You are on page 1of 15

Ketoasidosis Diabetik Aldwin Tanuwijaya 10.2009.025 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.

Arjuna Utara no 6

Pendahuluan Pada jaman sekarang, penyakit diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang sering dialami oleh banyak orang. Diabetes melitus dapat terjadi karena banyak hal, seperti diabetes melitus tipe 1 yang merupakan autoimun. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut yang paling serius yang dapat terjadi pada anak-anak dengan diabetes melitus tipe 1, dan merupakan kondisi gawat darurat yang sering menimbulkan morbiditas dan mortalitas, walaupun telah banyak kemajuan yang diketahui baik tentang patogenesisnya maupun dalam hal diagnosis dan tatalaksananya. Diagnosis dan talaksana yang tepat sangat diperlukan pada pengelolaan kasus-kasus KAD untuk mengurangi morbiditas dan mortalitasnya. Tujuan dari pembuatan makalah ini agar mahasiswa mampu mengerti dari perjalanan hingga gejala serta tanda-tanda dari KAD dan tahu harus berbuat apa nantinya ketika sudah mulai masuk ke tahap klinik, serta mampu membedakan diabetes melitusnya sendiri dengan keadaan lanjutannya yaitu KAD.

Anamnesis Identitas Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua, pendidikan, pekerjaan suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien adalah benar pasien yang dimaksudkan. Selain itu identitas ini juga perlu untuk data penelitian, asuransi dan lainnya. Keluhan Utama ( Presenting Symptom) Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter ataupun mencari pertolongan. Dalam keluhan utama harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut dan segala sesuatu yang mendukung penyakit tersebut. Biasanya keadaan Ketoasidosis diabetik datang dengan keluhan utama seperti lemas yang sangat, diikuti mual, muntah, tidak nafsu makan.1 Riwayat Penyakit Sekarang Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama pasien datang berobat. Riwayat perjalanan penyakit disusun yang baik dan sesuai dengan apa yang diceritakan oleh pasien. Dalam melakukan anamnesis,waktu dan lama keluhan berlangsung, sifat dan berat beratnya serangan, lokalisasi dan penyebarannya, menjalar atau berpindah-pindah, hubungannya dengan waktu misalnya pagi lebih sakit atau siang atau sore, hubungan dengan aktivitas, keluhan-keluhanyang menyertai serangan, apakah keluhan baru pertama atau berulang kali, dan faktor risiko dan pencetus serangan. Riwayat penyakit dahulu Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. Tanyakan pula apakah pasien pernah mengalami kecelakaan, menderita penyakit yang berat dam menjalani operasi tertentu, riwayat alergi obat dan makanan, lama perawatan , apakah sembuh sempurna atau tidak.

Pada diagnosis Ketoasidosis diabetik tentu perlu ditanya apakah ada pernah didiagnosis diabetes melitus tipe 1 sebelumnya, lalu bagaimana kepatuhan minum obatnya. Apakah pernah mengalami keadaan seperti sekarang (keadaan lemas, mual, muntah).1 Riwayat pribadi Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanya pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan hariannya seperti masalah keuangan, perkerjaan dan sebagainya. Kebiasaan yang ditanya adalah kebiasaan merokok, minum alkohol termasuk penyalahgunaan obat yang terlarang (narkoba). Pasien yang sering melakukan perjalanana juga harus ditanyakan tujuan perjalanan yang telah dilakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat perjalananya. Bila ada indikasi riwayat perkawinan dan kebiasaan seksual juga harus ditanyakan Untuk ketoasidosis diabetik bisa ditanyakan apakah orangtua atau keluarga inti pernah ada yang menderita diabetes melitus, kalau-kalau penderita belum pernah didiagnosis diabetes melitus tipe 1. Perlu ditanyakan juga apakah yang mempengaruhi pikiran seperti stres atau juga keadaan ekonomi yang buruk sehingga menyebabkan kelaparan yang nantinya mengarah kepada keadaan ketosis atau asidosis. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan adalah inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada pemeriksaan fisik sering dijumpai penurunan kesadaran, dan bahkan koma (10% kasus), tanda-tanda dehidrasi dan syok hipovolemia seperti kulit/mukosa kering dan penurunan turgor, hipotensi dan takikardi. Tanda klinis lain adalah napas cepat dan dalam (Kussmaul) yang merupakan kompensasi hiperventilasi akibat asidosis metabolik, disertai bau aseton pada napasnya.1 Untuk mengetahau derajat kesadaran dapat diketahui dengan memeriksa GCS. GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan suatu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan. Rangsangan yang diberikan berbagai hal dengan memperhatikan 3 reaksi yang terdiri dari reaksi membuka mata (Eye (E)), respon verbal (V) bicara dan gerakan motorik.

