You are on page 1of 16

PROSES BERDIRINYA ASEAN

otnayrahiW tayidraK A

Abstract
This articles aim was to explain the world situation before the formation of ASEAN, the Southeast Asian state before the formation of ASEAN, leading to the formation of ASEAN, and also the role of Indonesia in the formation of ASEAN. Towards the establishment of ASEAN, world situation characterized by competition between the Western bloc led by the United States and the Eastern Bloc led by the Soviet Union (now Russia). Both blocks were scrambling for power and influence in each region, including in Southeast Asia. Conditions of Southeast Asia prior to the formation of ASEAN was characterized by conflict and struggle for influence of the West Block, East Block. As a result, countries in Southeast Asia broke into two groups, ie groups that support America and those who support the Soviet Union G30S/PKI incident that occurred in Indonesia change the balance of power between pro-state group of the United States and the pro-Soviet Union. This is caused due to the event changed from pro-Indonesia East Bloc to be pro-Western bloc. These conditions encourage the pro-Western countries to come together to face the influence of the Eastern Bloc. Indonesia, which began to build a good relationship to the United Nations and neighboring countries, offered the concept of assembly to countries in Southeast Asia. The concept was greeted positively by the pro-Western countries. These countries that later formed the ASEAN.

A. Pendahuluan Sejak PBB dibentuk tahun 1945, gagasan menciptakan pengaturan kerja sama regional sebagai sarana penunjang mencapai kerja sama global dilancarkan oleh berbagai pihak. Kedua gagasan tadi, yakni kerja sama regional dan kerja sama global dalam Piagam PBB dipandang sebagai hal-hal yang amat diperjuangkan guna mencapai perdamaian dunia. Keduanya merupakan tekad yang diambil para pemrakarsa PBB agar generasi berikutnya tidak lagi mengalami kesengsaraan peperangan seperti yang terjadi dalam Perang Dunia I dan II. Sejak tahun 1945 itu, berkembanglah berbagai ikrar kerja sama regional di hampir seluruh kawasan dunia yang penting seperti di Eropa, Timur Tengah, Asia, Afrika dan Amerika Latin. Salah satu asumsi pokok kerja sama regional adalah bahwa kedekatan geografis akan memudahkan upaya-upaya saling memahami di antara negara-negara yang bertetangga sehingga masalah-masalah yang mungkin dapat menjurus kepada pertikaian berlanjut dapat diatasi dengan segera atas dasar hidup berdampingan secara damai (C.P.F. Luhulima, 1986: 6). Asumsi kerja sama regional kedua ialah pembagian kerja di antara negaraDrs. A. Kardiyat Wiharyanto, adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

negara yang berdekatan secara geografis tadi agar masing-masing negara memusatkan diri terutama pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang menurut hematnya paling kuat dimilikinya sambil menyerahkan bidang kegiatan ekonomi lain kepada tetangga yang lebih kuat minatnya terhadap bidang kegiatan tersebut. Sedangkan asumsi ketiga, kerja sama regional ialah bahwa negara-negara yang melaksanakan kerja sama tadi terlebih dahulu mencapai kata sepakat tentang manfaat bersama yang diperoleh dari keterikatannya pada suatu usaha bersama daripada menjalankan kegiatan pembangunan secara terpisah dan tersendiri. Asumsi ini dikenal sebagai konvergensi kepentingan yang mau tidak mau bersumber pada suatu keputusan politik. Bertolak dari ketiga asumsi di atas, maka setelah berakhirnya Perang Dunia II dan PBB didirikan, di berbagai kawasan dunia diciptakan organisasi kerja sama regional. Bermula di Eropa yang pada awalnya ingin mendirikan Masyarakat Eropa dan berlandaskan Dewan Pertahanan Eropa tatkala Rencana Marshall dilancarkan pada tahun 1947 kawasan-kawasan lainnya pun turut mengusahakan terciptanya berbagai bentuk kerja sama regional. Pada tahun 1960 di Amerika Latin terbentuk Organisasi Perdagangan Bebas Amerika Latin (LAFTA) di kota Montevideo. Namun organisasi regional tersebut kini mengalami berbagai kesultan internal yang menyebabkannya, menemui serangkaian kegagalan dalam upaya kerjasamanya (M. Rajendran, 1985: 8). Yang menarik dari awal bentuk-bentuk kerja sama tersebut, hampir semua diprakarsai oleh negara-negara Blok Barat. Hal ini disebabkan perhitungan strategis para perancang pembangunan kembali Eropa sehabis Perang Dunia II bahwa suatu perang dingin berlangsung antara kubu Amerika Serikat dan kubu Uni Soviet yang mulai bersaing dalam bidang ideologi sebelum Perang Dunia II berakhir. Benih-benih perang dingin yang menggejala semasa Perang Dunia II terus tumbuh dan berkembang, sehingga setelah perang besar tersebut selesai tampillah dua kekuatan besar yang lambat laun menggantikan sistem empat-kutub (Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Uni Soviet) dan mendominasi persidangan PBB. Selama tahun 1945-1955 sistem empat-kutub (tiga sekutu Barat dan Uni Soviet) menetapkan programprogram kerja sama dalam iklim perang dingin Timur-Barat yang berlaku waktu itu. Adapun puncak persaingan pembentukan kerja sama regional dalam rangka konflik Timur-Barat itu terjadi dengan terbentuknya Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada bulan April 1949 yang disusul dengan terbentuknya Pakta Warsawa pada tahun 1955. Bersamaan dengan itu, dibangunlah pula perangkat-perangkat kerja sama ekonomi yang akhirnya menjelma melalui pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa dan Dewan Kerjasama Ekonomi (COMECON). Sementara itu, persaingan ideologi, politik, dan ekonomi Amerika Serikat-Uni Soviet meluas ke kawasan-kawasan lain. Dengan beberapa negara Timur Tengah dan Pakistan, Amerika Serikat mendirikan Cento (Central Treaty Organization), sementara di Asia Pasifik diciptakanlah rangkaian perjanjian persekutuan dengan Filipina, Muangthai, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, Australia, Selandia Baru. Khusus untuk Asia Tenggara, SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) yang didirikan pada bulan September 1954 dan kemudian pada tahun 1961 berdiri pula ASA (Assotiation of

