Professional Documents
Culture Documents
Buletin
Pengantar Redaksi
Pembaca yang budiman, masalah yang paling dikhawatirkan warga Jakarta diawal tahun adalah hujan yang semakin kerap turun. Hujan dengan intensitas cukup tinggi memang selalu mewarnai aktivitas warga ibukota di bulan Januari dan Februari. Kita tentu saja berharap agar musim hujan kali ini tak terlalu merepotkan. Jangan sampai musim hujan kali ini menimbulkan musibah yang berat bagi warga Jakarta. Beberapa pengalaman yang pernah terjadi, banjir besar biasanya terjadi pada kedua bulan ini. Meski tak setiap tahun banjir besar mendera Jakarta, tapi di bulan-bulan ini memang harus tetap kita waspadai. Apa alasan kita mewaspadai bulan-bulan ini ? Nah, latar belakang tentang perlunya sedia payung diawal-awal tahun , yang akan kita bahas dalam Buletin kali ini. Maksud dari mengangkat topik ini tentu saja untuk memberikan masukan yang sedikit ilmiah, berdasarkan pengalaman yang sudah pernah terjadi. Semoga saja dengan membaca Buletin ILWI, kali ini warga Jakarta bisa lebih mewaspadai terjadinya banjir. Masih berkaitan dengan banjir, dalam buletin kali ini juga diangakat tentang bagaimana pengelolaan BKT seharusnya dan pembahasan mengenai sistem polder. Pembaca, selamat menikmati Buletin ILWI, edisi pertama di tahun kedua penerbitannya. Redaksi ILWI
dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke pada tahun 1922. Meski sudah dibangun BKB, bukan berarti persoalan banjir di Jakarta bisa langsung bisa diselesaikan. Januari 1932 lagi-lagi banjir besar melumpuhkan Kota Jakarta. Ratusan rumah di kawasan Jalan Sabang dan Thamrin digenangi air. Saat pemerintahan beralih ke Republik Indonesia masalah banjir di Jakarta pun tak kunjung bisa diselesaikan. Bulan Februari 1976, hujan deras turun dalam waktu yang cukup lama. Selama tiga hari berturutturut hujan turun nyaris tanpa henti, akibatnya sebagaian Jabodetabek terendam. Jakarta Pusat menjadi lokasi terparah dalam banjir tersebut, lebih 200.000 jiwa diungsikan. Setahun berselang, 19 Januari 1977, Jakarta kembali tergenang. Meski tidak separah tahun sebelumnya, setidaknya 100.000 jiwa diungsikan dalam musibah saat itu. Di era tahun delapan puluhan, persoalan banjir terus berlanjut. Januari 1984, sebanyak 291 Rukun Tetangga (RT) di aliran Sungai Grogol dan Sekretaris terendam. Dampaknya terasa di Jakarta Timur, Barat dan Pusat, jumlah total korban tercatat 8.596 kepala keluarga. 13 Februari 1989, giliran Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan meluap akibat tidak mampu menampung banjir kiriman dari hulu, 4.400 kepala keluarga harus mengungsi.
