You are on page 1of 18

Pengembangan Wilayah Pesisir Sebagai Solusi Kehidupan Bangsa Indonesia Kedepan (Round Table Discussion Majelis Guru Besar

- ITB, 24-25 Juli 2009)

URGENSI ECOSYSTEM APPROACH DALAM PENGELOLAAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA
OLEH:

Noorsalam R. Nganro dan Gede Suantika (SITH-ITB) Setidaknya terdapat beberapa konsepsi dasar terkait Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Indonesia di Wilayah Tropis yang merupakan bagian dari Ekosistem Global Bumi, sebagai berikut: 1. Referensi Global Terminologi Ekosistem, Wilayah Pesisir, Negara Kepulauan: Alfred George Tansley (1935), pakar ekologi Inggeris pertama mendefinisikan ekosistem: o An ecosystem or ecological system is a biotic assemblage and its associated physical environment in a specific space. Ecological Society of America: o Ecology: is the scientific discipline that is concerned with the relationships between organisms and their past, present, and future environments. o Ecosystem: any geographic area that includes all of the organisms and nonliving parts of their physical environments. o Biodiversity: biological diversity, or biodiversity for short, refers to the variety of life forms at all levels of organization, from the molecular to the landscape level. NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration): o Ecosystem is a geographically specified system of organisms (including humans) and the environment and the processes that control its dynamics. o The environment is the biological, chemical, physical and social conditions that surround organisms. United Nations (Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea): Key features of an ecosystem: o An ecosystem exists in a space with boundaries; ecosystems are distinguishable base on biophysical attributes and locations; o An ecosystem includes both living organisms and their abiotic environments; o The organisms interact with each other and interact with the physical environments; o An ecosystem is dynamic its structure and function change with time; o An ecosystem exhibits emergent properties that are characteristic of its type, and invariant within the domain of existence. Small Islands Developing States (SIDS) (beranggota 36 negara, tidak termasuk Indonesia?) mendefinisikan wilayah pesisir: o The coast can be defined from a spatial point of view as all those areas that drain out to the sea and those that periodically inundated by the tides or are permanently covered by the sea, down to the edge of the continental shelf where the sea bottom slopes rapidly to the deep sea.

2 o This definition embraces the coastal watersheds, plains and shorelines, the rivers, estuaries, the wetlands that drain them, the beaches, seagrass beds, coral reefs, and other marine formations occurring on the continental shelf. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLS), 1982. Part IV, Article 46, mendefinisikan Negara Kepulauan (atas kontribusi besar dari Professor Dr. Mochtar Kusumaatmadja): o archipelagic State means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other island; o archipelago means a group of islands, including parts of islands, interconnecting waters and other natural features which are so closely interrelated that such islands, waters and other natural features form an intrinsic geographical, economic and political entity, or which historically have been regarded as such. US Environmental Protection Agency: Seven Pillars of Ecosystem Management Approach (EMA): 1. EMA reflects a stage in the continuing evolution of social values & priorities; it is neither a beginning nor an end; 2. EMA is place-based and boundaries of the place must be clearly and formally defined; 3. EMA should be maintain ecosystem in the appropriate condition to achieve desired social benefits; 4. EMA should take advantage of the ability of ecosystems to respond to a variety of stressors, natural and man-made, but all ecosystems have limited ability to accommodate stressors and maintain a desired state; 5. EMA may or may not result in emphasis on biological diversity; 6. The term sustainability, if used at all in ecosystem management should be clearly defined-specifically the time frame of concern, the benefits and costs of concern, and the relative priority of the benefits and costs; 7. Scientific information is important for effective ecosystem management, but it is only one element in a decision-making process that is fundamentally one of public and private choice. So, EMA is the application of ecological and social-economic information, options, constrains to achieve desired social benefits within a defined geographic area and over a specified period. Pada Bagian 1 ini, secara singkat dapat dinyatakan secara jelas bahwa falsafah konsep ekosistem meliputi sistem interaksi lingkungan hidup (termasuk manusia) dari skala ruang geografik yang kecil/terbatas sampai pada skala global Ekosistem Bumi ini. Bukan pengertian sebaliknya bahwa ekosistem itu adalah bagian dari ruang dan atau lingkungan hidup. Jadi ekosistem merupakan konsep induk yang meliputi sub-sistem lingkungan hidup pada ruang. 2. Referensi Nasional, Beberapa Terminologi Dalam PerUndang-Undangan RI UU RI No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Catatan: tidak dijiwai falsafah konsep ekosistem): Pasal 1: Ketentuan Umum

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

3 o Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. o Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. o Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. o Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas lingkungan hidup. UU RI No.26/2007 Tentang Penataan Ruang, (tidak dijiwai falsafah konsep ekosistem) Pasal 1: Ketentuan Umum, o Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. o Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan /atau aspek fungsional. o Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (sudah mengakomodasi konsep ekosistem): Pasal 1: Ketentuan Umum, o Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah statu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. o Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhan, hewan, organisme dan nonorganisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan productivitas. o Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. o Pulau-pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. o Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna. o Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam suatu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

4 o Kawasan adalah wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. o Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai suatu kesatuan dalam ekosistem pesisir. o Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya non-hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; o Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan biota laut lain; o Sumberdaya non-hayati meliputi pesisir, air laut, mineral dasar laut, udara; o Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, pemukiman dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. o Daya dukung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah kemampuan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung perkehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. o Pencemaran pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan orang sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.