Southeast Asia). Walaupun SEATO dan ASA itu tidak berumur panjang, namun negara-negara Asia Tenggara memiliki pengalaman membentuk dan memelihara organisasi regional. Pengalaman-pengalaman tersebut bisa menjadi bahan buat kerja sama yang lebih konkret di kemudian hari (Estrella D Solidum, 1974: 8). Berdasarkan serentetan peristiwa di atas maka dapatlah dilihat bahwa dari mulanya, setiap bentuk kerja sama regional selalu dilandasi oleh suatu perhitungan politik. Amerika Serikat memprakarsai rangkaian bentuk kerja sama regional karena para pemimpinnya dari awal menyadari bahwa sekuat-kuatnya kemampuan ekonomi dan militer Amerika Serikat, ia tak akan sanggup menyaingi kekuatan dan pengaruh Uni Soviet di setiap kawasan dunia dalam kadar ketangguhan, ketekadan, dan perhatian yang sama. Kawasan Eropa memang selamanya menjadi sasaran perhatian terpenting karena ikatan-ikatan ekonomi, politik, kebudayaan, dan strategi yang erat antara Amerika Serikat dengan Inggris, Perancis, Italia, dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Di kawasan Asia Pasifik, ikhtiar Amerika Serikat adalah untuk menciptakan Jepang yang kuat dan yang menjalankan perekonomian negaranya berdasarkan sistem ekonomi bebas (kapitalis). Dengan kekuatan industri dan keuletan masyarakat Jepang diharapkan dapat dibangun suatu konsentrasi industri yang mampu melayani kepentingan strategi, politik, dan ekonomi Amerika Serikat dalam rangka pembendungan dua raksasa komunis (Uni Soviet dan China) yang pada waktu itu masih bersekutu dengan erat. Dalam suasana membangun pola kerjasama regional yang dilandaskan keterikatan melalui persekutuan itulah beberapa negara Asia-Afrika memprakarsai Konferensi Asia-Afrika di Bandung bulan April 1955. Kecuali prinsip-prinsip yang dikemukakan dalam Dasasila Bandung, Konferensi Asia-Afrika sesungguhnya menuntut kepada negara-negara besar di PBB bahwa kepentingan pembangunan ekonomi dan sosial negara-negara sedang berkembang amat kurang diperhatikan oleh negara-negara yang sudah maju. Dalam suasana inilah lahir benih-benih bentuk kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara yang mengandalkan kemandirian negara setempat, bukan penentuan oleh negara-negara luar kawasan. Munculnya gejala-gejala lahirnya kerja sama kawasan Asia Tenggara memang tidak bisa dilepaskan sama sekali dengan adanya perang dingin, sebab tiada kawasan dunia yang penting yang lepas dari salah satu atau berbagai bentuk persaingan ideologis Amerika Serikat-Uni Soviet. Asia Tenggara, merupakan kawasan strategis pula. Sudah sejak lama diketahui bahwa kawasan Asia Tenggara merupakan persimpangan jalan, baik dari sudut kultural, maupun politik, dan dagang. Karena letak yang strategis dan hasil yang berlimpah-limpah itu, maka kecuali Muangthai, semua daerah pernah jatuh ke bawah kekuasaan kolonial Inggris, Perancis, Belanda dan Spanyol (yang kemudian digantikan oleh Amerika Serikat). Tanpa mengurangi nilai dan kemampuan survival yang dimiliki Muangthai, yang antara lain disebabkan oleh reformasi kerajaan yang tak terlambat, persaingan dan gerak maju Inggris (dari Malaya dan Myanmar) dan Perancis (dari Indo-China) merupakan faktor yang menguntungkan bagi kedaulatan Muangthai dan kelanjutan dinasti Chakri di

Bangkok. Namun perbedaan kolonial ini, yang antara lain juga ditandai oleh penguasaan kelas menengah oleh golongan migran China, diakhiri oleh pendudukan Jepang. Dalam perjuangan kemerdekaan, bangsa-bangsa di Asia Tenggara mempunyai perbedaan-perbedaan. Namun periode sejak 1945 sampai 1965 boleh dianggap sebagai periode pemantapan integrasi nasional dan pembentukan negara serta konsolidasi politik. Berbagai peristiwa internal dari masing-masing daerah yang kemudian menjadi negara, selama periode selama dua dasawarsa itu dapat dikembalikan kepada ketegangan dan konflik yang dihasilkan oleh proses pembentukan bangsa dan negara serta konsolidasi politik itu. Kolonialisme, dengan segala implikasi sosial ekonominya, memang merupakan faktor utama dari berbagai peristiwa sosial-politik yang terjadi di abad ke-20 Asia Tenggara. Kolonialisme adalah awal dari pecahnya Vietnam dan kemudian berlanjut dengan perang-perang yang akhirnya mempersatukan kembali di bawah regim komunis. Kolonialisme pula yang jadi awal terjadinya dua belahan Filipina yang masing-masing merasa asing dan antagonistik. Dan, barangkali tak berlebihan pula kalau dikatakan bahwa tanpa kolonialisme Singapura tidaklah akan menjadi a nation of immigrants dan Malaysia merupakan negara yang paling bersifat majemuk dari sudut ras. Namun, berbagai proses integrasi nasional dari negara Malaysia, sangat ditentukan oleh sosial-kultural dari masing-masing kesatuan politik. Dalam hal ini dapat dilihat kesamaan yang agak menyolok dari daerah kepulauan dan daratan Asia. Keduanya memperlihatkan ekologi alam dan sosial yang terdiri atas daerah pantai (jika di kepulauan) atau lembah dan dataran rendah (di daratan), serta pedalaman dan pegunungan atau dataran tinggi. Hal ini juga dialami Muangthai yang masih bergumul dengan kemantapan integrasi nasionalnya (Sekretariat Nasional ASEAN, 1986: 1). Di Indonesia dan Filipina yang tidak bertolak dari konsep adanya kelompok etnis yang dominan, masalah integrasi nasional lebih bercorak pencarian komunikasi kultural yang sesuai dan perimbangan kekuasaan politik yang sekurang-kurangnya dapat ditolerir. Dan untuk mencapai itu berbagai krisis pernah dijalani dan berbagai tantangan masih harus dihadapi. Dari tinjauan umum di atas dapat dilihat bahwa bentuk dan corak politik negara-negara di Asia Tenggara berbeda-beda. Hubungan mereka antara tahun 19451965 di bawah bayang-bayang persaingan ideologis Amerika Serikat-Uni Soviet. Tulisan ini hendak membahas proses lahirnya ASEAN. Tujuannya untuk melihat situasi dunia menjelang lahinya ASEAN, kondisi negara-negara Asia Tenggara sebelum lahirnya ASEAN, menuju ke arah lahirnya ASEAN, serta peran Indonesia dalam pembentuklan ASEAN.

