You are on page 1of 27

Filsafat Sendiri

Oktober 20, 2011 pada 9:00 am (Filsafat Modern, Quick Read) MAHASISWA kita ini melancong keluar negeri. Bukan untuk main-main tentunya. Tetapi untuk melakukan studi banding atas pelajaran-pelajaran yang diterimanya di kampus. Mahasiswa kita ini, entah karena apa, sangat tertarik untuk mempelajari pemikiran para filsuf Barat. Beberapa alasan bisa bisa kita cari. Barangkali karena dia memang terpesona dengan pemikiran Barat, atau karena dia merasa inferior dengan keilmuan bangsanya sendiri. Semoga bukan karena keduanya. Pertama kali tiba, ia menikmati daerah asing dan berjalan-jalan layaknya seorang turis. Foto kanan-kiri, berdecak kagum setiap kali melihat pemandangan yang selama ini hanya bisa ia nikmati lewat TV. Dengan agak malu, kita harus akui, kelakukan mahasiswa kita ini memang cukup ndeso, Di sebuah universitas, ia menemui seorang Profesor filsafat. Ia kemukakan tentang ketertarikannya mempelajari pemikiran filsafat Barat. Bagus sekali, jawab Profesor itu. Tapi kenapa Anda tidak mempelajari filsafat Indonesia? Bukankah itu lebih menarik dan sesuai dengan konteks kehidupan kalian sendiri? Itu dia masalahnya, Prof, mahasiswa kita menjawab. Bangsa kami semula tidak punya masalah genting. Tapi dari Baratlah bangsa kami mendapat banyak masalah: modernisasi, liberalisasi, sekularisasi, kolonialisasi. Maka saya harus mempelajari filsafat Barat untuk mengatasi masalah-masalah brengsek dari bangsa Anda itu, Prof. (Si Buta dari Gua Plato, hal.153-154)

Muharam: Benarkah Tahun Baru Muslimin?


Januari 9, 2008 pada 3:42 am (refleksi)

Muharam bulan untuk bersenang senang atau kesadaran sejarah? Besok, tanggal 10 Januari 2008 lalu adalah bertepatan dengan 1 Muharam 1429 Hijriah yakni Tahun baru Hijriah. Sebagian besar kaum muslimin merayakannya sebagai awal Tahun Baru Muslim dengan penuh rasa suka, yang dibarengi dengan berbagai macam bentuk kegiatan. Apalagi didukung oleh riwayat yang bernuansa kebahagiaan, seperti selamatnya Nuh as dari banjir bandang, selamatnya kaum Musa as dari Firaun, dan sebagainya pada tanggal 10 Muharam (hari Asyura). Maka semakin lengkaplah kegembiraan bulan ini.

Namun, sebaliknya, ada sebagian kecil kaum muslimin, yang justru bersedih di bulan Muharam tersebut; seolah tak menghiraukan kegembiraan dan rasa syukur sebagian besar kaum muslimin tadi. Kelompok kecil ini justru menangis, meratap, dan memukul dada mereka sebagai tanda kesedihan dan kepedihan yang dalam, sekaitan dengan bulan ini. Alangkah perbedaan yang sangat kontras. Mengapa demikian ? Saya mencoba melihat-lihat sejarah seputar penetapan Tahun Baru kaum muslimin. Dari situ saya peroleh bahwa penetapan Tahun Baru Muslim dilakukan di masa Umar bin Khattab. Sebelumnya kaum muslimin menggunakan Tahun Gajahtahun ketika Abrahah menyerbu Mekkah untuk meruntuhkan Kabahsebagai permulaan penanggalan. Ada yang mengusulkan kepada Umar untuk menjadikan peristiwa bitsah Nabi saww sebagai awal penanggalan, atau pada riwayat lain Umarlah yang bertekad untuk memulai penanggalan dengan mengacu pada kelahiran Nabi saww atau bitsah Nabi saww. Namun, Imam Ali as tidak menyetujui pandangan tersebut dan mengusulkan untuk menjadikan peristiwa hijrah Nabi saww sebagai awal penanggalan. Usul ini diterima dan ditetapkan oleh Umar tanggal 8 Rabiul Awal 17 H . Oleh karena itu, nama tahunnya adalah Hijrah atau Hijriyah. Namun demikian, terdapat pula riwayat lain, yang menyatakan bahwa penetapan penanggalan Islam telah dimulai sejak masa Nabi saww, atas perintah Nabi saww sendiri, pasca pelaksanaan hijrah di bulan Rabiul Awal. Mereka (kaum muslimin saat itu) mengatakan bahwa peristiwa penanggalan tersebut terjadi di bulan ini, setelah hijrah; dan hal tersebut berlanjut hingga diperoleh satu tahun penuh . Sehingga, dari riwayat ini terlihat bahwa sistem penanggalan dimulai pada bulan Rabiul Awal dan diakhiri pada bulan Shafar. Sementara Syaikh Jafar Subhani menegaskan bahwa riwayat inilah yang benar, berdasarkan bukti surat-surat yang dikirim oleh Nabi saww dan bukti-bukti lainnya . Dalam peristiwa hijrah itu sendiri, Nabi saww tiba di Quba (10 Km dari Madinah) di rumah Kultsum bin al-Hadam, pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal. Dan perjalanan tersebut ditempuh Nabi saww sekitar sembilan hari, setelah sebelumnya bersembunyi di gua Tsaur (sekitar 5 Km di selatan Mekkah) selama tiga hari. Ini berarti bahwa awal hijrah Nabi saww adalah tanggal 1 Rabiul Awal. Sedangkan Imam Ali as baru melakukan hijrah setelah tiga hari keberangkatan Nabi saww dari gua Tsaur, dan beliau as sampai di Quba pada hari Kamis tanggal 15 Rabiul Awal. Dan esok harinya, barulah Nabi saww berangkat ke Madinah . Sementara dalam riwayat lain juga disebutkan secara tegas bahwa Nabi saww mengawali hijrah pada tanggal 1 Rabiul Awal . Sehingga, dengan melihat tarikh tersebut, mengapa tiba-tiba Tahun Baru muslimin jatuh pada tanggal 1 Muharam, sementara bulan ini sama sekali tidak terkait dengan peristiwa hijrah Nabi saww ? Kalaupun, seandainya yang dilihat adalah tahun hijrahnya Nabi saww dengan tidak memperhitungkan bulannya, maka mengapa mesti dipilih bulan Muharam, sementara masih ada bulan lainnya; dan mengapa tidak memilih bulan yang justru terkait dengan peristiwa hijrah Nabi

saww ? Apalagi ternyata penggunaan Muharam sebagai awal tahun merupakan tradisi bangsa Arab pra-Islam. Sedangkan riwayat seputar peristiwa keberuntungan para Nabi as di hari Asyura, selain tercantum pada jalur ahlusunnah, juga tercantum pada jalur syiah. Namun, Al-Majlisi dan ulama syiah lainnya menyatakan bahwa riwayat tersebut adalah lemah (dhaif) dan bohong. Apalagi diperkuat pula oleh penjelasan Maitsam al-Tammar ra tentang kebohongan riwayat tersebut. Sebaliknya, dari kitab-kitab tarikh yang sedemikian banyaknya, baik dari jalur ahlusunnah maupun syiah, justru diriwayatkan bahwa pada bulan Muharam telah terjadi peristiwa kezaliman terbesar di seluruh alam atas keluarga Nabi saww, yaitu terbantainya al-Imam Husein as di Karbala beserta keluarga dan para sahabat beliau as, oleh Yazid bin Muawiyah dan pasukannya. Diriwayatkan bahwa Imam Husein as beserta rombongan beliau as berangkat dari Mekkah menuju Kufah, dan tiba di Nainawa (atau Karbala) pada tanggal 2 Muharam 61H (atau semestinya 60 H). Dan mulai saat itu hingga tanggal 10 Muharam 61H (atau semestinya 60 H), beliau as diperlakukan dengan kejam, yang iblis sekalipun tak akan mampu melakukannya . Sehingga, tragedi besar inilah yang menjadikan sebagian kecil kaum muslimin berduka, menangis, dan meratapinya; sebagaimana tersebut di awal tulisan ini. Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa riwayat seputar Tahun Baru muslimin di bulan Muharam (1 Muharam) dan peristiwa keberuntungan para Nabi as, menurut saya, merupakan rekayasa dari para musuh Ahlul Bait as. Riwayat-riwayat tersebut dibuat pasca tragedi Karbala, untuk melupakan umat manusia dari tragedi alam terbesar itu dan menjauhkan mereka dari hujjah Allah di muka bumi, ataupun dengan motivasi lainnya; dengan cara mempertahankan tradisi penanggalan bangsa Arab pra-Islam. Karenanya, tak heran bila Ibn Sirin (w. 110 H) memberikan pernyataan bahwa : Orang-orang, setelah melalui diskusi, secara bulat menyetujui penetapan awal tahun di bulan Muharam.; yang sebenarnya sekedar pembenaran atau penegasan terhadap praktik penanggalan orang-orang di masanya . Dengan demikian, sudah semestinya bulan Muharam (khususnya tanggal 1 hingga 10) dipenuhi dengan mengingat kesyahidan al-Imam Husein as dan menangis atas tragedi besar yang menimpa beliau as. Imam Jafar as berkata : Allah menjadikan bagi kami syiah, yang mereka ini bergembira dengan kegembiraan kami, dan bersedih dengan kesedihan kami. Ayatullah al-Syahid Muthahhari, sekaitan dengan menangis dalam mengenang al-Imam Husein as, mengatakan bahwa : Menangisi seorang syahid tidak akan menjadikan seseorang lemah, karena menangis memiliki sifat al-Ruh al-Ijtimaiyyah (kebersamaan ruh) yang mendekatkan si penangis dengan syahid yang ia tangisi. Sementara tertawa memiliki sifat al-Ruh al-Fardiyah (kesendirian ruh), yang hanya akan berpengaruh dalam menyenangkan diri pribadi orang yang tertawa tersebut. Karena itulah, setiap orang yang merasakan kerinduan pada orang lain akan memilih menangis dan bukan tertawa, yang dengan hal itu ia merasakan kedekatan dengan orang yang dirindukannya. Ya, menangisi al-Imam Husein as dengan ikhlas tidak akan menyebabkan seseorang menjadi lemah. Justru hal tersebut akan menjadikannya dekat dengan beliau as. Sehingga, segala macam pelajaran dari misi beliau as pada tragedi tersebut dapat diambil, khususnya dalam menolak