Berdasarkan fakta-fakta yang telah dipaparkan pada Bagian 1 dan 2 diatas, yang terkait dengan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, secara internasional Konsep Ekosistem adalah lebih tepat digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif lebih luas, integratif, mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup, ruang, wilayah, kawasan dll., secara saintifik terukur dan terprediksi, dan telah diadopsi luas oleh negara-negara maju di dunia dan negara-negara lain anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development States (SIDS). Tabel 1 Hubungan Interaksi Fungsional pada Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil : Tipe-tipe Ekosistem
1) Pantai berpasir

Penjelasan

Kemampuan Jasa
Bisa sebagai tempat bersarang penyu Kaya biodiversitas Sangat produktif, tempat berbiak, berlindung ikan2, kerapu, tuna, kakap,

Potensi Pemanfaatan Jasa Ekosistem


Rekreasi Konservasi

Potensi Ancaman
Perusakan habitat Tambang pasir Tumpahan minyak Erosi pantai Tangkapan ikan berlebih, racun ikan, pemboman, penambangan karang, erosi dari

Dipantai terbuka, jauh dari muara sungai (estuari) Terbuka kena ombak Diperairan jernih, perairan dangkal, kedalaman 200 m; sangat peka kekeruhan,

2) Pantai berbatu 3) Terumbu karang

Rekreasi Konservasi Pariwisata Perikanan Perlindungan pantai, pulau-

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

5
kenaikan suhu, pencemaran, sedimentasi; Jika terumbu karang hidup sehat meluas, pertanda banyak ikan tuna. Terdapat diantara terumbu karang dan mangrove (bakau) udang, penyu, biota laut lain, rumput laut pulau kecil dari gelombang besar dan kenaikan muka laut. penggundulan vegetasi di darat

4) Padang lamun rumput laut

5) Pantai berlumpur

6) Estuari/delta

Terdapat disekitar muara sungai (estuari), atau delta-delta Pertemuan air tawar dan laut (perairan payau) Terdapat disekitar muara sungai, tempat berlumpur, bau sulfur, perangkap debris sampah, kaya nutrisi, pencegah erosi, pelindung pantai Sepenuhnya mangrove atau didominasi tumbuhan nipah

7) Mangrove (hutan bakau)

8) Hutan rawa pasang surut

9) Laguna

Agak tertutup, sedikit terbuka, jalan masuk dari laut dapat berubahubah Terdiri dari gosong karang, pulau karang muncul, atol, vulkanik; pulau benua; Ukuran luas kurang dari 2000 km2. Jumlah seluruh Indonesia > 17000

10) Pulau-Pulau Kecil

Jika terumbu karang rusak, pertanda akan TUNA IKAN . Sangat produktif, Sumber makanan, Tangkapan ikan tempat berbiak, farmasi, kosmetik, berlebih, tumbuh, industri biotek perusakan karang berlindung ikan, dan sumber energi dan mangrove, udang, kepiting biofuel. pencemaran dan biota laut minyak, lain, kaya nutrisi sedimentasi alami Produktivitas Konservasi Perusakan biologis tinggi, habitat, kaya siklus pencemaran nutrisi. minyak. Sangat produktif, Jalur pelayaran, Sampah, kaya nutrisi, Akuakultur, Pencemaran berbiak ikan, Perikanan Banjir, udang, kepiting, tradisionil Sedimentasi. Kaya udang, Sumber kayu Tumpahan kepiting, udang; untuk konstruksi, minyak, tempat beberapa reklamasi lahan, Pestisida-pupuk mamalia, reptil, akuakultur, dari pertanian, burung; produksi pariwisata, Pembabatan kayu primer sangat industri biotek mangrove, tinggi dan perlindungan Pembukaan bentuk pantai tambak berlebihan Siklus nutrisi Sumber kayu, Tumpahan tinggi, tempat rumah tradisional. minyak makan ikan, Reklamasi lahan Pestisida-pupuk udang, kepting basah, tempat berlebih dari saat pasang naik. akuakultur dan pertanian, Perangkap sumber gula atau Pembabatan sedimen bioethanol nipah/bakau Produktivitas Pariwisata, Pencemaran ikan, udang, Navigasi, kepiting, tempat Tangkap ikan, berbiak secara Budidaya. alami biota laut lain Masing-masing Pariwisata Air tanah minim, pulau dianggap Pemukiman intrusi air laut; mempunyai Stasiun pengamat limbah; ekosistem unik. Pertanian penduduk padat; subsisten Penebangan Marikultur vegetasi, Sumber Pemanasan bioindustri masa Global, depan, termasuk lenyapnya pulau-

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

6
ragam pulau-pulau. biofood & biofuel. pulau kecil akibat kenaikan muka laut 15-19 mm/tahun.

