You are on page 1of 17

(Studi Kasus Kecamatan Panti, Kabupaten Jember) Elida Novita, STP, MT (Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas

Jember)

Penataan Ruang Pasca Bencana

ABSTRACT
Human activities often cause the environmental degradation that turn into disaster. Their activities happened without considering the carrying capacity and the capability of environment. One of the disasters happened 3 years ago is big flood overflow and landslide at Panti district, Jember regency on January 2nd, 2006. The objectives of this paper are to give the alternative watershed management based on spatial planning and spatial planning after disaster at Panti district, Jember regency, East Java. The watershed management could not separate from spatial planning, because the spatial planning giving direction and orientation for watershed management. The ideal spatial planning concept is bioregion principal that spatial planning integrated with the ecosystem. Within bioregion, the equality between spaces has been formed into comfortable, productive and sustainability place. And it does not happened only at the area where planned but for others. Bedadung catchments area or Bedadung watershed development especially in plantation and protected or conservation area should based on bioregion principal. So the harmonized between economic, social and ecology with ideal, appropriate and useful places could be created. Area rehabilitation and natural resources management (e.g. forests, plantation, agriculture area, the edge of river especially conservation area) in Bedadung watershed should be planned based on topography, geology, ecosystem and socio-culture of society in Jember.

ABSTRAK
Bencana akibat tindakan manusia terutama disebabkan oleh degradasi lingkungan Kerusakan lingkungan terjadi karena manusia beraktivitas memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Salah satu kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia tiga tahun lalu adalah banjir bandang dan longsor di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur tanggal 2 Januari 2006. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan alternatif pengelolaan DAS berdasarkan tata ruang wilayah di Kabupaten Jember dan penataan ruang pasca bencana di Kecamatan Panti Kabupaten Jember Jawa Timur. Pengelolaan DAS tidak dapat terlepas dari adanya rencana tata ruang. Kedudukan rencana tata ruang dalam pengelolaan DAS, antara lain untuk memberikan arahan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan memberikan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang yang terintegrasi antardaerah dalam satu ekosistem (prinsip bio region) dimaksudkan agar keseimbangan (dalam bentuk ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan) dapat diwujudkan dalam satu kesatuan ekosistem, tidak hanya terbatas pada wilayah yang direncanakan. Pembangunan di kawasan perkebunan dan lindung di DAS Bedadung hendaknya didasarkan kepada satu kesatuan ekosistem (prinsip bioregion) agar tercipta keharmonisan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan pada berbagai skala dan dimensi serta menganut asas kelestarian, kesesuaian dan kemanfaatan. Rehabilitasi kawasan dan pengelolaan sumber daya alam (hutan, kebun, daerah pertanian, sempadan sungai, terutama kawasan lindung atau konservasi) melihat kondisi topografi, geologi, dan ekosistem serta kondisi sosial budaya masyarakat

PENDAHULUAN

Posisi geografis Indonesia membentuk pola iklim tropis dengan curah hujan tinggi, berdekatan dengan jalur gempa serta adanya gunung berapi. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang beraneka ragam tetapi terkandung ancaman bencana alam gempa bumi, gunung berapi, tsunami dan gerakan tanah lainnya. Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 1, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. UU No. 24 Tahun 2007 juga mendefinisikan bencana alam sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Definisi ini melihat seolah-seolah bencana alam sematamata terjadi karena faktor alam meniadakan aspek kecerobohan manusia. Karena banjir, tanah longsor tidak muncul menjadi bencana apabila sistem dan mekanisme terhadap penanganan lingkungan dilakukan. UU No.24 Tahun 2007 mendefinisikan bencana yang diakibatkan oleh tindakan manusia adalah bencana sosial seperti konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas dan teror. Menurut Kodoatie dan Syarief (2006), bencana pada dasarnya disebabkan oleh alam dan tindakan-tindakan manusia. Bencana akibat tindakan manusia terutama disebabkan oleh degradasi lingkungan sebagai salah satu faktor kunci penyebab bencana. lingkungan. Kerusakan lingkungan terjadi karena manusia beraktivitas memenuhi Bahkan aktivitas tersebut dilakukan di daerah atau lokasi yang Sebagai contoh adalah bantaran sungai, tepian kebutuhan hidupnya tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung seharusnya tidak/kurang layak huni bahkan dikembangkan sebagai tempat aktifitas produksi, industri dan konstruksi. pantai, lereng dan perbukitan tidak stabil. Melalui aktivitasnya, manusia juga dapat menyebabkan lokasi-lokasi yang semula stabil menjadi tidak stabil. Dampak yang diakibatkan mulai dari berkurangnya kenyamanan hidup hingga kehilangan nyawa dan kerugian materi yang besarnya tergantung intensitas bencana alam yang terjadi. Salah satu kasus bencana alam yang terjadi di Indonesia tiga tahun lalu adalah banjir bandang dan longsor di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur tanggal 2 Januari 2006. Hujan deras sejak 1 Januari malam hingga pagi hari di dan pembalakan liar menyebabkan tebing kawasan yang sebenarnya tidak layak huni serta adanya alih fungsi lahan menjadi kawasan perkebunan monokultur pegunungan Argopuro longsor karena tidak ada lagi akar-akar pohon yang mengikat

