You are on page 1of 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Teori yang Melandasi Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang

didasarkan pada paham konstruktivisme. Dengan pendekatan konstruktivisme, guru tidak dapat begitu saja memberikan pengetahuan jadi kepada siswanya. Agar pengetahuan yang diberikan bermakna, siswa sendirilah yang harus memproses informasi yang diterimanya, menstrukturnya kembali dan

mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam proses ini guru berperan memberi dukungan dan memberi kesempatan pada siswa untuk menerapkan ide mereka sendiri dan stategi mereka dalam belajar. Prinsip pokok dari pendekatan konstruktivisme adalah siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri. Otak siswa dianggap sebagai mediator, yakni

memproses masukan dari lingkungannya dan menentukan apa yang mereka pelajari. Jadi belajar merupakan kerja mental yang aktif, bukan menerima secara pasif pembelajaran dari guru. Dalam pembelajaran yang mengikuti prinsip-prinsip dari teori konstruktivisme, dijelaskan oleh Driver (dalam Marjani, 2000 : 9) bahwa : 1) Siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, melainkan harus bertanggung jawab atas belajarnya sendiri.

12

13

2)

Belajar melibatkan perubahan dalam konsepsi-konsepsi siswa, dimana siswa secara aktif bertanggung jawab membangun pengetahuannya untuk mencapai kebermaknaan.

3)

Mengajar kebermaknaan.

bukannya

pemindahan

pengetahuan,

tetapi

negosiasi

Sejalan dengan pendapat Driver, Suparno (1997 : 49) juga menyatakan prinsip-prinsip teori konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai berikut : 1) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri secara aktif dapat melalui proses personal maupun sosial. 2) 3) Pengetahuan tidak dipindahkan maknanya dari guru terhadap siswa. Siswa membangun pengetahuannya terus menerus hingga terjadi perubahan konsepsi yang sesuai dengan konsep ilmiah. 4) Peran guru hanya membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses pembentukan pengetahuan siswa dapat terjadi dengan mudah. Berdasarkan kedua pendapat di atas, menurut teori konstruktivisme dapat dikatakan bahwa belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman, yang dilakukan baik secara pribadi maupun sosial. Sedangkan

mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan guru kepada siswanya, melainkan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri

pengetahuannya, membuat bermakna,

mencari kejelasan, dan bersikap kritis.

Tugas guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah merangsang pemikiran

14

siswa, membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya, dan kritis menguji konsep tersebut. Teori-teori kontruktivisme yang mendukung pembelajaran kooperatif antara lain adalah : 1. Teori Piaget Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Ia menyatakan bahwa pembentukan pengetahuan adalah suatu proses asimilai dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental anak. Asimilasi artinya penyerapan pengalaman dan informasi baru, sedangkan akomodasi adalah hasil penyusunan kembali dari pikiran akibat masuknya pengalaman dan informasi baru. Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran (Slavin, 1994 : 45) adalah sebagai berikut : 1) Memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, bukan sekedar hasilnya. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus anak sehingga sampai pada jawaban

memahami proses yang digunakan tersebut. 2)

Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Di dalam kelas, penyajian pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong untuk menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Oleh karena itu guru dituntut untuk mempersiapkan beraneka ragam kegiatan

15

yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. 3) Memaklumi akan adanya perbedaan individu dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu, guru harus

melakukan upaya khusus untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk individu-individu dan kelompok kecil siswa daripada dalam bentuk klasikal. 4) Mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung,

perkembangannya dapat distimulasi oleh konfrontasi kritis, khususnya dengan teman setingkat. Para siswa hendaknya dianjurkan untuk mempunyai pendapat sendiri (walaupun pendapat itu mungkin salah),

mengemukakannya, mempertahankannya, dan merasa bertanggung jawab atas pendapatnya tersebut. Ungkapan keyakinan secara jujur, akhirnya

memupuk ekuilibrasi konstruktif dan membuat para siswa lebih cerdas dan lebih termotivasi untuk terus belajar dibandingkan dengan belajar jawaban benar. 2. Teori Vygotsky Selain teori Piaget, teori Vygotsky sekarang ini disadari sebagai salah satu teori penting dalam psikologi perkembangan. Menurut Newman (dalam

Marjani, 2000 : 14), inti dari teori Vygotsky adalah interaksi antara aspek internal

16

dengan eksternal pada pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam Zone Of Proximal Development (zona perkembangan proksimal) mereka. Zona perkembangan proksimal adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan seseorang saat itu. Lebih jauh Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu itu terseraf kedalam individu tersebut (Slavin, 1994 : 49). Ide penting lain dari teori Vygotsky adalah scaffolding, yakni memberi bantuan dan memberi keleluasaan kepada siswa pada tahap awal belajar kemudian mengurangi bantuan tersebut serta memberi kesempatan kepada siswa mengambil tanggung jawab sendiri saat mereka mampu. Implikasi teori Vygotsky dalam

pembelajaran menurut Slavin (1994 : 99) adalah menghendaki setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing daerah perkembangan proksimal mereka.

