You are on page 1of 11

Bahan Kuliah I & II TPE BEBERAPA ASPEK HUKUM PIDANA EKONOMI SEBAGAI HUKUM PIDANA KHUSUS Oleh : Mas

Ahmad Yani, SH.,M.Si.

A. Hubungan Hukum dengan ekonomi Berbicara tentang hubungan hukum dengan ekonomi, sebenarnya baru mulai dibahas para ahli setelah terjadinya perang dunia kedua sampai kira- kira pertengahan tahun 1940-an. Saat itu dimulai pada tahun 1930- an pembicaraan mencakup peraturan- peraturan dibidang administrasi negara1 dengan sanksi sanksinya yang bersifat administratif. Dunia pada waktu itu memang tengah dilanda krisis ekonomi yang amat hebat (malaise), yang kemudian antara lain memicu terjadinya perang dunia kedua. Namun demikian, seiring dengan bergulirnya waktu, terutama setelah berakhirnya perang dunia kedua dan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pembahasan juga meliputi aspek hukum pidana yang kemudian kita kenal sekarang ini dengan sebutan hukum pidana ekonomi.2 Baik hukum administrasi negara (termasuk administrasi daerah) mau pun hukum pidana, keduanya merupakan kelompok hukum publik, pada dasarnya merupakan seperangkat peraturan yang membatasi kegiatan ekonomi warga masyarakat, yang selama ini telah datur dan dikembangkan melalui kaidah- kaidah hukum perdata dan atau hukum dagang yang bersifat privat dengan prinsip kebebasan berkontraknya. Sementara itu kegiatan ekonomi, secara sederhana dapat dinyatakan sebagai serangkaian kegiatan seseorang baik secara individu maupun kelompok (baik dalam suatu wilayah tertentu mau pun antar wilayah) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya, sarana dan prasarana yang ada dan terbatas jumlahnya, dengan pengorbanan yang sekecil- kecilnya.
Amirizal,Hukum Bisnis,Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia,Teori dan Praktek, Jambatan, Jakarta, 1996, hal.22. 2 Andi Hamzah,Hukum Pidana Ekonomi, Erlangga, 1996, hal.6-7.
1

Untuk menjamin bahwa kegiatan ekonomi warga masyarakat ini dapat berjalan lancar, adil, pasti dan dapat menimbulkan efisiensi di bidang ekonomi, membatasi maka perlu ada seperangkat untuk hukum yang mengatur dan kebebasan orang melaksanakan aktivitas ekonomi

(kebebasan berkontrak), baik melalui hukum administrasi negara mau pun hukum pidana (ekonomi) atau sahnya perjanjian. Pembatasan kegiatan ekonomi warga melalui hukum administrasi hukum perdata itu sendiri melalui syarat

negara dan hukum pidana itu, sebenarnya berpangkal tolak dari adanya konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) yang menempatkan hukum sebagai alat perubahan sosial (law as a tool of social engineering) sebagaimana digagas Roscoepound, yang antara lain berperan untuk mengurangi penderitaan masyarakat akibat kehidupan industri3. Konsepsi ini, terutama di negara-negara sosialis, kemudian dipahami sebagai kewajiban negara untuk secara aktif menyelenggarakan kepentingan umum. Sebaliknya, di negara- negara yang berpaham liberal/ kapitalis, kepentingankepentingan umum diserahkan kepada warga negara untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhannya sendiri.4 Ada pun di negara- negara yang tidak menganut secara tegas antara kedua sistem itu, seperti di Indonesia misalnya, yang menganut sistem ekonomi pancasila, maka dalam batas- batas dan komoditas tertentu, terutama yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, negara wajib untuk secara aktif mengendalikan dan menyelenggarakan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam pasal 33 Undang- undang Dasar 1945 yang telah diamandemen. Pembahasan tentang hubungan hukum dan ekonomi tersebut sampai dengan kira- kira pertengahan tahun 1970- an, sebenarnya masih berkisar kepada bagaimana hukum sebagai alat perubahan sosial itu dapat berperan dalam mendorong pembangunan ekonomi dalam ruang lingkup nasional (domestic). Namun, dengan adanya globalisasi ekonomi pada tahun 1990-an
Wallace Mendelson,Law and the Development of Nations, The Journal of Politics.Vol.32 (1970), hal.223. 4 Sunaryati Hartono, dalam T.Mulya Lubis:Hukum dan Ekonomi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1987,ha.,7.
3