tanah dan menyerap air hujan. Sub DAS Kaliputih sebagai hulu DAS Bedadung tidak lagi mampu menampung air hujan yang masuk bersamaan longsoran tanah dan kayu sisa pembalakan liar. Sungai Kaliputih yang selama ini menjadi sistem perlindungan dan penyangga kehidupan masyarakat, ternyata menyebabkan bencana yang tidak hanya merugikan masyarakat sekitar tetapi juga masyarakat di hilir Sungai Bedadung. Kerusakan 459 rumah dan gedung sekolah karena tergenang lumpur sedalam 0,5 - 1 m, terputusnya 4 jembatan desa, lumpur menutupi ruas jalan Jember-Surabaya, saluran air bersih rusak, dan kurang lebih 1.000 ha sawah terendam air bercampur lumpur di Kec. Balung. Bahkan 87 orang meninggal, ratusan orang luka serta ribuan orang terpaksa mengungsi. Kerusakan lingkungan yang telah terjadi haruslah diperbaiki, agar manusia dapat melakukan pembangunan secara berkelanjutan. Melalui penataan ruang yang memperhatikan daya dukung lingkungan, manusia dapat melanjutkan aktivitasnya untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus merusak lingkungan. Wilayah yang telah terkena bencana tidak harus dihindari tetapi dapat dikelola dengan memperhatikan asas-asas lingkungan yang diterapkan dalam penataan ruang. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keberlanjutan aktivitas pembangunan. Melaksanakan penataan ruang berarti melakukan tindakan pengelolaan lingkungan hidup, dan melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup berarti menjalankan seluruh asas-asas penataan ruang. Hal ini telah tersirat secara jelas dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan alternatif pengelolaan DAS berdasarkan tata ruang wilayah di Kabupaten Jember dan penataan ruang pasca bencana di Kecamatan Panti Kabupaten Jember Jawa Timur. PEMBAHASAN Menurut Carter dalam Kodoatie dan Sjarief (2006), bencana adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau progresive yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa. bencana dapat dibagi menjadi dua, yaitu alam dan manusia. Penyebab Menurut Soenarno

(2004), pada prinsipnya bencana alam disebabkan oleh dua hal, yaitu: (1) peristiwa alam atau kondisi alam yang tidak dapat dikendalikan atau dihindari manusia sehingga bersifat probabilistik, dan (2) kegiatan/aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi/memperbesar intensitas atau tingkat keparahan bencana sehingga

bersifat deterministik karena dapat dikendalikan/dikontrol. Menurut Kodoatie dan Sjarief (2006), aktivitas manusia dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya melakukan perubahan tata guna lahan untuk mencari nafkah dan tempat tinggal. Krisis air meningkat dan dipercepat oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi baik secara alami maupun migrasi. Bencana banjir, longsor dan kekeringan merupakan bukti degradasi lingkungan yang dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan yang lainnya. Sebagai contoh apabila suatu hutan lebat yang berada dalam suatu daerah aliran sungai diubah menjadi pemukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat antara 5 sampai 20 kali, tergantung dari jenis hutan dan jenis pemukiman. Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan (run-off). Hujan yang jatuh ke tanah, airnya akan menjadi aliran permukaan di atas tanah dan sebagian meresap ke dalam tanah tergantung kondisi tanahnya. Air merupakan sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup, namun jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan bencana. sumber daya air). Terjadinya banjir dan longsor merupakan akibat yang disebabkan oleh daya rusak air (UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sebagai bagian sumberdaya alam yang dinamis, air senantiasa bergerak mengikuti hukum alam dari hulu ke hilir tanpa mengenal batas administrasi memerlukan pendekatan tersendiri, agar kesatuan sistem hidrologis serta ikatan dan rekatan antar daerah tetap terjaga. Dengan demikian Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai satu kesatuan sistem hidrologis harus dijaga kelestarian fungsinya karena memiliki peran besar sebagai sistem perlindungan dan penyangga kehidupan. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pengelolaan DAS pada hakekatnya merupakan pengelolaan sumber daya alam oleh manusia terutama terhadap lahan, hutan dan air. Degradasi DAS seperti hutan gundul, lahan kritis, longsor, sedimentasi dan banjir terjadi karena peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam hutan, tanah dan air tanpa diimbangi usaha-usaha menurut norma dan teknologi yang menjamin kelestarian sumber daya alam. Selama ini terdapat kerancuan dalam mengartikan pengelolaan DAS yang semata didasarkan pada hubungan yang bersifat fisik, seperti konservasi hutan, tanah dan air bukan sebagai pengelolaan sumberdaya yang bertujuan keberlanjutan fungsi dan integritas ekosistem DAS. Pengelolaan DAS sesuai sifat aliran air seharusnya lintas sektor dan lintas wilayah geografis dan dilakukan secara terpadu. Pengelolaan DAS seharusnya memperhitungkan faktor lain yang berkaitan dengan aspek ekonomi, regulasi dan pengaturan kelembagaan yang melibatkan lebih dari satu lembaga pengelolaan DAS.