Eye (respon membuka mata) : Respon membuka mata ini merupakan respon awal ketika kita bertemu dengan klien. Respon yang diharapkan ada pada pasien ialah bagaimana reflek membuka mata klien. Apakah ia akan spontan membuka mata tanpa harus dipanggil namanya, disentuh atau diberikan cubitan. Untuk nilai dari respon ini kita nilai (4) atau respon spontan. Apabila mata terbuka dengan rangsang suara, seperti kita memanggil nama klien, maka kita nilai respon E nilai (3). Apabila klien dapat membuka mata ketika kita beri rangsang nyeri, misalkan dengan menekan kuku jari maka nilai E klien (2). Ketika tidak ada respon sama sekali, maka kita beri nilai E (1), tidak ada respon. Verbal (respon verbal) Setelah reflek membuka mata kita kaji, maka penilaian selanjutnya ialah bagaimana kita menilai respon verbal klien. Ketika klien dapat mengetahui dimana dia berada, siapa dirinya, kalimat yang diucapkan baik, orientasi baik, maka kita nilai respon verbal dengan angka (5) . Apabila klien bingung, berbicara mengacau, disorientasi tempat dan waktu, maka nilai respon verbal kita beri nilai (4) . Untuk nilai (3) kita beri ketika klien berbicara tidak jelas tetapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat dan hanya mengungkapkan kata singkat. Apabila klien lebih banyak mengerang atau mengeluarkan suara tanpa arti, maka kita nilai respon verbal klien (2). Ketika masih saja tidak ada respon, maka kita beri nilai verbal klien (1). Motor (respon motorik) Respon motorik ini harap dibedakan dengan penilaian kekuatan otot. Apabila ada atau mengikuti perintah yang kita berikan, maka kita nilai respon motorik klien (6). Kita bisa memberikan sebuah stimulus berupa rangsangan nyeri. Ketika klien mampu untuk melokalisir nyeri dengan cara menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri, maka kita memberikan nilai (5) . Apabila klien menghindar/menarik extremitas atau tubuh yang diberikan stimulus dengan menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri kita dapat memberi nilai M (4). Untuk pemberian nilai M (3), kita dapat melihatnya ketika klien menghindar/menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri dengan adanya respon flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku di atas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). sedangkan untuk memberikan nilai M (2) didapakan respon klien berupa adanya extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). Ketika klien tidak ada respon, maka kita

nilai M (1). Penilaian GCS 1. Hasil pemeriksaan kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EMV 2. Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4M6V5 dan terendah adalah 3 yaitu E1M1V1. 3. Menilai status kesadaran klien GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan) GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang) GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat) < 3 = koma Pemeriksaan penunjang2 1. Gula darah Analisis gula darah diperlukan untuk memonitor perubahan kadar gula darah selama terapi dilakukan, sekurang-kurangnya satu kali setiap pemberian terapi. Pemeriksaan dilakukan setidaknya setiap jam apabila kadar glukosa turun secara progresif atau bila diberikan infus insulin. Digunakan untuk menegakkan diagnosis maupun pemantauan terapi. 2. Analisa gas darah Pada umumnya, sampel diambil dari darah arteri, namun pengambilan darah dari vena dan kapiler pada anak dapat dilakukan untuk monitoring asidosis karena lebih mudah dalam pengambilan dan lebih sedikit menimbulkan trauma pada anak. Derajat keparahan ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai berikut: Ringan (pH < 7,30; bikarbonat, 15 mmol/L), moderat (pH < 7,20; bikarbonat < 10 mmol/L) dan berat (pH < 7,10; bikarbonat < 5,4 mmol/L). 3. Natrium Kadar natrium umumnya menurun akibat efek dilusi hiperglikemia. Kadar natrium yang sebenarnya dapat diprediksi, yaitu adanya penurunan 1,6 mEq/L natrium untuk setiap kenaikan 100 mg/dL glukosa (1 mmol/L natrium untuk setiap 3 mmol/L glukosa). Kadar natrium umumnya meningkat selama terapi. Apabila kadar natrium tidak meningkat selama terapi, kemungkinan berhubungan dengan peningkatan risiko edema serebri.