yang ditandai dengan mulai bergulirnya era perdagangan bebas dan terbentuknya kerjasama ekonomi internasional/ regional seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA), Asian Free Trade Agreement (AFTA), Asia Pasific Aconomic (APEC), dan perdagangan bebas internasional sebagaimana dituangkan dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT), pembahasan tentang hubungan hukum dan ekonomi dari yang semula hanya berorientasi dalam ruang lingkup domestik, bergeser ke masalah- masalah globalisasi ekonomi5. Namun, sungguh pun pergeseran telah terjadi, akan tetapi peranan hukum dalam kegiatan ekonomi, baik sebelum dan setelah tahun 1970- an maupun 1990-an hingga sekarang, tetap adalah untuk mencapai certainty (kepastian), fairness(keadilan), dan efficiency berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Bahkan dalam era globalisasi sekarang ini, ketiga unsur tersebut menjadi kian bertambah penting, terutama dalam menempatkan hukum agar selain berorientasi kepada mendorong pertumbuhan ekonomi, juga dalam waktu bersamaan dapat melindungi kepentingan pihak yang lemah dari sisi negative industrialisasi. Inilah peran negara melalui aspek hukum dalam kegiatan ekonomi pada saat sekarang ini. B. Tempat dan Peran Hukum dalam Kegiatan Ekonomi. Untuk mengetahua lebih jelas tentang tempat dan peran hukum dalam kegiatan ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas, secara sederhana sebenarnya dapat dilihat dari situasi berlangsungnya suatu kegiatan ekonomi pada suatu tempat. Misalnya dalam situasi pasar tradisional. Di situ dilukiskan ada ; barang, jasa, orang- orang yang sedang beraktivitas dengan berbagai keperluan (termasuk aktivitas ekonomi), ada sarana dan prasarana dukung, seperti; jalan, saluran air, tempat usaha, gudang, moda angkut/moda transportasi, listrik, telekomunikasi, dan yang terakhir, tentu saja harus ada suatu sistem. Dalam sistem inilah hukum menempatkan diri dan berperan. Namun, tempat dan peran hukum di sini masih berorientasi domestik. Sedangkan untuk melihat peran hukum dalam kegiatan ekonomi
Erman Rajagukguk,Kebijaksanaan Pembaruan Hukum Indonesia dalam Menghadapi Globalisasi Ekonomi :Suatu Pemikiran untuk Mencapai Kepastian,keadilan dan efisiensi, Makalah, FHUGM,11 April 1995, Tanpa Penerbit, hal.2.
5

dengan orientasi global, maka tinggal mengajukan pertanyaan, bagaimana hukum negara republik Indonesia dapat menjaga situasi dan kondisi pasar tradisional itu, sehingga lebih baik dan mampu bersaing secara sehat dan adil dengan pasar- pasar modern (semacam carrefour, Giant,sogo,dlsb) yang beroperasi di Indonesia dengan sistem dan mekanisme Multy National Corporation (MNC) ? Pada peran- peran seperti bahwa di itulah, hukum menempatkan diri dalam

situasi dan kegiatan ekonomi dengan orientasi global di Indonesia. Diketahui, dalam mekanisme MNC, pasar sebagai tempat membeli dan menjual barang dan jasa, tidak lagi terbatas lokasinya di suatu tempat di dalam negeri, tapi telah meluas ke seluruh dunia. Dimensi pasar pun dalam situasi global tidak lagi mengacu pada suatu tempat tertentu, namun mengalami transformasi sistem, manjadi jaringan (network) yang mencakup seluruh aspek kegiatan; pemasaran, perdagangan dan komunikasi bisnis atau jual- beli barang dan berbagai macam jasa. Sejalan dengan hal tersebut, maka ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pengaturan kegiatan ekonomi pasar yang berskala MNC di Indonesia, yaitu aspek- aspek hukum nasional dan aspek- aspek hukum internasional yang meliputi aspek hukum asing dan aspek hukum perdata internasional. Sehingga hukum nasional kita yang terkait dengan kegiatan ekonomi akan menghasilkan suatu pendekatan hukum yang bersifat transnasional. Dari sisi inilah, peran hukum dalam kegiatan ekonomi tersebut dapat dilihat, baik dari aspek hukum perdata (termasuk hukum perdata internasional), administrasi negara dan hukum pidana. Dengan demikian, melalui ketiga aspek hukum ini, sistem hukum diharapkan dapat berperan untuk mengawal/menjaga/ dan atau menjamin agar aktivitas ekonomi yang berlangsung di tengah- tengah masyarakat berjalan lancar, aman, adil, tertib/pasti dan menimbulkan efisiensi dibidang ekonomi.