B. Situasi Dunia Menjelang Lahirnya ASEAN Antara tahun 1945 sampai 1965 dunia internasional berada dalam persaingan dua kekuatan besar yakni Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Puncak persaingan tersebut ditandai dengan pembentukan

pakta perhananan yaitu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) oleh Amerika Serikat dan sekutunya, dan Pakta Warsawa oleh Uni Soviet dan satelit-satelitnya. Persaingan kedua negara adikuasa tersebut juga mencakup persaingan ideologi, politik dan ekonomi. Sedangkan wilayahnya tidak hanya di Eropa tetapi meluas ke kawasan-kawasan lain, baik di Asia maupun di Pasifik. Di wilayah-wilayah tersebut muncul organisasi-organisasi yang berpihak pada salah satu kekuatan dunia itu. Sedangkan untuk Asia Tenggara muncul organisasi-organisasi regional yang bernafaskan persaingan antara dua negara adidaya itu, misalnya SEATO, ASA, ASEAN yang pro Amerika Serikat, dan Persekutuan Indocina yang pro Uni Soviet. Sejak semula kerja sama regional di Asia Tenggara yang diprakarsai oleh negaranegara Barat dalam rangka persaingan Timur-Barat berupaya mencegah terjadinya perang; tidak ada satu kawasan pun di dunia yang tidak terpengaruh oleh bentukbentuk persaingan antara kedua negara adikuasa itu. Di wilayah Asia-Pasifik persaingan itu diwarnai oleh hegemoni Amerika Serikat yang sejak berakhirnya Perang Dunia II belum berubah; dan setelah perang besar itu selesai ia didukung oleh Jepang yang paling dapat diandalkan di kawasan itu. Asia Tenggara bukanlah suatu kawasan yang amat penting bagi Amerika Serikat maupun Uni Soviet. Kendatipun demikian ia cukup berarti sebagai jalur lalu-lintas laut bagi perpindahan armada perang kedua adikuasa dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik dan sebaliknya, dan bagi jalur suplai energi dan perdagangan Jepang. Dari segi pandangan ini, pembentukan ASEAN dapat berlangsung karena perimbangan kekuatan antara Amerika Serikat, Uni Soviet dan China bergeser dari wilayah ASEAN ke Indo China, sedangkan dukungan Amerika Serikat dan Jepang terhadap ASEAN tidak dilihat sebagai ancaman langsung oleh lawannya sehingga kedua raksasa komunis itu tidak berusaha menggagalkannya. ASEAN (Association of South East Asian Nations) yang berarti Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara, adalah organisasi regional yang dibentuk oleh kelima negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Muangthai dengan penandatanganan Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok oleh kelima Menteri Luar Negeri negara-negara tersebut pada tanggal; 8 Agustus 1967 di Bangkok (Alfian dkk., 1986: 1). Dalam Deklarasi Bangkok dinyatakan bahwa ASEAN didirikan dengan tujuan untuk meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi usaha kerjasama regional dalam usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan. Persamaan kedudukan di dalam keanggotaan merupakan salah satu prinsip dalam kerjasama ini tanpa mengurangi kedaulatan negara masing-masing anggota. Kerjasama regional ini bukan bersifat integratif seperti halnya organisasi Masyarakat Eropa (ME), tetapi bersifat cooperatif. ME sedang menuju kepada terciptanya suatu kesatuan Masyarakat Eropa di mana negara anggota menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada induk organisasi terutama di bidang ekonomi dan apabila mungkin juga dalam bidang politiknya. Negara-negara anggota ASEAN masih sepenuhnya memiliki kedaulatan ke dalam maupun keluar, sedangkan musyawarah, kepentingan bersama, saling membantu dengan semangat ASEAN adalah landasan utama kerjasama ini.