4.

Kalium Pada pemeriksaan awal, kadar kalium umumnya normal atau meningkat, meskipun kadar kalium total mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat adanya kebocoran kalium intraselular. Insulin membuat kalium kembali masuk ke intraselular, dan kadar kalium mungkin menurun secara cepat selama terapi diberikan. Pemeriksaan secara berkala setiap 1-2 jam dilakukan bersamaan dengan monitoring EKG, terutama pada jam-jam pertama terapi. Pemeriksaan EKG dimaksudkan untuk menilai keadaan hipokalemia atau hiperkalemianya.

5. Keton Pengukuran kadar keton kapiler digunakan sebagai patokan ketoasidosis, dimana nilainya akan selalu meningkat pada KAD (> 2 mmol/L). Untuk pemantauan terapi terdapat dua pengukuran yang dilakukan untuk menilai perbaikan KAD, yaitu nilai pH >7,3 dan kadar keton kapiler < 1 mmol/L. 6. Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) Peningkatan HbA1c menentukan diagnosis diabetes, terutama pada pasien yang tidak mendapat penanganan sesuai standar. Kadar normalnya adalah 5-9% kadar Hb total. 7. Pemeriksaan darah rutin Peningkatan kadar leukosit sering ditemukan, meskipun tidak terdapat infeksi. 8. Urinalisis Pemeriksaan urin dilakukan untuk menilai kadar glukosa dan badan keton per 24 jam, terutama bila pemeriksaan kadar keton kapiler tidak dilakukan. 9. Radiologis CT scan kepala dilakukan bila terjadi koma atau keadaan yang menuju ke arah koma, selain sebagai ukuran dalam menangani edema serebri.1.2 Diagnosis Working diagnosis Diagnosis kerja yang diambil adalah ketoasidosis diabetik (KAD).3 KAD didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif di dalam tubuh, atau berkaitan dengan resistensi insulin, dan peningkatan produksi hormonhormon kontra regulator yakni: glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone. Menegakkan diagnosis KAD sendiri harus didukung dengan pemeriksaan fisik dan penunjang seperti yang disampaikan diatas. Diagnosis KAD didasarkan atas trias biokimia yaitu:

hiperglikemia( glukosa darah > 200 mg/dL) asidosis (pH darah< 7,3) kadar bikarbonat < 15 mmol/L.

Keadaan ini juga berkaitan dengan glikosuria, ketonuria, dan ketonemia. Different Diagnosis Hiperosmolar Non Ketotik1.3 Pada Hiperosmolar Non ketotik sering didapatkan tanda klinis antara lain: hiperglikemia (sering melebihi 600 mg/dL), tanpa ketosis atau hanya ringan, asidosis non-ketotik yang tidak berat, dehidrasi yang berat akibat peningkatan osmolaritas akibat hiperglikemia berat, gangguan kesadaran yang berat hingga koma, dan kejang. Osmolaritas serum sering melebihi 350 mOsm/kg Diabetes Melitus tipe 11.2.3. Suatu penyakit autoimun dimana terjadi defisiensi insulin akibat kerusakan pada sel beta pankreas sehingga tidak mampu menghasilkan insulin. Biasa terjadi pada anakanak dan dipengaruhi oleh faktor keturunan. Diabetes melitus tipe 1 dijadikan sebagai diagnosis banding dikarenakan tanda-tanda diabetes melitus yang sama dengan keadaan Ketoasidosis diabetik. Yang membedakan Ketoasidosis diabetik dengan diabetes melitus tipe 1 adalah keadaan asidosis dan peningkatan benda keton akibat keadaan diabetes melitus tipe 1 yang sudah lama dan cukup berat. Keadaan lain penyebab hiperglikemia, asidosis, dan ketosis2