3
Setelah itu hampir setiap tahun terjadi banjir. Bahkan Tahun 1994, meluapnya Sungai Cipinang dan Sungai Sunter mengakibatkan banjir di daerah Pulo Gadung, Jl. Perintis Kemerdekaan, Kampung Kayu Putih, Komplek Perhubungan Jati Rawamangun, Cipinang Jaya termasuk Jalan Panjaitan. Bahkan Perumahan Sekretaris Negara RI, Jalan Bekasi Timur dan Jatinegara Pulo juga tergenang. Total kawasan yang terkena banjir sekitar 800 hektar. Kedalaman genangan air antara 40 sampai 100 sentimeter. BKB Tak Mampu Menahan Banjir 1996 Dua tahun kemudian, Januari 1996, banjir kembali menggenangi Jakarta, kali ini lebih banyak lagi lahan permukiman yang terendam. Lebih dari 3.000 hektar daerah permukiman sepanjang alur K.Ciliwung, BKB dan kali Anak Ciliwung tergenang. Ini disebabkan hujan yang tiada henti selama dua hari di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Akibatnya Kali Ciliwung penuh air, mengalir ke hilir dan meluap melewati tebing-tebing sungai. Sepertiga dari daerah genangan diperkirakan berada di Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Saat itu debit puncak Pintu Air Manggarai tercatat sebesar 500 - 550 m3/det . Ini berarti dua kali lebih besar daripada debit rencana yang digunakan oleh studi NEDECO tahun 1973. Banjir Kanal Barat (BKB) yang hanya dibuat sesuai banjir rencana, 290 m3/det untuk periode ulang 100 tahun, tak mampu lagi menahan air yang melimpas. Debit banjir yang sangat besar ini sekaligus menjadi indikasi adanya perubahan yang terjadi pada rejim hidrologi Kali Ciliwung karena perubahan pada pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung. Kala itu debit banjir mencapai 500 m3/det. Banjir yang terjadi bulan Januari itu , ternyata bukan yang terparah di tahun itu. Sebulan berselang, 10 Februari 1996, curah hujan sebesar 250 mm selama 5 jam kembali membuat Jakarta banjir. Kali ini daerah yang tergenang lebih banyak lagi, sekitar 5.000 hektar daerah permukiman di DKI digenangi air setinggi 1-2 meter. Hujan satu hari itu sama dengan hujan ekstrim dengan periode ulang 100 tahun. Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua kejadian banjir ini adalah bahwa kondisi kurang baik di gabungan DAS Sunter-Cipinang sebagai penyebab utama banjir di wilayah bagian timur Jakarta. Upaya pencegahan banjir di bagian timur Jakarta harus diarahkan pada penyelesaian masalah yang ditimbulkan oleh buruknya sistem sungai Sunter-Cipinang. Ini menunjukkan bahwa pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) merupakan komponen utama dalam penyelesaian masalah banjir di wilayah timur Jakarta. Tahun berikutnya, 13 Januari 1997, hujan deras selama 2 hari menyebabkan 4 kelurahan di Jaktim tergenang. Lagi-lagi diakibatkan oleh meluapnya Sungai Cipinang. Sedangkan Januari 1999, banjir kembali menggenangi Jakarta, Tangerang, dan Bekasi, ribuan rumah terendam, 6 korban tewas, 30.000 jiwa mengungsi.
ILWI Buletin No 01-2010
Banjir 2007
Hulu dan Hilir Hujan Penyebab Banjir Besar 2002 Banjir 2002 puncak banjir disebabkan oleh banjir dari Bogor ditambah dengan hujan yang turun cukup lebat di Jakarta, ini berlangsung dalam beberapa hari. Di awal bulan Januari hujan turun selama sepuluh hari di segitiga Bekasi, Tanjung Priok dan Halim PK. Hujan ini membawa kotoran dan material yang menjadi sedimen di dasar sungai. Meski dengan intensitas yang lebih rendah, hujan masih terus turun pada pertengahan Januari itu. Hingga intensitasnya kembali meningkat tanggal 30 Januari 2002, mencapai 250 mm. Akibatnya daerah-daerah yang berbatasan dengan sungai langsung dibanjiri air yang melimpas. Dalam kejadian banjir ini debit di Pintu air Manggarai mencapai 400 m3/det, lebih rendah dibandingkan debit pada saat banjir 1996. Curah hujan ekstrim terjadi tanggal 2 Februari 2007 dimana kala itu ketinggian Kali Ciliwung mencapai puncaknya. Sampai tanggal 4 Februari banjir menggenangi permukiman seluas 10.000 hektar. Secara umum dampak banjir tahun 2002 ini dua kali lipat dari banjir 1996. Kedalaman genangan pada beberapa tempat bahkan mencapai 4 meter. NEDECO, menyimpulkan bahwa puncak banjir Kali Ciliwung disebabkan oleh hujan lebat di bagian tengah DAS (sepanjang alur Depok-Manggarai) dan menyebabkan banjir dengan periode ulang 20 tahun. 2007 Banjir Tak Kalah Garang Genangan dalam jumlah besar kembali terjadi pada tahun 2007, sekitar 60% wilayah Jakarta mengalami banjir. Sebanyak 150.000 jiwa mengungsi, 1379 gardu induk terganggu, 420.000 pelanggan listrik tertanggu. Banjir ini terjadi karena melimpasnya air di daerah hilir Sungai Ciliwung dan beberapa sungai lainnya. Luapan air pertama kali terjadi tanggal 2 Februari 2007 disebabkan hujan yang sangat lebat di Jakarta. Saat itu ketinggian air di Sungai Ciliwung