segala macam bentuk kezaliman dan selalu berupaya menegakkan ajaran, hukum, dan kalimat Allah di muka bumi ini. Dan tangisan sepanjang-masa itulah yang telah berhasil menggulirkan Revolusi Islam Imam Khomeini ra. Sekaitan dengan ini beliau ra berkata : Mengenalkan Islam kepada manusia, sembari menciptakan hubungan yang dekat dengan Asyura. Sebagaimana kita telah tetap memelihara keberlangsungan Asyura (salam atas pendirinya) dan tidak membiarkannya hilang sehingga manusia masih berkumpul selama Muharam dan memukul dada mereka (matam), maka kita sekarang harus mengambil tindakan untuk menciptakan gelombang protes menentang pemerintah. Biarkan masyarakat berkumpul, dan para penceramah serta rauzakhwan benar-benar membenahi persoalan pemerintahan di benak mereka. Oleh Karena itu, dalam memasuki bulan Muharam ini, saya ingin mengucapkan taziyah kepada Rasulullah saww, kepada Ahlul Bait as, dan kepada kaum muslimin dan mukminin dimanapun mereka berada; Azhamallaahu Ujuuranaa bi Mushibatil Husein Alaihissalaam bi Karbala. Mari kita ambil teladan dari al-Imam Husein as untuk menolak dan memerangi segala macam kezaliman, khususnya kezaliman Amerika, Zionis, dan para antek mereka. Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah syair DR. Muhammad Iqbal beserta syarhnya : Gharib-o-sada-o-rangin hay dastan-e-Haram. Nihayat iski Husayn ibtida hay Ismail. Syarh : DR. Iqbal mengatakan bahwa peristiwa pembangunan Kabah adalah sangat simpel dan menarik. Ismail menderita kepedihan yang sangat dalam peristiwa tersebut. Ibrahim membersihkan Kabah dari berhala-berhala, dan meningkatlah kemuliaannya. Sungguh, batu pertama diletakkan oleh Ismail. Ia memberikan nyawanya sebagai qurban, namun pengorbanan tersebut tidaklah lengkap karena diganti dengan sebuah domba. Dan berdasarkan Al-Quran, pengorbanan besar (al-Dzibh al-Azhim), datang di kemudian hari dan dilengkapkan oleh salah seorang keturunannya, yakni Husein. Sehingga, puncak ruh kecintaan kepada Allah termanifestasikan, ketika Imam Husein mengorbankan nyawanya dan memelihara kehormatan Kabah. Berikut saya kutipkan pula pandangan para orientalis Barat non-muslim : 1. Edward Gibbon mengatakan : Pemandangan tragis kematian Husein di masa lampau akan membangkitkan simpati para pembaca yang paling dingin (sekalipun). 2. Ignaz Goldziher mengatakan : Sejak hari kelam Karbala, sejarah keluarga ini telah mengalami terus menerus penderitaan dan penganiayaan. Hal ini diberitakan dalam syair maupun prosa, di literatur-literatur tentang para syuhadakhususnya syiah; dan menjadikan berkumpulnya orang-orang syiah pada sepertiga pertama bulan Muharam, yang mana pada hari kesepuluh (Asyura) diadakan peringatan tragedi Karbala. Pemandangan tragedi tersebut juga ditampilkan dalam peringatan tersebut dalam bentuk dramatik (taziyah). Hari Raya kami adalah majelis duka, sebuah syair dari seorang pangeran syiah yang mengingatkan akan banyaknya malapetaka atas keluarga Nabi. Tangisan dan ratapan atas kejahatan dan penganiayaan yang menimpa keluarga Ali, serta kedukaan atas para syuhada menyebabkan

peristiwa tersebut selalu terkenang. Sehingga, bahkan dalam masyarakat Arab dikenal pepatah : Lebih mengharukan dari tangisan orang-orang syiah. 3. Reynold Alleyne Nicholson mengatakan : Husein jatuh, tertembus sebuah anak panah; dan para pengikut pemberaninya terbunuh di sampingnya, hingga yang terakhir. Kaum muslimin, dengan sedikit pengecualian, sepakat memusuhi dinasti Umayyah, menyatakan Husein sebagai syahid dan Yazid sebagai pembunuhnya. 4. Edward G. Brown mengatakan : Peringatan atas peristiwa Padang Karbala yang ternoda darahdimana cucu Rasulullah akhirnya jatuh dan dikelilingi jasad keluarganya yang terbunuh semenjak itu dibangkitkan setiap saat, bahkan tanpa peduli (secara terang-terangan), dengan perasaan dan dukacita mendalam serta kegairahan ruh; yang manadi hadapan itu semuarasa sakit, bahaya, dan kematian menjadi hal yang sepele. (Oleh: Muhammad Anis Maulachela dengan diedit seperlunya dari www.swaramuslim.com/islam)

ABDUL HADI WM: KEBUDAYAAN ISLAM ITU BUKAN KEBUDAYAAN ARAB


Juni 12, 2008 pada 6:56 am (Kutipan, refleksi, Softnews, Tanya Jawab, Tulisan Luar)

Perkembangan Islam di nusantara dengan segala keragaman dan budayanya, tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masuknya Islam di nusantara. Munculnya Nahdhatul Ulama yang lebih akulturatif terhadap kebudayaan dan Muhammadiyah yang puritan juga tidak bisa lepas dari konteks ini. Tentang bagaimana Islam masuk ke nusantara dan perkembangannya, berikut adalah wawancara Fachrurozi dan Deni Agusta dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan dengan Abdul Hadi WM di Univ. Paramadina, Jumat, 16 Mei 2008. Berikut pandangannya tentang Cak Nur. Secara kultural, Islam Indonesia berbeda dengan Islam yang ada di Timur Tengah, juga dengan Islam yang ada di Afrika Utara dan Eropa, apa karakteristik utamanya yang menyebabkan itu berbeda? Karena faktor-faktor historis perkembangan Islam Indonesia, di sisi lain adalah masa yang berkembang, kemudian corak Islam yang berkembang yang dibawa ke Indonesia pada permulaannya, di mana Islam hanya sebagai proses informasi. Informasi itu kan melalui media juga bisa, melalui dialog, atau juga bisa melalui intergrasi. Dari situ bisa terjadi proses dengan sendirinya.

Di Indonesia itu pertamanya secara mazhab fiqh, dalam mazhab orang-orang Syafii yang berbondong-bondong pada abad ke tiga belas setelah perang Salib menaklukkan Mongol. Kenapa kok mereka yang nongol? Orang-orang Sunni di Baghdad itu biasanya itu selalu berkonflik dengan orang-orang Syiah atau dengan pengikut Hanafi. Dan ketika terjadi konflik, mereka berkumpul di Yaman. Dan mereka itu selalu mengungsi ke Yaman, dan memang Yaman adalah pelabuhan raja. Di mana mereka bisa melanjutkan perjalanan ke Afrika dan Timur Tengah. Sedangkan mazhab Hanafi itu, kalau lari pasti ke Asia Tengah. Sedangkan kalau Syiah, tentu saja tadi. Tentu saja kemudian, di antara penganut-penganut itu bukan saja dari Arab Saudi, tetapi orang-orang Arab, Turki, Persia, itu loh ya? Yang membawa kebudayaan Turki, Persia. Untungnya itu kultur tertutupi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pertumbuhan Islam di dunia Melayu sudah bercorak intelektual? Itulah yang bisa dicatat dalam dimensi yang sangat kuat. Itu yang sampai ke dunia Melayu. Nah, di Dunia Melayu kebetulan terjadi kekosongan kultur, setelah hancurnya kerajaan Sriwijaya yang dihancurkan oleh Majapahit. Agama Budha sudah mati, disebarkan agama Hindu, Islam juga berkembang, dalam pertarungannya dan kemudian agama-agama tersebut akhirnya memeluk agama Islam. Dan karena agama Islam yang masuk itu melalui masyarakat penduduk luar? Para pedagangpedagang, dan itu tidak sulit bagi raja-raja Islam di kepulauan Melayu. Maka terintegrasilah kebudayaan Melayu dengan Islam. Sehingga tidak bisa dipisahkan antara Islam dengan Melayu. Seperti tidak bisa memisahkan antara orang India dengan orang Hindu? Seperti orang Thailand dengan orang Budha? Jadi seperti melekat begitu. Dalam Islam banyak sekali peradaban-peradaban yang masuk. Seperti India, ada Arab Persia, Arab Turki, lalu apa sumbangannya terhadap Islam itu sendiri? Pertama, kalau bicara peradaban Islam dari segi keterpelajarannya, tradisi keintelektualnya, yang meliputi penulisan kitab kuningnya, keagamaan, dan kesusastraan. Kalau anda membaca manuskrip-manuskrip yang ditulis dari abad ke-14 sampai ke-19, di dalam bahasa Melayu terutama 99 lebih itu ditulis dalam bahasa Melayu. Di dalam bahasa-bahasa nusantara lainnya juga seperti itu. Dengan datangnya Islam lewat Melayu, membuat tradisi intelektual juga berkembang di kalangan-kalangan etnik-etnik yang bukan berbahasa Melayu juga berkembang. Baik itu sastra Bugis, sastra Minangkabau, Madura, dan lain-lain juga berkembang pesat pada saaat itu. Di waktu yang sama, sastra Jawa saja yang berkembang, tidak terpusat pada lokasi. Pola yang kedua, pola ini lahir di Jawa. Di Jawa, Islam datang dari kalangan bawah, terus menengah, tapi setelah Islam di peluk oleh masyarakat banyak, di pedalaman itu masih meneruskan sistem legitimasi jaman Majapahit. Yang pada saat kekuasaan jaman Majapahit Hindu dengan Islam itu berbeda. Pola Hindu itukan raja mendapat legitimasi dari langit. Sebagai suatu agama, ya sudah semestinya merakyat. Kulturnya juga mempengaruhi, tetapi sebagai