ASEAN tidak bersifat integratif tetapi cooperatif karena hampir setiap negara angggota memiliki benih-benih konflik dengan anggota lainnya. Untuk memahami benih-benih konflik di antara negara-negara di Asia Tenggara dan masalah-masalah keamanannya, kita harus memandang dimensi internal dan eksternal dari masalahmasalah tersebut, dan juga hubungannya di antara mereka. Hubungan-hubungan ini menjadi lebih kuat dengan memburuknya ketahanan masing-masing negara di Asia Tenggara. Jadi semakin besar ancaman keamanan yang berasal dari dalam negerinya, maka semakin besar pula ancaman eksternal yang akan dihadapi negara itu. Sumber ketidakstabilan dalam negeri adalah bersifat politik, ekonomi, sosial, bahkan budaya dan ideologi. Karena itu bidang keamanan di Asia Tenggara ini meliputi berbagai issu dan semata-mata merupakan masalah militer dalam arti konvensional. Seperti diterangkan di atas bahwa setelah Perang Dunia II selesai, dunia tidak terus damai tetapi justru tercekam akibat muncul dan merebaknya perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam rangka untuk mendapatkan dukungan internasional, Amerika Serikat dan Uni Soviet aktif bertindak sebagai pemrakarsa berbagai bentuk kerjasama regional yang berdimensi politik, ekonomi, dan keamanan. Akan halnya kadar aktivitas masing-masing adikuasa dalam berbagai kawasan dunia amat tergantung pada prioritas yang diberikan kepada kawasan itu oleh masing-masing adikuasa, taruhan yang menjadi awal-mula persaingan kedua negara, dan keinginan dari masing-masing negara kawasan yang diajak untuk bersekutu (Christoph Bertram, 1988: 32). Persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet itu mendorong negara-negara di dunia untuk mengikat diri dengan salah satu negara adikuasa itu. Di samping itu, negara-negara adikuasa melibatkan diri dalam suatu kawasan tertentu untuk mendominasi dalam bentuk kerjasama regional. Dalam banyak kasus, tampak jelas bahwa kedekatan geografis yang berlebihlebihan pada salah satu adikuasa dapat mengakibatkan negara-negara yang berdekatan itu menjadi amat tergantung pada salah satu negara adikuasa. Makin terikat suatu adikuasa pada ikhtiar perlindungan terhadap kawasan yang amat berdekatan dengannya, makin besar kemungkinan ketergantungan dan hegemoni oleh adikuasa yang bersangkutan. Ketergantungan dan hegemoni yang tercipta mengakibatkan negara yang dibantu atau dilindungi memiliki ruang gerak yang kian berkurang. Bahkan dalam persekutuan resmi, negara kecil yang bersangkutan secara nyata terlibat dalam persaingan politik, ekonomi, dan keamanan yang semestinya dapat dihindarinya apabila berdekatan geografis salah satu adikuasa tak memaksanya untuk bertindak demikian. Dalam hal kawasan yang letak geografisnya berjauhan dari Amerika Serikat atau Uni Soviet, kemungkinan akan keadaan ketergantungan, hegemoni dan sengketa kepentingan menjadi berkurang. Paling tidak, perasaan bahwa keinginan yang berlebihlebihan dari suatu adikuasa terhadap negara-negara di kawasan yang bersangkutan dapat dikurangi karena bagaimanapun, jarak yang membuat kadar tekanan perasaan seperti itu dapat dikecilkan. Maka sepanjang sejarah modern Asia Tenggara, bentuk-

bentuk kerjasama regional yang diinginkan oleh Amerika Serikat sesungguhnya tidak pernah mengalami tingkat kecemasan akan adanya ketergantungan, hegemoni, atau sengketa kepentingan yang berlarut-larut. Di Asia, terdapat serangkaian upaya untuk menciptakan dan mengembangkan kerjasama dalam berbagai bentuk dan untuk berbagai tujuan. Upaya yang paling awal, melibatkan sejumlah negara Asia Tenggara ialah Konperensi Asia yang diselenggarakan di New Delhi pada tanggal 23 Maret sampai 2 April 1947. Dalam Konperensi Asia itu, di samping tuan rumah India, 17 negara Asia lain ikut hadir dan enam daripadanya adalah wakil-wakil dari Asia Tenggara, masingmasing dari Myanmar, Indonesia, Malaya, Filipina, Muangthai dan Vietnam. Pada tanggal 20 Januari 1949 konperensi pemerintah negara-negara Asia tersebut membicarakan serangan Belanda terhadap Indonesia yang berlangsung mulai tanggal 19 Desember 1948. Dalam bulan Mei 1950 di Filipina diselenggarakan pertemuan Asian Union yang dihadari oleh tuan rumah Filipina, Australia, India, Indonesia, Muangthai, Pakistan dan Sri Lanka. Konperensi-konperensi yang diselenggarakan antara tahun 1947-1950 itu tidak menghasilkan organisasi regional, tetapi lebih merupakan forum komunikasi. Namun dengan begini berbagai hal yang menjadi perhatian bersama dapat dibahas sehingga dapat dijadikan sebagai bahan-bahan pembentukan kerjasama yang sesungguhnya. Sejumlah negara-negara baru di Asia menilai bahwa kalau mereka terlibat dalam salah satu blok dalam kancah perang dingin, maka akan membahayakan kepentingan nasional mereka. Untuk mendirikan blok ketiga secara militer terang tidak mungkin. Karena itu mereka yakin bahwa dengan dibentuknya kekuatan ketiga dalam percaturan politik internasional dapat mengimbangi dua blok yang saling bersaing. Dalam rangka untuk membentuk kekuatan ketiga (di luar Blok Barat dan Timur), kelima negara Asia yaitu Myanmar, India, Indonesia, Pakistan dan Sri Lanka pada bulan April 1954 bertemu di Colombo (ibukota Sri Lanka). Dalam Konperensi Colombo itu Indonesia mengusulkan ide untuk menyelenggarakan Konperensi Negaranegara dari Asia dan Afrika. Dengan diseponsori oleh Indonesia, India, Mesir, Ghana, dan Sri Lanka maka pada tanggal 18 - 25 April 1955 berlangsunglah Konperensi Asia-Afrika di Bandung. Meskipun konperensi di Bandung itu tidak sampai menghasilkan sebuah organisasi kerjasama regional, tetapi telah berhasil mengubah peta politik internasional karena KAA sebagai embrio munculnya Gerakan Nonblok.

C. Kondisi Asia Tenggara Sebelum Lahirnya ASEAN Jatuhnya Vietnam Utara ke tangan komunis dalam tahun 1954 ternyata telah merisaukan Amerika Serikat sebagai pelopor Blok Barat, sebab kekalahan pihak Barat itu akan membawa akibat berjatuhnya satu persatu negara-negara di kawasan Asia Tenggara ke tangan komunis, bagaikan serangkaian kartu domino. Dari situ muncul dan berkembang teori domino, yaitu bahwa negara-negara Asia Tenggara akan jatuh satu persatu ke tangan komunis seperti kartu domino.