B.

Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan ide lama. Semenjak abad pertama

setelah masehi, para filosof sudah mengemukakan bahwa gar seseorang belajar, dia harus memiliki teman belajar. Dalam pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila

17

mereka dapat saling mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya (Slavin, 1995 : 227). Menurut Slavin (dalam Lasmawan, 1997 : 10), belajar kooperatif (cooperative learning) adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok heterogen. Hans Sunal dan

(dalam Hariyanto, 2000 : 18) mengatakan bahwa model cooperative

learning yaitu suatu cara atau pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, kadang kala dapat terjadi bahwa penjelasan dari teman siswanya lebih mudah dimengerti dari pada penjelasan dari guru. Hal ini dijelaskan oleh Slavin (1995 : 5), bahwa sering terjadi siswa ternyata mampu melaksanakan tugas untuk menjelaskan dengan baik ide-ide matematika yang sulit kepada siswa lainnya (teman sebayanya), dengan mengubah penyampaiannya dari bahasa guru kepada bahasa yang digunakan teman sebayanya sehari-hari. Siswa dalam belajar matematika dihadapkan pada latihan soal-soal atau pemecahan masalah. Karena itu belajar atau diskusi kelompok sangat baik untuk dilaksanakan. Dengan belajar kelompok atau kooperatif, siswa dapat bekerjasama dan tolong menolong mengatasi tugas yang dihadapinya. Menurut Parker,

Cooperative Learning adalah pembelajaran kelas dimana siswa-siswa bekerja

18

bersama-sama dalam kelompok kecil yang heterogen untuk mengerjakan tugas (Hariyanto, 2000 : 18). Dari pendapat dan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa belajar dengan berkelompok memungkinkan siswa belajar secara efektif. Mereka saling membantu. Dapat terjadi seorang siswa segan menanyakan kepada gurunya apabila ia tidak mengerti suatu konsep atau masalah matematika, namun ia tidak segan menanyakan kepada temannya. Temannya yang pandai kadang-kadang lebih gamblang menjelaskan dari pada gurunya. Ini adalah kepositipan dari belajar kelompok Namun dikatakan oleh Hudoyo (1979 : 313), juga terdapat segi negatifnya, misalnya, anak-anak yang lebih pandai bisa mendominasi diskusi sehingga tidak terjadi interaksi siswa dengan siswa. Yang terjadi adalah informasi dari satu pihak, yaitu dari siswa pandai ke siswa kurang pandai sehingga situasi belajar tidak menguntungkan. Kedudukan guru dalam pembelajaran kooperatif bukanlah merupakan pusat pembelajaran, tetapi lebih sebagai fasilitator dan motivator. Kemampuan mengelola kelas sangat dibutuhkan agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Ketika siswa sedang belajar dan bekerja dalam kelompok, guru berkeliling diantara kelompok, memberikan pujian kepada kelompok yang sedang bekerja dengan baik dan ikut di dalam kelompok untuk mengamati bagaimana kelompok tersebut bekerja. Bila seorang siswa memiliki pertanyaan, teman sekelompoknya harus menjelaskan sebelum bertanya kepada guru. Sebagai fasilitator, guru selalu siap memberikan penjelasan jika dibutuhkan siswa. Agar dapat terlaksana dengan baik siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan-pertanyaan atau tugas-

19

tugas yang direncanakan.

Kepada siswa dianjurkan agar tidak mengakhiri

belajarnya, sebelum mereka yakin bahwa setiap anggota kelompoknya sudah menyelesaikan seluruh tugas. Tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu penghargaan kelompok, individu yang

bertanggung jawab bagi kepentingan kelompok, dan kesempatan yang sama untuk berhasil (Slavin, 1995 : 6). Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Dengan penghargaan yang diberikan kepada masingmasing kelompok diharapkan dapat terjadi kompetisi antar kelompok tersebut. Keberhasilan kelompok tergantung pada pertanggung jawaban individu dari

semua anggota kelompok. Adanya pertanggung jawaban secara individu, menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya. Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan pestasi yang diperoleh siswa yang terdahulu. Dengan menggunakan metoda skoring ini baik yang berprestasi

rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya. C. Model Pembelajaran Investigasi Kelompok Model pembelajaran ini dikembangkan oleh Sharan & Sharan pada tahun 1976. Model ini merupakan pendekatan yang paling kompleks dan paling sulit diterapkan, bila dibandingkan dengan STAD dan Jigsaw. Siswa dilibatkan dalam perencanaan baik pada topik yang akan dipelajari dan cara-cara untuk memulai investigasi mereka. Hal ini memerlukan norma-norma dan struktur kelas