C. Kerangka Dasar Hukum Ekonomi

C.1. Asas Hukum Ekonomi Diketahui, bahwa UUD 1945 telah menyiratkan berlakunya prinsip-prinsip yang menjamin adanya hak ekonomi individu. Prinsip tersebut dapat ditemukan dalam pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 27 ayat (1) menyatakan; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Ini menunjukkan adanya kesamaan hak dan kewajiban untuk setiap warga negara dalam mematuhi hukum. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan, tiap- tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ayat ini menunjukkan adanya keseimbangan hak dalam berusaha dan atau kesinambungan hajat hidup warga negara. Dalam implementasinya, hak ekonomi individu warga negara itu, harus seimbang dengan hajat hidup dan kepentingan orang lain (umum) yang juga harus dilindungi oleh negara. Hal itu dapat dilihat dari pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Dalam ayat (2)-nya dinyatakan, bahwa cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sedangkan dalam ayat (3)-nya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan pasal 33 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945 adalah menyiratkan tentang kebersamaan hidup dan keseimbangan hidup. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pasal 27 ayat (1) dan (2) serta pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 merupakan asas hukum ekonomi yang menjadi dasar bagi pengaturan kegiatan ekonomi di Indonesia.6 Sebab, dalam ketentuan pasal- pasal ini, selain diatur persamaan hak- hak dasar warga negara, tersirat pula makna bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warganya yang lemah dari sisi ekonomi agar dalam berproses ekonomi, secara bertahap dapat
6

). Amirizal, Loc.Cit.

bersaing secara wajar dengan pengusaha atau warga negara lainnya yang lebih dahulu telah mampu berkompetisi, berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi. Hal itu dikarenakan suatu kenyataan, bahwa sampai saat ini, tingkat kemampuan ekonomi dan berusaha dari warga negara Indonesia mau pun pengusaha domestik masih beragam. Oleh karena itu, prinsip equality sebagaimana tertuang dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945, menunjuk pada adanya kebutuhan hukum dengan ukuran dan standar tertentu secara diskriminasi positif, yang memberikan perlakuan berbeda, yakni adanya pemihakan kepada pengusaha kecil dengan membatasi kekuasaan ekonomi konglomerasi/ para pengusaha besar. Pandangan tersebut, menjadi dasar dalam sistem demokrasi ekonomi Indonesia sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki perekonomian dirancang dan dibangun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan ini yang harus tercermin dalam kehidupan demokrasi ekonomi di Indonesia telah diakomodir dalam GBHN tahun 1988 bab III butir B ayat (a), paling tidak memiliki ciri- ciri berikut : Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi dari setiap warga negara

dikembangkan sepenuhnya dalam batas- batas yang tidak merugikan kepentingan umum. Fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara oleh negara. Di dalam sistem demokrasi ekonomi tersebut, tidak ada tempat bagi ciri- ciri negatif sistem ekonomi liberal. Sistem free fight liberalism hanya akan memperkuat hegemoni pemodal kuat atas pemodal yang lemah, dan eksploitasi terhadap manusia yang lemah oleh yang kuat,

baik

dari

sisi

ekonomi kelemahan

maupun secara

politik,

sehingga bagi

hanya

akan

menimbulkan

struktural

masyarakat

terpinggirkan (marginal) atau kemiskinan struktural. Sebaliknya, di dalam sistem demokrasi ekonomi dengan ciri- ciri di atas pun, sudah sepatutnya apabila sistem etatisme yang menyebabkan dominasi birokrasi yang hanya akan mematikan potensi dan daya kreasi unit- unit ekonomi dan yang hanya menghasilkan suatu kelompok kuat dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat umum, juga tidak diberi tempat. Dengan demikian, hukum ekonomi Indonesia diharapkan

berkembang ke arah adanya

kesadaran dan ketaatan bagi para

pelaku ekonomi, bahwa hak milik perorangan mempunyai fungsi sosial. Oleh karenanya, maka kewajiban sosial atas hak milik perorangan akan menjadi kewajiban hukum (rechtsplicht) dari setiap warga negara Indonesia yang pelanggarannya dapat dituntut atas dasar perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad), yang meliputi; melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum seseorang, bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kecermatan yang patut diperhatikan dalam pergaulan sosial terhadap hidup milik orang lain.