Untuk mencegah bahaya komunis tersebut, Amerika Serikat dengan negaranegara Blok Barat lainnya mengambil berbagai langkah pembendungan, yaitu dengan memilih salah satu blok. Bagi negara Asia Tenggara yang menyatakan tetap netral dinilai sebagai immoral, termasuk negara-negara yang menjadi sponsor KAA yang nonblok. Dalam rangka pembendungan komunis di Asia Tenggara, maka pada tanggal 8 September 1954 dibentuklah SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) di Manila. Dengan demikian SEATO menjadi organisasi regional yang pertama di Asia Tenggara. Adapun anggotanya adalah Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pakistan, Filipina dan Muangthai. Karena hanya dua negara saja yang berasal dari Asia Tenggara, maka SEATO lemah kredibilitasnya. Sewaktu Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman, berkunjung ke Filipina tahun 1959, ia mengusulkan pembentukan organisasi kerjasama regional yang mampu melindungi dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan nasionalnya. Setelah Filipina setuju, kedua negara lalu mengajak negara-negara di Asia Tenggara, namun hanya Muangthai yang menerima. Karena itu pada tanggal 31 Juli 1961 ketiga negara tersebut melalui sebuah deklarasi di Bangkok secara resmi mendirikan Association of Southeast Asia/ASA (Somsaxdi Xuto, 1973: 35). Banyak negara-negara Asia Tenggara yang tidak mau bergabung dengan ASA (termasuk Indonesia) dikarenakan bahwa ASA dianggap sebagai antek SEATO dan imperialis Amerika Serikat. Tetapi munculnya perselisihan politik antara Malaysia dan Filipina tentang Sabah (Kalimantan Utara) yang dimasukkan ke dalam federasi Malaysia dalam bulan September 1963 telah melumpuhkan kegiatan organisasi kerjasama regional tersebut (Alison Broinowski, 1982: 9). Setelah ASA menjadi beku karena masalah Sabah, Filipina mengembangkan ide untuk membentuk semacam Konfederasi Melayu Raya (Greater Malay Confederation). Di balik ide itu tampaknya terkandung maksud mencari penyelesaian yang memuaskan dari perselisihan antara Malaya di satu pihak dengan Filipina dan Indonesia di pihak lain tentang Kalimantan Utara (Sabah) yang akan masuk ke dalam Federasi Malaysia. Karena itu pada bulan Agustus 1963 terjadilah pertemuan tingkat tinggi di Manila antara Soekarno, Tengku Abdul Rahman dan Diosdado Macapagal, di mana mereka antara lain menyetujui untuk mengambil langkah-langkah permulaan ke arah berdirinya sebuah organisasi kerjasama regional baru yang kemudian dikenal dengan Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia). Sewaktu Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963 yang mencakup Sabah, Serawak, Singapura di samping Malaya ke dalamnya, Indonesia meningkatkan konfrontasi terhadap federasi baru itu. Filipina yang tidak lagi mempunyai hubungan diplomatik dengan Malaya/Malaysia bekerjasama dengan Indonesia. Belum lagi sempat bergerak, Maphilindo praktis menjadi lumpuh, meskipun kedua negara anggota yaitu Indonesia dan Filipina masih meneruskan pertemuan-pertemuan (Richard Butwell, 1969: 211). Dengan berlangsungnya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, mala Indonesia membentuk poros Jakarta-Pnom Penh-Beijing, dan keluarnya Indonesia dari PBB. Sulit untuk disangkal bahwa hal-hal seperti itu telah merusak citra politik luar

negeri Indonesia yang bebas aktif. Praktek-praktek politik luar negeri yang cenderung memihak ke kiri, dalam hal ini terutama China, dan sangat anti Barat menimbulkan dan mengembangkan kesangsian di berbagai negara tentang kemurnian prinsip bebas aktif politik luar negeri Indonesia. Ketika politik luar negeri Indonesia mengalami krisis kredibilitas yang berat di luar negeri, dan juga di beberapa kalangan di dalam negeri, terutama kekuatankekuatan non atau anti komunis seperti di Angkatan Darat dan golongan-golongan agama, meletuslah peristiwa G30S/PKI. Kalau seandainya peristiwa itu tidak berhasil ditumpas, Indonesia barangkali sudah menjadi negara komunis dan bersamaan dengan itu prinsip bebas aktif politik luar negeri kita dengan sendirinya terkubur. Keberhasilan penumpasan G30S/PKI menjungkirbalikkan keinginan untuk membentuk negara komunis di Indonesia. Lagipula penumpasan tersebut diikuti dengan pelarangan PKI serta ideologi Marxisme/Komunisme serta jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno. Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya mewarisi kondisi politik, sosial, dan ekonomi dalam negeri yang porak-poranda. Di samping itu di dunia internasional, Orde baru mewarisi krisis kredibilitas yang berat terhadap prinsip bebas aktif dari politik luar negeri Indonesia. Mengembalikan citra yang wajar dan sehat tentang prinsip bebas aktif tersebut dalam persepsi dunia internasional merupakan salah satu tugas politik luar negeri yang amat mendesak, di samping keperluan untuk mencari bantuan yang dibutuhkan buat merekonstruksi dan membangun kembali perekonomian yang kondisinya sudah parah. Pemerintah Orde Baru berangsur-angsur mengembalikan citra politik luar negeri yang bebas aktif. Konfrontasi dengan Malaysia diakhiri dan dalam waktu yang relatif singkat keanggotaan Indonesia di PBB dicairkan kembali. Serangkaian dengan itu Indonesia memainkan peranan aktif dan menentukan dalam pembentukan organisasi regional di Asia Tenggara.

D. Menuju ke Arah Pembentukan ASEAN Berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, ternyata telah membuka lembaran baru sejarah Asia Tenggara. Sebelum berakhirnya konfrontasi secara formal, pemerintah-pemerintah di Bangkok, Manila, dan Kualalumpur telah memperlihatkan keinginan mereka untuk menghidupkan kembali gagasan kerjasama kawasan dan hal itu menghasilkan buah dengan pelaksanaan pertemuan menteri-menteri luar negeri ASA pada bulan Juli 1966. Regionalisme telah menjadi pokok pembicaraan selama berlangsungnya perundingan bilateral informal antara Indonesia dan Malaysia jauh sebelum prakarsa pertama yang menentukan guna memberhentikan Soekarno. Hal ini juga menjadi agenda pembicaraan resmi antara Adam Malik dan Tun Razak di Bangkok pada akhir Mei 1966 (Bernard K. Gordon, 1969: 111). Agenda utama yang harus diselesaikan sebelum suatu kecenderungan umum terhadap kerjasama kawasan dapat diterjemahkan ke dalam suatu kerangka kelembagaan yang lebih besar ialah syarat-syarat yang padanya Indonesia akan berperan serta. Kesukaran utama adalah sama dengan apa yang menunda pencapaian