20

yang lebih canggih bila dibandingkan dengan penggunaan pendekatan lain. Pendekatan ini juga menuntut siswa diajarkan keterampilan-keterampilan komunikasi dalam kelompok sebelum mereka menggunakan strategi ini (Killen, 1998 : 99). Guru yang menggunakan model investigasi kelompok biasanya membagi kelasnya ke dalam kelompok-kelompok yang heterogen yang terdiri lima hingga enam anggota. Namun dalam beberapa hal kelompok dapat dibentuk berdasarkan persahabatan atau ketertarikan pada topik tertentu. Kedudukan guru dalam model pembelajaran ini, dijelaskan oleh Joyce & Weil (1980 : 240) bahwa guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan proses yang terjadi dalam kelompok (membantu siswa merumuskan rencana, melaksanakan, mengelola kelompok). Ia berfungsi sebagai pembimbing akademik. Di dalam kelas yang menerapkan model investigasi kelompok, guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang bersahabat. Dalam rangka ini guru seyogyanya membimbing dan mengarahkan kelompok melalui tiga tahap (Suherman, 1992 : 63): a. Tahap pemecahan masalah, b. Tahap pengelolaan kelas, c. Tahap pemaknaan secara perseorangan. Menurut Soedjadi (1999 : 162), model belajar investigasi sebenarnya dapat dipandang sebagai model belajar pemecahan masalah atau model penemuan. Tetapi model belajar investigasi memiliki kemungkinan besar berhadapan dengan masalah yang divergen serta alternatif perluasan masalahnya.

21

Sudah barang tentu dalam pelaksanaannya selalu perlu diperhatikan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai, mungkin tentang suatu konsep atau mungkin tentang suatu prinsip.

Di dalam investigasi kelompok, enam tahap yang dikemukakan oleh


Slavin (1995 : 113-114) yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) 6) Identifikasi topik dan mengatur siswa kedalam kelompok. Merencanakan tugas belajar. Melaksanakan tugas investigasi. Mempersiapkan laporan akhir. Menyajikan laporan akhir. Evaluasi. Sejalan dengan enam langkah yang dikemukakan Slavin di atas, Sharan (dalam Killen, 1998 : 99-100) mendeskripsikan enam langkah dalam pendekatan investigasi kelompok: 1) Pemilihan topik 2) Perencanaan Kooperatif 3) Penerapan 4) Analisis dan sintesis 5) Presentasi produk akhir 6) Evaluasi Tahapan atau langkah-langkah pembelajaran investigasi kelompok yang dikemukakan Slavin maupun Sharan pada dasarnya tidak terdapat perbedaan. Pada pembelajaran geometri dalam penelitian ini, model pembelajaran investigasi

22

kelompok yang diterapkan mengikuti langkah-langkah atau tahapan yang dikemukan Sharan tersebut di atas. Tahapan pembelajaran investigasi kelompok tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Tahap Pemilihan Topik Guru menyediakan beberapa sub topik dalam bidang masalah secara umum. Siswa memilih sub topik tertentu dari beberapa sub topik yang disediakan oleh guru tersebut, kemudian mengatur diri mereka ke dalam kelompok tugas kecil yang terdiri dari dua sampai enam anggota. 2) Tahap Perencanaan Kooperatif Siswa di masing-masing kelompok, dan guru, merencanakan prosedur belajar tertentu, tugas-tugas, dan tujuan-tujuan pembelajaran sesuai dengan sub topik masalah yang dipilih pada tahap satu. 3) Tahap Penerapan Siswa melaksanakan rencana yang telah diformulasikan pada tahap kedua. Belajar harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dan harus mengarahkan siswa kepada berbagai jenis sumber informasi yang berbedabeda baik di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara ketat mengikuti kemajuan atau perkembangan masing-masing kelompok dan menawarkan bantuan bilamana diperlukan. 4) Analisis dan Sintesis Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh pada tahap ketiga dan merencanakan bagaimana hal itu dapat dirangkum dalam berbagai penampilan atau sajian yang menarik bagi anggota kelas. 5) Presentasi Produk Akhir

