You are on page 1of 9

1

Tafsir bil-Ray
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Metode Tafsir



Oleh:
Muhammad R Rida : 111003400060
Muhammad saiful ashari : 111003400
Fajar febriansyah: 1110034000







JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2011


2

1. Pendahuluan.
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan akal, yang dengannya manusia
mengetahui kekuasaanNya, ke Esa-anNya dengan cara mengkaji, merenungi ayat-ayat
Tuhan.
Selanjutnya, pengertian tafsir bi al-Ray adalah tafsir ayat-ayat al-Quran yang
didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan pemikiran yang mendalam sebagai pendekatan
utamanya. Tafsir al-ray ini menggunakan metode analitis. penafsir memperoleh
kebebasan memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Quran selama masih dalam
batas-batas yang diizinkan oleh syara dan kaidah-kaidah penafsiran yang mutabar
(dipandang layak). Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk al-ray
dengan metode analitis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti
tafsir fiqih, falsafi, sufi, ilmi, adabi ijtimai, dan lain sebagainya. Kebebasan serupa itu
sulit sekali diterapkan di dalam tafsir yang memakai metode global [ijmali] sekalipun
bentuknya al-ray.
Adapun perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai tafsir ini seharusnya
menjadikan sikap kita lebih toleransi sehingga tercipta sebuah masyarakat yang
berperadaban tinggi. Bukan malah menambah pengkotak-kotakan yang dapat membawa
umat ini pada ujung kehancuran.






3

2. Pengertian dan Motivasi Munculnya Tafsir bi al-Ray
` Kata al-Ray berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut
definisinya, Tafsir bir-rayi adalah penafsiran al-Quran yang didasarkan pada pendapat
pribadi mufassir
1
setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa
Arab.
Tafsir al-Ray
2
, yaitu tafsir ayat-ayat al-Quran yang didasarkan pada ijtihad
mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya. tafsir al-ray
yang menggunakan metode analitis ini, para mufassir memperoleh kebebasan, sehingga
mereka agak lebih otonom [mandiri] berkreasi dalam memberikan interpretasi terhadap
ayat-ayat al-Quran selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara dan
kaidah-kaidah penafsiran yang mutabar (dipandang layak). Itulah salah satu sebab yang
membuat tafsir dalam bentuk al-ray dengan metode analitis dapat melahirkan corak
penafsiran yang beragam sekali seperti tafsir fiqih, falsafi, sufi, ilmi, adabi ijtimai, dan
lain sebagainya
3
. Kebebasan serupa itu sulit sekali diterapkan di dalam tafsir yang
memakai metode global [ijmali] sekalipun bentuknya al-ray. Dikarenakan adanya
kebebasan serupa itulah, maka tafsir bi al-ray berkembang jauh lebih pesat


1
Manna Khalil al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Quran,h. 488.

2
Contoh kitab-kitab tafsir ray antara lain: al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib karangan Al-
Ustadz al-Fakhr al-Razi (w. 606 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil karya Al-Ustadz Al-Baidhawy (w.
691 H), Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Tawil karangan Al-Ustadz Mahmud al-Nasafy (w. 701 H), Lubab
al-Tawil fy Maany al-Tanzil karangan Al-Ustadz Al-Khazin, Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab
al-Karim oleh Abu Suud (w. 982) dan Al-Kasyaf oleh Mahmud bin Umar al-Zamakhsari (w. 538 H).

3
Nashruddin Baidan. Op. Cit. h. 50.


4
meninggalkan tafsir bi al-matsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna
al-Qhathathan
4
.
Tetapi menurut Adz-Dzahaby, para ulama telah menetapkan syarat-syarat
diterimanya tafsir ray yaitu, bahwa penafsirnya:
1. Benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya.
2. Mengetahui asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ilmu qiraat dan syarat-syarat
keilmuan lain.
3. Tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk
mengetahuinya.
4. Tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan intres pribadi.
5. Tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas batil dengan
maksud justifikasi terhadap paham tersebut.
Tidak menganggap bahwa tafsirnya yang paling benar dan yang dikehendaki oleh
Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
5