C.2. Asas Hukum Bisnis Di dalam hukum Indonesia saat ini, untuk hubungan hubungan yang meliputi bidang bisnis, lazim masih diberlakukan hukum perdata barat. Dalam kerangka ini, maka aspek hukum perjanjian yang sifatnya sangat individualistik (perorangan) itu berperan sangat penting dalam kegiatan bisnis. Hal ini disebabkan, sekali pun perjanjian itu mempunyai obyek suatu benda, namun yang diatur oleh hukum perjanjian adalah hubungan antara individu tertentu sebagai salah satu pihak (di pihak pertama), dengan individu tertentu lainnya sebagai pihak yang kedua.

Oleh karena itu, maka hak dan kewajiban yang timbul dari hukum perjanjian bersifat nisbi (tidak mutlak), karena hanya berlaku bagi mereka saja sebagai para pihak yang membuatnya. Demikian antara lain pengertian yang dapat kita tarik dari salah satu bunyi pasal 1338 KUHPerdata, yang antara lain mengatur bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah bersifat terbuka dengan asas kebebasan berkontraknya, berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam hal mana kebebasan berkontrak ini hanya berlaku dan dapat diterapkan para pihak, apabila telah memenuhi syarat- syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ketentuan pasal 1320 KUHPerdata. Sementara itu, dalam praktik- praktik bisnis dengan bangsabangsa lain, unsur asing (foreign element) akan sangat berpengaruh pada hukum nasional, terutama kaidah- kaidah dalam Hukum Perdata Internasional, seperti dalam menentukan hukum mana yang akan diberlakukan ketika terjadi perselisihan dengan pihak lawan yang merupakan pihak/ orang asing atau badan hukum asing dalam hal ini. Berkenaan seperti konsepsi dengan tentang hal tersebut, maka pemahaman dan kita titik

terhadap beberapa konsep penting dalam hukum perdata internasional titik pertalian primer pertalian sekunder menjadi perlu untuk dikemukakan di sini. Titik pertalian primer adalah terjadinya suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang masing- masing pihaknya berbeda stelsel hukumnya. Contoh, perjanjian / kontrak bisnis yang dibuat antara orang Indonesia dengan orang Jepang, misalnya dalam kasus joint venture. Dalam hal ini, titik pertalian primer dapat diartikan sebagai telah terjadi adanya hubungan hukum antara dua pihak, yang masing- masing pihak tunduk pada stelsel hukum yang berbeda. Orang Indonesia tentunya tunduk pada stelsel hukum Indonesia. Demikian pun orang Jepang tentu juga tunduk pada stelsel hukum Jepang.

Ada pun titik pertalian sekunder adalah titik pertautan kedua yang mempersoalkan pilihan hukum, yakni hukum mana yang akan diberlakukan jika terjadi suatu perselisihan di anatara para pihak (dalam titik pertalian primer tersebut) yang masing- masing berbeda stelsel hukumnya itu. Terhadap pemberlakuan konsepsi titik pertalian sekunder ini, ada beberapa pendapat dan teori dari beberapa orang sarjana seperti berikut ini. Menurut Wirjono7, tentang hukum mana yang berlaku atas suatu perjanjian, dapat dilihat dan atau dilakukan pertama kali dengan cara melihat klausula ( isi perjanjiannya) apakah di dalam klausula itu terdapat ketentuan yang manunjuk hukum mana yang diberlakukan dalam melaksanakan perjanjian tersebut. Jika tidak ada klausula yang menentukan secara tegas tentang hukum mana yang berlaku, maka penundukan diri terhadap hukum mana yang akan diberlakukan adalah dapat secara diam- diam, secara anggapan/ dugaan karena misalnya ada unsur dalam perjanjian tersebut yang dapat menjadi dasar untuk menduga atau mengaggap bahwa perjanjian itu tunduk pada suatu hukum tertentu, dan yang terakhir adalah dengan cara hipotesis, yaitu berdasarkan pilihan atau ketentuan hakim. Namun demikian, terhadap penentuan hukum yang berlaku berdasarkan cara dugaan/anggapan dan hipotesis itu, terdapat keberatan. Antara lain dari Sudargo Gautama, yang hanya menyetujui penentuan hukum yang berlaku terhadap suatu perjanjian, hanya berdasarkan penentuan /penundukan diri diam- diam saja.8 Dalam kerangka penundukan diri secara diam- diam inilah, Sudargo Gautama antara lain mendasarkan diri pada teori- teori tentang pilihan hukum, yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih hukum mana sebagai berikut : yang akan diberlakukan, yaitu secara tegas atau secara