23

Sebagian atau seluruh kelompok di dalam kelas memberikan presentasi yang menarik atas topik-topik yang dipelajari agar dapat melibatkan seluruh kelas dalam pekerjaan kelompok lain dan memperoleh pandangan yang lebih luas atas topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan oleh guru. 6) Tahap Evaluasi. Guru dan siswa mengevaluasi kontribusi masing-masing kelompok. Kontribusi dari setiap kelompok merupakan hasil kerja kelas secara keseluruhan. Dampak instruksional dan pengiring dari model pembelajaran investigasi kelompok (Suherman, 1992 : 64), dapat dilukiskan dalam bagan dibawah ini :

Menghormati hak azasi manusia dan komitmen thd keanekaragaman Kemerdekaan sebagai pelajar Komitment terhadap penelitian sosial

Group Investigatio n Model

Pandangan kontruksionis tentang pengetahuan

Penelitian yang berdisiplin Proses & keteraturan kelompok yang efektif Kehangatan dan keterikatan antara manusia

Dampak instruksional Dampak pengiring Bagan 2.1 Dampak Instruksional dan Pengiring Model Pembelajaran Investigasi Kelompok D. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

24

Student Team Achievement Division (STAD) adalah tipe pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Ada lima tahap pembelajaran tipe STAD, yakni penyajian materi, kegiatan kelompok, pemberian tes, perhitungan skor perkembangan individu, dan pemberian penghargaan kelompok. (Slavin, 1995 : 171). Dalam kegiatan kelompok siswa dapat belajar dengan bantuan LKS (lembar kerja siswa). Seperti dikatakan Marjani (2000 : 7), bahwa dalam pembelajaran ini, siswa belajar dengan bantuan LKS secara berkelompok, berdiskusi guna menemukan dan memahami konsep-konsep. Secara garis besar, tahap-tahap pembelajaran kooperatif tipe STAD dijelaskan oleh Marjani (2000 : 20-22), sebagai berikut : 1) Tahap Persiapan, dalam tahap ini guru mempersiapkan materi yang dirancang sedemikian rupa untuk pembelajaran secara berkelompok. Pembentukan kelompok berdasarkan aturan dalam pembelajaran kooperatif.
2)

Tahap Penyajian Materi, kegiatan penyajian materi dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD umumnya melalui penjelasan tentang materi pembelajaran oleh guru.. Dalam tahap ini, guru memulai pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa.

3)

Tahap Kegiatan Kelompok, untuk kerja kelompok guru membagikan LKS kepada tiap siswa dalam kelompok. Dalam kegiatan kelompok, tiap kelompok berbagi dalam mengerjakan tugas-tugas, dan selanjutnya saling memberikan informasi hasil pekerjaannya. Jika ada seorang siswa belum memahami, maka teman sekelompoknya bertanggung jawab untuk

menjelaskan materi atau topik pembelajaran yang belum dipahami temannya

25

tersebut. Sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator yang memonitoring kegiatan masing-masing kelompok.
4)

Tahap Tes Hasil Belajar, setelah kegiatan kelompok dilakukan tes yang dikerjakan secara mandiri, agar siswa dapat menunjukkan apa yang telah dipelajarinya secara individu selama bekerja secara kelompok.

5)

Tahap Perhitungan Skor Perkembangan Individu, gagasan dalam tahap ini adalah memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk meraih prestasi

secara maksimal, dan agar siswa dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya berdasarkan prestasi sebelumnya. E. Pembelajaran Konvensional Dijelaskan oleh Ruseffendi (1992 : 74), bahwa pembelajaran matematika konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, menekankan kepada

keterampilan berhitung, mengutamakan hasil daripada proses, dan pengajaran berpusat pada guru. Model pembelajaran konvensional atau tradisional menururt Wartono (1996 : 8) adalah model pembelajaran yang dipakai oleh guru dalam proses pembelajaran saat ini, yang dicirikan : 1) Lebih bersifat informatif daripada pencarian (penemuan) konsep atau prinsip. 2) Lebih mengutamakan produk daripada proses. 3) Dalam diskusi guru lebih banyak bertindak sebagai hakim daripada sebagai pembimbing/fasilitator. 4) Dalam percobaan atau demonstrasi lebih banyak bersifat membuktikan teori.