4
mencapai sekitar 9,5 meter. Banjir hari itu bukan berasal dari daerah hulu, sebab ketinggian air di Katu Lampa dan Depok tidak mengkhawatirkan. Dua hari kemudian tanggal 4 Februari hujan lebat terjadi daerah hulu, saat itu ketinggian air di Katu Lampa sudah menunjukan tanda-tanda akan meluap. Meski hujan di Jakarta tidak sebesar dua hari sebelumnya, akan tetapi banyaknya air dari daerah hulu tidak mampu ditampung di daerah hilir Ciliwung, saat itu tinggi air mencapai lebih dari 10,5 meter. Banjir pada tanggal 4 Februari tersebut lebih banyak disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di daerah hulu Katu Lampa dan Depok. Menurut catatan dari apa yang terjadi, banjir tahun 2002 dan 2007 disebabkan oleh curah hujan ektrim yang turun lebih dari dua hari. Hal ini menyebabkan tinggi muka air Sungai Ciliwung di daerah Manggarai mencapai puncaknya. Sedangkan khusus untuk tahun 2007 sekaligus terjadi kombinasi penyebab banjir akibat hujan di daerah hulu dan dan daerah hilir. Hujan yang turun berbarengan seperti ini membuat saluran-saluran air di Jakarta kewalahan menahan gempuran air. Akibatnya banjir tak bisa terelakan di dataran-dataran yang lebih rendah. Perkiraaan Banjir Masa Datang Diharapkan pada tahun 2010 pembangunan Banjir Kanal Timur sudah bisa diselesaikan dan pengerukan sungai bisa diintensifkan, sehingga sungai
dan saluran untuk membuang air ke laut bisa lebih maksimal dalam bekerja. Jika ini berlangsung dengan baik, maka risiko banjir yang disebabkan oleh curah hujan akan berkurang. Meski demikian potensi banjir masih tetap ada, terutama yang diakibatkan curah hujan yang jatuh di atas Jakarta, apalagi terjadi pada saat masuknya air pasang dari laut. Banyaknya daerah yang berada dibawah permukaan laut, membuat Jakarta kembali tergenang. Hal ini diperparah lagi dengan adanya pemanasan global dimana intensitas curah hujan pada musim penghujan menjadi meningkat, naiknya permukaan laut, serta amblesnya tanah di Jakarta. Saluran-saluran makro yang masih belum optimal menjalankan perannya, juga menjadi hambatan dalam mengatasi banjir. Sampah-sampah yang masih menumpuk dan bangunan-bangunan yang menjorok ke daerah aliran sungai harus terus menerus dihilangkan. Pekerjaan ini juga tak mudah, karena para penghuninya tak mau beranjak begitu saja dari tempat itu. Demikian juga dengan persoalan sampah, kebiasaan membuang sampah kedalam sungai harus benar-benar diubah. Tentunya dengan memberi alternatif tempat pembuangan sampah.Bagiamanapun juga program naturalisasi aliran sungai harus didukung oleh semua pihak.
Di negara yang memiliki dua musim seperti Indonesia, curah hujan sangat mempengaruhi jumlah air yang bisa langsung terserap oleh tanah. Jika klasifikasi hujan tersebut ringan dan sedang biasanya bisa langsung terserap. Meskipun harus melimpas, air tersebut masih mampu ditampung saluran yang ada, untuk dialirkan ke laut. Masalah timbul jika hujan merata turun lebat dan sangat lebat dan dalam waktu yang cukup lama. Tak hanya kemampuan tanah saja yang tak lagi bisa menyerap, saluranpun tak mampu menahan limpasan air. Bahkan saluran berkapasitas besar, makro dan sub makro sering tak mampu menanggung beban air yang terlalu banyak. Akibatnya air akan menggenangi rumah-rumah penduduk yang berada di dataran yang lebih rendah.
6
Ironisnya, banyak wilayah di Jakarta yang posisinya sangat rendah berada di bawah permukaan laut, sehingga air tak mampu lagi bergerak. Perlu waktu beberapa jam, bahkan berhari-hari untuk membuang air tersebut atau membiarkannya terserap kedalam tanah. Kejadian semacam ini terjadi jika hujan dengan kapasitas besar terjadi terus menerus baik di daerah hulu maupun hilir sungai. Curah hujan dapat digolongkan sangat lebat apabila intensitasnya mencapai lebih dari 100 mm per hari.
