You are on page 1of 11

BERITA ACARA PELAKSANAAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN Pada hari ini, Selasa tanggal 10 Pebruari 2009, bertempat di Kejaksaan Agung

R.I. Jalan Sultan Hasanuddin Nomor 1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, kami Jaksa Penyidik . Nama Pangkat/Nip Jabatan Nama Pangkat/Nip Jabatan : ESTER PT. SIBUEA, SH : Jaksa Madya Nip. 230020658 : Jaksa pada Kejaksaan Agung R.I. : WAHYUDI, SH. M.Hum : Jaksa Pratama Nip 230026472 : Jaksa pada Kejaksaan Agung R.I.

..Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print -19/Fd.1/06/2007 tanggal 06 Juni 2007 dan nomor: Print-32/F.2/Fd.1/11/2007 tanggal 06 Nopember 2007, telah melaksanakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara Nomor : Prin-01/F.2/Fd.1/02/2009 tanggal 06 Pebruari 2009, dengan cara sebagai berikut: 1. Menghentikan penyidikan perkara tindak pidana korupsi dalam penjualan Tanker VLCC (Very Large Crud Carrier) milik PT Pertamina (Persero) Tbk. Tahun 2004 yang disangkakan masing-masing terhadap tersangka: 1.1.1. 1.1.2. 1.1.3. IR. ARIFI NAWAWI ALFRED HADRIANUS ROHIMONIE IR. H. LAKSAMANA SUKARDI

2. Meminta kepada petugas pencatat register pada Direktorat Penyidikan agar penyidikan dan barang bukti dalam kasus tersebut dihapuskan dari register penyidikan dan barang bukti. 3. Memberitahukan Penghentian Penyidikan tersebut kepada tersangka/keluarga tersangka dengan menyampaikan tembusan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Direktur Penyidikan Nomor: Prin-01/F.2/Fd.1/02/2009 tanggal 06 Pebruari 2009. Demikian Berita Acara Pelaksanaan Penghentian Penyidikan ini dibuat dengan sebenarnya mengingat Sumpah Jabatan yang ada . IR. ARIFI NAWAWI ALFRED HADRIANUS ROHIMONIE IR. H. LAKSAMANA SUKARDI Pencatat Register Penyidikan dan Barang Bukti ESTER PT. SIBUAKA WAHYUDI, SH, M.Hum

SUMARDIN MASUSUNG Muda Darma TU Nip. 230030167

----------------------------------------- ooo --------------------------------------------

UNTUK KEADILAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN Nomor : Print-01/f.2/Fd.1/02/2009 DIREKTUR PENYIDIKAN Membaca : Usul Penghentian Penyidikan dari Tim Penyidik tanggal 27 Nopember 2008 terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam penjualan Tangker VLCC (Very Large Crud Carrier) milik PT Pertamina (Persero) Tbk, Tahun 2004, masing-masing atas nama tersangka : 1) Nama : IR. ARIFI NAWAWI Tempat Tanggal Lahir : Malang, 12 Januari 1945 Jenis Kelamin : Laki-Laki Kebangsaan : Indonesia Agama : Islam Tempat Tinggal : Jl. Jaya Mandala 93 Pancoran, Kuningan, Jakarta Selatan Pekerjaan : Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Pesero) Pendidikan : Sarjana Tehnik ITB 2) Nama Tempat Tgl Lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Agama Tempat Tinggal Pekerjaan Pendidikan 3) Nama Tempat Tgl Lahir Jenis Kelamin Kebangsaan Agama Tempat Tinggal Pekerjaan Pendidikan : ALFRED HADRIANUS ROHIMONIE : Surabaya, 28 Agustus 1959 : Laki-Laki : Indonesia : Islam : Jl. Prapanca Raya No. 8 Jakarta Selatan : Mantan Direktur Keuangan PT Pertamina (Persero) : Sarjana (S1) : IR.H. LAKSAMANA SUKARDI : Jakarta, 01 Oktober 1958 : Laki-Laki : Indonesia : Islam : Jl. Birah III/IRT-05/RW-06 Blok S Kebayoran Baru, Jakarta Selatan : Mantan Menteri Negara BUMN : Sarjana (S-1)

