You are on page 1of 2

SEPANJANG tahun 2011 di Indonesia tidak ada kemajuan yang berarti dalam penegakan HAM beserta jaminan perlindungan

terhadap hak hak dasar manusia. Baik ditinjau dari perspektif hak sipil dan politik maupun ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan di sejumlah kasus, faktanya justru cenderung berkebalikan, yakni terjadi kemunduran secara sistematis akibat faktor-faktor yang kian kompleks. Terutama faktor yang bersumber pada belum sepenuhnya negara menampakkan komitmentnya yang tegas terhadap jaminan perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM. Indikator paling nampak dari itu semua adalah, kian tak terselesaikannya hutang-hutang penuntasan pelanggaran HAM di masa lalu. Di sisi lain kian terus panjangnya deretan pelanggaran HAM oleh negara dari waktu ke waktu. Begitu cepatnya peristiwa peristiwa yang belum dipertanggung-jawabkan menjelma menjadi fakta gelap, sementara pelanggaran HAM di berbagai wilayah menunjukkan angka yang terus bertambah. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif terkait dengan modus pelanggaran HAM itu sendiri. Sementara itu sejumlah institusi yang langsung maupun tidak memiliki tanggung-jawab fungsionalnya di bidang perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM seperti mengalami kegagapan dalam menerjemahkan peran dan fungsinya. Baik yang termasuk kategori lembaga struktural dalam berbagai fungsi negara, maupun non struktural yang hadir melalui bentuk bentuk komisi. Akibatnya, kondisi perlindungan, pemenuhan dan penegakan HAM di Indonesia justru semakin mundur, ruwet dan jauh dari upaya penuntasannya di tengah begitu banyaknya agenda, kebijakan, sumberdana, fungsi-fungsi kelembagaan negara di semua level fungsionalnya, hingga komisi-komisi yang langsung maupun tidak bersinggungan dengan perkara Hak Asasi Manusia. Untuk menyebut beberapa saja pelanggaran HAM yang menonjol dan terjadi di tahun 2011 maupun yang tak pernah terselesaikan hingga tahun 2011. Ini setidaknya untuk membantu menyegarkan ingatan kita: Hak SiPol: 1. 184 kali penyerangan sepanjang Januari Agustus 2011 terhadap penganut Ahmadiyah. Termasuk tragedi Cikeusik. 2. Berbagai fakta pembiaran penyerangan yang dilakukan organisasi organisasi milisi oleh aparat Negara dan atau aparat penegak hukum 3. Penyerangan Kongres Rakyat Papua III di Papua di mana lebih 300 orang ditangkap, 6 orang menjadi tersangka makar, 9 orang terluka dan 3 orang meninggal 4. Kasus GKI Taman Yasmin Bogor yang justru kian rumit oleh perlakuan sektor Negara 5. Kasus-kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang masih berlangsung oleh Kepolisian di enam (enam) wilayah PBHI sebagai pilot program monitoring hak tersangka terdakwa (PBHI Yogyakarta, PBHI Sulsel, PBHI Jakarta, PBHI Jawa Tengah, PBHI Sumatera Barat, PBHI Kalbar) 6. Tetap disahkannya UU Intelijen sebagai UU yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM 7. Di berbagai wilayah masih diberlakukan Perda Tibum yang menjadi alat legal Satpol PP dan Pemerintah Daerah untuk melakukan penangkapan dan tindakan di luar kewenangan perundangan

8. Tidak adanya perlindungan kebebasan berserikat sebagaimana dialami oleh SP Gesburi (Serikat Buruh Gerakan Serikat Buruh Ina) SP Indosiar. 9. Tunggakan kasus-kasus lama yang masih menjadi pekerjaan Negara dalam penuntasannya seperti pembantaian 65, kasus Trisakti, Semanggi I/II, Munir, Udin dll. 10.Praktik impunitas tidak berkesudahan. Pelanggaran yang dilakukan oleh apparatus Negara, dalam hal ini polisi dan militer seringkali hanya mendapat sanksi disipliner. Hak Ekosob: 1. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan keselamatan kerja bagi para buruh migrant. 303 orang buruh migrant di beberapa negara terancam hukuman mati. 2. Masih banyaknya anak-anak yang bekerja dan upah pekerja yang jauh dari layak 3. Proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang melakukan perluasan lahan dengan membabat lahan sagu di Merauke. Ini menambah deretan panjang terampasnya hak rakyat atas pangan. 4. Di luar itu semua, tentu kepada kita selalu tersaji angka-angka fakta kian merosotnya kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kita. Atas dasar fakta-fakta tersebut di atas, pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia ke 63 tanggal 10 Desember 2011 ini, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) sebagai bagian integral dari upaya masyaraklat sipil di dalam melakukan upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM merasa perlu memberikan catatan: Pertama, kepada negara untuk segera menghentikan tradisi pencitraan dan akrobat keberhasilan pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM melalui opini yang senyatanya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di lapangan Hak Asasi Manusia. Kedua, negara melalui otoritas fungsi pemerintahan yang terkait dengan persoalan tersebut, untuk segera melakukan evaluasi secara menyeluruh di bidang pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM bersama seluruh lembaga struktural maupun non struktural yang langsung maupun tidak terkait dengan issue yang sungguh kian memprihatinkan ini. Ketiga, segera dilakukan langkah-langkah review dan perombakan secara radikal, terkait dengan berbagai aturan perundangan dan kebijakan bidang Hak Asasi Manusia yang tidak sejalan dengan prinsip prinsip HAM. Kemudian dilakukan Penyesuaian, evaluasi dan reorganisasi sejumlah lembaga non struktural (komisi komisi dan berbagai fungsi ad hoc) yang cenderung tidak efektif, overlapping dan membebani anggaran Negara. Serta secepatnya dilakukan pertanggungjawaban terbuka terhadap berbagai bentuk anggaran operasional maupun kelembagaan yang terkait dengan upaya penuntasan kasus-kasus HAM. Keempat, meninjau ulang kode etik dan peraturan disiplin internal kepolisian dan militer, untuk menjadi konsisten dengan peraturan perundangan yang berkaitan dengan traktat internasional, termasuk UU no. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi konvensi hak sipil politik, serta resolusi PBB tentang penggunaan senjata api.

You might also like