Klasifikasi Sangat Ringan Ringan Sedang Lebat Sangat Lebat Curah Hujan per hari < 5 mm 6 mm 20 mm 21 50 mm 51 100 mm >100 mm
Curah Hujan Bulanan di Selatan Jakarta (Sumber : Jakarta Flood Management Project)
Topografi Jakarta Memperparah Genangan Jakarta dan juga beberapa kota besar lainnya di Indonesia berada pada dataran rendah di daerah pantai (coastal zone). Bahkan 40 % wilayahnya berada dibawah permukaan laut. Akibatnya, jika curah hujan tinggi, air tidak langsung bisa dibuang ke laut, genangan tidak terelakan terjadi di daratan. Terutama di wilayah yang berbatasan dengan pantai. Karena itu, dikala hujan lebat datang Jakarta Utara lah yang paling menjadi bulan-bulanan banjir. Meski demikian, banjir pun dipastikan akan melanda wilayah lain di Jakarta. Utamanya daerah-daerah rendah, yang dilalui oleh luapan air sungai. Masalah banjir, ini menjadi lebih ironis karena masih banyak wilayah di seluruh DKI yang tak memiliki sistem drainase lingkungan yang baik. Hujan yang turun di lokasi tertentu, tak langsung bisa dialirkan ke saluran pembuangan. Ini tentu menyebabkan kawasan tersebut menjadi tergenang dan warga hanya bisa menunggu air tersebut surut terserap tanah. Untuk permasalahan seperti ini memang sulit melakukan tindakan yang cepat untuk menanganinya. Seandainya air yang tergenang dipompakan ke saluran makro, maka air itu akan masuk kembali ke daerah rendah tersebut, karena terlanjur tidak dibuatkan tanggul. Sejauh ini kawasan-kawasan rendah semacam itu, bisa efektif menyelesaikan persoalan banjirnya dengan membuat sistem polder. Seperti yang dilakukan di Belanda (lihat : Pengendali Banjir dengan Sistem Polder). Sistem Polder Belum Memasyarakat Sejauh ini ada 78 lokasi yang gampang sekali mengalami gnangan di Jakarta. Meski yang terbanyak berada di Jakarta Utara, tapi lokasi genangan relatif merata ada di empat wilayah lainnya di DKI Jakarta. Bahkan di Jakarta Selatan juga tak sedikit kawasan yang terganggu genangan jika terjadi hujan yang lumayan lebat di wilayah ini. Seperti daerah Pondok
Di Jakarta hujan dengan klasifikasi sangat lebat memang sering terjadi ini terlihat dalam dalam angka curah hujan bulanan, baik di utara maupun selatan Jakarta. Hujan dengan klasifikasi sangat lebat sering sekali terjadi di Jakarta. Untuk curah hujan dengan intensitas 100 mm, memang harus selalu diwaspadai, karena berpotensi menyebabkan banjir. Apalagi jika berlangsung cukup lama. Sebagai contoh banjir tahun 1996 dan 2002, terjadi karena hujan dengan intensitas 250 mm berlangsung selama 5 jam. Biasanya, hujan dengan intensitas tinggi ini memang paling sering terjadi pada dua bulan pertama, diawal tahun. Sehingga dalam dua bulan inilah ibukota paling sering diterjang banjir. Meski sebelum dan sesudah bulan-bulan itu hujan masih turun, tapi dampaknya tidak sedasyat di kedua bulan itu.
Curah Hujan Bulanan di Utara Jakarta (Sumber : Jakarta Flood Management Project)
Ini artinya limpasan air yang terjadi di kawasan yang mengalami penurunan tak bisa lagi dialirkan melalui sistem drainase yang mengandalkan gaya gravitasi dalam mengalirkan airnya. Seharusnya air-air tersebut dikumpulkan terlebih dahulu dalam satu penyimpanan (storage) ,
setelah itu baru dipompakan ke saluran-saluran makro. Sistem pengelolaan air menggunakan sistem polder seperti ini, sangat efektif untuk menanggulangi banjir di kawasan semacam ini. Sayangnya sistem semacam ini belum memasyarakat di Jakarta, memang ada beberapa daerah yang membuat sistem ini. Sayangnya, dibanyak tempat polder yang dibuat tak dirawat secara rutin sehingga tak berfungsi dengan baik.