Gambar1.1 Keadaan lain hiperglikemia, asidosis, ketosis selain KAD

Manifestasi Klinik Gejala dan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien KAD adalah:1,2,3,4 1. Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl) 2. Terdapat keton di urin (ketonuria) 3. Poluria, polidipsi, poliphagi 4. Sesak nafas (nafas cepat dan dalam) 5. Nafas berbau aseton 6. Badan lemas, kulit kering, keringat berkurang akibat dehidrasi. Dehidrasi terjadi karena anoreksia sehingga asupan berkurang, juga terjadi mual dan muntah 7. Kesadaran menurun sampai koma 8. Anoreksia, mual, muntah, nyeri perut biasanya akibat asidosis dan ketosisnya 9. Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotik Patofisiologi Pada KAD terjadi gangguan metabolisme protein lemak, dan karbohidrat. KAD mencerminkan suatu keadaan defisiensi insulin mutlak atau relatif disertai peningkatan berlebihan hormon stres atau pengimbang. Meningkatnya hormon pengimbang seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone dengan kompensatorik insulin yang tidak meningkat, menyebabkan meningkatnya lipolisis dan ketogenesis. Hal ini yang meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam darah, ketosis, dan asidosis metabolik. Asam lemak bebas diserap hati, tempat asam tersebut diesterifikasi menjadi trigliserida dan dioksidasi menjadi asam asetoasetat dan hidroksibutirat (keton) secara berlebihan, sehingga menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.4 Ketosis dan asidosis metabolik ikut berperan dalam menyebabkan terjadinya gangguan elektolit dan muntah, yang sering terjadi pada KAD dan biasanya bersifat parah. Pada keadaan defisiensi insulin, meningkatnya kadar hormon pengimbang juga merangsang produksi glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis, kadar glukosa biasanya meningkat (>250 mg/dL) pada penderita KAD. Seiring dengan meningkatnya kadar glukosa darah, jumlah glukosa yang muncul dalam filtrasi glomerulus melebihi kemampuan tubulus proksimal ginjal untuk mereasorbsi glukosa terjadi glukosuria. Dengan terus meningkatnya kadar glukosa darah, terjadi peningkatan glukosuria hingga laju pengeluaran glukosa melalui urin setara dengan laju pembentukan glukosa. Saat hal ini

terjadi, kadar glukosa darah mungkin sudah stabil pada kisaran 400-600mg/dL. Derajat hiperglikemia ini menyebabkan terjadinya diuresis osmotik. Bersama dengan berkurangnya asupan cairan dan muntah akibat ketosis dan asidosis tadi, hal ini menyebabkan terjadinya dehidrasi. Saat dehidrasi memburuk sampai ke tahap mengurangi laju filtrasi glomerulus, jumlah glukosa yang difiltrasi menurun sehingga pengeluran glukosa melalui urin berkurang dan kadar glukosa darah semakin meningkat ke suatu kadar stabil melebihi 600-800mg/dL.

Gambar1.2 patofisiologi ketoasidosis diabetik4

Kelainan elektrolit selalu terjadi pada KAD. Diuresis osmotik yang dipicu oleh glukosa pada KAD menyebabkan berkurangnya reabsorpsi natrium dan air oleh tubulus distal ginjal dan keluarnya natrium dan air secara berlebihan. Natrium dan kalium juga dieksresikan bersama dengan asam keto. Pada KAD, konsentrasi natrium serum biasanya rendah akibat perpindahan osmotik air, yang dipicu oleh hiperglikemia, dari kompartemen intrasel ke ekstrasel. Penurunan kadar natrium serum akibat pengenceran ini diperkirakan sebesar 1.6 mEq/L untuk setiap peningkatan 100mg/dL glukosa darah di atas kisaran normal. Pengeluaran kalium selama KAD dapat cukup besar dan sering terjadi deplesi kalium. Kehilangan kalium ini disebabkan oleh ekskresi kalium melalui urin bersama dengan asam keto dan oleh efek meningkatnya kadar aldosteron akibat dehidrasi. Namun karena asidosis meningkatkan perpindahn kalium dari ruang intrasel ke ekstrasel, maka kalium serum pada

