendugaan luasan panen mikroalga sangat penting untuk mengetahui potensi luas dan produksi mikroalga di suatu wilayah laut. Identifikasi obyek dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dilakukan dengan melakukan beberapa pendekatan antara lain karakteristik spektral citra, visualisasi, floristik, geografi dan phsygonomik. Khusus untuk sistem satelit (citra satelit) identifikasi obyek lebih banyak didasarkan pada karakteristik spektral sebagai kunci interpretasi dalam pengenalan obyek (Roderick, et al, 2000). Selanjutnya pengenalan obyek pada citra dapat dilakukan dengan menggunakan citra multispektral dan interpretasi kuantitatif secara digital dengan menggunakan software pengolah citra digital. Untuk mengidentifikasi mikroalga pada citra satelit melalui karakteristik spektralnya (spectral signature), perlu diketahui fase-fase pertumbuhannya baik yang berada pada ekosistem laut terbuka, laguna maupun kawasan budidaya. Selain itu harus dilakukan studi tentang ciri-ciri ekosistem mikroalga yang dapat membedakan dengan vegetasi laut lainnya. Vegetasi yang berbeda akan memantulkan energi elektromagnetik yang berbeda sehingga gambar yang terekam (image) dan tampak pada citra juga berbeda. Karakteristik reflektan tersebut merupakan suatu pola tingkatan intensitas reflektan atau nilai pantulan obyek yang dinyatakan dalam nilai piksel (digital number) pada citra digital. Dengan demikian nilai pantulan merupakan unsur interpretasi utama dalam mengenali obyek termasuk mikroalga yang direkam dengan citra. Untuk memperoleh data karakteristik spektral mikroalga dilakukan melalui pengukuran pantulan selama masa pertumbuhannya. Pertumbuhan mikroalga meliputi fase lag (induction), fase eksponensial, fase declining growth rate dan fase stationary (Cautteau, 2006). Pengukuran tersebut dilakukan secara simultan baik di lapangan dengan menggunakan radiometer maupun skala laboratorium melalui analisa spektrofotometer. Dari kedua hasil pengukuran tersebut diperoleh nilai pantulan yang diwujudkan dalam kurva karekteristik spektral yang dapat dijadikan kunci interpretasi mikroalga pada citra satelit. Untuk memprediksi potensi panen mikroalga dilakukan pada saat mikroalga mengalami fase eksponensial. Pada fase ini ditandai dengan penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui pembelahan dan apabila dihitung secara matematis membentuk fungsi logaritma. Untuk kepentingan budidaya mikroalga dipanen pada akhir fase eksponensial. Selain itu berdasarkan hasil penelitian, pada fase akhir ekponensial ini, didapatkan kandungan protein dalam sel sangat tinggi, sehingga kualitas sel algae benar-benar terjaga untuk kepentingan kultivan budidaya lebih lanjut. Perkiraan masa panen berdasarkan umur mikroalga yang diperoleh dari hasil transformasi indeks vegetasi menjadi umur mikroalga. Nilai indeks vegetasi tersebut diperoleh dari hasil analisis citra digital. Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan pada citra satelit atau transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran panjang gelombang sekaligus untuk menyajikan aspek-aspek yang berkaitan dengan vegetasi (Danoedoro, 1996)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009

A - 132

Indeks vegetasi yang paling sering digunakan adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index yang diformulasikan sebagai berikut (Jensen, 2000) :

NDVI

NIR RED NIR RED

Dimana NIR dan Red adalah panjang gelombang infra merah dekat (0,7 1,35 m) dan panjang gelombang spektrum tampak (merah) pada 0,6-0,7 m. Algoritma indeks vegetasi lain yang juga sering digunakan adalah GNDVI dengan formula sebagai berikut (Hunt, 2007) ;