persetujuan akhir untuk mengakhiri konfrontasi; yakni perlunya menghindarkan kesan kapitulasi dan implikasi merendahkan martabat bagi Indonesia apabila menerima keanggotaan dalam suatu asosiasi yang anggota-anggotanya terdiri atas negara-negara yang mempunyai kebijaksanaan luar negeri yang melanggar nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Indonesia. Mengingat bahwa format bagi kerjasama kawasan yang lebih luas memerlukan waktu untuk merundingkannya, maka antusiasme awal Indonesia telah disampaikan kepada publik. Dalam suatu pernyataan di depan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 16 Agustus 1966, dalam mana dia menjelaskan syarat-syarat persetujuan untuk membawa konfrontasi ke tahap akhir, Jenderal Soeharto mengungkapkan minat terhadap kerjasama kawasan dalam bentuk yang sepenuhnya konsisten dengan pandangan tentang tertib kawasan yang telah menjadi buah bibir dan yang dapat diterima sebelumnya jatuhnya Soekarno. Menurut Jenderal Soeharto, apabila masalah Malaysia selesai, maka negaranegara di Asia Tenggara dapat melangkah ke arah kegiatan-kegiatan dalam bidang kebijaksanaan luar negeri yang menjalin kerjasama yang erat berdasarkan prinsip saling menguntungkan antara negara-negara Asia Tenggara. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dapat menghidupkan kembali Maphilindo dalam lingkup yang lebih luas untuk mencapai suatu Asia Tenggara yang bekerjasama dalam berbagai bidang, terutama bidang-bidang ekonomi, teknik, dan budaya. Apabila suatu Asia Tenggara yang bersatu dapat dibentuk, maka bagian dunia ini akan mampu menghadapi pengaruh luar dan intervensi dari sudut manapun datangnya baik itu sifatnya ekonomi maupun intervensi fisik militer. Suatu Asia Tenggara yang bekerjasama, suatu Asia Tenggara yang bersatu, merupakan benteng dan dasar yang paling kokoh dalam menghadapi imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apapun dan dari sudut manapun datangnya (Michael Leifer, 1986: 174). Gagasan Soeharto mengenai kawasan Asia Tenggara masih seperti pandangan lama yang dipegang angkatan bersenjata, yakni tentang manajemen hubungan antar negara di dalam Asia Tenggara dan juga mengenai peranan utama yang dimainkan Indonesia dalam mewujudkan suatu tertib kawasan. Sesungguhnya pandangan itu, sebagaimana diartikulasikan pada bulan Agustus 1966, telah dipertahankan sejak lama tanpa perubahan yang mendasar. Pada tahun 1966, antusiasme bagi kerjasama kawasan dibarengi dengan tekad untuk menjamin bahwa setiap usaha ke arah itu akan didasarkan pada syarat-syarat Indonesia, meskipun di dalam kerangka rekonsiliasi. Itulah sebabnya, Soeharto memberikan rujukan pada penghidupan kembali gagasan Maphlindo (gagasan Dr Subandrio yang waktu itu sudah dipenjarakan) dalam lingkup yang lebih luas. Namun alasan utamanya ialah Indonesia enggan bergabung ke dalam ASA dengan asosiasi negara pengikutnya. Suatu permulaan baru diperlukan agar, sebagai anggota pendiri usaha baru itu, Indonesia dapat menanamkan jejak pada kerjasama wawasan tersebut. Yang mendasar wawasan ini ialah penolakan secara prinsip untuk menerima pentingnya peranan kekuasaan luar untuk mengisi setiap apa yang disebut kekosongan kekuasaan yang timbul di Asia Tenggara dengan mundurnya kolonialisme. Sesungguhnya konsep

kekosongan kekuasaan kawasan merupakan suatu yang asing bagi perspektif strategis yang menentang pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Perubahan politik di Indonesia berarti dalam satu aspek penting suatu identitas wawasan politik ditetapkan antara lima pemerintah Asia Tenggara yang telah dilibatkan dalam konfrontasi apakah sebagai musuh ataukah sebagai konsiliator. Perubahan dalam sistem politik Indonesia menimbulkan suatu kesesuaian politik yang justru tidak ada ketika ASA dibentuk tahun 1961. Walaupun Indonesia menegaskan kembali secara formal prinsip-prinsip kebijaksanaan luar negeri yang didasarkan pada pencegahan asosiasi yang bersaifat aliansi atau memberikan fasilitator bagi pangkalan militer asing, di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto telah bergabung ke dalam jaringan informal negara-negara yang berpandangan serupa yang merentang Asia Tenggara dan di luarnya, yang di dalamnya Muangthai, Malaysia, Singpura, dan Filipina sudah menjadi anggota. Dalam hal ini, Indonesia merupakan mitra yang wajar, walaupun tak setara. Sesungguhnya, wilayahnya yang luas, sumber-sumber alam yang melimpah dan penduduknya yang besar menambah suatu dimensi ke dalam kerjasama kawasan yang tak hanya selama ini tidak ada tetapi juga telah menyebabkan usaha sebelumnya tampak lemah. Pemerintah-pemerintah di Muangthai dan Filipina menanggapi dengan semangat ungkapan minat Jenderal Soeharto dan usaha awalnya yang bertujuan untuk memajukan suatu asosiasi Asia Tenggara bagi kerjasama kawasan. Selain persoalan mencari rujukan yang tepat hal itu mungkin memakan waktu sedikit untuk meyakinkan perdana menteri Malaysia, Tengku Abdul Rahman, akan maksud baik Indonesia terutama karena kedua negara ini belum mempunyai hubungan diplomatik. Dalam kenyataannya, kebaikan mengkombinasikan suatu kerangka bagi rekonsiliasi kawasan dengan suatu format bagi tertib kawasan mempengaruhi saat itu. Kerjasama kawasan dengan peran serta Indonesia yang bersemangat menyerupai, untuk tahap tertentu, tahap perkembangan sistem antar-Amerika ketika pemasukan secara melembaga negara yang paling kuat di kawasan itu dipertimbangkan baik sebagai sarana untuk memuaskan ambisinya yang wajar dan juga untuk mengendalikan kecenderungan hegemoniknya yang lebih dapat ditolak. Pemerintah Indonesia, baik sebagai obyek maupun yang beruntung dari logika ini, sadar sepenuhnya akan kedua fungsi sengaja kerjasama kawasan itu sejak dari awal.