26

Berkenaan dengan ciri-ciri pembelajaran konvensional dijelaskan pula oleh Nasution (1982 : 209-211) adalah sebagai berikut : 1) Tujuan tidak dirumuskan secara spesifik dalam bentuk kelakuan yang dapat diamati dan diukur. 2) Bahan pelajaran disajikan kepada kelompok, kepada kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual. 3) Kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis, dan media lain menurut pertimbangan guru. 4) Siswa umumnya bersifat pasif, karena terutama harus mendengarkan uraian guru. 5) Dalam hal kecepatan belajar, semua siswa harus belajar menurut kecepatan yang umumnya ditentukan oleh kecepatan guru mengajar. 6) 7) Keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif. Diharapkan bahwa hanya sebagaian kecil saja akan menguasi bahan pelajaran secara tuntas, sebagian lagi akan menguasainya sebagian saja, dan ada lagi yang akan gagal. 8) Guru terutama berfungsi sebagai penyebar atau penyalur pengetahuan (sebagai sumber informasi/pengetahuan). Dari uraian tentang ciri-ciri pembelajaran konvensional di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada guru, dengan aktivitas guru sangat dominan. Guru lebih banyak

menggunakan waktu dalam menyampaikan materi. Pelaksanaan pembelajaran lebih bersifat penyampaian informasi sehingga siswa menjadi pasif.

27

F. Pemecahan Masalah dalam Matematika Pengertian pemecahan masalah menurut Cooney (dalam Kisworo, 2000 : 19), merupakan proses menerima masalah dan berusaha menyelesaikan masalah itu. Sedangkan Polya (dalam Hudoyo, 1979 : 112) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Selanjutnya Polya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi. Pemecahan masalah adalah suatu aktivitas intelektual untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki. Menururt Hudoyo (1979 : 165), Pemecahan masalah merupakan suatu hal yang esensial dalam pembelajaran matematika, sebab : 1) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisanya dan akhirnya meneliti hasilnya; 2) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam, merupakan masalah intrinsik bagi siswa; 3) Potensial intelektual siswa meningkat; 4) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan. Manfaat kemampuan pemecahan masalah dikemukan juga oleh Soedjadi (dalam Kisworo, 2000 : 20), bahwa keberhasilan seseorang dalam kehidupannya

28

banyak ditentukan oleh kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam pembelajaran matematika, masalah-masalah yang sering dihadapi siswa berupa soal-soal atau tugas-tugas yang harus diselesaikan siswa. Pemecahan masalah dalam hal ini adalah aturan atau urutan yang dilakukan siswa untuk memecahkan soal-soal atau tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Semua

pemecahan masalah melibatkan beberapa informasi dan untuk mendapatkan penyelesaiannya digunakan informasi tersebut. Informasi-informasi ini pada umumnya merupakan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika. Untuk menumbuhkan kemampuan pemecahan masalah pada diri siswa, menurut Soedjadi (dalam Kisworo, 2000 : 20) proses belajar mengajar matematika harus mengacu atau berorientasi kepada : 1) Optimalisasi interaksi antar unsur-unsur dalam proses belajar mengajar, yaitu guru, siswa dan sarana; 2) Optimalisasi keikutsertaan seluruh sense siswa, termasuk di dalamnya pengertian learning by doing. Mengenai aturan atau urutan berupa langkah-langkah dalam pemecahan masalah, sudah banyak ahli yang mengemukakannya. Gagne (dalam Ruseffendi, 1991 : 169) mengatakan bahwa dalam pemecahan masalah biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan: a) menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas; b) menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional (dapat dipecahkan);

29

c) menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah itu; d) mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya pengumpulan data, pengolahan data, dan lain-lain); hasilnya mungkin lebih dari sebuah; e) memeriksa kembali (mengecek) apakah hasil yang diperoleh itu benar; mungkin memilih pula pemecahan yang paling baik. Polya (dalam Ruspiani, 2000 : 22) menempatkan pengertian sebagai langkah awal dalam empat pemecahan masalah (problem solving). Keempat langkah tersebut adalah: 1) memahami masalah, 2) merencanakan penyelesaian, 3) melaksanakan perhitungan, 4) memeriksa kembali proses dan hasil. Menurut Mashudi (2000 : 20) bahwa secara umum tahap-tahap pemecahan masalah melalui: a) Tahap Identifikasi Masalah Memahami apa yang ditanyakan, merumuskan masalah serta menyusun ulang masalah. Pada tahap ini, dilakukan identifikasi terhadap situasi yang dikatakan sebagai suatu masalah dengan memformulasikan masalah tersebut. b) Tahap Pengumpulan Data atau Informasi Dalam tahap ini dilakukan formulasi data atau informasi dalam bentuk yang lebih eksak, mengemukakan data-data dan informasi-informasi yang relevan, serta berkenaan dengan satuan-satuan yang terkait. c) Tahap Analisa Data