gerakan soaial politik, oposan Islam itu dianggap sebagai sumber pembangkangan terhadap kekuasaan. Di dunia Melayu itu kan kolonial sekali, iya kan? Coba saja kamu tinggal di wilayah Melayu dengan datangnya modernisasi, praktis kok? Konfliknya tidak terlalu berjalan lama, kecuali di Aceh. Di Brunei, di Malaysia, dan kerajaan-kerajaan Melayu. tetapi Islam menjadi gelisah ketika di Aceh dan di Jawa. Karena ini berhadapan dengan kekuasaan feodal dan juga kekuasaan kolonial. Itu benar-benar secara politik. Jadi radikalisme itu, benar-benar bersentuhan dengan agama, politik, ekonomi? Iya, dia itu sebetulnya, mula-mula politik kan sebetulnya? Tapi kemudian setelah munculnya wacana, dengan munculnya Wahabisme yang menekankan kepada syariat, kemudian muncullah gerakan-gerakan radikalisme yang mengambil aktualisasi social budaya dan social politik juga social ekonomi. Tapi sebetulnya mereka juga mengaju kepada modernisme. Mereka juga sebenarnya bagiam dari modernisme tetapi menentang apa-apa yang tidak berkenan. Hal itu teradi pada masa kerajaan? Dengan berbagai macam sistem dan keyakinan beragama yang memiliki kasta-kasta. Dan Islam tidak mengenal itu. Nilai-nilai egalitarian dalam Islam sangat kental sekali, sehingga Islam mudah masuk dalam wilayah nusantara. Tapi dalam perjalananya gerakan politik Islam jauh dari nilai-nilai keagamaan yang egalitarian. Bagaimana menurut bapak? Egalitarian itu terbendung dengan adanya proses kolonialisasi dan feodalisasi juga dengan kuatnya pengaruh keraton dan kolonial? Kalau gerakan-gerakan seperti egaliter, contohnya Sarekat Islam. Karena orang sarekat ini kebanyakan adalah pedagang. Itu dibayar, penerapannya berdasarkan keilmuan. Kemudian sebagai reaksi perspektif yang ke dua, tentunya dalam bentuk Muhammadiyah, sebagai gerakan modernis yang di dalamnya anti dengan tarekat ini betul-betul egaliter-egaliter modern nasional. Tapi ini anti kultural, semua kebudayaan yang ada di anggap kosong, intinya dia mengadopsi Barat tentunya. Nah, dia itu menghamparkan pondasinya tetap bulat. Dan pondasinya itu adalah Al-Quran. Pengaruh-pengaruh itu diakibatkan datangnya dari pemikiran rasionalisme dari barat sejak Napoleon mengalahkan Mesir. Kenapa di Mesir? Bukan di India? Karena dia bentroknya dengan Inggris, dan pembaharuan itu kan adanya jika bukan di Mesir ya di India. Yang ketiga, yang mewakili kejawatan.itukan yang mewakili NU? NU ini respon terhadap Wahabi. Sebetulnya, ketika kekhalifahan Utsmaniah hengkang dari Mekkah. NU itu bukanlah sebagai basis ekonmomi. Ini adalah country yang agraris yang feudal, basic-nya itu adalah Jawa Timur. Karena Jawa Timur, setelah runtuhnya Majapahit dan munculnya Mataram itu, hampir tidak ada kerajaan. Lapisan-lapisan Hinduisme itu sudah tebal di Jawa Timur. Jadi Islamnya juga tebal, makanya terjadilah strata yang agak feodalistik. Kembali ke perkembangan pada abad dunia lain, tadi disebut Persia, India, dan lain-lain. Mungkin ada contoh peradaban lain yang bisa di apresiasi ke dalam kajian Islam yang menunjukkan keindonesiaan?

Tipikal keindonesiaan itu sebetulnya banyak sekali, tapi tidak terlalu luas, jadi mesti hati-hati dalam menyebutkan bahwa misalnya, apa yang di sumbangkan di dunia Melayu itu kan tidak sama dengan di Jawa. Dengan pola kedua adat, di mana yang memeluk Islam, melalui rajanya kemudian diikuti oleh rakyat, ada sedikit semacam pemaksaan, dan segala macamnya, menunjukkan wajah kultur Islam yang berbeda-beda. Apakah hal itu bisa dikatakan orisinal? Yang orisinal itu apa sih di dunia ini? Dalam artian, kadang-kadang dalam wacana keislaman selalu mengacu pada orisinalitas? Nilai-nilai keagamaan? Ya, globalisasi itu, Itu mula-mulanya penyebaran Jawa didukung oleh hasrat duniawi. Tapi hasrat-hasrat penyebaran agama itu kan mengikuti pada jalannya Jadi sangat sulit mengetahui mana yang murni, dan mana yang tidak murni? Apa yang paling menonjol dari peradaban kebudayaan Islam? Jika di bandingkan dengan agama Hindu dan Budha, lembaga pendidikan agama Islam egaliter, orang bisa masuk agama Islam tanpa harus jelas kelas-kelas sosialnya. Kenaikan status sosial diukur dari kecerdasan. Sehingga mobilitas sosial itu begitu cepat.keterpelajaran ini, menjadi lumrah. Nah, hal itu wajar sekali jika dalam kepulauan Melayu, di mana Islam berinteraksi, orang yang melek hurup bahasa Arab itu hanya baru kebelakang saja. Sekarang kan ada yang dengan huruf Latin atau Arab Melayu. Orang yang di Jawa pedalaman yang Islamnya tipis itu, jangankan membaca hurup Arab, atau membaca huruf Latin, membaca huruf Jawa saja belum tentu bisa. Orang-orang di Melayu pesisir itu pasti bisa huruf Arab, Itu kultur. Tetapi ketika ini tidak ditutup atau tidak di ajarkan lagi? Asas generasi muda Islam ini terhadap wacana intelektualnya yang masih ditulis dalam tulisan Arab, akan terputus. Maka akan terjadilah kemiskinan. Jangan salah, alat-alat tadi itu kan percaya ia memperkenalkan rasionalisme pada Islam. Karena ilmu-ilmu yang diajarkan itu kan banyak yang berdasarkan pemahaman Aristoteles. Pada zaman Hindu, karena memang Budha dan Hindu lebih menekankan pada methodologi, sehingga karangan-karangan ilmiah itu jarang dibahas, tetapi lebih ke kitab-kitab yang berisikan cerita fiksi. Dan itu tidak dihukum. Pada Islam, selain karya-karya, ilmu-ilmu yang sistematik itu juga sedikit. Ilmu penegakkan dan lain-lain, dan ketika generasi awal generasi intelektual Melayu yang tradisional, ketika dia mempelajari tradisi Barat tidak benar-benar betul. Karena modalnya tidak ada dalam Islam, artikulasinya segala macam. Kenapa bahasa Melayu yang bertata bahasa Arab ada singgungannya dengan bahasa Yunani itu lebih mudah ditentukan jadi bahas modern dibandingkan bahasa Jawa, yang tata bahasanya berliku-liku. Lembaga pendidikan pertama-tama selama jaman Hindu itu untuk kaum pendeta dan satria saja. Jaman Islam tidak naik dan karena kemudian Islam membangun jaringanjaringan, model kekuasaan Islam yang diperkenalkan ke seluruh nusantara itu menyeru, model seruan Islam agar

siap tidak tersentralistik. Jadi Islam itu membuat kekuasaan di sini, di sini, dan di sini, tetapi antara satu sama lain saling berhubungan. Jadi terpencar-pencar, yang penting bukan integralisme dan memang tidak menginginkan integralisme. Punya otonomi dan kemandirian sesuai dengan kondisi masing-masing dibuat berdasarkan syariah. Jadi syariah Islam disesuaikan dengan kondisi-kondisi setempat, sebagaimana dijadikan hukum atau undang-undang. Setelah itu baru pertaliannya, di mana dalam tradisi intelektual, keilmuan. Karena mazhab yang digunakan dan dipelajari adalah imam Syafii, teologinya Asyary, karena itu undang-undang adatnya itu juga diangkat dari fiqh-fiqh mazhab Syafii dan itulah yang mempersatukan. Jadi persatuannya lebih kepada persatuan batin. Kenapa mazhab Syafii lebih dominan dalam konteks Indonesia? Ya karena gelombang yang paling awal mengungsi di Indonesia dan menguasai perdagangan pada saat itu adalah Mazhab Syafii, mereka menguasai pelabuhan dari Yaman sampai Guzarat dan memang itu adalah yang paling stategis. Karena apa? Mazhab-mazhab lainnya, Maliki terjauh di Afrika Utara, itu mereka tidak mempunyai aset untuk ke timur. Karena itu, sudah masuk pada kekuasaan mamluk. Ini dikuasai oleh orang-orang Mongol pelayaran di Alam Sutera ini sehingga tidak mungkin melalui jalan darat. Baru pada abad ke-15 orang-orang mazhab Hanafi itu bisa keluar setelah runtuhnya dinasti Timur Lang itu. Jatuhnya Iran (Persia) ke tangan dinasti Syafawi yang Syiah. Dan pada abad ke-16 orang-orang Sunni mazhab Syafii banyak yang diusir dari Iran dan mereka yang mendapatkan keuntungan adalah India dan Indonesia, kaum intelektual ini bekerja, karena di sini terdapat kerajaan Aceh, Mongol, nah dari sinilah mereka mengembangkan kultur. Masuk ke soal sufisme dan kesenian yang menjadi, dalam pikiran kami kalau membaca karya bapak, ternyata sufisme itu lebih mengapreasiasi kesenian, menurut pak Hadi bagaimana? Tokoh-tokoh sufi pada awalnya memang cenderung pada kesenian dan kesusasteraan, karena dari pendapat-pendapat tadi itu bersifat imajinatif dan pengungkapannya paling mungkin dalam puisi dan fiksi. Dan mereka terbiasa. Kemudian dalam upacara ritual, mereka itu terbiasa menggunakan musik, tarian untuk upacara keagamaan mereka. Nah, dari sini banyak pula ulamaulama yang mencintai tradisi seni seperti syeikh Saman, kemudian Rumi. Dan masyarakat tidak selamanya bisa dikurung di dalam tempat formal seperti rumah, masjid, karena itu mereka membuat tempat-tempat ziarah untuk melepaskan hirarki jiwanya yang tertekan. Kenapa lebih dominan sufismenya ketimbang filsafatnya? Tidak, sebetulnya begini, sampai abad ke-18 lebih dahulu Melayu, sebelum munculnya gerakan yang menekankan kepada syariah terutama ketika munculnya tarekat Al-Kindi, filosofis itu berkembang yang melahirkan tokoh-tokoh yang dekat dengan intervensi dan banyaknya ulama yang terlibat langsung kepada pemerintahan dan cenderung pada syariah, maka itu akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan struktural dan perkembangan tarekat-tarekat sufi sehingga lebih meningkatkan syariat dan mengabaikan aspek-aspek yang filosofis dan artistik ini.

Padahal kalau seni merupakan ujung tombak untuk menyiarkan agama di kalangan masyarakat dan filosofis ini dasarnya adanya kalangan peradaban Hindu dan Budha kaum intelektual itu senang filsafat. Nah, ini lah yang dilayani oleh ulama filosofis itu. Nah, ketika ahli fiqh datang mereka tidak senang ketika terjadi tarian, Jawa menjadi Kejawen. Kalau melihat dan membaca puisi Rumi dan Iqbal sangat dominan dalah hal itu, apa kontribusi mereka dalam khazanah intelektual Islam dan juga termasuk kesenian? Ada tiga kelompok sufi. Pertama ada kelompok yang kita golongkan al-qatalian, yang menekankan pada akhlaq. Kedua, Ibnu Arabian lebih pada pendidikan. Ketiga, seni. Ketigatiganya itu memiliki kontribusi dalam perkembangan tradisi itelektual dan kebudayaan Indonesia. Banyak sekali legenda-legenda yang kemudian menjadi sumber inspirasi menciptakan kebudayaan berasal dari terminologi-terminologi yang dibuat oleh Attar dan Rumi ini. Kalau anda ke Melayu itu Buluk Rindu (nyayian seluring Rumi), kemudian simbol-simbol burung (simok) menguasai seni ukir, batik, itu ada di mana-mana. Apakah itu pengaruh dari metodologi kesenian? Tidak bisa, karena orang Islam yang datang ke sini sebelum datang, dia sudah terebih dahulu tahu tradisi Hindu, tidak perlu diajarkan di Jawa, cukup diajarkan ke India saja dan kebudayaan Persi itu saudara sepupu dari kebudayaan India, dari situ kita cukup belajar tidak perlu diajarkan lagi dan itulah untuk memandang sejarah. Dalam peradaban itu, mengutip hiasan dan lukisan Islam, banyak dipengaruhi dari Cina. Karena orang-orang Cina yang dibawa orang-orang Mongol untuk mempengaruhi perkembangan seni pokok Islam dan orang-orang inilah yang membawa ke Indonesia. Kemudian sebenarnya Islam itu menyatukan kebudayaan-kebudayaan dari berbagai peradaban yang datang ke dunia Islam dan kemudian memberikan kebudayan-kebudayaan tersebut kepada orang-orang yang memeluk Islam. Sehingga kebudayaan Islam itu, bukan budaya orang Arab karena kontribusinya bukan hanya dari orang-orang Arab tapi banyak kebudayaan. Tapi kenapa dalam proses perjalanannya, ketika berbicara Islam selalu identik dengan Arab? Semua terjadi kemudian setelah abd ke-18, diawali dengan runtuhnya kekhalifahan Islam dan munculnya negara-negara kolonial dan kemudian dijajah Barat yang kemudian mengakibatkan putusnya hubungan induknya (Persia), ketika terpecah belah terjadilah lokalisasi, ketika terjadi lokalisasi terjadilah kecenderungan legalistik pada tarekat fiqh dengan mengedepankan artistik filosofis dan estetiknya itu. Kedua munculnya gerakan Wahabi yang semakin menghabiskan dengan tahyul-tahyulnya itu, kemudian Arab dihabiskan dan berkuasa pada tahun 1920 kira-kira seperti itu. Ketiga, munculnya modernisme karena bertolak dari semangat pencerahan di Barat terhadap kultur. Kenapa itu terjadi? Karena gerakan pemurnian agama, gerakan modernisme, gerakan kolonialisme.