Permasalahan yang penting dalam pengelolaan DAS adalah belum adanya rencana induk pengembangan dan pengelolaan yang secara konsisten digunakan sebagai dasar penyusunan program kerja tahunan sektor terkait, sehingga program kerja disusun parsial oleh berbagai instansi dan berimplikasi pada benturan kepentingan antar sektor sehingga pengelolaan DAS menjadi tidak efektif. Semakin tinggi alih fungsi lahan dan penerapan terhadap tata ruang yang tidak sesuai, menyebabkan bencana banjir, kekeringan dan bencana lainnya. Keterpaduan dalam pengelolaan DAS sangat penting, karena: (1) Pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu DAS melibatkan berbagai sektor dan pihak seperti pemerintah, swasta dan masyarakat yang saling terkait dan harus dikoordinasikan untuk mencapai tujuan bersama. (2) Secara hidrologis, ada keterkaitan yang signifikan antara kegiatan di daerah hulu, tengah dan hilir. (3) Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang bersifat multidisiplin dan mencakup berbagai kegiatan. Konsep Penataan Ruang Dardak (2006), ruang mengandung pengertian sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap. Sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang untuk beraktivitas senantiasa berkembang setiap hari. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi, terpadu, dan berkelanjutan. Dilihat dari sudut pandang penataan ruang, salah satu tujuan pembangunan yang hendak dicapai adalah mewujudkan ruang kehidupan yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan (Brown and Duhr, 1999). Ruang kehidupan yang nyaman berarti adanya kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk mengartikulasikan nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia. Produktif mengandung pengertian bahwa proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan mengandung pengertian kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun juga generasi yang akan datang.

Perencanaan tata ruang hendaknya mengikuti pendekatan bio-region dalam penetapan batas wilayah analisisnya. Melalui pendekatan ini, keterkaitan antara wilayah/kawasan yang direncanakan dengan wilayah/kawasan lain dalam satu sistem ekologi (ekosistem) dianalisis. Analisis mencakup pengaruh yang diterima maupun dampak yang ditimbulkan dari proses pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang yang disusun. Pengabaian terhadap prinsip ekosistem akan mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di wilayah lain, misalnya di wilayah hilir apabila perencanaan di wilayah hulu tidak memperhatikan dampak yang ditimbulkan dari implementasi rencana tata ruangnya terhadap wilayah hilir (Nadin, 1997). Di samping keterpaduan antar-daerah dalam satu ekosistem, perencanaan tata ruang juga harus disusun dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (2) UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang. Perhatian terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan dimaksudkan agar pemanfaatan ruang tidak melampaui batas-batas kemampuan lingkungan hidup dalam mendukung dan menampung aktivitas manusia tanpa mengakibatkan kerusakan lingkungan (UU No. 23 mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup). Kemampuan tersebut mencakup kemampuan dalam menyediakan ruang, kemampuan dalam menyediakan sumberdaya alam, dan kemampuan untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan apabila terdapat dampak yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Menurut Rustiadi dkk (2007), Rencana Tata Ruang juga mencakup arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan-kawasan yang berfungsi lindung. Pengaturan a. arahan pola pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dimaksudkan agar:

Kawasan-kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan budidaya (kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya) tetap terjaga keberadaannya, sehingga kawasan budidaya dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, termasuk kebutuhan bagi generasi yang akan datang. b. Kawasan-kawasan yang secara spesifik perlu dilindungi untuk kepentingan pelestarian flora dan fauna (plasma nuftah), pelestarian warisan budaya bangsa, pengembangan ilmu pengetahuan, dan kepentingan lainnya dapat tetap dipertahankan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Berdasarkan Pasal 25 hingga Pasal 27 UU No. 26 Tahun 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dibuat berdasarkan RTRWN dan RTRWP. RTRWK menjadi pedoman untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten dan RPJM Kabupaten. Jangka RTRWK adalah selama 20 tahun dan ditinjau setiap 5 tahun sekali. Apabila terjadi kejadian bencana alam besar yang ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan maka RTRWK ditinjau kembali lebih dari satu kali dalam 5 tahun. Dalam hal ini pengendalian tata ruang sebagai bagian dari penataan ruang meliputi pengawasan, pemantauan dan penertiban ruang agar pemanfaatan ruang dapat terlaksana sesuai dengan rencana tata ruang. Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pengelolaan DAS tidak dapat terlepas dari adanya rencana tata ruang. Kedudukan rencana tata ruang dalam pengelolaan DAS, antara lain untuk memberikan arahan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan memberikan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Pengelolaan DAS dalam kaitannya dengan penataan ruang dan penatagunaan tanah dalam otonomi haruslah disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana pemerintah pusat mempunyai wewenang pengaturan, pengarahan melalui penerbitan berbagai pedoman, serta pengawasan dan pengendalian berskala makro. Pemerintah propinsi mempunyai wewenang yang bersifat lintas kabupaten/kota, pemberian perijinan tertentu, penyusunan rencana tertentu (Idrus dan Mayasari, 2004). Sedangkan pemerintah kabupaten mempunyai wewenang yang bersifat pemberian ijin tertentu, perencanaan pelaksanaan serta pengawasan dan pengendalian bersifat mikro. Sehubungan dengan pengelolaan DAS, maka berdasarkan hamparan wilayah dan fungsi strategisnya, DAS dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. DAS lokal, terletak secara utuh berada di satu daerah kabupaten/kota dan/atau DAS yang secara potensial hanya dimanfaatkan oleh satu Daerah Kabupaten/Kota. b. DAS regional, terletak secara geografis melewati lebih dari satu daerah kabupaten/kota dan/atau DAS yang secara potensial dimanfaatkan lebih dari satu Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau DAS lokal yang atas usulan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan hasil penelitian ditetapkan untuk didayagunakan (dikembangkan dan dikelola) oleh pemerintah propinsi, dan/atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan regional. c. DAS nasional, letaknya secara geografis melewati lebih dari satu daerah propinsi, dan/atau secara potensial dimanfaatkan oleh lebih dari satu propinsi, dan/atau DAS regional yang atas usulan Pemerintah Propinsi bersangkutan dan hasil penilaian ditetapkan untuk didayagunakan oleh Pemerintah Pusat, dan/atau DAS yang secara potensial bersifat strategis bagi pembangunan nasional.

Hal yang terpenting saat ini adalah bagaimana rencana tata ruang yang telah disusun dengan berbagai koordinasi dapat diimplementasikan sesuai dengan konsep pengelolaan DAS, one watershed, one plan, one integrated management untuk kepentingan bersama. Perlu adanya regulasi dan mekanisme kelembagaan yang Sehingga rencana tata ruang yang telah disusun jelas, lembaga pengikat yang akan berfungsi sebagai koordinator dalam one management pengelolaan DAS. berdasarkan koordinasi semua stakeholder dapat dijadikan acuan/pedoman utama bagi pengelolaan DAS dan pembangunan lainnya. Penataan Ruang Pasca Bencana Panti Perencanaan tata ruang yang terintegrasi antar-daerah dalam satu ekosistem (prinsip bio region) dimaksudkan agar keseimbangan (dalam bentuk ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan) dapat diwujudkan dalam satu kesatuan ekosistem, tidak hanya terbatas pada wilayah yang direncanakan. Banjir bandang dan longsor yang terjadi di Kecamatan Panti Kabupaten Jember adalah salah satu indikator pengabaian prinsip pengelolaan DAS dalam satu kesatuan ekosistem. Pengabaian terhadap prinsip ini mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di wilayah lain. Adanya alih fungsi lahan dan kerusakan kawasan hutan di hulu DAS Bedadung tidak mempertimbangkan dampaknya di wilayah tengah dan hilir. Penurunan daya dukung lingkungan terjadi karena hilangnya tumbuh-tumbuhan penyangga ekosistem di kawasan tersebut. perkebunan yang monokultur. Hutan lindung dirubah menjadi hutan Ekosistem monokultur (homogen) ini cenderung

bersifat tidak stabil terutama bila berada di kawasan lereng yang curam (kemiringan 40%). Selain itu monokultur cenderung mengambil unsur hara yang banyak sekali dibanding ekosistem heterogen. Sebagai salah satu anak sungai DAS Bedadung yang berada di hulu, penataan ruang di sempadan Sungai Kaliputih haruslah terintegrasi dengan kebutuhan penataan ruang di hilir berdasarkan prinsip one river, one plan, one integrated management . Dalam hal ini pengelolaannya menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten Jember melalui Balai PSAWS Bondoyudo Mayang. Sesuai letak geografis dan fungsinya, maka DAS Bedadung termasuk DAS lokal di Kabupaten Jember. Peristiwa bencana alam yang telah terjadi menunjukkan ketiadaan pengelolaan DAS yang terintegrasi antara pemanfaatan sumber daya alam, penetapan tata ruang dan pengawasannya. Penataan ruang di DAS Bedadung pasca bencana hendaknya dilaksanakan sesuai asas kelestarian, kesesuaian dan kemanfaatan. Asas kelestarian dalam penataan ruang dimaksudkan agar pemanfaatan ruang tidak mengurangi nilai manfaat di masa