E. Peran Indonesia Dalam Pembentukan ASEAN Setelah keluar dari tragedi tahun 1965, Indonesia telah mengalami perubahan politik luar negerinya. Pendekatan dan persepsi baru dalam kebijaksanaan politik luar negeri ini berpedoman pada dua hal pokok. Pertama, kepentingan nasional yang diperhitungkan secara realistis. Kepentingan nasional Indonesia itu antara lain mengatasi masalah ekonomi. Kedua, kenyataan-kenyataan yang terdapat dalam dunia internasional yang dapat digunakan untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia, termasuk perannya dalam menjaga perdamaian dunia. Dengan politik luar negeri yang baru itu, Indonesia akan bekerja sama dengan

negara-negara lain di dunia, dengan organisasi-organisasi dan badan-badan internasional yang ada, demi kepentingan nasional Indonesia untuk menanggulangi kesulitan ekonomi. Dengan penegasan kembali prinsip dasar politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, maka dirumuskanlah langkah-langkah yang akan diambil. Langkahlangkah itu ialah memperbaiki kesalahan pengertian dari negara-negara Blok Barat maupun Blok Timur. Oleh karena itu Indonesia segera kembali ke PBB, serta melakukan pendekatan kepada Blok Barat dan Timur. Dampak yang diharapkan muncul dari langkah-langkah ini ialah meningkatnya kredibiltas Indonesia di mata internasional sehingga dengan pulihnya kepercayaan ini maka dalam jangka menengah maupun jangka panjang bisa dilakukan pembangunan nasional. Kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia yang baru ini membawa implikasi seperti yang diharapkan. Meningkatnya kredibilitas Indonesia di mata internasional ditandai dengan meningkatnya jumlah bantuan dan pinjaman luar negeri yang diterima, baik yang diterima dari negara-negara sahabat maupun badan-badan internasional. Di samping itu, penyelesaian masalah Irian Jaya dan konfrontasi dengan Malaysia mendapatkan titik terang. Jika pada masa sebelumnya Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura, maka setelah Orde Baru berkuasa memutuskan bahwa hubungan Indonesia dengan Singapura segera dipulihkan. Sekitar dua bulan setelah Indonesia memutuskan untuk memulihkan hubungan dengan Singapura, maka pada tanggal 6 Juni 1966 pemerintah Singapura memutuskan untuk mengakui Indonesia dan menyetujui diadakannya pertukaran wakil-wakil diplomatik. PM Malaysia, Tengku Abdul Rahman yang semula menentang keputusan Singapura untuk membuka hubungan dengan Indonesia, telah menyatakan kegembiraannya. Langkah tersebut dinilai sebagai langkah menuju perdamaian dan keamanan daerah Asia Tenggara (Ulkasah Martadisastra, 1985: 11). Perubahan sikap Tengku Abdul Rahman dinyatakan, karena hasil Persetujuan Bangkok antara Malaysia-Indonesia menambahkan pula bahwa akan lebih baik lagi apabila pembukaan hubungan diplomatik antara Indonesia, Malaysia dan Singapura dapat dilakukan serentak. Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang telah berlangsung selama tiga tahun, dihentikan berdasarkan persetujuan bersama yang ditandatangani pada tanggal 11 Agustus 1966 sebagai hasil persetujuan di Bangkok bulan Juni 1966 antara kedua pemerintahan bersangkutan. Dalam persetujuan itu Indonesia diwakili oleh Menteri Utama Bidang Politik/Luar Negeri Adam Malik, dan pihak Malaysia oleh Wakil PM Tun Abdul Razak. Dalam perjanjian yang ditandatangani di Jakarta tersebut dinyatakan bahwa kedua pemerintah setuju untuk diselenggarakannya pemilihan umum di Sabah dan Serawak dalam waktu secepatnya, secara bebas dan untuk memberi kesempatan kepada rakyat kedua daerah tersebut untuk menentukan kedudukannya. Hubungan diplomatik Malaysia-Indonesia akan segera dilaksanakan dan pertukaran perwakilan diplomatik segera diadakan. Setelah hubungan dengan negara-negara terdekatnya membaik, maka pada