Sementara itu golongan yang kita dipengaruhi pemikiran posmo, yang relatif nilai pada pendangkalan dan komersialisasi. Jadi kultur itu tidak didapatkan di mana-mana, kecuali di negara-negara yang sejak awal sudah membentengi. Seperti Jepang menerima Barat hanya tekhnologinya, sainsnya, tapi filsafat hidupnya tidak. Dia bisa memoles kolonialisme menjadi idiologi universal yang bisa menerima bentuk-bentuk peradaban sebagaimana Islam pada zaman Abbasyiah. Islam yang sekarang ini merupakan Islam yang legalistik, Islam yang diterjemahkan secara formal tidak menuntut kemungkinan berkembang. Bagaimana pendapat bapak mengenai kebebasan beragama? Di dalam Islam kemajemukan itu sudah dipelihara sejak lama dan itu merupakan warisan dari zaman dahulu. Ada proses itu tidak berjalan pasca perang Salib, ketika orang-orang mongol sudah menaklukkan Bagdad terjadi skisme-skisme dalam Islam, usaha Al-Ghazali untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu Islam itu setengahnya berhasil dan setengahnya tidak karena dipotong karena munculnya penaklukkan Mongol tersebut. Kalaupun harus dirumuskan konteks kebudayaan Islam dalam pijakannya pada Bumi Nusantara, kira-kira rumusannya seperti apa? Islam di Nusantara itu tergantung wilayah. Wilayahnya itu ada rumpun Islam dengan gaya Melayu dan tarian-tariannya itu Minangkabau dan segala macamnya, mempunyai karakter sendiri. ada karakterisktik Islam Jawa yang terbelah dua, Islam Jawa Pesisir dan Islam Jawa yang dekat dengan keraton feodal itu, yang satu mengarah pada mistik dan satu mengarah pada kehidupan duniawi. Artinya bahwa keberagamaan inheren dalam Islam? Tentu saja konflik agama itu terjadi sejak zaman Hindu atau pun zaman Islam, tentu sering orang-orang dari mazhab Syiwa dan Brahma itu berkelahi pada zaman Hindu dahulu. Tapi ada sikap-sikap toleran di dalamnya, sebetulnya itu yang tidak diterjemahkan dengan baik sehingga kita kebingungan oleh bangsa kita ini, pemimpin kita. Dalam konteks nasionalisme di Indonesiatercermin dalam pidatonya Soekarno dan Hatta memang ada agama-agama yang diakui dalam hal ini inheren dengan kebhinekaan. Artinya dalam sejarah itu, yang memberikan kontribusi besar dalam pada peradaban Hindu, Budha itu jelas diakui dan kemudian Islam Sunni maupun Syiah, kemudian Agama Protestan dan Katolik. Kenapa Khonghucu terpisah, karena agama-agama yang dibawa etnis dan dibawa oleh orang asing ke sini. Dalam konteks kenegaraan mereka tidak mendapatkan jaminan untuk berkembang dalam bentuk financial. Bagaimana dengan kasus Ahmadiyah? Ahmadiyah ini, mereka tidak meragukan bahwa Mirza Gulam Ahmad seorang Rasul tetapi pemiikiran-pemikiran orang Ahmadiyah itu bermanfaat bagi dia untuk memahami konsep

modern. Jadi sebetulnya menurut saya kalau Ahamadiyah tidak tampil sebagai jemaat yang tampil sebagai pemikir-pemikir gerakan-gerakan, saya kira tidak ada masalah, masalahnya ini menjadi ekslusif. Kasus ini juga yang dialami oleh DDII, Lemkari. Nah, itu sulit dipecahkan secara hukum dan saya bukan ahlinya, bagaimana menempatkan dalam konteks hukum sedangkan kapasitasny bukan dalam konteks ini? Untuk masalah pembubaran serahkan saja kepada hukum, tetapi ini ada elemen masyarkat yang bisa juga ditunggangi oleh kepentingan lain untuk membuat tujuan tertentu. Jadi menurut saya, pro dan kontra itu saling mengkaitkan diri saat ini untuk tidak membuat konflik horizontal, biarkan saja. Negara berpikir apa saja tapi juga jangan dipanas-panasi supaya menolak usulan ini. Kalau begitu bagaimana menurut bapak apa yang harus diselesaikan dari problem Islam Indonesia? Ya mesti diselesaikan, jangan terlalu membawa wacana ke dalam wilayah politik demi kepentingan ekonomi, idiologi, dari situlah sumber konflik. Tapi kalau dibawa pada dialog kultural maka tidak ada masalah. Karena itu, kita terima perbedaan pandangan dan jangan menggunakan wacana kekerasan. Bagaimana pak Hadi mengenal Cak Nur dalam konteks pemikirannya? Di sisi mana syeikh seiring dengan pemikiran-pemikiran Cak Nur dan di sisi mana merasa berbeda? Cak Nur tipologi orang yang belajar di pondok kemudian mencari bandingan dari wacana-wacana intelektual Barat yang orientalik. Hal ini untuk mengeritik kondisi umat Islam yang ada di Indonesia dan itu syah-syah saja. Kalau itu terasa menyakitkan memang iya. Masalahnya kita tidak terbiasa dengan wacana ini. Bagaimana ke depan yang ini bisa berjalan dengan baik, peranan lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi, karena lembaga perguruan tinggi tidak ada istilah peradaban Islam diajarkan, sekarang ini tidak ada model seperti itu, yang ada adalah model peradaban dan pendidikan Barat. Sementara itu kelompok-kelompok pengajian itu terlalu oriented PKS, yang dari ikhwanul Muslimin, yang semuanya itu sebetulnya ahistoris dalam konteks keindonesian. Misalnya Hasan Al-Banna muridnya Abduh kalau dia berkata pada Abduh maka dia berkata dengan Muhamadiyah. Cak Nur itu melihat Islam di Indonesia, pengetahuannya lebih berat ke Jawa, dan perkembangan zaman dan tidak terhitung yang Melayu itu. Kalau kita lihat segmen masyarakat Islam di Indonesia, kalau gerakan Islam pembaharu ini kebanyakan lebih dari Sumatera, Melayu, dan Jawa Barat. Tapi kalau yang tradisional itu lebih dari Jawa Timur, Jawa tengah dan terminologi ini tidak sama dengan menggunakan pendekatan yang berbeda. Selama ini dikalangan umat Islam yang berbicara konteks hukum, selalu mengacu pada kekuatan konvensional. Artinya ini akan terus mengalami ketegangan ketika tidak dilihat sebagai sebuah hukum.

Kebudayaan mana lebih dahulu tumbuh dibandingkan negara? Negara lebih awal, kalau kebudayaan dibuang, negara tidak punya asas spiritual. Kebudayaan harus dipertimbangkan juga, jangan berpikir law to law apapun alasannya. Tidak akaa bisa ketemu kalau seperti ini. Dan ini akan terjadi ketersinggungan-ketersinggungan antara ketiga kekuatan, pertama, kekuatan yang modernisme yang berpijak pada rasionalisme, kemudian fundamintalisme keagamaan, Posmo yang bergerak dalam bidang konsumerisme itu akan terus ada di dalam sejarah peradaban Indonesia. Kalau itu tidak ditranformasikan ke dalam bentuk dialog maka itu akan tidak produktif, dan kita tunggu saja konflik itu terjadi. Kaum Posmo itu memanfaatkan reaksi pasar bebas lihat saja filmfilm ML apakah itu di tunggangi atau apa? Selajutnya bagaimana bapak melihat MUI sebagai sebuah lembaga yang mempersatukan ulama, selain MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa? Di dalam Islam itu tidak ada kependetaan, tidak ada gereja dalam pengertian itu. MUI itu hanya menyalurkan apresiasi-apresiasi ormas-ormas Islam yang ada. Nah, kalau membenahi yang harus dibenahi itu adalah ormas Islam ini, dan kepemimpinan tradisi ini. Fungsi ulama di Indonesia itu, agen kebudayaan, dan harus memiliki pemikiranpemikiran yang cemerlang, untuk mencerdaskan umat, melakukan hal-hal yang dapat membantu kepentingan rakyat agar tidak terjadi kebodohan yang panjang. Jadi menurut saya kita dalam posisi seperti itu, reflektis saja. Artinya pikiran-pikiran ini kita godok dalam pikiran kita dengan cara dialogis bukan konfrontatif. Kalau konfrontatif, banyak musuh kita ini. Ini masalah orang awam, masalah orang bodoh itu tidak bisa dirubah seketika jiwanya, lain dengan di Amerika dengan budaya tulis. Budaya tulis itu untuk membaca reaksi, misalnya mendapat berita kemudian mereka merenung dulu apa yang akan disampaikan, tidak dengan budaya kita yang lisan, baru saja melontarkan, langsung mendapatkan reaksi-reaksi miris, sebelum melakukan perenungan atas jawaban sudah mendapatkan reaksi. Baik, terima kasih Pak Hadi (Source: psik-demokrasi.org/home.)
Like this: Suka Be the first to like this post. 1 Komentar

1. Misbach Malim berkata,

Juni 9, 2009 pada 12:15 pm

1. Kata DDII dalam jawaban Pa Hadi saya rasa keliru. barangkali yang anda maksudkan adalah LDII (Lembaga Dawah dari Kolompok Islam jamaah) anderbounya Golkar. 2. Dan Saya mengharapkan agar bapak melihat fenomena tentang Islam saat ini dengan hati yang jernih dan bersih (iman dan islam). Bahwa setiap penistaaan agama seperti yang dilakukan Ahmadiyah dan kelompok sempalan lainnya adalah satu kemunduran bagi kehidupan beraganma d tanah air kita dan akan merusak tatanan kehidupan yang sudah baik dan modern ini. Dan mereka-mereka itu bukanlah bagian dari kebudayaan Islam. 3. Barangkali kita sependapat bahwa Indonesia ditinjau dari segi sosial dan kebudayaan tak ada nilainya tanpa kehadiran Islam. 4. Cak Nur menurut saya berfikirnya terlalu maju. Ingin merasionalitaskan nilai dan konsep Islam. Menurut saya beliau ini termasuk orang yang merusak tatanan Islam dari segi berfikir atau sekurang-kurangnya ingin mencampur adukkan Islam dengan konsep berfikir secular, liberal dan lainnya.