Tafsir bir-rayi muncul sebagai sebuah jenis tafsir pada periode akhir
pertumbuhan tafsir bil-matsur sebagai periode awal perkembangan tafsir. Pada masa ini
Islam semakin maju dan berkembang, maka berkembanglah berbagai madzhab dan aliran
dikalangan umat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam
rangka mengembangkan paham mereka. Untuk maksud tersebut mereka mencari ayat-
ayatal-Quran dan Hadits Nabi, lalu mereka tafsirkan sesuai keyakinan yang mereka
anut.
6



4
Manna al-Qattan. 1973. Mabahits fi Ulum al-Quran, h. 342.

5
Muhammad Husain Adz-Dzahabi. Tafsir wa al-Mufassiran. h. 48.

6
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Quran.h.46.


5
Sebenarnya tafsir bir-rayi tidak semata-mata didasari penalaran akal, dengan
mengabaikan sumber-sumber riwayat secara mutlak
7
akan tetapi lebih selektif terhadap
riwayat tersebut. Dalam sumber lain Tafsir bir-rayi bukan berarti menafsirkan ayat
dengan menggunakan akal seluas-luasnya, tetapi tafsir yang didasarkan pada pendapat
yang mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab yang bersandar pada sastra jahiliah berupa
syair, prosa, tradisi bangsa Arab, dan ekspresi percakapan mereka serta pada berbagai
peristiwa yang terjadi pada masa Rasul. Dengan demikian, tafsir bir-rayi adalah tafsir
dengan cara memahami berbagai kalimat al-Quran melalui pemahaman yang ditunjukkan
oleh berbagai informasi yang dimiliki seorang ahli tafsir seperti bahasa dan berbagai
peristiwa.
Sebagian ulama menerima tafsir ini dengan beberapa syarat yang cukup ketat
diantaranya : (a) menguasai bahasa Arab dan cabang-cabangnya (b) menguasai ilmu-ilmu
al-Quran (c) berakidah yang benar (d) mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam
dan menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat-ayat yang
ditafsirkan
8
. Dengan syarat-syarat tersebut diharapkan tidak ada penyimpangan dalam
menafsirkan al-Quran.
3. Devinisi Tafsir al-Mahmud dan Tafsir madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak
syariat (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syariat), jauh dari
kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta
berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Quraniyah.


7
Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005),h.113 .

8
Supiana dkk, Ulumul Quran dan pengenalan metodologi Tafsir.h.306.


6
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Quran tanpa berdasarkan ilmu,
atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui
kaidah-kaidah bahasa atau syariah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan
mazhabnya yang rusak maupun bidahnya yang tersesat.

4. Pendapat 'Ulama Tentang Tafsir bi Al- Ra'yi
Para Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya metode tafsir bi alRa'yi.
Sebagian 'ulama melarang penafsiran Al-Qur'an dengan menggunakan metode ini,
sebagian yang lain memperbolehkannya. Rincian dari perbedaan ini hanyalah sebatas
pada lafadz bukan hakikatnya.
Ibn Taimiyah, ulama abad pertengahan (w. 1328) dalam Muqaddimah fi Ushul al-
tafsir-nya sangat menilai tinggi pada tafsir yang di interpretasi sendiri oleh al-Qur'an atau
tafsir yang diberikan oleh nabi sendiri atau oleh para sahabat yang mendapat otoritasnya
melalui dugaan kaitanya dengan nabi yang kita kenal dengan tafsir bi al- Ma'thur, ia sama
sekali menolak tafsir bi al- Ra'yi. Ini bisa di maklumi karena beliau adalah ahli hukum
dari Madhab Hanbali yang membatasi masalah hukum hanya pada al-qur'an dan hadis.
Tetapi dalam kitabnya Takhrij Ahadis beliau mengomentari tentang hadith yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi tentang ancaman neraka bagi orang yang menafsirkan al-
qur'an dengan akalnya bahwa, hadis tersebut do'if karena ada nama Abd al-A'la ibn 'Amir
al-Tha'labi yang dianggap dho'if oleh Ahmad, Ibn Sa'ad dan Abu Zar'ah. Ini
mengindikasikan bahwa beliau masih memberikan ruang bagi tafsir bi al-ra'yi.
Muhammad Tantawi berpendapat, tafsir bi al-ra'yi tidak boleh kecuali bagi orang
yang faham terhadap al-qur'an, mendalam dalam ilmu-ilmu tentang hadis Nabi, pandai