yang akan datang dengan memberikan perlindungan terhadap kualitas ruang. Asas kesesuaian bertujuan untuk memanfaatkan ruang sesuai dengan potensi yang dikandungnya sedangkan asas kemanfaatan ditujukan agar nilai manfaat ruang dapat memberikan dampak bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat secara optimal. Menurut Penataan ruang dalam hal ini terdiri dari proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan adalah kegiatan menyusun dan menetapkan rencana tata ruang, yang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk menggunakan rencana tata ruang yang sudah disusun untuk mengarahkan penggunaan ruang secara optimal, lestari, dan seimbang, sesuai dengan kebutuhan dan potensi ruang serta kendala-kendalanya, melalui program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang sebagai usaha menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keharmonisan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan pada berbagai skala dimensi. Antara lain usaha menyeimbangkan keberadaan kawasan budidaya dan lindung tanpa menimbulkan kesenjangan antar wilayah, hingga usaha intervensi gaya hidup penduduk dengan menciptakan tata ruang yang minim penggunaan energi dan dampak lingkungan. Penataan ruang yang berkelanjutan juga efektif berfungsi sebagai alat mitigasi bencana, sekaligus alat adaptasi kecenderungan perubahan global, khususnya dalam membantu masyarakat menghadapi resiko dan dampak yang sewaktu-waktu terjadi. Upaya penataan ruang merupakan kebijakan pokok pengelolaan DAS Bedadung yang diperlukan dalam rangka penanganan banjir. dilaksanakan dalam kerangka tata ruang Salah satu upaya yang perlu upaya revitalisasi dan adalah

operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian rencana tata ruang yang ada melalui kegiatan-kegiatan pokok seperti: 1. 2. 3. 4. Inventarisasi perubahan fungsi lahan penyebab banjir, Pengkajian rencana tata ruang yang ada, Penyiapan dukungan pemanfaatan rencana tata ruang dan Pengendalian ruang.

Melalui penataan tata guna lahan di DAS diharapkan dapat memperbaiki kondisi hidrologis DAS, sehingga tidak lagi menimbulkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau serta menekan laju erosi DAS yang berlebihan sehingga

dapat menekan laju sedimentasi pada alur sungai di bagian hilir. Penataan tiap-tiap kawasan, proporsi masing-masing luas penggunaan lahan dan cara pengelolaan masing-masing kawasan perlu mendapat perhatian yang baik. Daerah hulu DAS Bedadung merupakan daerah penyangga yang berfungsi sebagai recharge atau pengisian kembali air tanah, misalnya ditentukan kawasan hutan minimum 30% dari luas DAS. Dalam rangka mencegah laju erosi DAS, perlu ditentukan pengelolaan yang tepat untuk masing-masing kawasan. Hal ini meliputi sistem pengelolaan, pola tanam dan jenis tanaman yang disesuaikan jenis tanah, kemampuan tanah, elevasi dan kelerengan lahan. Erosi lahan yang tinggi akan menentukan besarnya angkutan sedimen di sungai dan mempercepat laju sedimentasi di sungai, terutama di bagian hilir. Sedimentasi di sungai akan merubah penampang sungai dan memperkecil kapasitas pengaliran sungai (Kodoatie dan Sjarief, 2006) Menurut Dardak (2006), beberapa ketentuan pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan pengelolaan DAS di hulu adalah sebagai berikut: Kawasan hutan produksi secara umum : a. Topografi : kelerengan berkisar 8 40% (landai sampai dengan curam); b. Hidrologi : berfungsi sebagai penyangga air; c. Geologi : berperan melindungi tanah dari longsor; d. Karakteristik tanah memiliki tingkat kepekaan terhadap erosi rendah tinggi; e. Klimatologi : intensitas hujan tinggi sampai rendah (13,6 34,8 mm/hr.hujan) f. Dalam radius pelayanan jaringan jalan (sungai, jalan raya). Kawasan hutan produksi biasa adalah sebagai berikut : a. Topografi : kelerengan berkisar 0 40% (landai sampai dengan curam); b. Hidrologi : berfungsi sebagai penyangga air; c. Geologi : berperan melindungi tanah dari longsor; d. Karakteristik tanah memiliki tingkat kepekaan terhadap erosi rendah sampai tinggi; e. Dalam radius pelayanan jaringan jalan (sungai, jalan raya). Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi adalah sebagai berikut : a. Topografi : kelerengan berkisar 0 40% (landai sampai dengan agak curam); b. Geologi : tanah dengan tingkat kepekaan erosi rendah; c. Karakteristik tanah memiliki tingkat kepekaan terhadap erosi rendah sampai sedang; d. Dalam radius pelayanan jaringan jalan (sungai, jalan raya). Kawasan Perkebunan, maka kawasan haruslah memenuhi kriteria berikut: a. Ketinggian < 2.000 meter; b. Kelerengan < 40%; c. Kedalaman efektif lapisan tanah atas > 30 cm; d. Curah hujan > 1.500 mm per tahun.