Mengingat : 1. Bahwa perkara tindak pidana korupsi dalam penjualan Tanker VLCC milik PT Pertamina (Persero) Tbk, Tahun 2004, yang disangkakan terhadap para tersangka tersebut sebagaimana diuraikan di atas ternyata tidak cukup bukti, mengingat salah satu unsur dari pasal 2 atau 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yang disangkakan belum dapat dibuktikan karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) R.I. dengan suratnya nomor : 94/R/S/1XX/09/2009 tanggal 26 September 2008 menyatakan bahwa Penghitungan Kerugian Negara atas transaksi penjualan VLCC (Very Large Crude Carrier) tidak dapat dilakukan sesuai dengan metode dan prosedur penghitungan yang diterapkan BPK RI. Hal ini mengingat BPK RI tidak berwewenangd an tidak berkompeten untuk menilai dan menetapkan harga pasar yang wajar. Dan Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor : 01pk/Pdt.Sus/2007 tanggal 12 Memi 2008 yang amarnya menyatakan Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 04/K/KPPU/2005 tanggal 29 Nopember 2005, serta Menyatakan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Nomor : 07/KPPU-L/2004 tanggal 03 Maret 2005 batal dengan segala akibat hukumnya. Dan pada hal. 314 putusan tersebut menyebutkan bahwa penunjukan Frontline sebagai pemenang tidak menimbulkan kerugian, bahkan menimbulkan keuntungan sebesar 54.000.000,-. 2. Bahwa oleh karena itu cukup alasan untuk menghentikan penyidikan atas tindak pidana yang disangkakan terhadap para tersangka tersebut.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana pasal 284 ayat (2) jo pasal 109 ayat (2); 2. Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana; 5. Keppres Nomor 86 Tahun 1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia; 6. Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Tidank Pidana Khusus Nomor : Print19/F.2/Fd.1/06/2007 tanggal 06 Nopember 2007. MEMERINTAHKAN Kepada : Jaksa Penyidik : 1. Nama Pangkat Jabatan 2. Nama Pangkat/Nip Jabatan 3. Nama Pangkat /Nip Jabatan 4. Nama Pangkat/Nip Jabatan 5. Nama Pangkat/Nip Jabatan : SUGIANTO, M.Hum : Jaksa Madya Nip. 230015524 : Jaksa pada Kejaksaan Agung R.1. : SYAIFUDIN TAGAMAL, SH : Jaksa Madya Nip. 230020411 : Jaksa pada Kejaksaan Agung R.I. : ESTER PT. SIBEA, SH : Jaksa Madya Nip 230020658 : Jaksa pada Kejaksaan Agung R.I. : DESY MEUTIA FIRDAUS, SH.M.Hum : Jaksa Muda Nip . 230025291 : Jaksa pada Kejakasaan Agung R.I. :WAHYUDI, SH. M.Hum : Jaksa Pratama Nip. 230026472 : Jaksa pada Kejaksaan Agung R.I.

1. Untuk : Menghentikan penyidikan atas tindak pidana korupsi dalam penjualan Tanker VLCC milik PT Pertamina (Persero) Tbk, Tahun 2004 yang disangkakan terhadap tersangka : 1.1.1. 1.1.2. 1.1.3. IR. ARIFI NAWAWI ALFRED HADRIANUS ROHIMONIE IR. H. LAKSAMANA SUKARDI

Karena tidak terdapat cukup bukti, dengan ketentuan bahwa apabila di kemudian hari ada alasan baru, maka penyidikan dapat dilakukan kembali terhadap para tersangka tersebut. 2. Barang bukti dalam perkara tersebut agar dihapuskan dari Register Bukti dan dikembalikan kepada PT Pertamina (Persero) dan Kementerian Negara BUMN 3. Membuat Berita Acara Pelaksanaan

Kepada Ybs: Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 6 Pebruari 2009

Untuk dilaksanakan

DIREKTUR PENYIDIKAN SELAKU PENYIDIK,

M. FARELA, SH,M.Hum Jaksa Utama Muda Nip. 230011155 Tembusan : 1) Yth. Jaksa Agung Republik Indonesia 2) Yth. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; 3) Yth. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; 4) Penuntut Umum pada Direktorat Penuntutan; 5) Tersangka;

Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan suatu tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) yang terbagi menjadi pejabat penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang. Namun, dalam hal tertentu jaksa juga memiliki kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara / tindak pidana khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan awal mula eksistensi dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan juga bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelum dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah dilakukan proses penyelidikan oleh penyelidik pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian penyelidikan adalah sebagai berikut : Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana. Sedangkan pada penyidikan, titik beratnya tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Hampir tidak ada perbedaan makna antara keduanya (penyelidikan dan penyidikan), hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesasikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Namun bagaimana halnya bila penyidikan berhenti di tengah jalan? Undang-undang memberikan wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan. Pasal 109 ayat (2) KUHAP menyatakan: Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut : Karena tidak terdapat cukup bukti; Karena

peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; Penyidikan dihentikan demi hukum. Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pemberian SP3 yang akan dibahas dalam penelitian ini bukanlah pemberian SP3 terhadap tindak pidana biasa/umum, seperti pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya, melainkan hanyalah dikhususkan pada pemberian SP3 terhadap tindak pidana khusus yaitu tindak pidana korupsi yang dalam beberapa waktu belakangan ini mengundang kontroversi dan perdebatan serta menciptakan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja dan citra aparat penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana korupsi yang seringkali mengeluarkan SP3. Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Di mata masyarakat yang menghendaki agar pelaku tindak pidana korupsi diproses secara hukum dan dikenai hukuman yang seadil-adilnya, pemberian SP3 dianggap sebagai tindakan yang merusak harapan masyarakat dalam upaya