Informasi ekologis dalam tabel diatas menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut dangkal (perairan teritorial) dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang paling produktif karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat rentan dari dampak degradasi akibat aktifitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut Zona Ekonomi Ekslusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas perairan dangkal. Illustrasi dibawah ini menunjukan interaksi dampak kegiatan buatan manusia atau alam di wilayah pesisir:

Upstream Development
Coastal Development Deforestation Agriculture Development Soil erosion Landslide Overuse of pesticide & fertilizer Eutrophication of river water Deterioration of river ecosystem Pollution of coastal water Loss of soil Sedimentation on river bed

Land

KONFLIK

Generate Domestic waste Industrial waste Deterioration of river water quality

KEKOSONGAN HUKUM
Damage of structure on land

KERUSAKAN HABITAT EROSI


Construction of aquafarm Deforestation of Mangrove forest Disappearance of mangrove forest Deterioration & Disappearance of Coral Reef Deterioration of Coastal Ecosystem Decreasing fishery resources Deterioration and destruction of coral reef Overfishing Dynamite fishing Ilegal fishing Inappropriate fishing Use chemicals Dredging/ Reclamation

BANJIR

PENCEMARAN

Beach erosion

Coral/Sand Mining

OVERFISHING

Sea

Oil pollution Oil spill Accident of vessel Oil spill from vessel

SEA LEVEL RISE TSUNAMI BADAI


Oil spill from chemicals plant

(Subandono, 2001)

Keterkaitan Dampak Kegiatan Manusia dan Alam dengan Ekosistem Pesisir

Gambar 1. Keterkaitan Dampak Kegiatan Manusia dan Alam dengan Ekosistem Pesisir 3. Mengapa Pendekatan Ekosistem (ecosystem approach) dalam Pengelolaan? Keberadaan ekosistem-ekosistem yang sehat pasti akan menghasilkan jasa-jasa ekosistem. Indikasi ini sesungguhnya mengandung komponen-komponen jasa yang diperlukan untuk berpenghidupan manusia dan mahluk lainnya di wilayah pesisir. Sehingga jasa-jasa ekosistem itu dapat menjadi motor penggerak keberlanjutan kegiatan ekonomi masyarakat. Jasa-jasa ekosistem sehat yang dapat diperoleh masyarakat (dalam Millennium Ecosystem Assessment, 2005), meliputi: Keamanan dalam hal kenyamanan individu masyarakat karena makanan tercukupi; akses terpenuhi untuk memperoleh sumberdaya hayati laut; aman dari bencana karena lingkungan disekitarnya tidak rusak.
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

7 Kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi untuk berpenghidupan, misalnya mata pencaharian mudah karena ikan melimpah; makanan bergizi terpenuhi; pemukiman sehat; akses mudah untuk mendapatkan barang-barang yang diperlukan; Kondisi kesehatan masyarakat baik, kuat, sehat, mudah mendapatkan air dan udara bersih; Hubungan sosial baik, saling menghormati dan mempunyai kemampuan saling membantu satu dengan lainnya.

Pertanyaan, mengapa memilih Pendekatan Ekosistem?, karena dalam konsepsi dasar ekosistem yang sudah dipaparkan diatas, di dalam kompleksitas itu tergambar proses interaksi, interkoneksi, jejaring, dinamik, adaptif, kolaboratif, dalam suatu area geografik dengan multifaktor eksternal/internal yang terkait. Oleh karena itu paradigma pengelolaan sumberdaya pesisir-laut ke depan harus berubah ke pendekatan ekosistem (NOAA, 2006; UN 2007). Perubahan paradigma itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Paradigma Sekarang Dalam Pengelolaan Individual Spesies Skala & Perspektif Sempit/Terbatas Manusia Independen dari Ekosistem Disconnected Pengelolaan SD Survei-Observasi untuk Pemanfaatan Tunggal Keputusan Tidak Selalu Didasarkan Observasi Saintifik Pendekatan Disiplin Terbatas/ Sektoral

Paradigma ke Depan (Pendekatan Ekosistem) Multi Spesies (beranekaragam) Skala & Perspektif Luas Manusia Bagian Integral dari Ekosistem Integrated Pengelolaan SD Survei-Observasi untuk Berbagi Pemanfaatan Pengelolaan Adaptif Didasarkan Observasi Saintifik Pendekatan Multi-Disiplin
(al.ekologi, ekonomi,enjiniring, sosiologi)

Gambar 2. Perbandingan antara Paradigma Pengelolaan Saat ini dengan Pengelolaan Berdasarkan Pendekatan Ekosistem.

Indikator kunci pengelolaan pendekatan ekosistem adalah membangun keberlanjutan keseimbangan ekologis dan sosio-ekonomi. Pendekatan ini menjadi prinsip dasar pemandu dalam strategi perencanaan untuk wilayah Pesisir dan PPK. Pemangku kepentingan terlibat secara kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi mereka akan bermanfaat dan dapat mengerti dan memprediksi adaptasi pengelolaan ke depan. Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dinyatakan sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam, yang mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, bahwa sesungguhnya para ekolog membutuhkan ekonom/enjinir, tidak lain bermaksud bersama-sama untuk