30

Yaitu menyangkut menghubung-hubungkan dan memadukan data-data, informasi, serta konsep-konsep apa saja yang diperlukan dalam merancang solusi untuk memecahkan soal. d) Tahap Solusi Menentukan atau memilih alternatif untuk memecahkan masalah untuk menemukan jawaban soal. Dalam tahap ini juga dilakukan pemecahan masalah berdasarkan analisa data yang telah dilakukan. e) Tahap Evaluasi Pada tahap ini, dilakukan pengecekan terhadap jawaban sesuai dengan apa yang ditanyakan. Berbagai macam tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan para pakar, pada prinsipnya dalam pemecahan masalah dilakukan secara teratur dan logis agar diperoleh kebenaran yang reliabel. Dapat dijelaskan pula, bahwa tahaptahap pemecahan masalah tersebut mencakup :
[

1) Perumusan Masalah Pada tahap ini dimulai dengan memahami apa yang ditanyakan. Melakukan identifikasi terhadap situasi yang dikatakan sebagai suatu masalah. Kemudian merumuskan atau memformulasikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas. 2) Pengumpulan Data/Informasi Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data atau informasi yang diperlukan. Mengemukakan data-data dan informasi-informasi yang relevan dengan masalah yang akan diselesaikan. 3) Analisa/Perhitungan

31

Pada tahap ini, berkenaan dengan memadukan data-data, informasi, serta konsep-konsep apa saja yang diperlukan. Melakukan perhitungan serta menyusun penyelesaian untuk memecahkan soal. 4) Menarik Kesimpulan Dari alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih, diambil kesimpulan atau jawaban berdasarkan analisa data yang telah dilakukan.

G. Pembelajaran Geometri Geometri adalah ilmu tentang ruang . Ruang dimana anak hidup, bernapas, dan bergerak. Ruang dimana anak harus belajar untuk mendapatkan pengetahuan, melakukan eksplorasi, dan menaklukkannya agar ia dapat bertahan hidup, bernapas, dan bergerak lebih baik di dalamnya. (Freudenthal dalam NCTM, 1989 : 112). Geometri merupakan salah satu komponen penting dalam kurikulum matematika sekolah. Pengetahuan tentang hubungan, dan pemahaman secara mendalam tentang bangun geometris serta sifat-sifatnya, berguna dalam berbagai situasi dan berkaitan dengan topik-topik matematika dan pelajaran lain di sekolah. Studi tentang geometri dapat membantu anak merepresentasikan kemampuannya dan mencapai pandangan tertentu tentang dunianya. Penguasaan model-model geometrik serta sifatsifatnya dapat memberikan suatu perspektif bagi siswa, sehingga ia dapat menganalisis dan memecahkan masalah yang terkait dengan bangunbangun geometri.

32

Geometri merupakan salah satu bagian dari mata pelajaran di sekolah. Geometri perlu dipelajari pada setiap jenjang pendidikan karena menurut Ansyar (dalam Damai, 2000 : 1), pelajaran geometri mencakup latihan berpikir logis, kerja yang sistematis, menghidupkan kreativitas, serta dapat mengembangkan kemampuan berinovasi. Dalam unit geometri, juga dibahas tentang bangun-

bangun ruang. Selain itu Herawati (1994 : 3), menyatakan bahwa bagian dari matematika yang dapat menumbuh kembangkan kemampuan berpikir logis antara lain adalah bagian geometri. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, bertugas memberikan layanan dan kesempatan yang seluas mungkin kepada siswa untuk dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Pengembangan ini harus sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan keadaan siswa. sering dijumpai Kenyataan di sekolah, masih

siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika

khususnya geometri. Hal ini dikemukakan oleh Soedjadi (1992 : 31), bahwa kelemahan peserta didik dalam belajar matematika pada jenjang sekolah adalah memahami geometri. Masih banyak siswa-siswa sekolah dasar dan menengah yang belum menguasai konsep materi geometri seperti : 1) 2) 3) sukar membedakan sudut dan pojok serta penerapannya. Sukar menentukan apakah suatu sudut siku-siku ataukah tidak. Sukar memahami adanya konservasi suatu bangun geometri misal sudut siku-siku persegipanjang. 4) Sukar mengenali dan memahami bangun-bangun geometri, terutama bangun-bangun ruang serta unsur-unsurnya.

