You are on page 1of 25

Menghilangkan Keraguan Terhadap Buya Hamka

1
Oleh : Akmal


Pendahuluan
Perdebatan yang relatif cukup panjang itu diawali dengan sebuah artikel
singkat yang ditulis oleh Ahmad Syafii Maarif. Artikel itu dimuat di kolom
Resonansi di surat kabar Republika edisi 21 Nopember 2006. Artikel tersebut diberi
judul Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah, dan sebagian
besar isinya merupakan kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya Hamka tentang
seputar kedua ayat tersebut. Meski demikian, efek yang ditimbulkannya cukup
dahsyat. Sedikitnya telah dimuat delapan artikel di kolom Opini pada surat kabar
Republika yang mendiskusikan masalah seputar artikel Syafii Maarif tersebut.
Pada hari Jumat, 1 Desember 2006, Adian Husaini menyumbangkan
pemikirannya yang dituangkan dalam artikel berjudul Hamka dan Pluralisme Agama.
Dalam artikel ini, Adian Husaini menyampaikan kekhawatirannya melihat adanya
upaya-upaya untuk menyalahgunakan berbagai ayat di dalam Al-Quran untuk
menjustifikasi ajaran pluralisme. Pada hari yang sama, dalam kolom yang sama pula,
Syamsul Hidayat, Wakil Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah, juga
menyumbang sebuah artikel berjudul Menyelami Penafsiran Buya Hamka. Syamsul
Hidayat mengambil sikap lebih lunak, yaitu dengan menunjukkan beberapa rincian
dalam Tafsir Al Azhar seputar kedua ayat tersebut yang lalai dicantumkan oleh Syafii
Maarif, mungkin pula karena keterbatasan ruang dalam rubrik Resonansi yang
berukuran kecil.
Tepat sepekan setelah itu, yaitu pada tanggal 8 Desember 2006, Fajar Riza Ul
Haq, seorang koordinator program MAARIF Institute, menulis sebuah artikel berjudul
Pluralisme, Syafii dan Hamka. Fajar Riza Ul Haq menyerang kedua penulis
sebelumnya yang telah menggunakan penafsiran tekstual-literal terhadap Al-Quran,
serta tidak memperhitungkan analisis historis, sosiologis, serta psikologis dari ayat-
ayat yang dibacanya. Zuhairi Misrawi, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh
JIL, ikut serta dalam perdebatan ini dengan menulis artikel Pluralisme Berbasis

1
Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Islamic Worldview di program Pascasarjana
bidang Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibnu Khaldun Bogor.
1
Alquran. Dalam artikel tersebut, Zuhairi Misrawi menunjukkan beberapa poin yang
menurutnya adalah bukti-bukti nyata bahwa Al-Quran memang mengajarkan
pluralisme, tidak sebagaimana yang dikatakan oleh para penentang pluralisme.
Pada tanggal 15 Desember 2006, kolom Opini memuat dua buah artikel karya
Bustanuddin Agus, seorang Guru Besar Sosiologi Agama dari Universitas Andalas,
dan Syamsuddin Arif, Doktor bidang Pemikiran Islam dari ISTAC, Malaysia.
Bustanuddin Agus menyumbang artikel Meluruskan Persepsi Pluralisme, sedangkan
Syamsuddin Arif menyumbang artikel (Mis)interpretasi Ayat Pluralisme.
Bustanuddin mencoba menggali lebih dalam penjelasan Hamka yang seolah-olah
nampak pluralis, sementara Syamsuddin Arif mencoba menjelaskan beberapa
kesalahpahaman yang dialami oleh sebagian orang ketika melakukan penafsiran Al-
Quran secara tidak komprehensif.
Sepekan sesudahnya, dimuatlah artikel berjudul Menyelami Lautan Pluralisme
Islam karya M. Hasibullah Satrawi, seorang Alumni Universitas Al-Azhar yang kini
bekerja sebagai peneliti di P3M Jakarta. Artikel ini agaknya berusaha
mengedepankan perspektif lain dalam memahami ajaran pluralisme dan sandarannya
dalam agama Islam. Al Makin, seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
menulis artikel berjudul Menghindari Argumen Sirkuler Pluralisme. Di sini, Al
Makin menyarankan agar para peserta diskusi mengenai masalah pluralisme ini
mengambil jarak terlebih dahulu dan membaca ayat-ayat Al-Quran dengan objektif,
agar pemahaman dapat mempengaruhi ideologi, bukan sebaliknya. Setelah itu, Al
Makin menganjurkan kita untuk mencermati baik ayat maupun fakta-fakta sejarah
untuk mampu memahami maksud yang dikandung dalam Al-Quran.
Dalam makalah singkat ini, yang akan dibahas terbatas pada artikel pertama
saja, yaitu yang menjadi pokok perdebatan di akhir tahun 2006 yang lalu. Artikel
karya Ahmad Syafii Maarif tersebut akan dianalisa setiap bagiannya untuk diukur
kadar akurasinya. Referensi terpenting tentunya adalah Tafsir Al-Azhar itu sendiri,
yaitu buah karya Buya Hamka yang dijadikan pokok pembicaraan. Oleh karena
artikel tersebut pada intinya adalah kutipan pendapat (atau penafsiran) Buya Hamka
atas suatu masalah, maka hal utama yang harus diuji adalah apakah Buya Hamka
memang benar-benar berpendapat demikian (sebagaimana yang dikutip oleh Syafii
Maarif), atau seperti yang dikemukakan oleh Syamsul Hidayat ada beberapa detil
penting yang lalai untuk disampaikan sehingga makna yang ditangkap pembaca
tidaklah utuh.
2
Untuk mengetahui makna suatu ayat Al-Quran, biasanya kita perlu merujuk
pada ayat yang lainnya. Misalnya, untuk memahami konsep toleransi terhadap umat-
umat Non-Muslim, kita tak mungkin hanya merujuk pada ayat terakhir dalam surah
Al-Kaafiruun, karena pemahaman mengenai surah tersebut baru akan utuh jika kita
mencermati setiap ayatnya. Selain itu, masih banyak ayat-ayat lain yang berbicara
tentang hal yang sama. Semakin luas observasi kita terhadap ayat-ayat Al-Quran,
maka semakin utuhlah pemahaman kita.
Demikianlah salah satu prinsip dalam memahami Al-Quran secara utuh (atau
setidaknya mendekati utuh). Padahal, Al-Quran adalah bacaan yang sifatnya pasti,
maknanya tegas, dan jauh dari kontradiksi. Jika kita hendak memahami sebuah tafsir,
yang merupakan buah pemikiran manusia yang sifatnya tidak pasti, bisa salah, bisa
keliru, bisa khilaf dalam merangkai kata, maka sudah pasti prinsip yang sama wajib
digunakan pula. Untuk memahami penafsiran Buya Hamka mengenai suatu ayat, ada
baiknya kita melihat-lihat pula penafsiran beliau terhadap ayat-ayat lain yang
berhubungan, agar kita bisa memahami secara mendalam maksud penafsirannya itu.
Metode inilah yang akan banyak digunakan selanjutnya.