pemberantasan korupsi. Dari ketiga alasan penghentian penyidikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang telah disebutkan di atas, alasan pertama yaitu karena tidak terdapat cukup bukti merupakan alasan yang paling sering digunakan oleh penyidik tindak pidana korupsi. Hal ini Penulis amati dari beberapa contoh perkara korupsi yang terjadi, di mana dilakukan penghentian penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara

tindak pidana korupsi yang dapat dikatakan besar. Berdasarkan data yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga saat ini, tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah. Data tersebut didapat berdasarkan laporan media massa yang berhasil dihimpun selama lima tahun terakhir (1999-2004). Pihak Kejaksaan selaku institusi yang melakukan penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP3. Terdapat suatu kejanggalan apabila kita menilik kembali ke tahapan awal dari proses pemeriksaan suatu perkara pidana kemudian menghubungkannya dengan alasan dikeluarkannya SP3. Penyelidikan merupakan suatu tindakan penyelidik yang bertujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Sehingga dengan adanya tahapan penyelidikan diharapkan tumbuh sikap hati-hati rasa tanggung jawab hukum yang bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak-hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan, karena itulah dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak

hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga kredibilitas dan kewibawaan dari aparat penegak hukum itu sendiri agar tidak dinilai tergesa-gesa dalam melakukan rangkaian pemeriksaan terhadap suatu tindak pidana. Dari berbagai contoh kasus yang ada, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa kasus perkara tindak pidana korupsi yang dalam pemeriksaan di tahap penyidikan kemudian diterbitkan SP3 oleh penyidik yang adalah pihak kejaksaan dengan alasan yang dinilai kurang transparan dan tidak jelas. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap perkara tindak pidana korupsi di mana dasar pemberian SP3 itu dinilai kurang transparan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku. Berbeda dengan Kejaksaan dan POLRI sebagai penyidik suatu tindak pidana, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaga negara yang dibentuk dari Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengeluarkan SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Pernyataan dalam pasal tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka pada tindak pidana korupsi. Sekilas, ketentuan dalam pasal tersebut tentu saja dinilai

mengebiri hak asasi tersangka yang juga merupakan warga negara, sebab tanpa adanya SP3. maka seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK seolah-olah tidak lagi memiliki kemungkinan untuk dipulihkan kehormatan dan martabatnya, padahal filosofi adanya SP3 adalah sebagai sebuah mekanisme koreksi dan instrumen untuk memulihkan martabat tersangka bila penyidik ternyata tidak memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme SP3 KPK akan memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke level yang lebih tinggi yaitu penuntutan dan pengadilan. Akan tetapi berbeda halnya jika kita melihat dari sudut pandang lain, yaitu dari sudut pandang latar belakang dibentuknya KPK yang berperan sebagai salah satu tonggak penegakan hukum di negara Indonesia dalam usaha pemberantasan korupsi. Undang-undang telah menggariskan KPK untuk selalu berada di luar cara-cara konvensional penegakan hukum karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang sering disebut dengan ekstra ordinary crime, dan oleh karena itulah dibutuhkan cara-cara yang khusus pula untuk menanganinya. Hal ini tercermin dalam wewenang yang dimiliki KPK yang berada di luar sistem hukum material dan formal undang-undang hukum pidana yang konvensional. Contoh tindakan yang tergolong non-konvensional adalah penyadapan atau merekam pembicaraan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Berbagai usaha telah dilakukan oleh banyak pihak yang merasa dirugikan oleh penerapan UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini, di antaranya mengajukan judicial review atau pengujian materil kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang berwenang mengenai klausula apakah undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak. Adapun pihak-pihak tersebut antara lain

terpidana kasus korupsi Prof. Nazaruddin Syamsudin untuk perkara No. 016?PUUIV/2006, serta Mulyana W. Kusumah dan Captain Tarcisius Walla untuk perkara No. 012 dan 019/PUUIV/2006. Para pihak yang mengajukan judicial review tersebut berpendapat bahwa dengan adanya beberapa pengaturan kewenangan yang dimiliki KPK, seperti pasal 40 dan pasal 12 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, terhadap masalah ini juga pernah diajukan judicial review oleh Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), namun MK menolak permohonan tersebut karena berpendirian bahwa pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi. Justru keberadaan pasal itu untuk menegakkan pesan konstitusi yaitu memberantas korupsi. Oleh karena itu semuanya dikembalikan kepada landasan sosiologis, yuridis dan filosofis undangundang korupsi dan KPK itu sendiri yang berusaha mewujudkan clean government dan tegaknya keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan menyimpang. Dengan adanya Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.

You might also like