7
dalam rahasia-rahasia bahasa Arab seperti Nahwu, Shorof dan Balaghoh, memahami ilmu
shari'ah seperti fiqh dan tauhid serta ilmu yang mendukung terhadap penafsirannya.
Al-Zafzaf membagi pendapat ulama' yang terkait dengan al-tafsir bi al-ra'yi
kepada tiga kelompok ;
Pertama, al-Muwassi' yaitu orang yang longgar terhadap penafsiran bi al-ra'yi ini.
Mereka berpendapat bahwa setiap orang yang baik akhlaknya serta mempunyai
kemampuan yang mendalam dalam bahasa Arab, maka ia boleh melakukan penafsiran
dengan ijtihadnya. Kelompok ini menguatkan pendapatnya dengan dalil al-qur'an surat
Sad: 29.

.. ..l. ,,l| .,`. ``,.,l ...,, ..,l l` .,l
ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran.
Memperhatikan atau tadabbur adalah mengetahui apa-apa yang terkandung dalam
al-qur'an baik yang terkait dengan hukum-hukum dan peringatan-peringatan. Perhatian
tadi tentu tidak akan tercapai kecuali dengan memahami makna-makna yang terkandung
dalamnya.
Kedua, al-Mudoyyiqun yaitu orang yang sangat ketat dalam masalah tafsir bi al-
ra'yi ini. Mereka berpendapat tidak boleh bagi seorangpun untuk menafsiri al-qur'a>n
dengan pendapatnya sendiri, walaupun ia pandai, berakhlak baik dan sangat luas
pengetahuanya tentang dalil-dalil al-qur'an dan hadis, fiqh, kaidah bahasa Arab dan atsar


8
sahabat. Hal ini berdasarkan pada hadis nabi yang memberikan ancaman bagi orang-
orang yang menafsiri al-qur'an dengan akalnya. Diantaranya seperti yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud :
. :. .
9

"Sesungguhnya Nabi Saw bersabda: barang siapa berbicara tentang al-qur'an
tang ilmu pengetahuan, maka hendaklah ia mempersiapkan tempatnya di neraka"
Ketiga, mereka adalah kelompok Mutawassitun atau moderat. Mereka
berpendapat bahwa setiap orang yang mengetahui keterbatasan penafsiran al-qur'an
dengan dalil-dalil naqli, maka ia boleh meninggalkannya dan kemudian beralih kepada
hal-hal yang dibutuhkan dalam penafsiran.
Adapun kelompok moderat dalam menanggapi penggunaan yang kedua diatas
berpendapat hadis hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di atas, pengertiannya
adalah larangan menafsirkan alqur'an tanpa didasari oleh ilmu yang mendukung terhadap
penafsiran tersebut. Jadi yang benar dalam masalah ini adalah, apa-apa yang terkait
dengan masalah penafsiran dalam alqur'an itu ada dua hal:
1. Sesuatu yang hanya bisa diketahui dengan Tauqif , seperti hakikat hal-hal yang samar,
contohnya tentang kenikmatan di surga, macam-macam siksaan di neraka, sifat-sifat
anjingnya Ashab al-Kahfi serta jumlah mereka dan lain-lain. Itu semua hanya bisa
dijelaskan oleh al-qur'an sendiri atau apa yang ditetapkan berdasarkan hadis nabi.
2. Sesuatu yang diketahui dengan dukungan bahasa Arab, pengetahuan tentang asbab al-
nuzul, kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab dan hal-hal yang dibutuhkan dalam penafsiran.
Bila hal-hal itu terpenuhi maka, mufassir tidak harus selalu menyandarkan
penafsirannnya dengan batasan-batasan yang manqul.


9



9

You might also like