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

8 melindungi fungsi sistem alam (ekosistem) untuk secara terus menerus menghasilkan jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/enjinir senantiasa membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya alam (ekosistem) maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem (wilayah) itu, yang tentu berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Kedua pandangan ini dapat dianalogikan sebagai suatu potret perpaduan pandangan Charles Darwin (ekolog) Adam Smith (ekonom). 4. Terobosan Inovasi Kebijakan Langsung ke Desa Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Perlunya suatu terobosan inovasi kebijakan yang berwawasan pendekatan ekosistem, karena kita dihadapkan pada suatu tantangan berat terhadap kenyataan permasalahanpermasalahan di wilayah ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagai berikut: Permasalahan lingkungan (ekologi): Perubahan iklim dunia (global climate change); Ekosistem-ekosistem yang rapuh (fragile ecosystems); Erosi tanah, degradasi kualitas lahan karena pencemaran; Terbatasnya sumberdaya air tawar, Limbah yang tidak diolah dan langsung dibuang ke lingkungan, Permasalahan kritis pada kesehatan masyarakat. Permasalahan ekonomi: Pertanian dan perikanan yang subsisten, Kapasitas teknologi kurang, Infrastruktur dan pemukiman yang tidak memadai, Sangat tergantung dari mendatangkan barang dari luar, Kurang akses pasar, Umumnya kurang kemampuan finansial. Permasalahan sosial: Kurang SDM berkualitas karena kebanyakan kurang berpendidikan, Kurang kemapuan, kapasitas institusi, Mudah terjadi ketegangan sosial, Tata kelola kelembagaan lemah, Jejaring masyarakat lemah, Kurang inovasi budaya. Permasalahan-permasalahan diatas tidak dapat diabaikan (ignored). Catatan pengalaman buruk telah terjadi yakni lepasnya Pulau Sipadan dan P.Ligitan dari NKRI pada tahun 2004.Oleh karena itu, tantangan berat dihadapan kita adalah bagaimana memperbaiki untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, misalnya melalui: Program peningkatan basis ekonomi lokal, Program peningkatan produktivitas yang teritegrasi secara ekologis, mengurangi kemiskinan dan tetap memperhatikan isu pendidikan dan kesehatan. Terobosan inovasi kebijakan itu adalah sesuatu hal penting dan mendesak, dari pusat ke daerah yang difokuskan langsung pada tingkat Desa Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Program pembangunan pada sector-sektor pemerintahan harus terintegrasi, terencana, berkesinambungan dan terukur pemberdayaannya, dapat diwujudkan melalui pelaksanaan amanat UU OTDA No 22/1999, dengan cara memperbanyak program percontohan Tugas Pembantuan Pemerintah langsung ke Desa-Desa Pesisir dan PPK, yang
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

9 tersebar pada hampir 500 Kabupaten di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan jumlah dan kualitas hidup nelayan. 5. Beberapa Informasi Bermanfaat Tentang Potensi Ekonomi Sumberdaya Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tabel dibawah ini memberikan informasi tentang perkiraan kasar Global Economic Values of Annual Ecosystem Services (Costanza et al. 1997): Tabel 2. Perbandingan Nilai Ekonomi Rata-rata yang dihasilkan oleh Beberapa Tipe Ekosistem Type of Ecosystem Value per Ha ($US/year) 22, 832 19,580 19,004 9,990 8,498 6,075 2,007 Global Value (Billion $US/year) 4,100 3,231 3,801 1,648 1,700 375 3,813

Main Service Nutrient cycling Water supply, disturbance Nurient cycling, Food Waste treatment, disturbance Water regulation Recreation Climate regulation, Nutrient cycling, raw materials Nutrient cycling Climate regulation, nutrient cycling Nutrient cycling Waste treatment Food 1,925 million Ha 743 million Ha 1,640 million Ha 332 million Ha

Estuaries Swamps/Floodplains Seagrass/Algae Beds Mangroves/ Tidal Marsh Lake, Rivers Coral Reefs Tropical Forests

Coastal Shelf Temperate Forest Open Oceans Grass/Rangeland Cropland Desert Tundra Ice Rock Urban

1,610 302 252 232 92 -

4,283 894 8,381 906 128 -

Tabel 3. Perkiraan Nilai Ekonomi Sumberdaya Perikanan Indonesia (PKSPL IPB, 2007): Komoditi Perikanan Tangkap Laut Tangkap Perairan Umum Budidaya Laut (Mariculture) Budidaya Tambak Budidaya Air Tawar Industri Biotek Laut Total Nilai Potensi (Ton/Tahun) 5.006 356 46.700 1.000 1.039 Perkiraan Nilai (US$ Juta/Tahun) 15.101 1.068 46.700 10.000 5.195 4.000 82.064