NDVI

NIR GREEN NIR GREEN

Dimana panjang gelombang spektrum tampak (hijau) pada 0,5-0,6 m. Seperti yang telah diutarakan sebelunya, fase eksponensial merupakan fase pertumbuhan optimum pada mikroalga. Pada saat itu mikroalga memiliki nilai indeks vegetasi optimum, kemudian dihitung produksinya untuk mengetahui produktivitasnya (misalnya dalam satuan ton/hektar). Perhitungan ini dilakukan melalui data training area yang sudah ditentukan lokasinya. Berdasarkan training area tersebut maka daerah/wilayah lain yang memiliki indeks vegetasi sama dapat diduga pula produktivitasnya. Untuk mengestimasi luas areal tanaman mikroalga di laut dilakukan dengan menghitung jumlah piksel pada citra penginderaan jauh. Perlu diingat bahwa setiap jenis citra memiliki resolusi spasial yang berbeda. Untuk citra resolusi menengah seperti Landsat TM, satu piksel yang terekam memiliki ukuran 30 m x 30 m di lapangan. Perhitungan luas areal mikroalga dapat dilakukan berdasarkan batas wilayah provinsi atau kabupaten sehingga dapat diketahui informasi luas panen mikroalga di setiap provinsi maupun kabupaten di Indonesia. Berdasarkan hasil akhir perhitungan tersebut di atas, maka didapat estimasi potensi mikroalga di Indonesia sebagai sumber energi terbarukan 4. Kesimpulan dan Saran 4.1 Kesimpulan Mikroalga memiliki keunggulan-keunggulan yang berpotensi sebagai sumber energi terbarukan dalam bentuk bahan bakar nabati Untuk mengidentifikasi mikroalga dari satelit penginderaan jauh perlu data karakteriktik spektral (spectral signature) yang didapat dari pengukuran pantulan spektral baik di laboratorium maupun di lapangan. Estimasi potensi mikroalga paling optimum diperkirakan pada saat fase eksponensial dimana umur mikroalga pada saat itu dapat ditentukan dari hasil transformasi indeks vegetasi. 4.2 Saran Perlu dilakukan penelitian tentang karakterisktik spektral mikroalga khususnya untuk jenis-jenis yang berpotensi sebagai bahan bakar nabati sebagai kunci identifikasi mikroalga pada citra satelit. Untuk mendukung hasil estimasi yang lebih optimal, perlu dilakukan penelitian tentang transformasi indeks vegetasi yang paling efektif untuk menentukan umur mikroalga pada saat menjelang fase eksponensial.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009

A - 133

Daftar Pustaka [1] Anonim, 2007, Permintaan Energi Dunia Meningkat,http://www.esdm.go.id/berita/ umum/37umum/2133-hingga-2030-permintaan-energi-dunia-meningkat-45-.html) [2] Anomim, 2007, Pendugaan Panen Padi Melalui Satelit Penginderaan Jauh, Warta Penelitian dan Pengembangan pertanian Vol. 29 no. 6 [3] Danoedoro P., 1996, Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya dalam Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada [4] Dowd, Tony, 2008, Commercial Challenges to the Production of Biofuel from Microalgae, Oil Alsgae Seminar IPB Convention Center Bogor [5] Hunt, E.R.,and Yilmaz., 2007, Remote Sensing of Vegetation Water Content Using Shortwave Infrared Reflectance, Summaries of International Society for Optical Engineering. [6] Jensen, J.R., 2000, Remote Sensing of the Environment an Earth Resource Perspective, Prentice Hall [7] Kawaroe, Mujizat, 2008, Isolation, Cultivation and Harvesting Technique of Microalgae for Biofuel Production, Oil Algae Seminar IPB Convention Center Bogor [8] Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer., 1994. Remote Sensing and Image Interpretation, John Wiley and Sons. New York. USA [9] Roderick, M.L., V. Chewings, and R.G.C Smith, Remote Sensing in Animal and Vegetation rd Studies, Ed 3 CABI, Wellingford

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009

A - 134

You might also like