10

Untuk kawasan hutan rakyat adalah : a. Mempunyai lereng lapangan berkisar 0 40 % ; b. Karakteristik tanah yang memiliki tingkat kepekaan terhadap erosi rendah sampai sedang; c. Intensitas hujan rendah sampai sangat tinggi dengan kisaran 13,6 34,8 mm/Hr.Hujan; e. Mempunyai ketinggian tidak lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut; f. Luas minimal 0,25 hektar; g. Mempunyai fungsi hidrologis/pelestarian ekosistem; h. Luas penutupan tajuk minimal 50 % dan merupakan tanaman cepat tumbuh. Berdasarkan peruntukan di atas, maka Pemerintah Kabupaten Jember dapat membuat suatu rencana tata ruang baru Kabupaten Jember terutama untuk kawasan yang selama ini dijadikan kawasan perkebunan dan hutan sehingga kerusakan terhadap sumber daya dapat dicegah dan ditanggulangi. Sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan asas Pasal 2, maka perkebunan seharusnya keterpaduan, diselenggarakan berdasarkan manfaat, keberlanjutan,

kebersamaan, keterbukaan serta berkeadilan.

Dalam Pasal 4, perkebunan Fungsi ekonomi yaitu

mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya.

peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, serta penguasaan struktur ekonomi wilayah dan nasional. Fungsi ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen dan penyangga kawasan lindung. Fungsi sosial budaya yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Dipertegas dalam pasal 7, perencanaan perkebunan dilakukan berdasar (a) rencana pembangunan nasional, (b) RTRW, (c) kesesuaian tanah dan iklim serta ketersediaan tanah untuk usaha perkebunan, (d) kinerja pembangunan perkebunan, (e) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (f) sosial budaya, (g) lingkungan hidup, (h) kepentingan masyarakat, (i) pasar dan (j) aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara. Adapun kawasan perkebunan yang rawan bencana berada di lereng curam perlu dikonservasi dengan pemilihan tanaman yang memiliki akar dan mampu mencegah terjadinya longsor, bahkan dalam masa tertentu perlu ditetapkan menjadi kawasan lindung untuk memperbaiki ekosistem yang telah rusak. Menurut Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi.

11

Pengaturan Tata Ruang, mulai skala Rencana Umum Tata Ruang hingga Rencana Teknis Ruang adalah suatu kebijakan yang sangat strategis, dimana dengan adanya rencana tata ruang maka setiap pengembangan suatu kawasan akan disesuaikan dengan potensi dan masalahnya. Rencana tata ruang harus diikuti dengan upaya pengendalian yang sangat ketat, sehingga diperlukan kerangka hukum dan upaya penegakan hukum yang berkelanjutan dan tidak kenal kompromi. Penggunaan lahan pada kawasan budidaya maupun kawasan lindung seharusnya berdasarkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan tidak berdasarkan mekanisme pasar. Sehingga air, sumber air, lahan dan hutan serta sumberdaya alam lainnya mendapatkan perlindungan yang layak. Selain itu Pemerintah Kabupaten Jember perlu menyediakan peta daerah rawan longsor dengan skala cukup besar sehingga dapat dijadikan pedoman penyuluhan tentang daerah yang rentan terhadap tanah longsor pada tingkat desa dan kecamatan khususnya yang terletak dalam kawasan perbukitan/pegunungan. Selain itu dapat juga digunakan sebagai salah satu pedoman dalam program penataan permukiman dan pembangunan prasarana di daerah rawan tanah longsor. Peta dimaksud menunjukkan daerah-daerah sebaran yang mempunyai tingkat kerentanan gerakan tanah yang digambarkan warna merah berarti tinggi, menengah (kuning), rendah (biru) dan sangat rendah (hijau) disertai rekomendasi penggunaan lahan. Adapun parameternya adalah kondisi geologi, tata lahan dan dijumpainya longsoran serta analisis kemantapan lereng. Peta ini ditujukan sebagai acuan untuk pengembangan wilayah dan analisis resiko serta kebutuhan penanggulangan. Pengelolaan bencana sendiri merupakan ilmu pengetahuan terapan yang mencari, dengan observasi sistematis dan analisis bencana, untuk meningkatkan tindakan terkait dengan preventif, mitigasi, persiapan, respon darurat dan pemulihan. Pengelolaan bencana terpadu merupakan penanganan integral yang mengarahkan semua stakeholders dari pengelolaan bencana sub sektor ke sektor silang. Terdapat 3 elemen penting dalam pengelolaan bencana terpadu, yaitu enabling environment, peran-peran institusi dan alat-alat manajemen. Kebijakan tata ruang wilayah meliputi pengkajian tata ruang wilayah dan pengelolaan bencana termasuk salah satu tindakan pengelolaan bencana terpadu. Sehingga dimungkinkan terjadi perubahan tata ruang dan sistem pengelolaan bencana untuk meningkatkan jaminan keamanan dan kenyamanan hidup. Pengendalian Bencana dan Partisipasi Masyarakat dalam Penataan Ruang