awal KAD sering meningkat atau normal. Dengan demikian konsentrasi kalium serum yang terukur bukan merupakan indikator yang handal untuk menentukan status kalium tubuh. Faktor pencetus dan resiko Beberapa faktor yang sering menjadi pencetus KAD adalah: infeksi, stres/trauma, penghentian terapi insulin atau terapi insulin yang tidak adekuat, dan gangguan psikologis yang berat. Demikian juga beberapa obat-obatan telah dilaporkan dapat mencetuskan KAD pada penderita DM tipe-1 yakni: kortikosteroid dosis tinggi, anti-psikotik, diazoxide, dan imunosupresan.2.3 Sedangkan faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya KAD pada DM tipe 1 adalah: penderita dengan kontrol metabolik yang buruk atau telah mengalami KAD sebelumnya, penderita baru DM tipe-1 usia muda (kurang dari 5 tahun), pubertas dan remaja putri, anakanak dengan gangguan psikiatri (termasuk gangguan pola makan), dan status sosial ekonomi rendah3 Epidemiologi Diagnosis KAD didapatkan sekitar 16-80% pada penderita anak baru dengan Diabetes melitus tipe 1, tergantung lokasi geografi. Di Eropa dan Amerika utara angkanya berkisar 1567%, sedangkan di Indonesia dilaporkan antara 33-66%.2 Prevalensi KAD di Amerika serikat diperkirakan sebesar 4,6-8 per 1000 penderita diabetes, dengan mortalitas < 5% atau sekitar 2-5%. KAD juga merupakan penyebab kematian tersering pada anak dan remaja penyandang diabetes melitus tipe 1, yang diperkirakan setengah dari penyebab kematian penderita Diabetes melitus dibawah usia 24 tahun. Sementara itu di Indonesia belum didapatkan angka yang pasti mengenai hal ini. Penatalaksanaan Tujuan terapi dari KAD adalah:4 Memulihkan dan mempertahankan fungsi ventilasi dan kardiovaskular yang memadai Memperbaikik defisit cairan dan ketidakseimbangan elektrolit Memperbaiki asidosis metabolik Memberikan insulin yang memadai untuk menghentikan ketogenesis yang sedang berlangsung dan menurunkan glukosa plasma

Menentukan dan mengobati penyebab yang mendasari serta faktor pencetus KAD Memantau dan mencegah penyulit terapi

Terapi awal KAD berat harus ditujukan untuk memperbaiki kelainan yang mengancam jiwa dan menstabilkan pasien. Ventilasi yang memadai dan akses intravena haru dibuat sesegera mungkin. Syok atau gangguan perfusi jaringan harus dikoreksi dengan resusitasi cairan intravena dalam jumlah besar. Apabila tidak ada muntah dan KAD cukup ringan sehingga dapat dicoba pemberian cairan peroral. Setiap jam harus diberikan 3-8ons cairan, sebaiknya diberikan dengan porsi kecil(24ons) setiaap 20-30 menit. Selagi kadar glukosa darah tinggi, cairan harus diberikan bebas karbohidrat. Setelah glukosa turun, harus diberi cairan yang mengandung karbohidrat.4 Apabila hidrasi oral tidak dapat dilakukan maka sebaiknya cairan diberikan sesegera mungkin melalui intravena. Harus terdapat fase ekspanse volume yang diikuti oleh fase rehidrasi, yaitu diberikan cairan untuk mempertahankan dan mengganti cairan yang hilang. Fase ekspansi volume harus dimulai secepatnya dan biasanya terdiri dari 10-20 ml/kg salin isotonik (0.9%) atau larutan ringer laktat yang diberikan 30-60 menit. Larutan salin isotonik memiliki keunggulan sifat isotonik sehingga mengurangi laju penurunan osmolaritas serum, sedangkan larutan RL mengandung lebih sedikit klorida dan berisi laktat. Laktat dapat dimetabolisasi menjadi bikarbonat untuk membantu memperbaiki asidosis yang parah, klorida yang lebih rendah dapat membantu mencegah terjadinya asidosis hiperkloremik ringan selami terapi. Ekspansi volume tambahan jarang diperlukan kecuali bila terjadi syok atau bila perfusi perifer tetap buruk. Bolus tambahan biasa sebesar 10ml/kg harus diberikan sampai nadi dan tekanan darah stabil dan ekstremitas hangat.4.5 Pada fase rehidrasi, kita haru mempertimbangkan kebutuhan pemeliharaan individual, koreksi dehidrasi, dan penggantian kehilangan cairan berlebihan yang terus berlangsung. Kehilangan cairan yang sedang berlangsung melalui diuresis osmotik harus diperkecil dengan menurunkan konsentrasi glukosa darah. Namun, pengeluaran melalui muntah, diare, atau drainase nasogastrik perlu diganti. Cairan pemeliharaan yang dibutuhkan dapat diperkirakan sebesar 1500-200 ml/m2/hari. Kebutuhan tersebut dapat lebih tinggi bila terdapat demam atau hiperventilasi. Defisit cairan paling baik dihitung berdasarkan penurunan berat badan yang baru terjadi. Apabila defisit cairan tidak diketahui, maka diambil perkiraan defisit sebesar 1015% dan angka ini digunakan sebagai petunjuk awal pengobatan. Pergantian cairan biasa