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

10 Total Nilai sumberdaya hayati perikanan Indonesia sekitar US$ 82 Milyar per tahun dengan jumlah tenaga yang dapat diserap sekitar 10 juta orang per tahun, termasuk yang bekerja pada industri-industri maritim, migas dan perhubungan. Adapun data nelayan murni Indonesia sekitar 1,96 juta orang (DKP,2007). Data nelayan murni ini kurang dari 1% dari total penduduk Indonesia, keadaan ini belum menunjukkan bahwa negara ini adalah Negara Kelautan. Luas wilayah perairan nasional sebagai Negara Kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (diratifikasi Indonesia dengan UU No 17/1985) adalah mencapai 5,9 juta km persegi. Jumlah tersebut terdiri dari 3,2 juta km persegi sebagai perairan teritorial dan 2,7 juta km persegi sebagai perairan Zona Ekonomi Eksklusif. Sedangkan luas daratan pulau sekitar 1,9 juta km persegi, dengan jumlah pulau-pulau 17.508. Namun jumlah pulaupulau itu akan berkurang drastis, sebagai konsekuensi adanya penertibkan administrasi pengidentifikasian pulau-pulau kecil dan toponim (penamaan pulau) yang belum selesai untuk seluruh Indonesia (Alex Retraubun, Dirjen PPPK-DKP, Kompas 6-06-2009). Dari data LIPI, terdapat luas ekosistem terumbu karang di Indonesia sekitar 85.700 hektar. Perhitungan kasar dapat ditaksir potensi wisata laut pada ekosistem ini mencapai US$ 520,6 Juta per-tahun. Terumbu karang di Perairan Nusantara ini mencakup fringing reef seluas 14.542 km persegi; barrier reefs (50.223 km persegi); oceanic platform reefs (1.402 km persegi) dan atolls (19.540 km persegi). Pada World Ocean Conference (WOC) di Manado 2009, menyebutnya Perairan Nusantara (terutama di Wilayah Indonesia Timur) sebagai Coral Triangle of the World, karena terdapat biodiversitas karang 500-600 spesies, terbesar di dunia. Sehingga di wilayah perairan ini menjadi pusat produktivitas ikan tuna dunia. Kalau ekosistem karang ini rusak, maka yang terjadi adalah akan tertinggal simbol TUNA IKAN. Selanjutnya, luas perairan dangkal nasional yang cocok untuk budidaya laut (rumput laut, ikan kerapu, kakap, baronang, kerang) sekitar 24,5 juta ha (DKP, 2002). Jika ditaksir kasar berdasarkan nilai yang dihitung oleh Costanza et al. (1997), maka dapat diperkirakan potensi nilai ekonomi ekosistem perairan tersebut (as coastal shelf) adalah sekitar US$ 39,4 Milyar per-tahun. Potensi migas nasional misalnya, diperkirakan menyimpan potensi kandungan 84,48 miliar barrel minyak yang terdapat dalam 60 cekungan migas dimana 40 cekungan berada di off-shore dan 14 cekungan di pesisir (Kompas: 19-11-2003). Nilai ekonomi ekosistem perairan laut nasional yang telah digambarkan diatas jika itu dikelola dengan falsafah pendekatan ekosistem, yang terintegrasi dari darat ke laut, sungguh peluang kekuatan ekonomi yang amat besar bagi pembangunan kesejahteraan Bangsa Indonesia. 6. Peningkatan SDM Terdidik Cinta Ekosistem Laut Sebagai Kunci Sukses Mengisi Visi/Misi Pembangunan Nasional Berkelanjutan Mengambil makna Pepatah Cina: If you are planning for a year, plant rice If you are planning for a decade, plant trees If you are planning for a lifetime, educate people. ITB sebagai lembaga pendidikan Ilmu Pengetahuan-Teknologi-Seni dan Manajemen terkemuka di Indonesia adalah menjadi tugas dan kewajiban terkemuka pula dalam
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

11 membuktikan baktinya terus berkarya mendidik mahasiswa, meneliti dan turut memberdayakan masyarakat, membangun karakter hidup kerja cinta ekosistem laut dengan falsafah pengelolaan ekosistem. Adapun karakter hidup kerja yang menjiwai falsafah ecosystem approach to management (Anonim, 1998; Wade & Webber, 2002; UN 2007)) adalah : Desentralisasi pemecahan masalah, Terbuka menerima masukan (feedback) dari semua level, Berani mengambil keputusan karena dukungan partisipasi masyarakat, Berkehendak kuat melakukan revisi, revisit dan menyatakan salah jika ada kekeliruan; Berbagi visi/misi untuk melindungi dan terus menerus memperbaiki fungsi ekosistem untuk anak cucu. Pengelolaan melintas batas administratif pemerintahan dapat terjadi, karena masyarakat menikmati manfaatnya secara luas, Terbuka untuk bermitra dalam pengelolaan. Dari uraian yang telah dikemukakan dari awal tulisan ini, secara umum dapat dinyatakan bahwa bisa terjadi perbedaan pengertian yang sangat prinsip dimana-mana pada setiap daerah karena perbedaan penggunaan terminologi dalam perUndang-Undangan RI dan Peraturan Pemerintah, sehingga berimplikasi multitafsir menterjemahkan dalam Peraturan-Peraturan Daerah, dapat berakibat fatal timbul konflik, tidak konsisten pada implementasi antar daerah, karena faktor kapasitas kompetensi SDM, terutama pada level Pemerintahan Daerah ke Desa/Kelurahan, sehingga tentu berimplikasi terhadap sukses tidaknya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Ditambah faktor ego sektoral dan secara intrinsik birokrsai panjang di pemerintahan, mulai dari Pusat sampai ke Desa dapat berakibat lebih fatal lagi. Faktor ini sesungguhnya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dari suatu pendekatan ekosistem, yang berfilosofi sistem kerja berinteraksi, berintegrasi, berinterkoneksi, berjejaring (networking), bersimbiosis, dalam 4 dimensi (ekologi+ekonomi+sosial+ waktu), yang dapat menghasilkan jasa-jasa ekosistem bernilai tinggi (direct and indirect values) yang akan bermanfaat bagi peningkatan kualitas berpenghidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup lain di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Sebagai usulan strategis untuk membantu mengintegrasikan pengelolaan (perencanaan, koordinasi, implementasi program, pemantauan, pengawasan, reward dan punishment), dari tingkat nasional sampai ke wilayah tingkat desa, adalah sangat urgen diperlukan suatu integrasi informasi (dalam bentuk SIG) yang kontennya dimasukan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Informasi mudah diakses, mudah diupdate setiap saat, mudah dipantau/diawasi, sekaligus membuktikan bahwa Sistem Informasi Ekosistem Nasional memang berfungsi.