Syafii Maarif dan Tafsir Al-Azhar
Dalam artikel Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah di
surat kabar Republika edisi 21 Nopember 2006 yang lalu, Ahmad Syafii Maarif
menceritakan latar belakang permasalahannya. Seorang jenderal polisi yang sedang
bertugas di Poso menghubungi ponselnya dengan sebuah pesan singkat yang intinya
menanyakan maksud dari ayat ke-62 pada surah Al-Baqarah. Berdasarkan keterangan
dari sang jenderal, penafsiran ayat ini ia butuhkan untuk menghadapi beberapa
tersangka kerusuhan di sana. Adapun redaksi dari ayat yang diperbincangkan di atas
adalah sebagai berikut :

3
) %!# ## %!# #$ 9# 79# #
!$/ 9# z# $[s= = _& n/ z
= t
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang jadi
Yahudi dan Nasrani dan Shabiin, barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk
mereka adalah ganjaran di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan
atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita.
(Q.S. Al-Baqarah [2] : 62)
2

Setelah membaca beberapa kitab tafsir, Syafii Maarif merasa cenderung untuk
menerima penafsiran Buya Hamka. Selain ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah
tersebut, Syafii Maarif juga menemukan ayat lain yang redaksinya nyaris sama, yaitu
ayat ke-69 dalam surah Al-Maidah.
3
Dalam artikel tersebut Syafii Maarif mengutip
Tafsir Al Azhar sebagai berikut :

Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak
pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang
diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan
mendapatkan ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan
iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. Dan tidak ada
ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung
ayat 62).
4


2
Penerjemahan dari suatu ayat dapat berbeda-beda, tergantung penerjemahnya. Untuk ayat ini, yang
dicantumkan adalah penerjemahan sebagaimana yang tertulis dalam kitab Tafsir Al Azhar Juzu 1 karya
Buya Hamka sendiri.
3
Meski demikian, Syafii Maarif nampaknya tidak menjelaskan penafsiran Hamka terhadap ayat ke-69
dari surah Al-Maaidah ini, melainkan hanya menggarisbawahi kemiripan redaksinya dengan ayat ke-62
dalam surah Al-Baqarah saja.
4
Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu 1 (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), p. 211.
4
Ada pula sebagian kalangan yang berpendapat bahwa ayat ke-62 dalam surah
Al-Baqarah ini telah dihapuskan oleh ayat ke-85 dalam surah Ali Imran. Hamka
menolak pendapat tersebut dan penjelasannya dikutip oleh Syafii Maarif sebagai
berikut :

Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita
tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah
percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah,
artinya percaya kepada segala firmanNya, segala RasulNya dengan
tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w.
dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.

Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 Surah Ali
Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik ; mengakui diri Islam,
walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan syurga itu hanya
dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita fahamkan bahwa di antara
kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi maka pintu dawah
senantiasa terbuka, dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fithrah,
tetapi dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.
5

Kemudian tentang neraka, Syafii Maarif mengutip uraian Hamka sebagai
berikut :

Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini
bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan
oleh Dzi Nuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa
penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah
memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat
esok, karena menolak kebenaran.
6

Syafii Maarif menutup uraiannya dengan memuji Buya Hamka sebagai
seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja,

5
Ibid, p. 217.
6
Ibid, p. 218.
5
mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian
masing-masing. Syafii juga menggarisbawahi bahwa tidak ada Kitab Suci di muka
bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran. Pemaksaan
dalam agama, menurutnya, adalah sikap yang anti Al-Quran, berdasarkan Q.S. Al-
Baqarah [2] : 256 dan Yunus [10] : 99.


Pendapat Hamka Tentang Tafsir Al-Quran
Buya Hamka memang dikenal sebagai seorang ulama yang rendah hati dan
dicintai masyarakat banyak. Pemberian sebutan Buya adalah contoh yang baik
untuk menunjukkan betapa dekatnya beliau di hati umat Islam Indonesia. Mengenai
kapabilitas pribadinya dalam menyusun sebuah kitab tafsir, beginilah pendapat beliau:

Penulis Tafsir ini telah membaca syarat-syarat yang dikemukakan
oleh Ulama-ulama ikutan kita, untuk siapa-siapa yang hendak
menterjemahnya, hendaklah tahu bahasa Arab dengan segala
peralatannya, tahu pula penafsiran orang yang terdahulu, pula tahu
Asbabun Nuzul, yaitu sebab-sebab turun ayat, tahu pula hal Nasikh
dan Mansukh, tahu pula ilmu Hadis, terutama yang berkenaan dengan
ayat yang tengah ditafsirkan, tahu pula Ilmu Fiqh, untuk mendudukkan
hukum.

Syarat-syarat itu memang berat dan patut. Kalau tidak ada syarat
demikian tentu segala orang dapat berani saja mentafsirkan al-
Quran. Ilmu-ilmu yang dijadikan syarat oleh Ulama-ulama itu
Alhamdulillah telah penulis ketahui ala kadarnya, tetapi penulis
tidaklah mengakui bahwa penulis sudah sangat alim dalam segala
ilmu itu. Tuhan di dalam al-Quran sendiripun pernah berfirman,
bahwasanya di atas orang yang mempunyai ilmu ada lagi yang lebih
alim. Maka kalau menurut syarat yang dikemukakan Ulama tentang
ilmu-ilmu itu, wajiblah ilmu sangat benar dalam lebih dahulu, tidaklah
akan jadi Tafsir ini dilaksanakan.
7

7
Ibid, p. 3.
6

Lebih jauh, Hamka menjelaskan pula bahwa di dalam Al-Quran terdapat
begitu banyak ayat mengenai alam, lautan, tumbuh-tumbuhan, awan, bintang-bintang,
dan sebagainya, bahkan ayat yang semacam ini jumlahnya lebih banyak daripada
ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum dan fiqih. Oleh karena itu, secara teoritis,
seorang ulama harus menguasai ilmu pengetahuan alam dengan begitu mendalam jika
ingin menghasilkan suatu kitab tafsir yang sepenuhnya komprehensif. Hamka juga
menekankan bahwa keadaan ideal seperti ini nyaris mustahil terjadi (dan memang
belum pernah terjadi) karena keterbatasan ilmu manusia dan keluasan ilmu Allah
SWT yang tercakup dalam Al-Quran. Itulah sebabnya banyak ulama yang ahli hadits
namun lemah dalam ijtihad dan fiqih, yang logikanya kuat ternyata hafalannya lemah,
bahkan Al-Ghazali sendiri, menurut penilaian Hamka, sangat indah dalam mengurai
dan mengupas ilmu-ilmu agama, namun lemah dalam soal menyaring hadits-hadits
Rasulullah saw.
8
Selanjutnya, Hamka menegaskan bahwa tafsir Al-Quran yang paling utama
adalah Sunnah Rasulullah saw. Sunnah adalah perkataan dan perbuatan Rasulullah
saw. serta perbuatan orang lain yang beliau ketahui namun dibiarkan dan tidak
dicegahnya. Sunnah adalah penjabaran yang paling sempurna dari ajaran Al-Quran,
sehingga ketika Aisyah ra. ditanya mengenai akhlaq Rasulullah saw., dijawabnya
Akhlaq-nya ialah Al-Quran itu sendiri!
9
Kita hanya dapat memahami Al-Quran jika menelaah Sunnah. Dengan kata
lain, memahami Al-Quran dengan mengabaikan Sunnah tidak lain hanyalah suatu
perbuatan sia-sia dan menyulitkan diri sendiri. Sebagai contoh, konsep toleransi antar
umat beragama dapat dijabarkan dengan berbagai konsep. Setiap orang bisa
mengajukan konsepnya sendiri-sendiri, namun kita melihat (dengan bantuan Sunnah)
bagaimana Rasulullah saw. mengimplementasikan konsep toleransi dalam ajaran
Islam. Dengan mengikutsertakan Sunnah dalam penelaahan kita, maka pemahaman
kita tidak akan berlebih ke kanan dan ke kiri, terhindar dari sikap ekstrem, dan tidak
terjerumus pada suatu sikap yang sangat dibenci Allah SWT, yaitu berlebihan. Dalam
hal ini Hamka bahkan menambahkan satu paragraf khusus untuk menekankan betapa
pentingnya mempelajari Sunnah :