12

Pengendalian banjir dapat dilakukan melalui upaya non struktural dan struktural serta peningkatan kesiapan dan keswadayaan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir dan bencana yang terkait dengan air lainnya guna mengamankan daerah permukiman, industri, perkebunan serta memulihkan ekosistem dari kerusakan akibat bencana yang terkait dengan air. Partisipasi seluruh komponen pemilik kepentingan (stakeholders) proses. termasuk masyarakat luas dalam perencanaan dan pengelolaan/manajemen kegiatan mitigasi bencana dan kesiapannya adalah suatu Menurut Soenarno (2004), proses partisipasi masyarakat yang efektif memerlukan perencanaan yang memadai serta dilaksanakan dan diintegrasikan dengan proses pembangunan social dan ekonomi. Melalui pendekatan partisipatoris maka akan didapatkan dua hal, yaitu :

1.
lahan, hutan dan air

Pelibatan masyarakat setempat dalam mendaya gunakan mewarnai kehidupan mereka, sehingga dapat dijamin

persepsi, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai pengetahuan lokal dipertimbangkan secara penuh.

2.

Adanya umpan balik (feed back) yang pada hakekatnya

merupakan bagian tidak terlepaskan dari kegiatan pembangunan. Karena masyarakat adalah kelompok paling dekat dengan objek penataan ruang dan sumber daya alam yang ada di dalamnya dan yang pertama menerima akibat dari pengelolaan ruang maka masyarakat harus diikutsertakan dalam pengendalian tata ruang agar sesuai dan mempertimbangkan kebutuhan mereka. Oleh karena itu tujuan dan sasaran perencanaan tata ruang pasca bencana harus dibuat bersama antara pemerintah, masyarakat dan perguruan tinggi, LSM dan pelaku pembangunan lainnya. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang telah diatur secara tegas dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan PP 69/1996 Tentang Pelaksanaan Hal dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. Usaha melibatkan elemen pembangunan di luar pemerintah menjadi kontrol terhadap pelaksanaan tata ruang (partisipatoric planning). Prinsip perencanaan yang terpenting adalah menentukan struktur. Yang struktural tidak boleh berubah, karena merupakan kerangka. Bukit-bukit, sungai, hutan dan daerah resapan adalah struktur dari suatu wilayah dan tiap-tiap struktur saling berkaitan, sehingga tidak boleh berubah secara signifikan. Selain itu dibutuhkan koordinasi antar Perubahan dan kerusakan yang pemangku kepentingan dalam terjadi pada salah satu struktur akan mengganggu struktur yang lain. penyelenggaraan penataan ruang yang efektif. Ego sektoral dan keengganan untuk memahami kepentingan sektor lain dapat menjadi penghambat untuk mewujudkan

13

sinergi di kalangan instansi pemerintah.

Dalam hal kasus Panti, maka Perum

Perhutani unit II, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Pemerintah Kabupaten Jember sebagai pemilik Perusahaan Daerah Perkebunan dan Balai PSAWS (Pengelolaan Sumber Air dan Wilayah Sungai) Bondoyudo-Mayang merupakan instansi yang terlibat. Hak dan kewajiban masyarakat dalam kegiatan penataan ruang dapat diuraikan sebagai berikut: Hak Masyarakat a. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfatan mengetahui secara terbuka RTRW, RTRK dan rencana rinci tata ruang menikmati manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang sebagai memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang

b.
kawasan c.

akibat dari penataan ruang

d.

sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTR Kewajiban masyarakat a. berperan serta dalam memelihara kualitas ruang berlaku tertib dengan keikutsertaannya dalam proses

b.
ditetapkan.

perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan menaati RTR yang telah Peran serta masyarakat dalam penataan ruang melalui proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang: Dalam proses perencanaan tata ruang a. dicapai b. kawasan c. wilayah d. Memberikan informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyusunan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Dalam pemanfaatan ruang wilayah/kawasan a. pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan perpu, agama atau kebiasaan yang berlaku Memberikan masukan dalam merumuskan perencanaan tata ruang Mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah pembangunan termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang wilayah, perencanaan tata ruang Memberi masukan menentukan arah pengembangan wilayah yang akan

14

b. c. yang ditetapkan d. e. f. ruang, dan atau g.

bantuan pemikiran/ pertimbangan berkenaan dengan wujud penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan RTRW konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara dan sumberdaya perubahan/konversi pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW pemberian masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan

struktural & pola pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan dan perdesaan

alam lainnya untuk tercapainya pemanfataan ruang yang berkualitas

kelestarian fungsi lingkungan Dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang a. b. pengawasan bantuan pemanfaatan ruang wilayah untuk termasuk penertiban pemberian kegiatan informasi/laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang, dan atau pemikiran/pertimbangan pemanfaatan ruang dan peningkatan kualitas pemanfaatan ruang