HULU KE HILIR
Hujan
2000 m + MSL
t0
Evapotranspirasi Evapotranspirasi
Waduk/situ
UPSTREAM (Puncak-Bogor)
t1
MIDDLESTREAM (Bogor-Depok-Jaksel)
Banjir kanal
Sistim polder
Resapan air
t2
.....
DOWNSTREAM (Jaksel-Jakut) Polder
Evaporasi
t3
Pesisir
Gravitasi
t4
besar pada tahun 1621, diikuti tahun 1654 dan 1876. Kerepotan mengurusi banjir, tahun 1922 pemerintah Belanda merasa perlu untuk membangun Banjir Kanal Barat. Sayangnya semakin hari, masalah banjir semakin kompleks saja. Penyelesaian yang diambil selalu kalah cepat dengan permasalahan yang muncul. Melihat dari meratanya banjir di Jakarta, ada fenomena yang cukup menarik, yaitu adanya salah satu daerah di Jakarta Utara yang dalam beberapa tahun terakhir ini tak mengalami banjir, sebuah kawasan perumahan elit, Pantai Indah Kapuk. Masyarakat sempat menuding salah satu penyebab banjir adalah karena kawasan perumahan ini meninggikan seluruh lahan di tempat itu sehingga air sama sekali tak bisa masuk. Belakangan memang pendapat itu berhasil ditepis, karena daerah ini menggunakan Sistem Polder dalam usaha pengendalian banjirnya. Bagaimana sebenarnya sitem ini bekerja, sehingga banjir tak pernah lagi menjangkau kawasan ini. Polder adalah satu daerah tertutup yang tinggi muka airnya selalu dikontrol, kata Sawarendro, Ketua Indonesia Land reclamation and Water management Institute (ILWI)sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dibidang pengelolaan air dan reklamasi-. Dengan menggunakan sistem ini satu kawasan akan terjaga jumlah airnya meskipun di musim
11
penghujan. Kondisi seperti ini sekaligus membebaskan wilayah tersebut dari ancaman banjir. Disisi lain di saat musim kemarau kawasan polder justru tetap menyimpan air, karena sistem ini mengharuskan tersedianya waduk penahan air. Dengan adanya air tersebut menyebabkan kandungan air tanah di daerah ini masih terjaga di musim kemarau. Bagaimana sistem polder bekerja ? Sistem polder bisa dibuat untuk satu kawasan dengan luasan yang bervariasi dari puluhan hingga ratusan hektar. Kawasan yang berpotensi banjir tersebut diberi batas keliling yang juga berfungsi sebagai tanggul. Jalur yang tidak dapat dilalui air itu berfungsi sebagai batas hidrologi. Dengan adanya tanggul ini air dari daerah lain tidak bisa masuk ke daerah polder. Meski disebelahnya laut atau sungai, yang tinggi muka airnya melebihi dataran yang berada di kawasan polder, daerah tersebut tetap aman dari limpasan air. Dalam kenyataanya, tanggul tersebut bisa dibuat nyaris tak terlihat sama sekali. Karena batas hidrologinya bisa dengan memfungsikan jalan raya dan rel kereta api. Di kawasan perumahan biasanya para pengendara mobil tak pernah tahu bahwa jalan yang mereka gunakan berfungsi sebagai tanggul.