8
Ibid, p. 4-5.
9
Ibid, p. 25.
7
Kita jelaskan sekali lagi :

Kalau ada orang yang berani menafsir-nafsirkan saja al-Quran yang
berkenaan dengan ayat-ayat hukum yang demikian, tidak berpedoman
kepada Sunnah Rasul, maka tafsirnya itu telah melampaui, keluar
daripada garis yang ditentukan oleh syariat. Sebab itu tidak
seyogianya, tidak masuk akal bahwa seorang yang mengaku beriman
kepada Allah dan Rasul berani-berani saja menafsirkan al-Quran
yang berkenaan dengan halal dan haram menurut kehendaknya
sendiri, padahal Sunnah Nabi telah ada berkenaan dengan itu. Nabi
telah meninggalkan kepada kita jalan yang lurus dan jelas, malamnya
sama terang dengan siangnya, dan selama-lamanya kita tidak akan
tersesat dari dalam agama ini, atau terpesong keluar dari dalam
garisnya, selama kita masih berpegang teguh kepada yang dua itu,
yaitu Kitab dan Sunnah. Maka barangsiapa yang hendak mengenal
Fiqhil-Quran, tidaklah akan berhasil maksudnya kalau dia tidak
mempelajari Sunnah. Seorang yang berani menafsirkan al-Quran
yang berkenaan dengan hukum dengan pendapatnya sendiri, padahal
Sunnah ada, samalah halnya dengan orang yang masih saja memakai
Qiyas, padahal Nash sudah ada dalam hal yang dia tinjau itu. Orang
yang bertindak demikian, tidaklah lagi berfikir di dalam garis yang
ditentukan oleh Islam.
10

Buya Hamka juga mengingatkan untuk selalu memperlakukan Al-Quran
sebagai sebuah bacaan yang komprehensif. Saking komprehensifnya dan diyakini
sebagai kitab yang tak ada kesalahan di dalamnya maka ayat-ayat Al-Quran saling
menafsirkan satu sama lainnya. Hamka memberi contoh dengan ayat ke-67 pada
surah Thaahaa. Jika hanya ayat itu saja yang dibaca, maka nampak seolah-olah Nabi
Musa as. merasa takut melihat tongkat-tongkat dan tali-tali para tukang sihir andalan
Firaun yang sudah berubah menjadi ular. Namun jika kita juga menelaah ayat ke-
116 dalam surah Al-Araaf, maka kita akan sadari bahwa Nabi Musa as. tidak takut
pada sihir itu, melainkan takut jika orang-orang, terutama kaumnya sendiri, akan

10
Ibid, p. 26.
8
terguncang imannya menyaksikan sihir tersebut jika Allah SWT tidak menunjukkan
kekuasaan-Nya dengan segera, yaitu mukjizat yang mampu mengalahkan /
melemahkan ilmu sihir. Beginilah bunyi kedua ayat yang dimaksud :

_ ' Zz
Maka Musa merasa takut dalam hatinya.
(Q.S. Thaahaa [20] : 67)

$% #)9& ( $= #)9& #s & $9# 7I# %`
@s/ 5
Musa menjawab: "Lemparkanlah (lebih dahulu)!" Maka tatkala
mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan
orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar
(menakjubkan).
(Q.S. Al-Araaf [7] : 116)

Menurut Hamka, salah satu bahaya besar dalam menafsirkan Al-Quran
adalah dengan memperturutkan kehendak masing-masing, sehingga mengabaikan
kaidah-kaidah keilmuan yang sudah baku dan memilih pendapat yang sesuai dengan
kehendaknya sendiri. Tentang hal ini Buya Hamka mengatakan :

Misalnya jika kita baca Tafsir al-Kasysyaf karangan Imam Jarullah
az-Zamakhsyari kelihatanlah kegigihan beliau mempertahankan
mazhab yang beliau anut, yaitu Mutazilah. Dan kalau kita tilik pula
Tafsir ar-Raazi, kita lihatlah kegigihan beliau mempertahankan
mazhab yang beliau anut, yaitu Syafiiyah. Dan apabila kita baca pula
tafsir yang ditulis sekitar seratus tahun yang telah lalu, yaitu Tafsir
Ruhul Maani, karangan al-Alusi Mufti Baghdad, kita lihat beliau
mempertahankan mazhab yang beliau anut kemudian, yaitu Mazhab
9
Hanafi, sedang dahulunya beliau adalah penganut Mazhab Syafii.
Sampai-sampai ada susun kata beliau yang berbunyi kira-kira
demikian : Tetapi di dalam Mazhab kita, bukanlah begitu.
Meskipun sudah nyata susunan bunyi ayat lebih dekat kepada
pendapat mazhab Syafii, beliau kuatkan juga pendapat mazhab yang
beliau anut itu. Beliau telah berpindah mazhab kaena mazhab
pemerintah Turki yang menguasai Irak pada waktu itu ialah Hanafi.
11

Pada saat yang bersamaan, Hamka juga menegaskan bahwa dalam penyusunan
Tafsir Al Azhar, beliau senantiasa berusaha agar semaksimal mungkin mendekati
maksud setiap ayat apa adanya, tanpa bersikap taashshub pada satu paham atau
mazhab tertentu.
12
Oleh karena itu, Buya Hamka membuka diri terhadap sekian
banyak kitab tafsir yang pernah dibacanya.
13
Dari sekian banyak kitab tafsir tersebut,
Hamka mengaku sangat kagum pada Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha
berdasarkan ajaran gurunya, Syaikh Muhammad Abduh. Selain itu, Hamka juga
mengaku sangat terpengaruh oleh Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, dan kitab
tafsir karya Sayyid Quthb yang diberi nama Fii Zhilaalil Quraan.
14


Pluralisme
Jika hanya melihat kutipan penjelasan Buya Hamka sebagaimana yang
dituliskan oleh Syafii Maarif sebelumnya
15
, terlihat seolah-olah pembaca Tafsir Al
Azhar diarahkan untuk menyamaratakan semua agama ; seolah-olah memeluk agama
Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabiin itu tak ada bedanya, asal beriman. Dengan kata
lain, mereka yang beragama Yahudi, Nasrani dan Shabiin pun bisa dikategorikan
orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Pemahaman seperti ini persis sama
sebagaimana yang disebarluaskan oleh para penyebar ajaran pluralisme di Indonesia.
Inilah kekhawatiran yang menyebabkan beberapa cendekiawan Muslim untuk
menuangkan pemikirannya dalam rubrik Opini, yaitu untuk mencegah tersebarnya
ajaran pluralisme yang menyamaratakan semua agama, merelatifkan kebenaran,