33

Ruseffendi (1991 : 164) menyatakan bahwa bila kita menginginkan siswa belajar geometri dengan mengerti, tahap pengajaran kita supaya disesuaikan dengan tahap berpikir siswa. Bukan sebaliknya siswa harus menyesuaikan diri dengan tahap pengajaran kita. Dalam mengurutkan topik-topik geometri sesuai dengan tingkat kesukarannya. Perkembangan ide-ide geometri dimulai dari yang sederhana secara hirarkis menuju penguasaan geometris yang kompleks. Anak pertama sekali

mulai belajar bentuk keseluruhan, dan kemudian menganalisis sifat-sifat atau karakteristik yang relevan dari suatu bentuk yang dipelajarinya. Selanjutnya, anak dapat melihat hubungan antar bentuk dan membuat deduksi-deduksi sederhana. Pengembangan kurikulum dan pembelajarannya, harus mempertimbangkan

hirarki kemampuan anak dalam belajar geometri tersebut. Model pembelajaran investigasi diharapkan sesuai dengan pembelajaran geometri di sekolah. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh NCTM (1989 : 48), bahwa dalam mempelajari geometri, anak perlu melakukan penyelidikan, dan mengeksplorasi objek-objek dan benda-benda fisik lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Latihan-latihan yang menuntut siswa untuk memvisualisasikan, menggambarkan, dan membandingkan bentuk-bentuk dalam berbagai posisi akan dapat membantu dirinya memahami geometri. Penyelidikan dan eksplorasi yang dilakukan siswa, dimulai dari aktivitas sederhana hingga situasi pemecahan masalah untuk mengembangkan keterampilan berpikir matematis. Berkenaan dengan pembelajaran geometri, terdapat teori belajar yang

34

dikemukan van Hiele (dalam Suherman, 1992 : 177), yang menguraikan tahaptahap perkembangan mental anak dalam geometri. Menurut van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap kemampuan anak dalam belajar geometri, yaitu : 1) Tahap Pengenalan. Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. 2) Tahap Analisis. Pada tahap ini anak mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. 3) Tahap Pengurutan. Anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui, bahwa anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya anak sudah mengenali bahwa bujursangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. 4) Tahap Deduksi. Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan secara umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Anak sudah mulai memahami betapa pentingnya unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang terdefinisi.

35

5) Tahap Akurasi. Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini. Dalam pembelajaran matematika khususnya geometri, sering dijumpai materi pembelajaran yang sukar dimengerti oleh anak akibat tahap kemampuan belajarnya yang belum mencapai tahap tertentu. Kombinasi yang baik antara waktu, materi pelajaran, dan metode mengajar yang dipergunakan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi. Salah satu contoh, siswa tidak mengerti yang dikatakan gurunya bahwa jajargenjang itu adalah trapesium. Ini dimungkinkan akibat kemampuan berpikir atau kemampuan belajar anak paling tinggi pada tahap 2 (analisis). Dengan menggunakan metode atau model yang tepat, misalnya model pembelajaran investigasi kelompok, siswa secara berkelompok mengadakan investigasi untuk menemukan sifat-sifat dari jajargenjang juga trapesium. Dengan bantuan penjelasan guru dari sifat-sifat

kedua bangun geometri yang telah dikuasai siswa tersebut, dan dengan mengadakan investigasi secara berkelompok siswa dapat mengurutkan

bahwa bentuk jajargenjang merupakan bentuk bangun trapesium. H. Penelitian yang Relevan

36

Sharan dan kawan-kawan pada tahun 1984 mengadakan penelitian di Israel selama 18 minggu pada kelas tujuh, mendapatkan kesimpulan bahwa pembelajaran bahasa Inggris menggunakan model pembelajaran investigasi kelompok dan STAD secara signifikan prestasinya lebih baik daripada

pembelajaran pada kelas kontrol yang dalam pembelajarannya tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif. Hertz-Lazarowits, Sapir, dan Sharan (1981)

mengadakan penelitian selama 5 minggu terhadap pembelajaran bahasa Arab di Israel, mendapatkan kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif model Jigsaw dan investigasi kelompok secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol yang tidak menggunakan pembelajaran kooperatif dengan guru yang sama. Sharan dan Shachar (1988), mengadakan penelitian terhadap 351 siswa

(11 kelas) selama 18 minggu juga di Israel, mendapat kesimpulan bahwa prestasi geografi yang pembelajarannya menggunakan model investigasi lebih baik daripada kelas kontrol yang tidak menggunakan pembelajaran kooperatif. Hasil penelitian Sherman dan Zimmerman (1986) di Ohio terhadap 46 siswa (2 kelas) selama 7 minggu, mendapatkan kesimpulan bahwa prestasi belajar biologi siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model investigasi kelompok lebih baik daripada kelas yang menggunakan pengajaran kompetitif dengan

menggunakan guru yang sama. Talmage, Pascarella, dan Ford (1984), selama 3 tahun mengadakan penelitian di Elgin pada kelas 2-6, mendapatkan kesimpulan bahwa guru-guru yang menggunakan model investigasi kelompok pada pembelajaran membaca lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol yang pembelajarannya tidak menggunakan pembelajaran kooperatif (Slavin, 1995 : 35).