KESIMPULAN
Bencana alam yang terjadi seperti banjir bandang dan tanah longsor selama ini lebih banyak disebabkan karena kerusakan lingkungan. Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dan tanah longsor karena memberikan kontribusi dominan kepada aliran permukaan sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bedadung bersifat multidisiplin dan lintas sektoral, sehingga sistem perencanaan pengelolaan DAS hendaknya berdasarkan asas One Watershed One Plan and One Integrated Management. Melalui pendekatan penataan ruang yang berdasarkan wilayah sungai diharapkan terjadi sinkronisasi antara kegiatan pembangunan di hulu dan di hilir sehingga mengurangi resiko adanya bencana ke depan seperti banjir, longsor maupun kekeringan. Pembangunan di kawasan perkebunan dan lindung yang dilakukan dalam konteks penataan ruang hendaknya didasarkan kepada satu kesatuan ekosistem (prinsip bioregion) agar tercipta keharmonisan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan pada berbagai skala dan dimensi serta menganut asas kelestarian, kesesuaian dan kemanfaatan. Rehabilitasi kawasan tidak semata-mata merupakan penghijauan atau mengembalikan hutan yang gundul tetapi menentukan jenis tanaman yang tepat dan teknik pengelolaan yang sesuai serta didukung penentuan status kawasan yang mendukung keselamatan dan kenyamanan hidup masyarakat.

15

Rehabilitasi kawasan atau pengelolaan sumber daya alam (hutan, kebun, daerah pertanian, sempadan sungai, terutama kawasan lindung atau konservasi) melihat kondisi topografi, geologi, dan ekosistem serta kondisi sosial budaya masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk merehabilitasi kawasan Panti adalah:

a. b.

Memperhatikan tujuan jangka pendek dan jangka panjang Menerapkan konsep komprehensif penanggulangan bencana

dengan berfungsinya kembali hutan sebagai penyangga kehidupan. pada umumnya dan rehabilitasi kawasan khususnya, sehingga risiko bencana di masa depan dapat diminimalkan. c. Melakukan analisa lokasi kawasan rehabilitasi dari berbagai aspek, seperti tingkat kemiringan kawasan, karakter kawasan (sifat dan jenis tanah/konservasi tanah), fungsi hidrologi dan klimatologi Pegunungan Argopuro bagian selatan. Dalam hal ini kawasan dengan kemiringan di atas 40% ditetapkan menjadi kawasan lindung dan tidak dilakukan terasiring. d. Memperhitungkan jenis pohon yang ditanam yaitu pohon yang mempunyai akar tunjang yang mengakar dalam dan dapat saling mengait serta merupakan tanaman asli daerah tersebut. Bila memungkinkan menanam tanaman yang dapat diambil buahnya dari berbagai jenis (heterogen). e. Melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses rehabilitasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Rencana Tata Ruang dan Penanggulangan Banjir di Jawa Timur. Kemitraan Air Indonesia - http://www.inawater.com/news - Berita KAI. Diunduh tanggal 24 April 2008. Brown, C and S. Duhr. 1999. Prospects for The Implementation of Sustainability Through Spatial Planning: A Comparative Review. Article from AESOP Congress, July 7-11, Bergen, Norway. Dardak, A.H. 2006. Perencanaan Tata Ruang Bervisi Lingkungan Sebagai Upaya Mewujudkan Ruang yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan. Disampaikan dalam Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang dalam Rangka Pengendalian Bencana Longsor dan Banjir. Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Yogyakarta. Dirjen RLPS. 2008. Kebijakan Pengelolaan DAS. Kondisi DAS di Indonesia Pemicu Bencana Banjir dan Longsor. Makalah Seminar Nasional Merespon Konvensi Perubahan Iklim Bali Bencana Banjir-Longsor di Indonesia. IPB International Convention Centre, Botani Square tanggal 24 Januari 2008, Bogor. Idrus, H. Dan R. Mayasari. 2004. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Tata Ruang Wilayah. Prosiding Seminar Nasional Hari Air Sedunia Tanggal 23 April 2004 di Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 2006. Kasus Banjir Bandang Kabupaten Jember.htm. Diunduh tanggal 24 April 2008. Kodoatie, R.J. dan R. Sjarief. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu. Yarsif Watampone, Jakarta.

16

Nadin, V. 1997. Environmental Sustainability and Spatial Planning Systems. Centre for Environment and Planning, University of the West of England, Bristol, UK Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju. 2007. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Diktat Kuliah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Setiadi, H. 2007. Pembangunan Wilayah: Gagasan Ruang Ekologis dan Pembangunan Berkelanjutan, Makalah Seminar Nasional : Pembangunan Wilayah Berbasis Lingkungan di Indonesia, Yogyakarta 27 Oktober 2007 Soenarno. 2004. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Alam dan Partisipasi Masyarakat. Prosiding Seminar Nasional Hari Air Sedunia Tanggal 23 April 2004 di Jakarta. UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. Fokusmedia, Bandung. UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Fokusmedia, Bandung. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Fokusmedia, Bandung. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Fokusmedia, Bandung. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Fokusmedia, Bandung. Walhi. 2006. Banjir Jember: Fakta Krisis Kehutanan Pulau Jawa. Siaran Pers Walhi tanggal 3 Januari 2006.

17

You might also like