11
Ibid, p. 40.
12
Ibid, p. 40-41.
13
Pada bagian akhir dari setiap jilid buku Tafsir Al-Azhar terbitan Pustaka Panjimas, disertakan juga
daftar kitab-kitab tafsir yang beliau jadikan bahan referensi.
14
Op. Cit., p. 41.
15
Lihat halaman 4 pada makalah ini.
10
apalagi jika ajaran tersebut disebarluaskan dengan mencatut nama Buya Hamka.
Sebelumnya, para penyeru ajaran liberalisme yang biasanya setali tiga uang dengan
pihak penyeru pluralisme juga pernah menyebut-nyebut Yusuf al-Qaradhawi dan
Muhammad Natsir sebagai bagian dari jamaah mereka.
16
Oleh karena itu, pluralisme
menjadi objek diskusi selama berminggu-minggu setelah artikel Syafii Maarif dimuat,
meskipun artikel tersebut justru sama sekali tak pernah menyebut-nyebut istilah
pluralisme.
Mengenai pluralisme, Budhy Munawar-Rachman pengajar Filsafat pada
Universitas Paramadina Jakarta yang juga seorang pentolan JIL mengutip berbagai
ungkapan para pemikir Internasional yang sudah lebih dulu menyebarluaskan aliran
pluralisme ini. Ungkapan-ungkapan yang pernah dikutipnya antara lain adalah :
Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick), Other
religions speak of different but equally valid truths (John B. Cobb Jr.), dan Each
religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar).
17
Di Indonesia, sudah banyak pula yang mengatakan terus terang pendapatnya
bahwa semua agama itu benar. Ulil Abshar Abdalla, dalam sebuah wawancara di
Majalah GATRA edisi 21 Desember 2002, mengatakan bahwa Semua agama sama.
Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Abdul
Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti
Jenar berkata, Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa
surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah
jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Nurcholis Madjid dalam
bukunya, Tiga Agama Satu Tuhan, mengatakan Satu Agama berbeda dengan agama
lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya.
18
Ironisnya, istilah pluralisme itu sendiri belum jelas definisinya, dan
seringkali dibuat rancu dengan pluralitas. Ada yang berpendapat bahwa pluralisme
adalah sikap positif dalam menerima pluralitas sebagai sebuah kenyataan, ada pula
yang berpendapat bahwa pluralisme mendorong untuk menyamakan agama-agama

16
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan
Jawabannya (Jakarta : Gema Insani Press, 2002, cet. 1), p. 10-18.
17
Ibid, p. 100.
18
Adian Husaini, Pluralisme Agama : Haram. Fatwa MUI yang Tegas & Tidak Kontroversial (Jakarta
Pustaka Al-Kautsar, 2005, cet. 1), p. 38-40.
11
yang plural (jamak). Singkatnya, sampai kini pun orang masih memperdebatkan
definisi pluralisme.
19


Islam, Yahudi, Nasrani dan Shabiin dalam Pandangan Hamka
Penting sekali untuk mencermati bagaimana penjelasan Buya Hamka sendiri
dalam Tafsir Al Azhar yang berkaitan dengan ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah
tersebut. Kutipan yang dicantumkan Syafii Maarif dalam artikelnya memang tidak
salah tulis atau keliru cetak, namun ada baiknya kita menelitinya secara keseluruhan.
Beginilah awal dari penafsiran Buya Hamka terhadap rangkaian ayat 62-66 dalam
surah Al-Baqarah :

Sesungguhnya orang-orang yang beriman (pangkal ayat 62). Yang
dimaksud dengan orang beriman di sini ialah orang yang memeluk
Agama Islam, yang telah menyatakan percaya kepada Nabi
Muhammad s.a.w. dan akan tetaplah menjadi pengikutnya sampai
Hari Kiamat: Dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan
Shabiin ; yaitu tiga golongan beragama yang percaya juga kepada
Tuhan tetapi telah dikenal dengan nama-nama yang demikian.
20

Dengan demikian, kita dapatkan tabel definisi sebagai berikut :

Istilah yang digunakan Hamka pada
terjemahan ayat ke-62 dalam surah
Al-Baqarah
Definisi
Orang-orang yang beriman Mereka yang memeluk Agama Islam (Hamka
menggunakan huruf A dan I kapital),
menyatakan percaya kepada Nabi Muhammad saw.,
dan akan tetap menjadi pengikut beliau hingga Hari
Kiamat.
Orang-orang yang jadi Yahudi Mereka yang juga percaya kepada Tuhan tapi
dikenal dengan sebutan orang-orang Yahudi.

19
Perkembangan konsep pluralisme ini dijelaskan oleh Anis Malik Thoha pada bagian awal dari
bukunya yang berjudul Tren Pluralisme Agama.
20
Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu 1 (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), p. 211.
12
Orang-orang yang jadi Nasrani Mereka yang juga percaya kepada Tuhan tapi
dikenal dengan sebutan orang-orang Nasrani.
Orang-orang yang jadi Shabiin Mereka yang juga percaya kepada Tuhan tapi
dikenal dengan sebutan orang-orang Shabiin.

Kata tapi dalam tabel definisi di atas menunjukkan bahwa dalam kalimat
tersebut terdapat sebuah kontradiksi. Percaya kepada Tuhan tapi dikenal sebagai
orang Yahudi artinya sama saja dengan mengatakan bahwa agama Yahudi
sesungguhnya bukan agama yang tepat bagi mereka yang sebenar-benarnya beriman.
Kata dikenal bahkan memberi penekanan lebih lanjut, yaitu bahwa agama Yahudi,
Nasrani dan Shabiin yang disandang oleh orang-orang yang dibicarakan dalam ayat
ini sebenarnya tidak tepat untuk disandangkan pada mereka, hanya saja masyarakat
sudah terlanjur menganggap demikian.
Mengenai agama Yahudi, Hamka menjelaskan lebih jauh bahwa nama
Yahudi itu sendiri terambil dari nama Yehuda, yaitu salah seorang anak Nabi
Yaqub as. Oleh karena itu, Yahudi lebih merupakan sebuah agama keluarga
daripada agama untuk manusia pada umumnya.
21
Jika sebutan Yahudi memang
diperuntukkan bagi sebuah bangsa atau keluarga, maka memang dimungkinkan
adanya Yahudi yang beriman dan Yahudi yang tidak beriman, karena batasan
antara istilah Yahudi dan Bani Israil memang sangat tipis sekali, apalagi bila kita
membicarakan orang-orang di masa lalu yang telah tiada dan tak bisa lagi dimintai
keterangannya. Jika seorang Yahudi atau Bani Israil memegang teguh ajaran Taurat
yang murni, maka ia bukanlah seorang yang kafir, dan statusnya sama saja dengan
umat Islam yang memegang teguh ajaran Rasulullah saw.
Agama Nasrani, atau kaum Nashara, juga terambil dari suatu bangsa, yaitu
yang berasal dari daerah kelahiran Nabi Isa as., yaitu Nazaret (dalam bahasa Ibrani)
atau Nashirah (dalam bahasa Arab). Beberapa ulama berpendapat bahwa istilah
Nasrani memang berasal dari nama desa Nashirah, antara lain menurut pendapat
Ibnu Qatadah dan Ibnu Abbas. Adapun nama Shabiin akar katanya bermakna
keluar dari agama asalnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw. pun pernah disebut
sebagai seorang shabi karena telah mencela-cela berhala yang disembah oleh
kaumnya.
22
Penjelasan ini menunjukkan bahwa bisa jadi ada orang yang dikenal

