You are on page 1of 2

PUASA SEBAGAI TERAPI PSIKOLOGIS

Oleh: M. Edi Kurnanto1

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa Q.S. Al-Baqarah: 183.

Puasa (shaum), adalah sebuah ibadah yang sangat penting dalam ajaran Islam. Salah satu bukti pentingnya ibadah ini dalam Islam adalah dengan melihat ending dari melaksanakan puasa, bahwa ibadah puasa jika dilakukan dengan benar akan mampu membawa manusia pada derajad tertinggi, yaitu manusia taqwa (QS. Al-Maidah: 183). Manusia taqwa (muttaqin), dalam ajaran Islam adalah sebuah nulai kemanusiaa tertinggi di hadapan Allah. Hal ini bisa kita lihat misalnya, seperti tertera dalam pengakuan Allah SWT: Sesungguhnya, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu QS. Al-Hujurat: 13). Selain sebagai sebuah ibadah, ternyata puasa mempuntai fungsi terapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zainullah (2005) menyebutkan, pelaksanaan puasa yang mencapai fase ketenangan merupakan coping mechanism (mekanisme penanggulangan stres) yang positif. Ini dapat mengubah kualitas stres ke fase adaptasi, sehingga puasa ditanggapi sebagai stimulus yang menyenangkan (eustress). Dan, pusat reward (pengembalian di hipotalamus akan merespons berupa penurunan pelepasan corticotropin-releasing hormone (CRH). Pelepasan hormon CRH yang terkendali akan menyebabkan sekresi

(pengeluaran) adrenocorticotropin hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior juga terkendali, sehingga pelepasan kortisol sebagai salah satu hormon stres ke dalam darah

Penulis adalah Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam , Jurusan Dakwah Sekolah Tinggi gama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.

juga terkendali. Puasa yang mencapai ketenangan berpotensi sebagai stimulus yang menyenang-kan bagi tubuh sehingga akan dapat meningkatkan imunitas. Temuan penelitian tersebut sejalan dengan apa yang ditulis oleh Djayadi (2007), bahwa terdapat keterkaitan erat antara puasa dan kesehatan. Puasa yang dilaksanakan umat Islam adalah merupakan kesempatan memobilisasi timbulnya lemak di bawah kulit, juga mengistirahatkan mesin-mesin pencernaan dalam tubuh untuk beberapa jam ketika melaksanakan ibadah puasa. Puasa yang dilaksanakan umat Islam adalah obat. Penelitian Otto Buchringer (dalam Djayadi, 2007) menyebutkan bahwa puasa bisa meremajakan sel-sel tubuh yang menua. Menurut Buchringer, puasa adalah usaha aktif untuk mengontrol diri dan kondisi biologis dalam diri manusia yang secara umum memiliki tiga potensi yang berkecende-rungan yang berbeda-beda dan berusaha saling mempenga-ruhi jiwa manusia. Potensi diri dalam manusia ini adalah, pertama, potensi amarah. Potensi ini cenderung untuk mengikuti sifat-sifat amarah dan emosional yang berlebihan. Jika potensi ini yang mengendalikan diri manusia, bisa dipastikan seseorang akan menjadi labil, pemarah, dan tidak bisa berkompromi. Kedua, potensi kekuatan syahwat. Kekuatan ini cenderung memperturutkan hawa nafsu yang mengarah ke pemenuhan kebutuhan biologis secara berlebih-lebihan. Jika potensi ini yang dominan dan berkuasa, manusia akan terjerumus dalam kenikmatan (duniawi) sesaat. Ketiga, potensi berpikir. Jika potensi ini yang mengendalikan manusia, sebenarnya positif saja selama ini tidak berlebih-lebihan dalam mengem-bangkan potensi tersebut, baik dalam rangka memahami doktrin agama, maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Substansi ibadah puasa dalam konteks ini adalah mengembalikan ketiga potensi agar bisa terarah dengan benar. Jadi, dalam hal ini tuntunan puasa adalah membina, membimbing, serta mengarahkan ketiga potensi di atas agar bisa tersalurkan dengan baik dan benar.

You might also like