37

Hasil penelitian Mudair (2000 : 60) pada siswa kelas I MAN I Kendari, mengemukakan bahwa hasil belajar siswa setelah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD menunjukkan adanya peningkatan, dibandingkan dengan sebelum pembelajaran yang menggunakan model tradisional. Hasil penelitian

Kadir (2000 : 90) tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran fisika pada siswa MAN Jawa Barat, bahwa prestasi belajar siswa yang menggunakan tipe STAD lebih baik daripada prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajarn konvensional. Wiwik (2000 : 92) mengemukakan hasil penelitiannya pada pembelajaran matematika kelas II MAN Magelang, bahwa siswa pada kelas yang dibelajarkan menggunakan model STAD pada tiap aspek kemampuan pemecahan masalah mayoritas berada pada kategori baik, sedangkan pada kelas yang dibelajarkan dengan cara biasa (konvensional) mayoritas pada kategori cukup. Selanjutnya Wiwik (2000 : 89) menjelaskan pula bahwa aktivitas siswa pada pembelajaran matematika menggunakan model STAD lebih dominan, hal ini didukung oleh data bahwa sebagain besar aktivitas digunakan untuk mengerjakan soal latihan, berdiskusi antar siswa. Slavin (dalam Marjani, 2000 : 26), pada tahun 1986 membuat laporan tentang penyelidikan prestasi dari efek pembelajaran kooperatif yang dilakukan dari tahun 1972 sampai tahun 1986, mengatakan tidak ada efek negatif dari pembelajaran kooperatif. 37 dari 45 penelitian yang dilakukan, termasuk

matematika, ilmu pengetahuan alam, bahasa inggris, membaca dan menulis menunjukkan ada peningkatan prestasi akademik yang signifikan.

38

Mashudi (2000 : 89-90), dari hasil penelitiannya tentang kemampuan pemecahan masalah siswa, mengemukakan bahwa kemampuan siswa dalam melakukan tahap identifikasi masalah dalam memecahkan masalah pada pembelajaran dengan metode praktikum berkategori tinggi. Sedangkan pada

tahap pengumpulan data, melakukan analisa, menarik kesimpulan/produk berkategori sedang. Usman (2001 : 311) seorang dosen pendidikan matematika dari Universitas Tadulako Palu, dari hasil penelitiannya tentang pembelajaran

kooperatif dalam Jurnal Ilmu Pendidikan yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Malang, mengemukakan bahwa dalam diskusi kelompok, mahasiswa yang berkemampuan tinggi betul-betul berfungsi sebagai scaffolding (perancah) bagi teman-temannya yang berkemampuan rendah dan sedang. Ia memberi bantuan kepada teman-temannya dalam memahami konsep-konsep yang dipelajari serta mendorongnya agar dapat memberi sumbangan bagi keberhasilan kelompoknya. Pada kondisi ini mahasiswa yang berkemampuan rendah dan yang berkemampuan sedang mengambil keuntungan dalam kegiatan belajar. Hasil penelitian Wardani (2002 : 87) pada SMU Negeri 1 Tasikmalaya, mendapatkan kesimpulan bahwa pembelajaran pemecahan masalah matematika melalui model kooperatif jigsaw dapat terlaksana dengan baik. Kualitas

kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan model kooperatif jigsaw lebih baik dibandingkan dengan cara biasa. Dijelaskan pula bahwa penggunaan belajar kooperatif membuat siswa

belajar lebih aktif. Penelitian Hariyanto (2000 : 82) pada siswa kelas II MAN 1 Jember, juga mendapatkan kesimpulan bahwa kemampuan pemecahan masalah

39

matematika siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe jigsaw lebih baik dibandingkan dengan yang menggunakan model tradisional. Suryadi (1999 : 128), dari hasil penelitian yang pernah dilakukannya pada pembelajaran matematika menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif meningkatkan kemampuan berpikir siswa adalah model belajar kooperatif. Selain itu dalam penelitiannya Suryadi mengemukakan bahwa, secara keseluruhan suasana belajar siswa dalam kelompok kecil nampak relatif hidup, siswa lebih aktif, siswa asyik berdiskusi dan bekerjasama menyelesaikan tugas yang dihadapinya dan terjadi interaksi diantara siswa (2000 : 26).

You might also like