21
Ibid, p. 212.
22
Ibid.
13
sebagai seorang Nasrani atau Shabiin, padahal ia sebenarnya beriman kepada Allah
SWT.
Mengenai definisi iman, Buya Hamka menggunakan definisi yang kurang
lebih sama dengan yang digunakan oleh jumhur ulama, yaitu pengakuan hati yang
terbukti dengan perbuatan yang diucapkan oleh lidah menjadi keyakinan hidup. Hal
ini diungkapkannya ketika menjelaskan penafsiran atas ayat ke-3 dalam surah Al-
Baqarah.
23
Dalam penjelasannya perihal ayat ke-4 dalam surah Al-Baqarah, Hamka
menegaskan bahwa iman itu niscaya baru sempurna jika percaya kepada apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
24
Dengan demikian, orang-orang Yahudi,
Nasrani, dan Shabiin yang pernah bertemu dengan risalah Nabi Muhammad saw.
namun tak beriman pada beliau tidaklah layak dimasukkan dalam kategori orang-
orang yang beriman. Sebab, sebagaimana penjelasan Buya Hamka ketika
menafsirkan istilah mereka yang dimurkai pada akhir surah Al-Fatihah, ditegaskan
bahwa ungkapan ini merujuk pada mereka yang telah diberi petunjuk, telah diutus
Rasul-Rasul kepadanya, dan telah diturunkan Kitab-Kitab wahyu kepadanya, namun
ia tidak juga beriman.
25
Hal ini penting untuk digarisbawahi, untuk memberi
penekanan pada definisi istilah Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang tercantum
pada ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah sebagaimana ditafsirkan oleh Hamka.
Buya Hamka juga mengulas sebuah hadits yang cukup dikenal luas, yaitu
peristiwa ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai orang-orang
yang dijelaskan dalam bagian akhir dari surah Al-Fatihah tersebut. Jawaban Nabi
saw. adalah : Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai ialah Yahudi dan
yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat ialah Nasrani.
26
Hal ini, jika
dikombinasikan dengan kata tapi dan dikenal pada terjemahan versi Hamka ayat
ke-62 dalam surah Al-Baqarah, ditambah lagi dengan definisi iman dan penjelasan
mengenai bagian akhir dari surah Al-Fatihah dalam Tafsir Al Azhar, semakin
menambah jelas bahwa agama Yahudi, Nasrani dan Shabiin tidak memiliki makna
yang selevel dengan agama Islam. Adapun agama yang benar hanyalah Islam, namun
tidak menutup kemungkinan ada pula orang-orang di masa lalu yang dikenal sebagai
pemeluk agama Yahudi, Nasrani, dan Shabiin, padahal mereka sungguh-sungguh
beriman. Ini tak ubahnya seperti Nabi Daud as. yang disebut sebagai Yahudi oleh

23
Ibid, p. 124.
24
Ibid, p. 126.
25
Ibid, p. 92.
26
Ibid, p. 93.
14
orang-orang Yahudi, juga disebut Nasrani oleh orang-orang Nasrani, padahal
sebenarnya beliau adalah seorang Nabi yang saleh dan sudah pasti beriman kepada
Allah SWT dengan sebenar-benarnya iman.
Dalam Tafsir Al Azhar, Buya Hamka menjelaskan masalah kekafiran dalam
banyak kesempatan, antara lain ketika menjelaskan penafsiran atas ayat ke-6 dan ke-7
dalam surah Al-Baqarah. Banyak contoh yang beliau kemukakan di sana, antara lain
tentang para pemuka kaum Yahudi di Madinah pada masa Rasulullah saw. yang
menolak mengakui kenabian beliau. Demikian pula Raja Heraclius dari Syam yang
mengetahui kenabian beliau, namun menolak untuk tunduk karena takut kehilangan
kedudukannya sebagai Raja. Ada pula kekafiran yang lebih kasar seperti Kisra dari
Persia yang menolak mentah-mentah dakwah Rasulullah saw.
27
Pada akhirnya, Buya
Hamka menyimpulkan definisi kekafiran sebagai berikut :

Yang dikatakan kafir ialah orang-orang yang tidak mau percaya
kepada adanya Allah. Atau percaya juga dia bahwa Allah ada, tetapi
tidak dipercayainya akan keesaanNya, dipersekutukannya yang lain itu
dengan Allah. Atau tidak percaya akan kedatangan Rasul-rasul dan
Nabi-nabi Allah dan tidak percaya akan kehidupan Hari Akhirat.
Tidak percaya akan adanya syurga dan neraka. Pendeknya tidak
menerima, tidak mau percaya kepada keterangan-keterangan jelas
yang termaktub dalam Kitab Allah ; semuanya itu ditolaknya, setelah
datang kepadanya keterangan yang jelas.
28

Di sini, Hamka telah menunjukkan pendiriannya yang tegas, yaitu bahwa
antara keimanan dan kekafiran terdapat suatu batasan yang tegas. Siapa pun yang
hidup dan telah mengenal ajaran yang benar dari para Nabi dan Rasul pada jamannya
dan tak mau mengikutinya, maka ia dikategorikan sebagai orang kafir. Dengan
demikian, kaum Yahudi, Nasrani, dan Shabiin pada masa kini yang tidak mau
mengikuti ajaran Rasulullah saw. juga tak mungkin dikategorikan sebagai orang-
orang yang beriman. Di sisi lain, orang yang mengaku dirinya Muslim dan beriman
kepada Allah dan Hari Kemudian juga bisa disebut kafir jika menolak perintah agama.

27
Ibid, p. 129-133.
28
Ibid, p. 132-133.
15
Meski demikian, perlu pula dibedakan antara kelalaian dan pengingkaran. Muslim
yang lalai shalat tidaklah sama dengan orang kafir yang mengingkari perintah shalat.
29


Satu Titik
Ada pula penjelasan Hamka yang sekilas nampak seperti ajaran pluralisme,
namun sebenarnya tidak. Silakan cermati paragraf berikut :

Apabila telah bersatu mencari kebenaran dan kepercayaan, maka
pemeluk segala agama itu akhir kelaknya pasti bertemu pada satu titik
kebenaran. Ciri yang khas dari titik kebenaran itu ialah menyerah diri
dengan penuh keikhlasan kepada Allah yang Satu ; itulah Tauhid,
itulah Ikhlas, dan itulah Islam! Maka dengan demikian, orang yang
telah memeluk Islam sendiripun hendaklah menjadi Islam yang
sebenarnya.
30

Hamka tidak mengatakan bahwa semua agama itu benar dan menyembah
Tuhan yang Satu, melainkan justru para pemeluk agama yang benar-benar mencari
kebenaran dengan hati yang bersih dan jujur, pastilah akhirnya akan bertemu pada
satu titik. Satu titik di sini jelas tidak mencerminkan sikap merelatifkan kebenaran,
melainkan sebuah penegasan bahwa kebenaran memang hanya satu. Untuk lebih
tegasnya lagi, Hamka juga menyebutkan bahwa kebenaran yang dimaksud tidak lain
adalah agama Islam itu sendiri. Di akhir penjelasannya, Hamka menghimbau umat
Islam agar tidak cepat merasa aman karena sudah mengaku beriman. Sikap yang
paling benar sebagai seorang Muslim adalah mengevaluasi diri dan melakukan
perbaikan secara berkesinambungan.
Sikap Buya Hamka terhadap agama Yahudi dan Nasrani bahkan telah
dijelaskan dengan lebih tegas, namun luput dari pengutipan Syafii Maarif dalam
artikelnya. Padahal, penegasan sikap ini sangat penting untuk dicantumkan guna
menjelaskan pendapat Hamka yang sebenarnya.