Sutan Takdir Alisyahbana dan Pemikiran Kebudayaannya


Februari 26, 2008 pada 3:24 am (Biografi)

Abdul Hadi W. M. (Budayawan-Sastrawan Islam, Dosen ICAS-Paramadina University & UI) Sutan Takdir Alisyahbana (STA) adalah tokoh terkemuka dan istimewa dalam sejarah kesusastraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Dia menulis puisi, novel, esai-esai sastra, kitab pengetahuan tatabahasa dan karangan-karangan ilmiah mengenai falsafah, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Tidak banyak sastrawan di negeri menguasai persoalan-persoalan falsafah dan kebudayaan sedemikian luasnya seperti STA. Tidak banyak pula cendekiawan Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan kesusastraan, estetika, seni dan bahasa Indonesia seperti STA. Belakangan ia sangat menaruh minat pada sejarah intelektual Islam, khususnya pemikiran Ibn Rusyd dan menjelang akhir hayatnya kepada Muhammad Iqbal. Kecenderungan ini pun sangat jarang dijumpai di kalangan teman-teman sejawatnya maupun generasi cendekiawan Indonesia di belakangnya. STA adalah tokoh terkemuka dan istimewa dalam sejarah kesusastraan dan pemikiran kebudayaan di Indonesia. Dia menulis puisi, novel, esai-esai sastra, kitab pengetahuan tatabahasa dan karangan-karangan ilmiah mengenai falsafah, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Tidak banyak sastrawan di negeri menguasai persoalan-persoalan falsafah dan kebudayaan sedemikian luasnya seperti STA. Tidak banyak pula cendekiawan Indonesia yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan kesusastraan, estetika, seni dan bahasa Indonesia seperti STA. Belakangan ia

sangat menaruh minat pada sejarah intelektual Islam, khususnya pemikiran Ibn Rusyd dan menjelang akhir hayatnya kepada Muhammad Iqbal. Kecenderungan ini pun sangat jarang dijumpai di kalangan teman-teman sejawatnya maupun generasi cendekiawan Indonesia di belakangnya. Tetapi dalam karangan pendek ini saya tidak mungkin mengupas seluruh pemikiran STA yang begitu luas dan kompleks itu. Pembahasan saya tumpukan pada dua hal saja sebagai ikhtiar sekadar memahami corak dan arah pemikirannya tentang kebudayaanya, khususnya dalam konteks Indonesia masa kini dan masa lalu seperti yang saya pahami. Yang pertama ialah pemikirannya tentang kebudayaan, khususnya seperti tercermin dalam bukunya Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture (1974). Walaupun dengan pembacaan kembali secara tergesa-gesa, saya mencoba memahami inti persoalan yang dikemukakan STA. Setelah membicarakan itu akan saya usahakan memahami keinginanya untuk memutuskan hubungan historis Indonesia (kebudayaan baru Indonesia yang bersifat nasional) dari kebudayaan pra-Indonesia, yang kemudian disebut kebudayaan-kebudayaan daerah, baik dalam UUD 45 maupun oleh ahli-ahli anthropologi, sejarah dan sastra. Pengertian Kebudayaan Pengertian STA tentang kebudayaan dalam banyak hal berbeda dari pengertian yang diterima secara umum dalam masyarakat kita, yang biasanya diturunkan dari ilmu-ilmu sosial dan anthropologi. Dalam anthropologi seperti tercermin dalam tulisan L. A. White (1962), kebudayaan dimengerti sebagai tingkah laku yang dipelajari, sedangkan yang lain daripada itu seperti pemikiran keagamaan atau estetika yang melatari suatu ekspresi sastra dipandang sebagai abstraksi dari tingkah laku. Istilah culture sendiri dalam bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelum tahun 1843 para ahli anthropologi memberi arti kebudayaan sebagai cara mengolah tanah, usaha bercocok tanam, sebagai tercermin dalam istilah agriculture dan holticultura. Definisi anthropologis secara lebih luas dikemukakan oleh E. B. Tylor (1871). Dia antara lain menyatakan bahwa Kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan dan kebiasaan seseorang sebagai anggota masyarakat. Pengertian yang diberikan ahli anthropologi ini menyebabkan apa yang disebut kebudayaan sering disamakan dengan peradaban. Padahal keduanya amat berbeda. Dalam perkembangannya malahan pengertian istilah budaya dan kebudayaan hanya dibatasi pada kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Bangunan batin yang membentuk kebudayaan dan peradaban sering dilakukan, khususnya sebagaimana terwujud dalam etika, epistemologi dan estetikanya. Ini berbeda sekali dengan pengertian kebudayaan yang pernah muncul dalam sejarah intelektual Islam dan Eropa seperti tercermin dalam pemikiran filosof sejarawan seperti Ibn Khaldun, Will Durant dan ahli-ahli kebudayaan dari madzab Jerman yang di dalamnya termasuk Edward Spranger yang sering dikutip STA. Karena itu sebelum memaparkan pemikiran STA saya akan mencoba memaparkan pemikiran Ibnu Khaldun, Will Durant dan madzab Jerman. Dalam sejarah pemikiran Islam, kata-kata yang digunakan untuk kebudayaan ialah al-hadharah atau hadharah, sedangkan untuk kata-kata peradaban atau civilization digunakan kata-kata al-

madaniyah atau madaniyah saja. Kata-kata yang sama pengertiannya dengan madaniyah ialah tsaqafah (al-tsaqafah). Kata-kata al-hadharah berasal dari kata kerja hadhara, artinya datang atau hadir, kebalikan dari tidak datang atau tidak hadir. Di sini perkataan hadhara diartikan sebagai tinggal di wilayah perkotaan. Sedangkan untuk tinggal di kawasan pedesaaan disebut albadiyah, darimana kata-kata baduwi (kehidupan nomaden) berasal. Orang desa yang pindah ke kota disebut hadharah, artinya berkebudayaan. Ini tidak berarti di pedesaan tidak berkembang kebudayaan, hanya saja kebudayaan yang berkembang sebagiannya adalah replika dari kebudayaan yang berkembang di kota. Penggunaan kata-kata hadharah jelas berkaitan dengan adanya petunjuk bahwa yang utama dan hakiki dalam kebudayaan ialah adanya gerak, tindakan, perubahan, peningkatan pola dan gaya hidup, serta pertambahan kebajikan dan kearifan. Orang-orang yang tinggal di kota itu berkembang dan membentuk pola kehidupan tertentu untuk memperbaiki keadaan hidup mereka. Upaya perbaikan keadaan tersebut dilakukan melalui kerjasama, solidaritas sosial, tindakantindakan tertentu seperti membuka lembaga-lembaga pendidikan dan pusat kebudayaan, serta mengembangkan pemikiran, pengetahuan, falsafah hidup, seni, sastra, bahasa, arsitektur, musik, pertukaran pikiran dan maklumat. Dalam pengertian ini kebudayaan hanya berkembang jika ada komunitas yang mendukung kebudayaan itu dan terdapat suasana komunikatif serta lingkungan yang ramah terhadap berbagai ide dan pemikiran yang berkembang. Dalam bukunya al-Muqadimah Ibn Khaldun mengembangkan lebih jauh pengertian al-hadharah sebagai kebudayaan dalam arti sebenarnya. Dia berpendapat bahwa kebudayaan ialah kondisikondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan. Kelebihan-kelebihan tersebut berbeda-beda sesuai tingkat kemewahan yang ada pada kondisi tersebut. Menurut Ibn Khaldun, kehidupan tidak akan berkembang benar-benar kecuali di kota. Di kota sajalah terdapat kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan. Kondisi yang lebih inilah tujuan utama semua aktivitas kehidupan. Karena itu kebudayaan dikaitkan dengan negara oleh Ibn Khaldun. Dengan adanya negara, maka kebudayaan akan berkembang dengan mantap dan dengan dilandasi kebudayaan maka negara mempunyai tujuan spiritual dan nilai-nilai selaras dengan cita rasa bangsa yang warga dari negara bersangkutan. Pada abad ke-20 M, pengertian kebudayaan selalu dikaitkan dengan kemajuan, demokrasi dan pengetahuan manusia dalam berbagai bidang seperti bahasa, sastra, seni rupa, musik, industri hiburan, perdagangan, falsafah dan lain-lain. Semua bentuk dan perwujudan ekspresi manusia (etika, estetika, intelektualitas dll) menjadikan manusia lebih bermartabat dan berdaulat atas nasib dan hidupnya. Di sini kebudayaan dikaitkan dengan kondisi ideal dan nyata yang digerakkan oleh seperangkat pandangan hidup dan sistem yang mampu menghargai kemajemukan, perbedaan pendapat, keadilan dan hak asasi manusia. Dengan perangkatperangkat ini perdamaian, kemajuan dan kebahagiaan bisa dicapai. Dan dengan kondisi-kondisi seperti itu pula bangsa Indonesia mampu meningkatkan kehidupan dan nilai-nilainya, serta mengembangkan ilmu pengetahuan, falsafah, agama, bahasa, seni dan kesusastraan. Dalam bukuya The Story of Civilization (1955) Will Durant mengatakan bahwa, Kebudayaan dimulai ketika pergolakan, kekacauan dan keresahan telah reda (yaitu telah ditransformasikan ke dalam karya seni, karya keilmuan atau falsafah). Sebab apabila manusia aman dan bebas dari rasa takut maka akan timbul dalam dirinya dorongan-dorongan untuk mencari berbagai