akhir tahun 1966 Indonesia menawarkan kepada negara-negara di Asia Tenggara untuk berhimpun dalam suatu wadah organisasi kerja sama regional dalam rangka membangun dan mengisi kemerdekaan nasional masing-masing. Ide itu disampaikan kepada Singapura, Filipina, Malaysia, Thailand, Kamboja dan Myanmar. Terhadap tawaran itu, ternyata hanya Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand yang menyambut baik. Pemerintah Myanmar dalam tanggapannya mengenai rencana kerja sama regional di Asia Tenggara itu menyatakan bahwa negara itu tidak menentang proyek tersebut; namun Myanmar tidak dapat ikut serta menjadi anggotanya berdasarkan pertimbangan politik netralis ketat. Sedangkan Kamboja tidak ingin ikut serta dalam usaha-usaha regional apa pun di mana Thailand ikutserta secara aktif. Sebaliknya pejabat-pejabatan di Thailand berpendapat bahwa tanpa ikut sertanya Myanmar dan Kamboja, maka kelima negara Asia Tenggara tersebut akan lebih mampu membentuk suatu organisasi yang sanggup menghadapi pasar dunia bagi kepentingan negara anggota. Sementara itu Sri Lanka menyatakan diri ingin bergabung dengan organisasi yang akan dibentuk itu, sehingga masalah batas-batas geografis akan ditetapkan dalam pertemuan. Namun pada saat pembentukannya, negeri itu ternyata tidak hadir. Kerja sama regional yang akan dibentuk itu pada tingkat tertentu memang tidak dapat dibedakan dengan organisasi-organisasi regional yang sudah ada seperti ASA, tetapi tanpa masuknya Indonesia ke dalam lingkungan kerja sama regional, tidak akan terbentuk organisasi regional di Asia Tenggara yang benar-benar representatif. Dalam pertemuan tanggal 5 - 8 Agustus 1967 di Bangkok mengenai realisasi pembentukan suatu kerja sama regional yang baru, Indonesia menentang pasukan asing di wilayah Asia Tenggara; meskipun begitu hendaknya hal ini tidak menjadi rintangan bagi usaha pembentukan organisasi baru kerja sama regional Asia Tenggara yang harus bersifat nonpolitik dan nonmiliter, dan hal itu hanya dapat terjadi dengan perginya pasukan asing dari Asia Tenggara. Menanggapi persoalan di atas, Menlu Narcio Ramos dari Filipina, mengadakan pembelaan terhadap pandangan pemerintahnya yang menganggap perlu adanya pangkalan asing (Amerika Serikat) di Filipina. Sedangkan Singapura dan Malaysia menyatakan bahwa pasukan Inggris yang ada di negeri mereka tidak lama lagi akan ditarik. Karena Indonesia baru saja terlepas dari kekuasaan komunis dan kebijaksanaan politik luar negerinya menjauhi garis kiri, dan anggota-anggota lainnya anti komunis atau paling tidak non-komunis, maka ada kesan bahwa organisasi regional Asia Tenggara yang ditawarkan Indonesia itu disponsori oleh Blok Barat guna membendung komunis di Asia Tenggara. Namun kesan tersebut sulit dibuktikan, sebab negara-negara anggotanya menghindari perlawanan dengan negara-negara komunis. Jika dilihat dari proses pembentukannya, kelihatan bahwa organisasi yang akan dibentuk itu lebih sebagai antisipasi terhadap perkembangan politik di masa itu serta masa-masa berikutnya. Dan perlu diketahui pula bahwa organisasi gagasan Indonesia itu tidak dibentuk sebagai sebuah organisasi dengan konsep-konsep yang dipersiapkan secara matang dan terencana untuk jangka panjang. Situasi pada waktu itu memang tidak memungkinkan. Oleh karena itu tanpa berbelit-belit keempat negara yang yang

menerima usul Indonesia itu bersama Indonesia berkumpul di Bangkok dan kemudian membentuk ASEAN (Ulkasah Martadisastra, 1985: 2). . Dengan pemahaman atas keadaan seperti ini, maka seluruh makna yang bisa diperoleh Indonesia dari ASEAN tersebut di atas bukanlah makna-makna besar yang langsung didapat setelah ASEAN terbentuk. Sejak semula, harapan yang bisa ditumpukan pada organisasi baru ini dari pihak Indonesia sebagai penggagas ialah bahwa ASEAN bisa berfungsi sebagai sarana peredaan setelah terjadi perubahan politik luar negeri Indonesia. Setelah terjadi peredaan ketegangan, lalu diambil langkah-langkah pemulihan citra politik Indonesia di mata negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara khususnya dan dunia internasional pada umumnya. Implikasinya, melalui ketahanan ekonomi dan politik, bisa dirasakan makna ketahanan regional dalam bidang pertahanan dan keamanan. Dengan demikian pembentukan ASEAN bisa memberi harapan baru bagi masa depan Indonesia.

Penutup Kondisi internasional menjelang terbentuknya ASEAN diwarnai oleh persaingan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Perebutan pengaruh antara kedua negara adidaya itu juga dikenal sebagai perang dingin. Kedua blok itu berebut pengaruh di setiap kawasan, termasuk di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu kondisi Asia Tenggara sebelum terbentuknya ASEAN diwarnai oleh perpanjangan konflik akibat perebutan pengaruh Blok Barat dan Blok Timur. Akibatnya negara-negara di Asia Tenggara pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendukung Amerika dan kelompok yang mendukung Uni Soviet . Pemberontakan dan penumpasan komunis yang terjadi di Indonesia mengubah perimbangan kekuatan antara kelompok negara yang pro Amerika Serikat dan yang pro Uni Soviet. Hal ini disebabkan karena akibat peristiwa tersebut Indonesia berubah dari pro Blok Timur menjadi pro Blok Barat. Kondisi ini mendorong negara-negara pro Barat untuk berhimpun menghadapi pengaruh Blok Timur. Indonesia yang mulai berbaik dengan PBB dan negara-negara tetangganya, menawarkan konsep perhimpunan kepada negara-negara di Asia Tenggara. Konsep tersebut disambut dingin oleh negara-negara yang condong ke komunis, namun disambut positif oleh negara-negara pro Barat. Negara-negara inilah yang kemudian membentuk ASEAN.

Daftar Pustaka Alfian dkk. 1986. Latar Belakang Terbentuknya ASEAN. Jakarta: Seknas ASEAN Deplu RI. Bertram, Christoph. 1988. Konflik Dunia Ketiga dan Keamanan Dunia. Jakarta: Bina Aksara. Broinowski, Alison. 1982. Understanding ASEAN, London: The Macmillan Press. Butwell, Richard. 1969. Southeast Asian Today and Tomorrow: Problems and Political

Development. New York: Praeger Publish. Gordon, Bernard. 1966. Dimensions of Conflict in Southeast Asia. New Jersey : PrenticeHall. Leifer, Michael. 1986. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Luhulima, C.P.F., dkk. 1986. Dimensi Kerangka Kegiatan dalam Kerja Sama ASEAN, Jakarta: Seknas ASEAN Deplu RI. Martadisastra, Ukasah. 1985. Perbandingan Administrasi Negara ASEAN. Bandung: Remaja Karya. Rajendran, M. 1985. ASEANs Foreign Relations: The Shift to Collective Action, Kualalumpur: Arena Buku. Robison, Richard. 1978. Towards a Class Analysis of The Indonesian Militery Bureaueratic State Dalam Indonesia No. 25. Seknas ASEAN. 1986. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Departemen Luar Negeri RI.

Solidum, Estrella D. 1974. Toward A Southeast Asian Community. Quezon City: University of the Philippines Press. Somsaxdi Xuto. 1973. Regional Cooperation in Southeast Asia. Bangkok: Institute of Asian Studies, Chulalongkorn University.

You might also like