29
Ibid, p. 133.
30
Ibid, p. 215.
16
Dan kedatangan Islam bukanlah sebagai musuh dari Yahudi dan tidak
dari Nasrani, melainkan melanjutkan ajaran yang belum selesai.
Maka orang yang mengaku beriman kepada Allah, pasti tidak menolak
kedatangan Nabi dan Rasul penutup itu dan tidak pula menolak Wahyu
yang dia bawa. Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu
percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri
beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya
telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau
keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya
nerakalah tempat mereka kelak.
31

Dengan demikian, jelaslah kini duduk permasalahannya. Jika semua
keterangan dari Buya Hamka disampaikan dengan baik, setidaknya dijelaskan inti-inti
pembicaraannya, akan jelaslah bahwa beliau sama sekali tidak bermaksud
menyamakan agama Islam dengan yang lainnya, dan beliau pun memiliki pendirian
yang tegas terhadap agama yang benar, yaitu Islam. Hal ini membuktikan bahwa
nama beliau tak sepatutnya digunakan untuk membenarkan ajaran pluralisme,
terutama karena uraiannya dalam Tafsir Al Azhar sangat berlawanan dengan paham
tersebut.
Sayang sekali paragraf di atas ini tidak dikutip dalam artikel Syafii Maarif.
Jika paragraf ini dicantumkan, maka takkan ada keraguan mengenai pernyataan-
pernyataan Buya Hamka dalam menafsirkan ayat tersebut. Sebaliknya, penjelasan
Hamka yang dikutip justru menggiring pembaca untuk mengira bahwa beliau benar-
benar sejalan dengan paham pluralisme.


Antara Fii Zhilaalil Quraan dan Al-Mishbah
Barangkali bermanfaat untuk memperbandingkan penafsiran Hamka terhadap
ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah ini dengan tafsir lainnya. Sangat masuk akal jika
kita menggunakan Kitab Fii Zhilaalil Quraan sebagai pembanding, karena Hamka
sendiri menyatakan terus terang bahwa dirinya sangat mengagumi buah karya Sayyid
Quthb ini serta sangat terpengaruh olehnya. Demikianlah penjelasan Sayyid Quthb :

31
Ibid, p. 217.
17

Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman ialah kaum
muslimin. Dan, al-ladziina haaduu ialah orang-orang Yahudi, yang
boleh jadi bermakna kembali kepada Allah dan boleh jadi bermakna
bahwa mereka adalah anak-anak Yahudza. Sedangkan, nashara adalah
pengikut Nabi Isa as.. Adapun shabiin, menurut pendapat yang lebih
kuat ialah golongan musyrikin Arab sebelum diutusnya Nabi
Muhammad saw., yang berada dalam keragu-raguan terhadap tindakan
kaumnya yang menyembah berhala, lalu mereka mencari akidah sendiri
yang mereka sukai dan kemudian mendapat petunjuk kepada akidah
tauhid. Para ahli tafsir berkata, Sesungguhnya mereka itu melakukan
ibadah menurut agama hanif semula, agama Nabi Ibrahim, dan mereka
meninggalkan tata peribadatan kaumnya, hanya saja mereka tidak
mendakwahi kaumnya itu. Kaum musyrikin berkata tentang mereka itu,
Sesungguhnya mereka shabauu, yakni meninggalkan agama nenek
moyangnya, sebagaimana yang mereka katakan terhadap kaum
muslimin sesudah itu. Karena itulah, mereka disebut shabiah.
Pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan bahwa
mereka itu penyembah bintang sebagaimana disebutkan dalam
beberapa tafsir.

Ayat ini menetapkan bahwa siapa saja di antara mereka yang beriman
kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, mereka akan
mendapatkan pahala di sisi Tuhannya, mereka tidak merasa khawatir
dan tidak bersedih hati.

Yang ditekankan di sini adalah hakikat ibadah, bukan fanatisme
golongan atau bangsa. Dan, hal ini tentu saja sebelum diutusnya Nabi
Muhammad saw. Adapun sesudah diutusnya beliau, maka bentuk iman
yang terakhir ini sudah ditentukan.
32


32
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran Jilid 1 (Jakarta : Gema Insani Press, 2000, cet. 5), p. 90-91.
18
Baik Buya Hamka maupun Sayyid Quthb sama-sama berpendapat bahwa titik
kebenaran itu telah final, yaitu agama Islam sebagaimana yang diajarkan oleh
Rasulullah saw. Dengan demikian, kaum Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang sempat
bertemu dengan ajaran Islam namun tak beriman tidak akan diridhai oleh Allah SWT.
Selain kitab Fii Zhilaalil Quran, kita juga dapat memperbandingkan
penjelasan Buya Hamka dengan pendapat Quraish Shihab yang dituangkannya dalam
Tafsir Al-Mishbah. Tafsir Al-Mizhbah dipilih karena tafsir ini dikenal sangat toleran,
bahkan sebagian kalangan menganggapnya terlalu toleran terhadap pendapat-pendapat
yang lemah. Salah satu sisi yang sering diperdebatkan dari Tafsir Al-Mishbah adalah
ketika membahas jilbab, di mana Quraish Shihab justru mengedepankan pendapat
lemah yang menganggap bahwa jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi seorang
Muslimah.
Ternyata, dalam Tafsir Al-Mishbah yang terlalu toleran pada pendapat lemah
pun, kita jumpai penolakan yang sangat kuat terhadap paham pluralisme.

Ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan
toleransi antar ummat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat
menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang
disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan hari kemudian,
maka mereka semua akan memperoleh keselamatan,... tidak akan diliputi
oleh rasa takut di akhirat kelak, dan tidak pula akan bersedih.

Pendapat semacam ini nyaris mempersamakan semua agama, padahal
agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam aqidah serta
ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani
dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana
mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut dan
sedih, sedang yang ini menurut itu dan atas nama Tuhan yang disembah
adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak
sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan
aneka siksa.

Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus
diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama
19
sama di hadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk
agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama,
tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran
agama.
33


Pemaksaan Agama
Syafii Maarif menggarisbawahi konsep toleransi dan anti-pemaksaan agama
dalam penafsiran Hamka. Setelah menjelaskan pendapatnya mengenai kaum-kaum
yang melihat petunjuk tapi tak mau mengikutinya, Hamka melengkapinya dengan
penjelasan mengenai neraka (yaitu tempat di akhirat yang Allah sediakan bagi orang-
orang yang tak beriman), sebagaimana yang dikutip oleh Syafii Maarif dalam
artikelnya.
34
Ada dua contoh pemaksaan agama yang diuraikan oleh Buya Hamka,
dan keduanya justru menjelaskan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai pelaku utamanya.
Kedua contoh tersebut adalah :
1. Raja Yahudi dari Yaman Selatan, yaitu Dzi Nuwas, yang menggali
lubang besar dan menyalakan api di dalamnya untuk memaksa penduduk
Najran agar memeluk agama Yahudi.
2. Para pemuka agama Yahudi dan Nasrani yang mati-matian menghambat
dakwah Islam, menyebar berita bohong, dan selalu menganggap umat
Islam sebagai musuhnya. Padahal, Islam menyebut mereka dengan
istilah kehormatan, yaitu Ahlul Kitab.
Tidak diragukan lagi bahwa Islam memang melarang pemaksaan untuk
memeluk suatu agama, sehingga usaha untuk mendakwahkan Islam pun tak boleh
dilakukan dengan cara demikian. Akan tetapi, konsep toleransi ini harus dipahami
dengan benar, yaitu atas dasar perbedaan yang nyata, bukan penyamarataan agama.
Kekeliruan semacam ini bisa diakibatkan oleh pemahaman yang tidak menyeluruh,
misalnya memahami sikap Islam terhadap agama lain hanya dengan dasar ayat lakum
diinukum wa liyadiin sementara mengabaikan lima ayat sebelumnya sekaligus juga
sekian banyak ayat lainnya di dalam Al-Quran.

33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol. 1 (Ciputat :
Penerbit Lentera Hati, 2000, cet. 1), p. 208.
34
Lihat halaman 5 pada makalah ini.
20
Dengan demikian, ajakan untuk kembali pada ajaran toleransi oleh Syafii
Maarif dapat dibenarkan, namun dasar pemikirannya harus dijernihkan terlebih
dahulu. Jika dasar pemikirannya adalah pada kutipan penjelasan Hamka sebelumnya
(yang jika dibaca sekilas akan nampak seolah-olah membenarkan paham liberalisme),
maka toleransi semacam itu tidaklah dibenarkan oleh Islam, tidak pula disetujui oleh
Buya Hamka. Sikap toleran terhadap umat lain tidak membuat kita wajib menyebut
agamanya sebagai agama yang benar selain Islam.
Sikap lunak dan keras Hamka ini perlu ditelaah lebih lanjut. Di satu sisi,
Hamka bersikap sangat lunak ketika menjelaskan bahwa ayat ke-62 dalam surah Al-
Baqarah ini jangan dianggap telah di-nasakh oleh ayat ke-85 dalam surah Ali Imran,
agar umat Islam tidak bersikap fanatik dan merasa benar sendiri.
35
Tepat setelah
menunjukkan sikap lunak tersebut, Hamka malah bersikap keras dengan
menyebutkan suatu hadits yang menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani dan
umat mana pun yang mendengar dakwah Rasulullah saw. namun menolak beriman
padanya pasti akan masuk neraka.
36
Hadits ini kemudian diikuti dengan penjelasan
Hamka sendiri sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya.
37
Kalangan yang mempromosikan paham pluralisme memang seringkali
berpikir terlalu jauh dalam merespon fatwa ulama. Jika ada ulama yang mengatakan
bahwa hanya ajaran Islamlah yang mengarahkan manusia pada keselamatan dunia-
akhirat, maka ulama itu akan diberi predikat ekstrem, radikal, dan semacamnya.
Padahal, keyakinan penuh terhadap agama sendiri sama sekali tidak
mengimplikasikan kebencian pada umat beragama lainnya, atau adanya keinginan
untuk mencelakakan umat beragama lainnya. Keyakinan pada agama sendiri dan
keinginan untuk mencelakakan yang lain adalah dua hal yang sangat berbeda.
Dalam hal ini, sebagaimana pesan Buya Hamka sebelumnya, sunnah Nabi
saw. wajib digunakan untuk memahami pesan-pesan Al-Quran.
38
Rasulullah saw.
tidak akan memberikan jawaban yang tidak tegas dalam urusan aqidah. Beliau selalu
menegaskan bahwa siapa pun yang mendengar dakwahnya namun tidak mengikutinya
pasti akan masuk neraka. Akan tetapi, sebagaimana penjelasan Buya Hamka juga,
neraka bukanlah di dunia, melainkan di akhirat. Manusia, apalagi umat Islam, tak
punya kepentingan untuk menciptakan neraka di dunia. Itulah sebabnya Hamka

35
Hamka, Tafsir Al Azhar Juzu 1 (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), p. 217.
36
Ibid.
37
Lihat halaman 17 pada makalah ini.
38
Lihat halaman 8 pada makalah ini.
21
mengutuk perbuatan Raja Dzi Nuwas yang membantai semua penduduk Najran yang
menolak memeluk agama Yahudi. Rasulullah saw. pun demikian halnya. Meskipun
beliau yakin seratus persen bahwa agama Islam yaitu agama yang dibawanya
adalah yang paling benar, sementara agama Yahudi dan Nasrani telah menyimpang
dari ajaran Tauhid yang lurus, namun kita tidak menjumpai sikap kasar beliau
terhadap penganut agama lainnya. Beliau tetap berinteraksi dengan baik kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani, selama mereka tidak memusuhi beliau. Di sinilah
kita jumpai titik temu antara sikap keras dan lunak sebagaimana yang ditunjukkan
dalam Tafsir Al Azhar. Menganggap orang lain telah berbuat salah atau berpendapat
keliru bukan berarti harus bertindak kasar padanya. Dalam dunia pendidikan pun,
menghukum keras siswa yang melakukan kesalahan bukan sebuah tindakan yang
bijaksana.
Jadi, kasus-kasus pemaksaan agama sebenarnya bukan berasal dari keyakinan
penuh terhadap agama sendiri, melainkan dari aktualisasi yang salah atas keyakinan
tadi. Jika kita merasa benar sendiri, dan merasa berhak menciptakan neraka di dunia
bagi orang-orang yang kita anggap salah, maka pertumpahan darah pasti akan terjadi,
sebagaimana yang terjadi di Eropa pada era hegemoni Geraja dahulu.