rangsangan alamiah dan tak henti-hentinya melangkah di jalannya untuk memahami kehidupan dan memekarkannya. Di sini pengertian kebudayaan terhubungkan dengan keharusan adanya kegairahan manusia (junon, seperti dikatakan Iqbal) untuk memahami dan memekarkan kehidupan, dan upaya ke arah itu hanya mungkin apabila rangsangan-rangsangan kerohanian yang ada dalam diri manusia terus dipupuk dalam berbagai bidang kegiatan. Dengan demikian rangsangan tersebut akan hidup. Will Durant menghubungkan kebudayaan (culture) dan pertanian (agriculture); kemudian peradaban (civilization) dengan civility atau sopan santun orang terpelajar. Peradaban sebagai civility ditemui dalam masyarakat kota, seperti tampak dalam cara makan dan berpakaian. Durant mengatakan bahwa oleh karena hanya di kota terhimpun kekayaan dari berbagai pelosok desa, dan di kota pulalah dijumpai otak-otak berbakat. Maka itu hanya di kota saja terjadi penciptaan karya intelektual dan seni, serta di kota pula muncul industri untuk melipatgandakan sarana-sarana hiburan, kemewahan dan seni. Pun hanya di kota para pedagang saling bertemu untuk saling bertukar barang dagangan dan idea, sehingga membuat akal budi subur, kecerdasan meningkat, dan semua itu pada akkhirnya mempengaruhi kekuatannya dalam mencipta dan membuat sesuatu. Dengan kata lain hanya di kota orang dituntut menghasilkan bermacam-macam karya dan ekspresi, yang mendorong mereka terlibat aktif secara sadar dalam kehidupan sains, falsafah, sastra dan lain sebagainya. Peradaban, menurut Will Durant, jelas berbeda dari kebudayaan. Kebudayaan berkaitan dengan upaya memberdayakan potensi kejiwaan dan rohani manusia. Apabila potensi kejiwaan dan rohaninya berkembang, maka manusia akan dapat mengolah lingkungan hidup dan kehidupan sosialnya dengan baik dan indah. Di lain hal salah satu arti dari peradaban ialah bentuk tingkah laku manusia beradab sebagai diperlihatkan oleh orang-orang kota. Mereka dapat berbuat demikian karena tingkat ekonomi dan kemampuan teknologinya telah berkembang. Tetapi pemikiran yang lebih jelas tentang kebudayaan dapat dijumpai dalam pemikiran filosof mazhab Jerman. Menurut mazhab Jerman, kebudayaan ialah segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat. Sedangkan peradaban ialah perwujudan kemajuan teknologi dan pola material kehidupannya. Bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mempunya dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi seni dan falsafahnya berakar pada kebudayaan, sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya merupakan hasil peradaban. Dengan demikian, kebudayaan ialah apa yang kita dambakan, sedangkan peradaban ialah apa yang kita pergunakan. Kebudayan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran falsafah dan agama, bentuk-bentuk spiritualitas dan moral yang dicita-citakan, falsafah dan ilmu-ilmu teoritis. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan santun pergaulan, pelaksanaan hukum dan undang-undang. Pengertian yang diberikan oleh mazhab Jerman ternyata tidak jauh berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam sejarah pemikiran Islam. Bertolak dari pengertian tersebut `Effat alSyarqawi (1986) mengartikan kebudayaan sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas

dari kontradiksi ruang dan waktu. Adapun peradaban ialah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia agar tidak menyerah terhadap kondisi-kondisi di sekitarnya Sedangkan kebudayaan ialah struktur intuitif yang mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang menggerakkan suatu masyarakat melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetik, cara berpikir, pandangan dunia (weltanschaung) dan sistem nilai-nilai. Peradaban ialah ikhtisar perkembangan yang dicapai dengan tenaga pikiran dan sejauh mana kemajuan tenaga itu dalam mengendalikan segala sesuatu. Di sini peradaban meliputi semua pengalaman praktis yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain. Peradaban tampak dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, astronomi, ekonomi, politik praktis, fiqih mu`amalah, dan semua bentuk kehidupan yang berkaitan dengan penggunaan ilmu terapan dan teknologi. Sedangkan kebudayaan di lain hal nampak perwujudannya dalam hal-hal yang mencerminkan kehidupan rohaniah seperti nilai-nilai moral, falsafah, sistem kepercayaan, adat istiadat, sastra, seni, bahasa dan spiritualitas (mistisisme, tasawuf dll). A. Fizee dalam bukunya Kebudayaan Islam (1982) memberi batasan pengertian dan cakupan kebudayaan sebagai berikut: Kebudayaan dapat berarti: (1) Tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu periode sejarah bangsa di puncak perkembangannya; (2) Hasil yang dicapai suatu bangsa dalam lapangan kesusastraan, falsafah, ilmu pengetahuan dan kesenian; (3) Dalam pembicaraan politik, kebudayaan diberi arti sebagai way of life suatu bangsa, terutama dalam hubungannya dengan adat istiadat, upacara keagamaan, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat. Kondisi-kondisi ideal yang memungkinkan terciptanya kebudayaan dalam pengertian ini diperlukan. Kebudayaan adalah hasil dari adanya suasana komunikatif yang memungkinkan masyarakat itu ada dan berfungsi sebagai suatu komunitas. Kondisi seperti itu juga mengandaikan eratnya hubungan manusia dengan kebudayaan, yang secara simbolis dapat digambarkan sebagai ertanya hubungan laba-laba dengan jaringan sarang yang dibuatnya. Dengan jaringan sarang yang dibuatnya sendiri itu laba-laba bisa hidup. Komunitas manusia tergantung pada jaringan makna yang dibuatnya. Jaringan makna itu tersimpul dalam simbolsimbol yang dibuatnya sendiri seperti bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, falsafah, sistem sosial dan lain sebagainya (Taufuik Abdullah 1988). Di belakang simbol-simbol itu bekerja seperangkat nilai, pandangan hidup dan gambaran dunia (Weltanschaung) tertentu. Itulah yang disebut kebudayaan. Hanya dengan kebudayaan suatu komunitas bisa hidup, berkembang dan berperan dalam sejarah kemanusiaan. Sebaliknya hanya dengan adanya komunitas yang mendukung kebudayaan itu, maka suatu kebudayaan berkembang. Kebudayaan tidak berkembang di tengah komunitas masyarakat yang acuh tak acuh, anarkis dan semau gue. STA dan Kebudayaan Tentu saja terdapat banyak perbedaan antara pemikiran STA dan Ibnu Khaldun serta Will Durant. Tetapi dengan mengerti pemikiran dua tokoh tersebut, kita akan lebih mengerti pemikiran STA dibanding bertolak dari pengertian kebudayaan yang diberikan oleh ahli-ahli anthropologi dan sosiologi.

Sebab seperti Will Durant, STA membicarakan kebudayaan dengan bertolak dari falsafah dan sejarah. Dan kemudian meletakkan pemikirannya dalam lingkait (konteks) perjuangan bangsa Indonesia yang sedang berusaha membangun kebudayaan baru yang bercorak nasional dan supra-daerah. Kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan STA bukanlah himpunan dari puncakpuncak kebudayaan daerah, tetapi suatu kebudayaan modern yang mampu menjadikan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan memiliki kebudayaan tinggi. Menurut STA, sebagai dampak dari penjajahan selama lebih dua ratus tahun, kedudukan bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk, miskin dan terbelakang di tengah-tengah bangsa lain yang jauh lebih maju dan makmur seperti bangsa-bangsa Eropa dan Jepang. Untuk mendorong bangsa ini bangkit, kondisi kebudayaannya yang menyedihkan harus diperbaiki dengan melakukan perubahan dan pembaruan besar-besaran. Dalam rangka inilah STA mengembangkan teori dan pemikiran kebudayaannya. Ia berharap pemikiran dapat dijadikan panduan dalam melakukan transformasi budaya. STA percaya bahwa hanya dengan mengubah kebudayaannya, bangsa Indonesia bisa bangkit dari keadaannya yang terpuruk. Konsep kebudayaan yang diperlukan ialah konsep yang dinamis. Untuk itu STA harus berfalsafah kembali tentang manusia sebagai makhluk yang mencipta kebudayaan dan sebagai makhluk yang yang sepanjang sejarahnya hidup dalam berbagai kebudayaan yang selalu berubah. Dalam pencariannya itu STA sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting ialah soal etika dalam hubungannya dengan nilai-nilai. Di dalam lingkait ini etika bisa dibaca sebagai etika, etos, keberadaban (civility)dan kebajikan (virtue). Hubungan etika dengan nilai, menurut STA, merupakan inti utama dari persoalan kebudayaan yang dijumpai dalam sejarah semua bangsa sepanjang zaman. Manusia, sebagai pencipta kebudayaan, mempunyai kodrat ganda. Pada satu sisi ia adalah makhluk alam dan pada sisi lain ia adalah makhluk budi. Sebagai makhluk alam manusia itu tunduk kepada hukum alam yang menguasai kehidupan lahir dan jasmaninya. Sedangkan sebagai makhluk budi ia dikuasai oleh hukum budi (Geist dalam bahasa Jerman, mind dalam bahasa Inggeris, buddhi dalam bahasa Sanskerta, al-`aql dalam bahasa Arab; penulis Melayu abad ke-16 seperti Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari menggunakan kata akalbudi atau budi saja untuk pertama kali dalam bahasa Melayu). Pengertian manusia sebagai makhluk yang tunduk kepada hukum budi, memiliki pengertian yang mirip dengan pengertian animal rational (Aristoteles) dan al-haywan al-natiq (al-Farabi, Ibn Sina), yang artinya sama yakni hewan berakal. Tetapi konsep yang dikemukakan STA saya kira dapat ditelusuri pada pemikiran para filosof Neo-Kantian, yang bersumber dari pemikiran Immanuel Kant. Pemikiran ini merupakan produk dari gerakan humanisme zaman Pencerahan (Aufklarung) yang bangkit pada abad ke-18 M. Gerakan ini meyakini pentingnya akal budi manusia dan tumbuh sejalan dengan penemuan-penemuan besar dalam ilmu pengetahuan alam, berkembangnya aliran-aliran besar dalam falsafah termasuk rasionalisme, empirisme dan idealisme. Bagi manusia zaman Pencerahan, perjumpaan ilmu pengetahuan dapat berkembang melalui pertemuan antara akal manusia dengan pengalamannya di dunia empirik. Manusia akan mencapai harkat dan martabatnya melalui penyebaran science. Ciri utama pemikiran Pencerahan ialah sekularisasi pemikiran dan cara hidup.