7. Contoh Hasil Observasi Kenaikan Muka Air Laut Dalam Studi Indeks Kerentanan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil, Studi Kasus di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (DKP-ITB, 2008). Dalam studi pertama Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (IK-PPK) terhadap kenaikan muka laut, dimasukkan 8 parameter, yakni:
*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

12 Geomorfologi pembentukan pulau-pulau kecil, Tutupan vegetasi, Tutupan terumbu karang hidup, Tipologi pantai, Laju Kenaikan muka laut, Significant wave height (bukan mean wave height), Mean tidal range (rata-rata pasut), Kepadatan penduduk.

Dari parameter tersebut kemudian ditetapkan skor dari 1 hingga 5 yang menunjukkan tingkat kerentanan. Dari indeks tersebut dapat diketahui pulau-pulau yang memiliki kerentanan tinggi, dapat dilakukan pemantauan, rencana mitigasi dan adaptasinya. Sebelum itu telah dilakukan studi pendahuluan oleh Kosasih Prijatna et al.(2006), Kelompok Keilmuan Geodesi ITB, telah menunjukkan hasil observasi kecepatan kenaikan muka laut di beberapa wilayah perairan laut di Indonesia, hasilnya ialah di Perairan Laut Jawa naik rata-rata 15 millimeter per-tahun, sedangkan di Laut Timur dan Sulawesi 19 mm dan 16 mm per-tahun. Di Laut Cina Selatan rata-rata 17 mm per-tahun (lihat Gambar). Menurut Alex SW. Retraubun (Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan & Perikanan), pulau bertipe daratan rendah merupakan yang paling terancam lenyap akibat kenaikan muka laut. Ketinggian daratan pulau bertipe ini hanya berkisar satu meter. Di Indonesia yang bertipe seperti Kepulaun Seribu sangat banyak seperti Kepulauan Sumenep, Kepulauan Aru, Kepulauan Selayar; diperkirakan sekitar 3000 pulau, bakal lenyap akibat kenaikan muka laut (Kompas: 01-05-2009).

m/yr
Gambar 2. Kecepatan Kenaikan Muka Muka Laut di Wilayah Perairan Indonesia berdasarkan data TOPEX dan Jason-1 Perioda 1992-2005, (Prijatna et al, 2006)

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

13

Formulasi Gornitz dan Pengembangannya


MAX
PRAMUKA PANGGAN G

Indeks Kerentanan

MEAN
KOTOK
SEBARU

PANGGANG PRAMUKA MEAN KOTOK SEBARU

MIN

Hasil Perkalian 8 Parameter

Gornitz

Studi DKP-ITB, 2008

Gambar 3 Pengembangan Formulasi Gornitz (1997) untuk Studi Kasus Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Pengembangan Formula Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Kenaikan Muka Laut (dalam Studi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global (DKP-ITB, 2008)

MITIGASI PPK KEPULAUAN SERIBU

INDIKATOR RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PPK KEPULAUAN SERIBU RENCANA STRATEGIS ADAPTASI TANGGAP DARURAT

Gambar 4 Model Simulasi dan Mitigasi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Peta Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Kenaikan Muka Laut (dalam Studi Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global (DKP-ITB, 2008)

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

14 8. Contoh Prospek Teknologi untuk Pemberdayaan Ekonomi Desa Pesisir: 1. Penggunan SIG untuk perencanaan dan pengelolaa kawasan budidaya tambak di wilayah pesisir dengan pendekatan ekosistem. Pola Distribusi Produksi Tambak Tradisional Skala Kawasan Di Kabupaten Serang, Banten dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis (2009), Oleh Arif Supendi, Thesis Magister Biomanajemen SITH ITB (Pembimbing : Dr. Noorsalam R. Nganro & Dr. Akhmad Riqqi)
Visualisasi Pola Distribusi Produksi Tambak Tradisional Skala Kawasan di kabupaten Serang, Banten Berdasarkan Skor Ekologi Skala Wilayah
Rangking A B C Interval skor Ekologi Skala Wilayah 0,01319 s.d. 0,01889 -0,00226 s.d. 0,01319 -0,05598 s.d. -0,00226 Keterangan Baik Menengah Kurang baik Produksi Tambak (Ton/Ha/Tahun) >1 0,5 1 < 0,5 Luas (Ha) 1.788 1.816 4.284

Kriteria yang mempengaruhi : 1. 2. Tata guna lahan pada unit lahan Tata guna lahan pada Daerah Aliran Sungai

Tirtayasa Tanara Keramatwatu Kasemen Pontang

Gambar 5. Contoh Aplikasi Berbasis SIG dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir di Kabupaten Serang. 2. Teknologi Zero-Waste Discharge Budidaya Benih Ikan Laut di Wilayah Pesisir Pengembangan Sistem Resirkulasi untuk Pembenihan Ikan Kakak Putih (Lates calcarifer Bloch) pada Tahap Post Weaning (2009), Oleh Tinggal Hermawan, Thesis Magister Biomanajemen SITH ITB (Pembimbing: Dr.Gede Suantika).