Meski demikian air tak seluruhnya bisa ditahan, karena disamping kemungkinan air limpasan tentu ada pula air rembesan (seepage) yang masuk ke kawasan tersebut. Air ini juga harus dikelola, karena jika permukaan air disebelah kawasan polder tinggi tentu jumlah air rembesan juga banyak. Ini dapat pula menyebabkan tejadinya genangan. Melalui drainasi bawah tanah (sub surface drain) air dialirkan ke dalam waduk penahan air, yang telah dibuat di kawasan tersebut. Sumber air lain yang bisa menyebabkan banjir di daerah tersebut adalah air hujan. Dalam sistem ini air hujan yang menggenangi permukaan kawasan dialirkan melalui drainasi permukaan ke dalam waduk. Sehingga setinggi apapun curah hujan air tidak sampai tergenang di permukaan kawasan. Karena melalui drainasi permukaan air langsung dialirkan ke waduk. Untuk air yang berasal dari limbah rumah tangga, air tak boleh langsung disalurkan ke waduk. Air limbah harus terlebih dahulu diolah sebelum dialirkan ke waduk. Ini dilakukan untuk menjaga agar waduk tidak tercemar. Setelah diolah air dialirkan langsung ke saluran pemompaan atau ke waduk melalui saluran. Saat musim hujan waduk harus dikontrol ketinggiannya. Jika air sudah melebihi batas toleransi
ILWI Buletin No 01-2010
maka air tersebut harus dialirkan ke laut atau ke saluran makro/sungai. Jika melalui saluran makro/sungai, maka saluran tersebut harus mengalir langsung ke laut. Untuk mengeluarkan air dari kawasan tersebut maka polder mempunyai struktur keluar (outlet structure). Struktur ini berupa pompa air dan bisa juga dilengkapi dengan pintu air. Dengan kontrol seperti ini maka kawasan akan terbebas dari banjir. Jika sistem ini bisa berjalan dengan baik, maka air tak akan membanjiri kawasan tersebut, walaupun tinggi air di sekitar kawasan jauh melebihi tinggi muka tanah di wilayah polder. Dimusim hujan tinggi air terus dimonitor sehingga setiap kali air melebihi ambang batas maka air segera dibuang ke luar. Sistem ini menuntut adanya petugas yang terus menerus memonitor tinggi air, terutama dikala musim hujan. Sehingga kawasan akan terus terbebas dari genangan air. Sedangkan dimusim kemarau pengontrolan relatif lebih longgar, karena ancaman air tak begitu besar. Sebaliknya air yang berada di dalam waduk justru menjadi penyeimbang kandungan air tanah di kawasan tersebut. Waduk penahan air tersebut, juga bisa dijadikan daerah untuk wisata keluarga,bahkan bisa juga untuk pemancingan. Sistem seperti inilah yang banyak digunakan di kota-kota besar di Belanda, termasuk untuk Bandara Schiphol, Amsterdam. Salah satu pelabuhan udara tersibuk di dunia ini memakai sistem polder, karena posisinya yang berada dibawah permukaan air laut. Sejarah perkembangan sistem ini sendiri sudah ada sejak seribu tahun lalu, kata Sawarendo. Awalnya ketika para petani di Belanda ingin menggarap lahan pertanian yang mereka miliki, para petani itu mengolah tanah gambut miliknya dengan membuat parit dan kanal. Tapi, kenyataannya sistem drainase kanal terbuka buatan manusia tersebut ternyata memicu penurunan muka tanah (subsidens). Ini tentu mengancam kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut. Karena permukaan tanah yang semakin menurun maka kawasan tepi pantai semakin tenggalam karena dibanjiri air laut. Agar tak terjadi banjir para petani berpikir sederhana yaitu dengan membangun tanggul. Pertama kali bangsa Belanda mengenal tanggul tersebut kirakira 1000 tahun yang lalu. Perlahan-lahan penahan air sistem tanggul tersebut berkembang menjadi sistem polder yang disempurnakan terus menerus serta diperluas penggunaannya. Kini semakin lama sistem polder semakin diakui sebagai suatu solusi untuk menghindari satu kawasan dari bencana banjir. Di Jakarta sistem seperti ini sangat cocok, karena ancaman penurunan tanahnya juga cukup besar, ujar lulusan Technische Universiteit Delft, Belanda ini. Karena itu disamping penanggulangan banjir juga harus ada upaya meminimalisasi berkurangnya air tanah di daerah ini. cit/L-1
11