Duduk Permasalahannya
Hal menarik lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah awal dari
permasalahan itu sendiri, yaitu kejadian yang menyebabkan Syafii Maarif merasa
berkewajiban untuk menuliskan artikelnya yang kontroversial itu. Awal mulanya
adalah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang mengaku membutuhkan
penjelasan mengenai ayat ke-62 dalam surah Al-Baqarah demi menghadapi beberapa
tersangka kerusuhan di Poso. Mudah ditebak bahwa para tersangka kerusuhan yang
dimaksud di sini semuanya beragama Islam. Mudah ditebak pula bahwa sang jenderal
berkesimpulan (atau berasumsi?) bahwa akar konflik di Poso adalah pemaksaan
agama, salah satunya adalah kasus umat Islam yang memaksa umat lain untuk
memeluk agama Islam.
Meskipun Islam terang-terangan melarang aksi pemaksaan agama, namun kita
tidak serta-merta bisa begitu saja menerima keterangan dari jenderal polisi tersebut.
Benarkah akar konflik di Poso salah satunya adalah aksi pemaksaan agama dari pihak
umat Islam? Sementara data-data yang ada di lapangan sangat melemahkan hipotesa
22
itu. Umat Islam di Poso adalah minoritas, sehingga tidak pada tempatnya melakukan
pemaksaan agama (kalaupun memang ada niat untuk melakukannya). Selain itu,
sebagaimana dapat kita lihat dari uraian di atas, meskipun berpendirian tegas bahwa
ajaran Islamlah yang paling benar, tak ada satupun ulama yang menganjurkan
pemaksaan agama terhadap kaum Non-Muslim. Oleh karena itu, jika memang ada
aksi pemaksaan agama di Poso, maka perlu dipertanyakan dari mana sumbernya.
Sang jenderal (dan Syafii Maarif) juga tidak boleh berpaling dari fakta bahwa
umat Islamlah yang paling banyak menjadi korban di Poso, dan bukan sebaliknya.
Sebagai tokoh umat Islam Indonesia, terutama Muhammadiyah, Syafii Maarif
semestinya bersikap lebih kritis ketimbang langsung memenuhi permintaan sang
jenderal tersebut. Dengan sikap yang demikian itu, Syafii Maarif malah
mengimplikasikan bahwa memang benar umat Islam Poso telah melakukan
penyimpangan terhadap ajaran Al-Quran, yakni bersikap toleran terhadap umat
beragama lainnya. Sulit dibayangkan betapa sakit hati umat Islam Poso yang menjadi
korban dalam konflik tersebut jika menyaksikan sikap Syafii Maarif yang demikian
itu.


Kesimpulan
Beberapa kritik memang pantas untuk dialamatkan kepada Syafii Maarif atas
penulisan artikel Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah. Telah
terjadi kerancuan yang luar biasa akibat pengutipan yang tidak tepat, sehingga
mengakibatkan munculnya kesan yang berlawanan sama sekali dengan pendapat Buya
Hamka yang sebenarnya. Akibat kelalaiannya dalam mencantumkan beberapa detil
penjelasan, maka timbul kesan bahwa Hamka benar-benar mendukung pluralisme
sebagaimana yang dipromosikan oleh kaum sekularis-liberalis pada umumnya.
Penjelasan dalam artikel Syafii Maarif juga perlu dikritisi karena tidak lengkap
menyajikan definisi peristilahan yang digunakan sebagaimana yang dimaksudkan oleh
Hamka. Untuk itu, sebaiknya merujuk pada bagian-bagian lain dalam Tafsir Al Azhar
atau karya-karya Hamka yang lainnya. Sebab, adakalanya istilah yang digunakan
Hamka berbeda definisi dengan yang biasa digunakan orang. Sebagai contoh, Hamka
sering menggunakan istilah tasawuf, namun definisinya jelas berbeda dengan
kebanyakan aliran tasawuf yang kita jumpai di masyarakat. Jika kita menelusuri
definisi peristilahan yang digunakan oleh Hamka, akan jelaslah bahwa paham yang
23
dibawanya itu sangat berlainan dengan paham pluralisme, meskipun istilah
pluralisme itu sendiri seringkali kabur definisinya.
Selain kesan yang salah, masalah juga muncul akibat kekeliruan dalam melihat
duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai seorang tokoh Islam Nusantara,
Syafii Maarif seharusnya bersikap tegas membela umat Islam yang tertindas. Dalam
kasus ini, setidaknya Syafii Maarif bisa mengecek fakta-fakta lapangan terlebih
dahulu dan mengoreksi pendapat sang jenderal rekannya itu jika ada yang dirasa
melenceng dari kenyataan. Sebab, jika salah bersikap, maka Syafii Maarif akan
nampak seolah-olah mendukung perspektif yang keliru terhadap umat Islam, terutama
umat Islam di Poso.
Buya Hamka adalah seorang ulama yang rendah hati dan berusaha untuk
berdiri menengahi setiap golongan. Dalam usahanya untuk menjadi penengah itu,
terkadang beliau memberi kesan seolah-olah sependirian dengan para pengusung
paham pluralisme. Di sisi lain, jika kita menelaah pemikiran-pemikirannya secara
mendalam, jelas terlihat bahwa beliau tidak bersikap ambigu dalam kebenaran,
apalagi soal aqidah. Beliau tidak ragu untuk mengatakan bahwa agama Islam adalah
ajaran yang paling benar, sementara yang lainnya keliru. Meski demikian, sesuai
dengan prinsip-prinsip toleransi dalam ajaran Islam, beliau juga tidak menganjurkan
sikap anarkis dan fanatik buta dalam beragama. Dalam kaitannya dengan ayat ke-62
dalam surah Al-Baqarah ini, Buya Hamka berpesan agar setiap umat beragama
mengevaluasi dirinya sendiri dan membaktikan hidup untuk mencari kebenaran
dengan penuh ketulusan dan kejujuran. Jika benar-benar mencari kebenaran, maka
tidak bisa tidak, cepat atau lambat pasti akan bertemu dengan ajaran Islam. Setegas
itulah keyakinan Buya Hamka terhadap Agama Islam (dengan huruf A dan I
kapital).









24
Daftar Pustaka


Adian Husaini (2005), Pluralisme Agama : Haram. Fatwa MUI yang Tegas & Tidak
Kontroversial, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Adian Husaini (2006), Hamka dan Pluralisme Agama, surat kabar Republika, edisi
Jumat, 1 Desember 2006.
Adian Husaini dan Nuim Hidayat (2002), Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta : Gema Insani Press.
Ahmad Syafii Maarif (2006), Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-
Maidah, surat kabar Republika, edisi Selasa, 21 Nopember 2006.
Al Makin (2006), Menghindari Argumen Sirkuler Pluralisme, surat kabar
Republika, edisi Jumat, 22 Desember 2006.
Anis Malik Thoha (2005), Tren Pluralisme Agama, Jakarta : Penerbit Perspektif.
Bustanuddin Agus (2006), Meluruskan Persepsi Pluralisme, surat kabar Republika,
edisi Jumat, 15 Desember 2006.
Fajar Riza Ul Haq (2006), Pluralisme, Syafii dan Hamka, surat kabar Republika, edisi
Jumat, 8 Desember 2006.
Hamka (1982), Tafsir Al Azhar Juzu 1, Jakarta : Pustaka Panjimas.
M. Hasibullah Satrawi (2006), Menyelami Lautan Pluralisme Islam, surat kabar
Republika, edisi Jumat, 22 Desember 2006.
M. Quraish Shihab (2000), Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Quran, Vol. 1, Ciputat : Penerbit Lentera Hati.
Sayyid Quthb (2006), Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani Press.
Syamsuddin Arif (2006), (Mis)interpretasi Ayat Pluralisme, surat kabar Republika,
edisi Jumat, 15 Desember 2006.
Syamsul Hidayat (2006), Menyelami Penafsiran Buya Hamka, surat kabar Republika,
edisi Jumat, 1 Desember 2006.
Zuhairi Misrawi (2006), Pluralisme Berbasis Alquran, surat kabar Republika, edisi
Jumat, 8 Desember 2006.

25

You might also like