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

15

Gambar 7. Rancangan Sistem Teknologi Akuakultur dengan Menggunakan Resirkulasi.

Gambar 8. Contoh Aplikasi Teknologi Akuakultur yang lebih Ramah Lingkungan dengan menggunakan Resirkulasi.

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

16

Gambar 9. Perbandingan Nilai Ekonomi antara Sistem Tradisional dengan Sistem Resirkulasi. Prospek analisis usaha dengan menggunakan sistem resirkulasi ini pada pembenihan ikan kakap mencapai Benefit/Cost rasio 2,64. Sedangkan dengan sistem Flow Through, hanya mencapai B/C rasio 1,35. Sistem terakhir ini masih kebanyakan digunakan sekarang. I. Penutup NKRI adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan Negara Kepulauan (An Archipelagos State) yang diakuli oleh PBB. Berdasarkan pada falsafah konsep ekosistem, maka NKRI merupakan suatu kesatuan interkoneksi ekosistem kepulauan tropis Indonesia, yang terdiri dari lebih sepuluh ribu (17.506?) anekaragam pulau-pulau (sebagai simbol sejarah kulturalnya yaitu TANAH dari pendiri NKRI), yang terintegrasi kuat dengan Perairan Teritorial dan Perairan Zona Ekonomi Eksklusif (sebagai simbol kulturalnya AIR). Sehingga dalam pengelolaannya untuk Pembangunan Nasional, sangat urgen memerlukan suatu falsafah dasar dalam strategi perencanaan, yakni paling sedikit dapat mengadopsi Tujuh Pilar Utama Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PPK). Ketujuh pilar itu (dalam NOAA, 2002) adalah, sebagai berikut: 1. Merefleksikan suatu tahapan berkesinambungan pada evolusi nilai-nilai sosial budaya masyarakatnya; 2. Menentukan lokasi/kawasan dan batas-batas ekosistemnya yang jelas dan resmi, sehingga disepakati dan diakui bersama antara pemerintah dan masyarakat (pemangku kepentingan);

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

17 3. Keharusan menjaga ekosistem-ekosistemnya pada kondisi yang tepatguna untuk mencapai kemanfaatannya secara berkelanjutan bagi masyarakat; 4. Keharusan mengambil pembelajaran dari kemampuan ekosistem untuk merespon variasi cekaman, karena semua macam ekosistem mempunyai keterbatasan kemapuan untuk mengakomodasi bermacam-macam cekaman; 5. Selalu ditekankan dalam pengeloaan untuk tidak merusak sumberdaya biodivesitas; 6. Istilah berkelanjutan yang digunakan pada semua level pengelolaan ekosistem harus jelas didefinisikan dengan spesifik, dalam jangka waktu panjang yang disepakati, termasuk manfaat keuntungan yang dapat diperoleh dan kemungkinan kerugian yang ditimbulkan; 7. Informasi saintifik multi-disiplin (anatara lain : ekologi, ekonomi, enjiniring, sosiologi) adalah sangat penting untuk memperkuat efektifitas pengelolaan, sebagai ketentuan fundamental memperkuat pengambilan keputusan untuk kepentingan publik dan atau pilihan privat. Pelaksanaan amanat UU OTDA No. 22/1999 dengan cara memperbanyak program percontohan Tugas Pembantuan Pemerintah langsung ke Desa-Desa Pesisir & PPK, yang tersebar pada hampir 500 Kabupaten di seluruh Indonesia adalah merupakan bukti nyata terobosan inovasi kebijakan pemerintah untuk Pembangunan Kepulauan NKRI, untuk meningkatkan kualitas hidup nelayan pesisir dan jumlah mereka sebagai nelayan profesional. Data DKP 2007, menunjukkan jumlah nelayan murni masih kurang 1 % dari total penduduk Indonesia. Jumlah ini belum menunjukkan sebagai negara kelautan. Perlunya koreksi penggunaan terminologi yang tidak multitafsir dalam perUndangUndangan RI, Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan-Peraturan Daerah (PERDA) terkait pengelolaan pesisir dan PPK. Hal in untuk mencegah meluasnya konsekuensi fatal yang akan terjadi seperti timbul konflik, tidak konsisten dalam pelaksanaan PERDA antar daerah, karena faktor kapasitas dan kompetensi SDM, ditambah faktor ego sektoral yang secara intrinsik birokrasi panjang dari pusat, provinsi, kabupaten sampai ke desa/kelurahan. Oleh karena itu akan berimplikasi kedepan sukses tidaknya pengelolaan pesisir dan PPK di Indonesia. Falsafah pendekatan ekosistem lebih tepat digunakan untuk menjiwai peraturan perundangundangan kita sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan dan sudah terbukti luas diadopsi secara internasional, karena merupakan falsafah induk dengan perspektif lebih luas, saintifik terukur-terprediksi untuk menggambarkan tentang dinamika sub-sistem lingkungan hidup, ruang, wilayah, kawasan, zona, karena cakupan pendekatan ekosistem disyaratkan multidsiplin meliputi interaksi dimensi ekologi, ekonomi/enjiniring, sosial, dalam dimensi waktu di wilayah pesisir dan PPK. Indikator kunci pengelolaan pendekatan ekosistem adalah membangun keberlanjutan keseimbangan fungsi ekologis dan sosial-ekonomi. Pendekatan ini dapat menjadi prinsip dasar pemandu dalam strategi perencanaan. Pemangku kepentingan di wilayah darat sampai ke laut pesisir dan PPK akan terlibat secara kolaboratif dalam perencanaan, sehingga bagi mereka akan bermanfaat dan dapat mengerti untuk ikut serta memprediksi strategi adaptasi dalam pengelolaan ekosistem ke depan. Akhirnya kita semua sebagai anak bangsa menjadi kewajiban kita turut berkontribusi untuk mengelola, memelihara, dan melindungi EKOSISTEM TANAH-AIR-INDONESIA dalam SPIRIT BHINNEKA TUNGGAL IKA dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat (amanat Pasal 33, ayat 3, UUD 1945).