Kondisi sungai di Jakarta memang sudah semakin parah, disamping kewalahan menerima limpasan air di musim hujan, kini hanya sedikit bagian (segmen) dari sungai yang bisa dijadikan sumber air oleh PAM Jaya. Secara umum peran sungai tak lagi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Oleh warga Jakarta , fungsi sungai justru diubah menjadi jamban dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah raksasa. Kebiasaan warga inilah menjadi awal mula segala permasalahan berkenaan tak berfungsinya sungai dengan baik. Ditambah lagi dengan keberanian warga untuk mendirikan rumah dibantaran-bantaran sungai, yang seharusnya menjadi daerah bebas bangunan. Kondisi ini membuat sungai menjadi kesulitan melaksanakan fungsinya dengan baik. Ini bisa dimengerti karena dengan adanya rumah penduduk yang didirikan secara sembarangan ditepi-tepi sungai, otomatis juga pembangunannnya tidak menuruti aturan yang benar. Tak heran, jika banyak jamban-jamban warga dibangun langsung di atas kali-kali tersebut. Maksudnya, tentu saja agar kotoran dari jamban-jamban itu bisa langsung dibuang ke dalam sungai. Jika hanya satu dua rumah saja mungkin tak begitu mencemari sungai, tapi kalau sudah sepanjang sungai warga membangun jamban, maka pencamaran yang diakibatkannya cukup parah. Kotoran sungai akibat tinja diperkirakan mencapai 6 ton per hari. Belum lagi urusan sampah permukaan, yang dibuang ke sungai jumlahnya juga cukup tinggi sekitar 66 ton per hari. Sepanjang 250 kilometer panjang saluran yang ada di DKI Jakarta, hampir seluruhnya mengalami pencemaran semacam ini. Kondisi ini masih diperparah lagi dengan adanya limbah cair yang dibuang ke aliran sungai, baik itu limbah domestik maupun industri. Permasalahan semacam ini membuat sungai-sungai di Jakarta semakin hari semakin terbebani. Semakin sulit menahan gempuran banjir dan airnya pun semakin tak mungkin untuk diolah sebagai air bersih. Ironisnya sangking jeleknya kualitas air, banyak sungai yang airnya tak bisa digunakan untuk apapun, termasuk menyiram tanaman atau sekedar untuk menyuci mobil. Ini menunjukan bahwa sungai-sungai di Jakarta tak mampu lagi menopang kehidupan warga ibukota ini. Untuk itu perlu ada pembenahan terhadap sungai-sungai di Jakarta secara mendasar. Upaya revitalisasi sungai memang tengah berjalan. Kapasitas saluran yang berkurang menyebabkan air dengan mudah melimpas ke luar sungai di kala musim
ILWI Buletin No 01-2010
penghujan tiba. Upaya pengerukan harus dilakukan secara berkelanjutan dan harus pula diikutin dengan pembebasan lahan-lahan di bantaran sungai. Ini bukan masalah gampang, bertahun-tahun pemerintah DKI berkutat di masalah ini, tapi masalah sosial yang berkaitan dengan penggusuran warga memang selalu akan menanggung biaya dan risiko yang besar. Padahal, meskipun itu bisa dilaksanakan baru sebagian masalah sungai bisa diselesaikan. Yaitu yang berkaitan dengan meningkatkan kembali kapasitas aliran sungai. Masih ada masalah lain, yaitu pengembalian kualitas air agar tidak tercemar berat seperti sekarang ini. Satu-satunya upaya yang harus dilakukan adalah melarang warga dan kalangan industri membuang limbah dan sampah padat ke aliran sungai. Jika ada air kotor yang ingin dibuang harus terlebih dahulu dialirkan ke tempat pengolahan limbah. Memang untuk itu diperlukan investasi yang cukup mahal. Namun bagi Jakarta, hal ini sudah merupakan suatu keharusan. Ini harus segera dilaksanakan di kota ini. Aturan untuk melarang pembuangan sampah padat ke dalam sungai juga harus segera diterapkan. Hukuman harus diberikan pada yang melanggarnya. Akan tetapi, disisi lain pemda juga harus memperbaiki manajemen sistem persampahannya. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan manajemen persampahan yang kompleks, melibatkan seluruh warga masyarakat dari tingkat provinsi, kotamadya, kecamatan, RT/RW dan bahkan rumah tangga. Kita memang agak pesimis usaha-usaha ini bisa dilakukan. Beberapa tahun terakhir ini memang kita sudah melihat adanya upaya revitalisasi sungai yang lebih menekakankan kepada upaya peningkatan kembali kapasitas aliran sungai. Belakangan memang masalah sungai semakin banyak, persoalan peningkatan kualitas air juga tak bisa dikesampingkan. Untuk itu tampaknya tak cukup hanya revitalisasi, kini Jakarta perlu melakukan Revolusi terhadap aliran sungainya.
13