menggunakan salin 0.45% ditambah garam kalium. Apabila terjadi hiponatremia, hiperosmolaritas yang parah, hipotensi dan syok, hidrasi sebaiknya diteruskan dengan 0.9%. Kateterisasi kandung kemih dilakukan juga pada kasus yang sangat parah, terurama bila sulit dilakukan pencatatan pengeluarin urin.4 Berlawanan dengan pergantian cairan pediatrik dalam dehidrasi sederhana akibat gastroentritis, umumnya pergantian cairan selama terapi KAD pada anak dianjurkan untuk diberikan selama 24-36 jam. Hal ini sering dicapai dengan laju infus 3 sampai 3.5 L/m2/hari. Pada penderita hiperosmolar berat pergantian harus dilakukan lebih lambat yaitu selama 3648 jam, dengan laju infus 2.5-3 L/m2/hari. Bila kondisi sudah berangsur-angsur baik dapat diberikan koreksi secara oral.4 Pada saat asidosis akan terjadi kehilangan kalium dari dalam tubuh walaupun konsentrasi di dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya kalium intrasel ke ekstrasel. Konsentrasi kalium serum akan segera turun dengan pemberian insulin dan asidosis teratasi. Pemberian kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi, dan pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 0.5mEq/kg/jam atau 40 mEq/L cairan. Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian kalium harus ditunda. Garam kalium dapat diberikan sebagai kalium klorida, kalium asetat, dan kalium fosfat. Fosfat harus diberikan apabila fosfat serum rendah untuk mencegah perburukan hiperfosfatemia namun jangan melebihi 1.5mEq/kg/hari karena dapat menyebabkan hipokalsemia dan hipomagnesemia. Sedangkan pemakaian kalium klorida dapat menyebabkan adanya komponen asidosis hiperkloremik.4 Semua penderita KAD mengalami defisiensi insulin yang mutlak atau relatif. Pasien harus diberikan eksogen. Insuli membalikan keadaan katabolik pemecahan protein dan lipolisis, serta menekan pembentukan badan keto dan asam keto. Setelah pembentukan asam yang berlebihan terhenti, badan-badan keton kemudian dikeluarkan melalui ekskresi urin sehingga asidosis akan terkoreksi. Insulin juga akan menurunkan kadar glukosa darah dengan menghambat glikogenolisis dan glukoneogenesis serta merangsang penyerapan dan oksidasi lukosa.Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi. Insulin yang digunakan adalah jenis short acting/rapid insulin (RI).6 Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah walaupun insulin belum diberikan.Penurunan yang dapat terjadi pada awal hidrasi mungkin sebesar 200500mg/dl/jam. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam

pada anak < 2 tahun. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1 unit/ml larutan salin normal. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 Salin. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL (target). Bila KGD <150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan D10 Salin. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.4 Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang kondisi penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan respon pemberian insulin (infeksi, dosis pengenceran insulin yang tidak tepat, adhesi insulin dengan tabung infus). Pada kasus tidak didapatkan jalur IV atau sudah dapat menolerir cairan oral dengan baik, berikan insulin secara intramuskuler atau subkutan. Namun karena insulin dalam darah memiliki waktu paruh yang singkat, jalur IV jangan dihentikan sampai 30 menit setelah pemberian subkutis. Kebutuhan pemberian bikarbonat selama terapi KAD pada anak masih diperdebatkan. Bikarbonat jarang diberikan kecuali bila pH darah awal kurang dari 7.0. Anak yang menderita ketoasidosis berat biasanya pulih tanpa mendapat pengobatan bikarbonat dan umumnya resiko pemakaian bikarbonat lebih besar manfaatnya. Resiko tersebut mencakup hipokalemia, asidosis hipoksia SSP, hipernatremia, dan alkalosis rebound. Bikarbonat dosis bolus harus dihindari dan bila kita menggunakan bikarbonat maka pemberian zat tersebut harus sangat hati-hati sebagai infus 1-2 mEq/kg selama 2 jam. Apabila akan digunakan natrium bikarbonat, konsentrasi salin dalam cairan rehidrasi sebaiknya diturunkan untuk menghindari pemberian natrium yang berlebihan, Pemberian bikarbonat jarang perlu dilanjutkan setelah 2-3 jam pertama, dan bikarbonat jelas harus dihentikan apabila pH meningkat melebihi 7.1 dan atau HCO3 vena meningkat melebihi 10 mEq/L. Faktor kunci dalam penatalaksanaan KAD adalah pemantauan yang sering dan penyesuaian berdasarkan hasil pemantauan status klinis, termasuk keadaan neurologik, harus sering diperiksa dan dicatat setidaknya setiap 1-2 jam selama paling sedikit 6-12 jam pertama. Selain itu perlu dibuat catatan yang akurat tentang asupan dan keluaran, dan harus dilakukan pemantauan kadar glukosa darah dengan pemantauan di tempat setiap jam. Elektrolit juga harus dipantau sedikitnya 2-6 jam, dengan kalium serum, bikarbonat, dan pH lebih sering pada kasus yang parah.4

Komplikasi Edema serebrum terjadi akibat penyulit dan terapi KAD pada anak. Insidensinya sangat jarang tetapi prognosisnya buruk. Bukti radiologis edema serebrum mungkin sudah ada sejak awal perjalanan klinis KAD, sebelum terapi dimulai, dan pada pasien yang tidak memperlihatkan gejala klinis peningkatan intrakranium yang nyata. Terlambatnya penegakkan diagnosis tampaknya merupakan faktor utama penyebab kematian akibat edema serebrum.4.5 Tidak ada satu penyebab tunggal untuk edema serebrum. Telah diajukan 4 kategori penjelasan yang diduga menyebabkan edema serebrum yaitu pergeseran cepat osmolaritas intrasel dan ektrasel, asidosis SSP, hipoksia serebrum dan pemberian cairan berlebihan. Intervensi dini terhadap edeme serebrum diduga dapat mengurangi keparahannya.4 Prognosis KAD biasanya prognosis baik menuju sedang tergantung keparahan kondisinya. Prognosis dapat diperbaiki dengan terapi cairan serta insulin yang adekuat, tepat, dan cepat. Pemantauan kondisi fisik serta hal-hal lain juga turut andil dalam memperbaiki prognosis. KAD yang berat serta ditunjang dengan terapi yang buruk tentu akan mempeburuk prognosis. Apalagi kalau sudah pada tahap komplikasi KAD yaitu edema serebrum dimana angka kematian sekitar 31% dari total KAD.2.4

Daftar Pustaka 1. Guillermo E, Murphy MB, Kitabchi AE.Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum 2002; 15(1):28-36. 2. Lamb WH. Diabetic ketoacidosis. eMedicine Specialties, 2008. Diunduh dari www.emedicine 21 November 2011 3. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi 5. Interna:Jakarta.2009:1906-11 4. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph volume 3. EGC:Jakarta.2007:1987-91 5. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson imu kesehatan anak. EGC:Jakarta.2002.2012-3 6. Departemen Farmakologi dan Terapetik FKUI.Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta:FKUI.2007:484-8

You might also like