7 8

)Wirjono Prodjodikoro, Asas- asas Hukum Perjanjian, Cet.11,.Bale Bandung, hal.13. )Sudargo Gautama,Pengantar Hukum Perdata Internasional, Binacipta,1987, hal.23.

a). Teori Choice of law by the parties, yaitu pilihan hukum yang dapat dilakukan para pihak, baik sebelum perselisihan terjadi ( dimasukan dalam satu klausula pada saat kontrak dibuat), mau pun pada saat perselisihan itu terjadi dan dalam kondisi tidak ada suatu klausul yang menentukan secara tegas tentang pilihan hukum itu. Kebebasan dalam menentukan pilihan hukum ini pun mengenal batas- batas.9 Batas- batasnya antara lain ; tidak melanggar ketertiban umum, tidak boleh mengenai kontrak kerja, dan tidak boleh mengenai ketentuan perdata dengan sifat publik, misal dalam hal sengketa antara pihak asing dengan pihak indonesia tentang tanah yang berlokasi di Indonesia, maka hukum yang berlaku adalah hukum pertanahan di Indonesia. b) Teori Lex Loci Contractus, yaitu hukum yang berlaku adalah hukum di mana kontrak itu dibuat. Teori ini sudah out of date, karena telah banyak ditinggalkan orang. Apalagi setelah adanya praktik- praktik pembuatan kontrak tanpa kehadiran bersama para pihak di suatu tempat tertentu (contract betwen absent person) yang sudah lazim terjadi dalam praktik transaksi bisnis masa sekarang ini. Contohnya adalah dalam kasus perjanjian yang disepakati oleh para pihak melalui internet, di mana kehadiran para pihak bisa tidak pada suatu wilayah hukum / negara tertentu, misalnya. c) Teori Loci Solutionis, dalam hal ini, ditentukan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dari tempat di mana kontrak itu dilaksanakan. Ajaran ini pun menurut Sudargo Gautama dinilai sudah tidak lagi secara umum digunakan, kecuali di Jerman. d) Teori The proper law, yaitu ajaran tentang titik taut terkuat,

dalam hal ini adalah hukum yang berlaku adalah hukum dengan mana titik- titik taut setelah dihitung ternyata yang terkuat. Jika teori ini dianut, maka para pihak tidak dapat menentukan sebelumnya hukum mana yang akan diberlakukan.

) Ibid. , dalam Kontrak Dagang Internasional, Alumni, 1976, hal.16.

Teori The Most Characteristict Connection. Menurut ajaran ini, prestasi yang paling memiliki karakteristiklah yang menentukan hukum mana yang akan diberlakukan apabila terjadi suatu perselisihan antara para pihak yang memiliki stelsel hukum yang berbeda satu sama lainnya. Dalam rancangan Hukum Perdata Internasioanl (HPI) Indonesia sekarang ini, menurut Sudargo Gautama, ajaran inilah yang dianut. Contoh; dalam jual-beli, maka si Penjualah yang melakukan prestasi paling karakteristik. Dalam hal ini, maka hukum yang berlaku terhadap si penjual inilah yang akan diberlakukan. Dalam perjanjian kredit antara nasabah dengan pihak bank, maka yang paling karakteristik adalah pihak bank. Maka hukum yang berlaku terhadap pihak bank itulah yang diberlakukan.

You might also like