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

18

Referensi:
1. Anonim, 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Departemen Dalam Negeri RI, Dirjen Pembangunan Daerah BCEOM, French Consulting Group. 2. Bass, S & B.Dalal-Clayton, 1995. Small Island States and Sustainable Development: Strategic Issues and Experience. Environmental Planning Issues, No.8, 1995. 3. Costanza, R., J.Cumbeland, T. Maxwell, 1997. An Introduction to Ecological Economics. St.Lucie, Boca Raton, Florida. 4. Holling, C.S., 2001 Understanding the Complexity of Economic, Ecological, and Sosial Systems. Ecosystem (2001) 4, 390-405. 5. Millennium Ecosystem Assessment Synthesis Report, 2005. www.millenniumassessment.org 6. Nganro, N.R., K. Prijatna, A.Riqqi, M.Ariebowo, Prihadi, A.B.Wospodo, 2008. Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Pemanasan Global. Laporan Kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan RI LAPI ITB. 7. NOAAS Ecosystem Approach To Management, by J.H.Dunnigan, 2006. NOS Science Seminar. http://ecosystems.noaa.gov/ 8. Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. 9. Patterson, T., T.Gulden, K.Cousin, & E. Kraev, 2004. Integrating Environmental, Social and Economic System: A Dynamic Model of Tourism in Dominica. Ecological Modeling 175 (2004) 121-136. 10. Pinede, J., 2006. NOAA Ecosystem Program. 11. PKSPL-IPB, 2007. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Perairan. Disampaikan oleh L.Adrianto & Y.Wahyudin, pada Seminar Kelautan di Makassar 7-8 Juni 2007. 12. Prijatna, K., K. Wikantika, B. Setyadji, D. Darmawan, F. Hadi, & S.L. Nurmaulia (2006) : Studi Karakteristik Kenaikan Muka Laut Perairan Indonesia dalam Periode 1992-2006 dengan Teknik Satelit Altimetri. Laporan Riset KK-ITB 2006. 13. Retraubun, A.W., N.R.Nganro, A.B.Wospodo, K.Prijatna, A.Riqqi, & M.Ariebowo, 2008. Indeks Kerentanan Pulau-Pulau Kecil, Manual Perangkat Lunak. DKP-ITB 14. Retraubun, A.W. (2009). Negara Kepualauan, Mengidentifikasi Pulau. Kompas 6 Juli 2009, hal 14. 15. Riqqi, A. & N.R.Nganro (2001). Prototipe Pemanfaatan SIG untuk Pengelolaan Kawasan Tambak (studi Kasus: Kabupaten Serang). Dokumen Ilmiah di Perpustakaan Geodesi FITB ITB. 16. Shewchuck, M., 2007. Developing An Ecosystem Approach. United Nations. 17. Trefi, J. & R.M. Hazen, 2007 (Eds). The Science: An Integrated Approach. Hohn Wiley & Sons, Inc. 18. United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLS), 1982. 19. US Environmental Protection Agency, 2002. Seven Pillars Ecosystem Managements. Landscape and Urban Planning 40 (1-3):21-30b by R.T. Lackey. http://oregonstate.edu/dep/fw/lackey/RecentPublication.html 20. UU RI No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 21. UU No 22/1999 Tentang Otonomi Daerah. 22. UU RI No.26/2007 Tentang Penataan Ruang. 23. UU RI No.27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 24. Wade,B. & D.Webber, 2002. Coastal Zone Management in Natural Resource Management for Sustainable Development, by Ivan Goodbody & Elizabeth Thomas, 427-481. Kingstone, Canoe Press.

*****NRN-GS-SITH-ITB, 2009****

You might also like