Dengan demikian hukum yang dilahirkan oleh pencapaian akal budi menjadi semacam keharusan yang harus ditaati, menjadi kategori imperatif. Seperti dalam pemikiran Kant, etika juga merupakan tumpuan utama dalam pemikiran STA sebab ia dianggap sebagai persoalan inti dalam kebudayaan. Secara tidak disadari STA sangat mengerti makna pepatah Melayu, Yang kurik sufi, yang merah saga/Yang baik budi, yang indah bahasa yang diturunkan dari isi kitab seperti Taj al-Salatin karangan Bukhari al-Jauhari. Dalam perkataan budi, seperti nanti akan ketara pada penjelasan STA, terangkum pencapaian pikiran, moral dan tingkat kebajikan yang tercetus dalam nilai-nilai yang baik dan indah. Menurut STA ketundukan manusia kepada hukum budi atau Geist-nya itulah yang menentukan kemanusiaan dan memungkinkan manusia menciptakan kebudayaan yang tinggi. Tetapi sebagai budayawan yang dipengaruhi ide-ide Pencerahan, STA juga mempersoalkan hak-hak dan kebebasan manusia. Lantas dalam kaitannya dengan keterikatan dan ketundukannya kepada hukum budi itu, di manakah letak kebebasan kehidupan pribadi, masyarakat dan kebudayaan? Kebebasan manusia yang berbudi itu, kata STA, terletak dalam kebebasannya memilih nilai-nilai yang menjadi motivasi, pendorong dan sekaligus tujuan dari perilaku dan perbuatannya. Berangkat dari pandangannya ini STA mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan penjelmaan dari proses penilaian dan nilai-nilai yang muncul dari perilaku, perbuatan, perkembangan bendabenda rohani dan jasmani manusia, yang kesemuanya berintegrasi dalam suatu pola atau konfigurasi. Berdasarkan ini, sebagai kelengkapannya, STA mengartikan lebih jauh kebudayaan sebagai penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan kehidupan dan nilai-nilai. Menurut STA perkataan budaya/kebudayaan dalam bahasa Indonesia/Melayu sangat tepat oleh karena menghubungkan budaya dengan budi, karena kata-kata budaya dibentuk dari kata budi dan daya. Kata-kata budi berarti pikiran, kesadaran disebabkan seseorang berpikir, sedang kata daya artinya ialah kekuatan untuk menghasilkan atau mencapai sesuatu. Jadi kata budaya atau kebudayaan bisa diartikan pula sebagai sebuah kemampuan menggunakan pikiran untuk menghasilkan atau menjelmakan nilai-nilai yang baik yang dapat memajukan kehidupan. Dalam bahasa Inggris, kata STA, kaitan kata culture dan mind tidak ada sehingga pengertian kebudayaan menjadi kacau dalam tradisi intelektual Anglo-Saxon. Pengertian yang kusut inilah yang diturunkan ke dalam madzab-madzab utama ilmu sosial dan anthropologi dewasa ini. Tetapi dallam bahasa Jerman, menurut STA, hubungan pengertian antara kata Geist dengan kebudayaan atau bildung cukup rapat, sebab kata bild yang membentuk perkataan bildung salah satu artinya ialah terikat, yaitu terikat kepada apa yang ada di dalam diri manusia termasuk Geist, Weltanschauung dan lain-lain. Karena kebudayaan adalah penjelmaan nilai-nilai, maka persoalan terpenting bagi kita yang ingin membangun teori kebudayaan ialah membuat pengelompokan secara teliti tentang nilainilai. Dalam usahanya itu STA bertolak dari Edward Spranger, yang dalam bukunya Lebensformen (1921) membagi enam nilai yang membuat suatu kebudayaan terjellma: (1) Nilai teori yang menentukan identitas sesuatu; (2) Nilai ekonomi yang berupa kegunaan atau utility; (3) Nilai agama yang berbentuk kekudusan atau das Helige; (4) Nilai seni yang menjelmakan keekpresian atau expresiveness; (5) Nilai kuasa atau politik; (6) Nilai solidaritas yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong, kesadaran kelompok, dan lain-lain.

Keenam nilai itu terdapat pada semua kebudayaan, masyarakat, pribadi, malahan sebagai apriori dari budi manusia. Masing-masing memiliki pula logika, tujuan, norma dan realitas yang berbeda. Ia terjelma dalam suatu integrasi, bergantung pada integrasi pribadi, golongan masyarakat atau komunitas yang menjadi pendukung suatu kebudayaan. Jika nilai teori dan ekonomi bekerjasama, maka suatu masyarakat akan mampu menghadapi hukum alam karena keduanya bersifat rasional. Adapun nilai kuasa dan solidaritas merupakan unsur yang membentuk organisasi kemasyarakatan. Sedangkan nilai agama dan seni jika bekerjasama membentuk aspek ekspresif yang ideal dalam kebudayaan, sebab keduanya dibentuk oleh perasaan, imaginasi, keyakinan dan intuisi. Nilai seni yang tidak didukung oleh nilai religius dan rasional ilmu, cenderung menjadi dekaden. Sebaliknya nilai agama yang tidak didukung nilai seni dan ilmu akan menjadi kering dan beku. Berdasarkan perspektif pemikiran seperti itulah STA memandang krisis kebudayaan modern yang berkembang dewasa ini dan juga menilai kebudayaan yang berkembang dalam komunitas bangsa Indonesia. Begitu pula berdasarkan pemikiran seperti itu ia mencetuskan gagasannya dalam Polemik Kebudayaan pada tahun 1930an. Menurut STA (1985), alasan mengapa ia menjadikan kebudayaan Barat yang dinamis sebagai orientasi pemikirannya, disebabkan keinginannya melihat bangsa Indonesia merebut ilmu pengetahuan, kemajuan ekonomi dan tehnologi yang bersifat rasional dalam waktu yang secepat-cepatnya. Kebudayaan Indonesia adalah serba tanggung. Kebudayaan yang tinggi ilmu pengetahuan dan tehnologinya, rakyatnya makmur, masih belum dapat dicapai, sedang kebudayaan gotong royong dan spiritualitas lama, serta moral bangsa Indonesia telah runtuh seruntuh-runtuhnya. Kepada siapa lagi kita akan bersandar. Dalam kehidupan seni dan amalan agama juga tampak berbagai kelemahan. Kebudayaan nasional atau kebudayaan Indonesia mestinya merupakan penjelmaan dari kebudayaan modern yang dikuasai oleh ilmu dan ekonomi sehingga melahirkan tehnologi dan tingkat kecakapan dan kecerdasan yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia maju. STA menyebut pusat-pusat penting peradaban seperti universitas, bank, pasar, pusat kekuasaan dan pusat-pusat kebudayaan. Pusat-pusat peradaban ini harus memainkan peranan penting dalam penyebaran nilai-nilai kebudayaan modern. Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki etika dan etos kerja yang mantap. Jika, tidak ia akan tinggal sebagai bangsa paria di tengah bangsa-bangsa lain yang telah maju. Dari pernyataannya ini kita dapat memahami mengapa STA tidak mau menerima pengertian kebudayaan nasional seperti dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dituangkan dalam UUD 45, bahwa Kebudayaan nasional ialah puncak-puncak kebudayaan daerah. Pertama, menurut pendapat saya, kata-kata puncak kebudayaan daerah bisa ditafsirkan secara ahistoris dan sempit yaitu kebudayaan daerah yang pada abad ke-20 M masih tampak mewarisi monumen-monumen besar dan seni adiluhung. Jika itu yang dimaksud maka yang menghasilkan puncak-puncak kebudayaan hanyalah Jawa yang memiliki Borobudur, Lorojonggrang dan wayang kulit, serta berbagai bentuk seni pertunjukan yang terpelihara disebabkan eksistensi kraton. Lantas bagaimana dengan kebudayaan daerah lain seperti Bima, Dayak, Nias, Banjar, Toraja, Madura, Sumba, dan lain-lain? Bagaimana dengan kebudayaan Melayu yang puncakpuncaknya berbentuk teks sastra, yang cenderung dilupakan oleh ahli sejarah, para anthropolog dan sastra, khususnya dewasa ini? Kedua, kebudayaan-kebudayaan daerah dalam konteks abad ke-20 M dapat diartikan, menurut pendapat saya, sebagai tradisi-tradisi kecil yang sudah lama

telepas dari Tradisi Besar yang membentuknya dan kemudian berkembang sebagai pengulanganpengulangan yang tidak disertai inovasi dan kreativitas. Yang saya maksud dengan tradisi kecil ialah budaya-budaya lokal yang kelihatannya sangat anekaragam itu, tetapi jiwa yang ikut membentuk dan mengikatnya tidak banyak yaitu dua tradisi besar yang disebut kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam. Kenakeragaman budaya seperti diekspresikan oleh masyarakat tradisional Aceh, Bugis, Madura, Minangkabau, Melayu, Bima, Banjar, Sunda, Jawa Pesisir, dan lain-lain sebenarnya hanya penampakan lahirnya. Struktur batin atau intuitif dari budaya-budaya itu ialah Islam, dengan sedikit unsur-unsur Hindu atau praHindu. Di lubuk kebudayaan Jawa adalah dua tradisi besar, yaitu Hindu dan Islam. Tetapi berbagai faktor internal seperti runtuhnya pusat kekuasaan Hindu pada abad ke-15 M dalam kaitannya dengan kebudayaan Jawa, proses ortodoksi dan hadirnya kolonialisme dalam kaitannya dengan Islam, telah mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi tradisi besar itu dan mengakibatkan terserak-serak menjadi tradisi-tradisi kecil yang kehilangan dinamika dan landasan intelektual. Pada masanya ketika komunitas-komunitas sukubangsa besar Nusantara ini masih merupakan pendukung utama tradisi-tradisi besar, mereka ini menjadi komunitas bangsa yang kreatif dan maju, meskipun struktur masyarakatnya masih bersifat feodal. Dinasti Syeilendra di Jawa Tengah bisa menghasilkan Borobudur dan Mendut, dinasti Sanjaya melahirkan candi Lorojonggrang di Prambanan, kerajaan-kerajaan di Jawa Timur seperti Kediri, Singasari dan Majapahit melahirkan sastra kakawin dan candi-candi yang nilai seninya menakjubkan. Namun setelah itu, tradisi intelektual Hindu seperti tercermin dalam falsafah Vedanta, Nyaya dan Waisesika, ikut lenyap bersama berlalunya waktu. Kerajaan-kerajaan Melayu seperti Aceh Darussalam, ketika masih kokoh berdiri sebagai pendukung tradisi besar Islam, bukan tradisi kecil seperti sekarang, dapat melahirkan tokoh-tokoh kearifan yang ulung seperti Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari, Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdul Rauf Singkel, Yusuf al-Makassari, Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Raja Ali Haji, dan lain-lain. Tetapi dengan mundurnya kebudayaan Melayu sebagai dampak dari proses ortodoksi yang berlebihan dan cengkraman kolonialisme yang tidak terhindarkan, tradisi besar seperti tercermin tasawuf filosofis, adab, kesusastraan, dan lain-lain ikut juga lenyap ditelan waktu. Akhir Kalam Sebagai penutup saya ingin sedikit membandingkan pemikiran STA dengan pemikiran Fukuzawa Yukichi (1835-1901 M) dari Jepang. Meskipun sebagian besar dari 21 jilid bukunya Yukichi Zenshu (Karya Lengkap Yukichi) yang diterbitkan pada tahun 1958-64 dia berbicara tentang peradaban, pada dasarnya dia berbicara tentang kebudayaan yang disebutnya sebagai jiwa dari peradaban. Dalam pemikirannya Fukuzawa Yukichi menekankan pada ilmu dan kebajikan sebagai prasyarat majunya kebudayaan dan peradaban. Sebaliknya kebodohan dan kejahatan merupakan penyakit kebudayaan dan peradaban. Menurutnya tingginya tingkat kebudayaan dan peradaban masyarakat dapat diukur dari tingkat kecerdasan dan moralitas suatu bangsa. Kemajuan kebudayaan dan peradaban tidak semata-mata tergantung pada kemakmuran material dan pencapaian teknologi, tetapi juga pada perkembangan spiritual dan intelektual. Dia membagi kebajikan menjadi dua macam: Pertama, kebajikan

pribadi yang tercermin dalam kesederhanaan, kerendahan hati, kesopanan, kejujuran, ketulusan hati, kesetiaan dan pengurbanan; kedua, kebajikan khalayak, yang tercermin dalam sikap dan tindakan adil, berani, punya rasa malu, terus terang, dan lain sebagainya. Menurut Fukuzawa Yukichi, kebudayaan adalah jiwa peradaban dan ia merupakan bentukan spiritual. Jiwa suatu bangsa, katanya, tidak dapat ditransfer begitu saja kepada bangsa lain. Sebab kebudayaan dibentuk secara berkelanjutan dalam sejarah yang lama, terus menerus dipupuk melalui proses pendidikan dari generasi ke generasi tanpa putus. Dengan perkataan lain kebudayaan hanya dapat dibentuk jika ada tradisi kreatif dan intelektual serta dasar-dasar etika dan estetika yang mantap serta kokoh dalam suatu masyarakat atau komunitas bangsa. Di samping tradisi kreatif dan intelektual yang telah dipupuk lama, terutama melalui proses pendidikan, prasyarat lain ialah kemampuan belajar dari pengalaman sejarah. Kedua prasyarat ini tidak kita miliki lagi sekarang. Ini tercermin dalam rendahnya penghargaan bangsa kita terhadap pencapaian kreatif dan intelektual, serta meluasnya sikap ahistoris bangsa kita dalam memandang segala hal, termasuk kalangan terpelajar dan intelektualnya. Lantas bagaimana kita meletakkan pemikiran kebudayaan STA di tengah arus pemikiran yang berkembang dewasa ini dalam skala global? Jika kita menggunakan rangka yang diajukan Gellner (1992), kecenderungan pemikiran STA dapat dimasukkan ke dalam kutub rasionalisme Enlightement atau fundamentalisme rasionalis. Kutub pemikiran seperti ini pastilah berhadapan dengan dua kutub lain yang menjadi pesaing atau pecundang sengitnya, yaitu fundamentalisme keagamaan dan posmodernisme yang bisa disebut juga sebagai fundamentalis relativis. Yang membuat pemikiran STA berbeda dengan pemikiran madzab rasionalis yang lain ialah semangatnya. Semangat yang melatari pemikiran STA adalah semangat idealisme romantik yang berakar dalam gerakan Sturm und Drang di Jerman awal abad ke-19 M dengan tokoh-tokohnya yang terkenal seperti Schiller, Goethe, Schelling, dan lain-lain. Di belakangnya lagi adalah idealisme Hegel dan pemikiran Neo-Kantianisme (lihat juga esai Asikin Arif dalam buku Sang Pujangga 2006). Berhadapan dengan dua pesaingnya itu, para tokoh fundamentalisme rasionalis akan mengajukan pandangan yang berbeda. Bagi fundamentalisme rasionalis, posmodernisme atau fundamentalisme relativis akan dipandangnya sebagai biang dari krisis kebudayaan dan dekadensi moral. Sedangkan fundamentalisme realigius,pasti akan dikecam sebagai penyebab kemunduran dan keterbelakangan. Tetapi bagi pendukung posmodernisme, pandangan STA pasti akan dipandangnya sebagai utopia. Tetapi utopia atau tidak, mimpi besar atau bukan, pemikiran STA masih relevan untuk kita renungi sekarang di tengah krisis multi-kompleks yang dialami bangsa kita. Jakarta 20 Februari 2006 Senarai Rujukan: Durant, Will (1955). The Story of Civilizations. Vol. I. New York. The Pocket Library. `Effat al-Sharqawi (1986). Filsafat Kebudayaan Islam. Terj. A. Rofi` Usmani. Bandung: Pustaka. Gellner, Ernest (1992). Posmodernism, Reason and Religion. London and New York: Routledge.

Ibnu Khaldun (1284 H). Al-Muqaddimah. Cairo: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra. (1980). The Muqaddimah: An Introduction to History. Trans. Franz Rosenthal. Princeton: Bollingen Series XLIII. White, L. A. (1962) The Concept of Culture. Dalam ed. M. F. Ashley Culture in the Evolution of Man.Oxford: OxfordUniversity Press. Takdir Alisyahbana, Sutan (1966). Values as Integrating Forces in Personality, Societ and Culture. Kuala Lumpur: University of Malaya Press. (1985). Pembahasan Makalah Koentjoroningrat Tentang Kebudayaan Nasional. Dalam ed. Alfian Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Taylor, E. B. (1871). Primitive Culure: Researches Into The Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language., Art and Custom. Boston: Estes & Lauriat. Yukichi, Fukuzawa (1973). An Outline of A Theory of Civilization. Trans. David A. Dilworth and G. Cameron Hurst. Tokyo: SophiaUniversity. (Sumber: www.jce.com)

Wasiat Nabi saw kepada Imam Ali as


September 2, 2010 pada 3:40 am (Ma'shumin) Imam Ali bin Abi Thalib as berkata : Bahwa Rasulullah saaw berwasiat kepadaku dengan sabda beliau : Ya Ali! Aku berwasiat kepadamu dengan sesuatu wasiat, maka jagalah dia baik-baik, kerana selama engkau memelihara wasiat ini niscaya engkau akan tetap berada dalam kebaikan. Ya Ali! Bagi orang mukmin itu ada tiga tanda : Melakukan sholat, berpuasa dan berzakat. Dan bagi orang munafik ada pula tiga tandanya : Pura-pura sayang bila berhadapan, mengumpat di belakang dan gembira bila orang lain mendapat musibah. Bagi orang zalim ada tiga cirinya : Menggagahi orang bawahannya dengan kekerasan, orang diatasnya dengan kedurhakaan dan melahirkan kezalimannya secara terang-terangan. Bagi orang riya ada tiga tandanya : rajin bila di depan orang ramai, malas bila bersendirian dan ingin dipuji untuk semua perkara

Bagi orang munafik ada tiga tandanya : Bohong bila berkata, mengingkari bila berjanji dan khianat apabila dipercaya. Ya Ali, bagi orang pemalas ada tiga tanda : menunda-nundakan waktu, mensia-siakan kesempatan dan melalaikannya sampai berdosa. Dan tidak patut orang berakal menonjolkan dirinya kecuali tiga perkara : berusaha untuk penghidupan atau mencari hiburan dalam sesuatu perkara yang tidak terlarang atau mengenangkan hari akhirat. Ya Ali! Diantara bukti orang yang percaya kepada ALLAH ialah tidak mencari kerendahan seseorang dengan kemurkaan ALLAH, tidak menyanjung seseorang atas nikmat yang diterima, dan tidak mencela seseorang bila tidak mendapat nikmat ALLAH. Ingatlah bahwa rizki tidak dapat diraih oleh orang yang sangat tamak mendapatkannya, dan tidak pula dapat dielak oleh orang yang tidak menyukainya. ALLAH telah menjadikan nikmat karunia dan kelapangan itu dalam yakin dan ridho dengan pemberian ALLAH dan Ia menjadikan kesusahan dan kedukaan itu dalam murka terhadap rezeki yang telah ditentukan oleh ALLAH. Ya Ali! Tidak ada kefakiran yang lebih hebat daripada kebodohan, tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal, tiada kesepian yang lebih sunyi daripada ujub (Kagum kepada diri sendiri), tiada kekuatan yang lebih kuat daripada musyawarah, tiada iman keyakinan, tiada wara yang lebih baik daripada menahan diri, keindahan seindah budi pekerti dan tidak ada ibadah yang melebihi tafakkur. Ya Ali! Segala sesuatu itu ada penyakitnya. Penyakit bicara adalah bohong, penyakit ilmu lupa, penyakit ibadah adalah riya, penyakit budi pekerti adalah memuji, penyakit berani adalah agresif, penyakit pemurah adalah menyebut-nyebut pemberian, penyakit cantik adalah sombong, penyakit bangsawan adalah bangga, penyakit malu adalah lemah, penyakit mulia adalah menonjolkan diri, penyakit kaya adalah bakhil, penyakit royal (mewah) adalah berlebih-lebihan dan penyakit agama adalah hawa nafsu. Ya Ali! Apabila engkau disanjung orang, bacalah kalimat ini : Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik daripada apa yang mereka katakan. Ampunilah dosaku apa yang mereka tidak ketahui, dan janganlah aku disiksa tentang apa-apa yang mereka katakan. Ya Ali! Apabila engkau puasa sampai petang, maka ucapkanlah dikala engkau berbuka : Untuk-Mu lah aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu lah aku berbuka. Niscaya dituliskan bagimu pahala orang puasa pada hari itu dengan tidak kurang sedikit pun daripada pahala mereka. Ketahuilah, bahwa bagi setiap orang yang berpuasa itu ada doa yang diperkenankan. Maka jika ia pada permulaan suapannya waktu makan mengucapkan : Dengan nama ALLAH Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, wahai Tuhan Yang Maha Luas pengampunan-Nya, ampunilah aku. Niscaya diampuni dosanya. Ketahuilah bahwa puasa itu adalah perisai yang akan menangkis bahaya api neraka.

Ya Ali! perbanyakkanlah membaca surah Yaasin kerana didalamnya terdapat sepuluh macam barokah. Tiada orang yang membacanya waktu lapar (puasa) kecuali kenyang, tiada yang haus kecuali lepas hausnya, tiada yang bertelanjang kecuali peroleh pakaian, tiada yang sakit melainkan sembuh, tiada yang takut kecuali aman, tiada yang dipenjarakan melainkan lepas, tiada yang bujang melainkan kawin, tiada musafir melainkan matanya terang dalam perjalanan, tiada orang yang hilang barangnya melainkan menemukannya, tidak dibacakan keatas orang yang hampir tiba ajalnya melainkan diringankan baginya. Barangsiapa membacanya ketika subuh niscaya ia akan aman sampai petang dan barangsiapa yang membacanya di waktu petang niscaya ia akan aman sehingga ke pagi. Ya Ali! Bacalah surah ad-Dukhan pada malam Jumat, niscaya ALLAH memberi ampunan kepadaMu. Ya Ali! bacalah surah Hasyr, niscaya engkau akan berkumpul pada hari kiamat dalam keadaan aman dari sesuatu. Ya Ali! bacalah surah al-Mulk dan as-Sajdah, niscaya engkau diselamatkan Tuhan dari marabahaya hari kiamat. Ya Ali! bacalah surah al-Mulk waktu tidur nescaya engkau selamat dari azab kubur dan dari pertanyaan Malikat Munkar dan Nakir. Ya Ali bacalah surah al-Ikhlas dalam keadaan berwudhu, niscaya engkau akan diseru pada hari kiamat : Hai pemuji Tuhan, bangkitlah, maka kemudian masuklah ke dalam syurga. Ya Ali! bacalah surah al-Baqarah kerana membacanya itu membawa berokah. Dan tidak mau membacanya itu membawa penyesalan. Ya Ali! jangan terlalu lama duduk di bawah cahaya matahari kerana itu akan menimbulkan penyakit lama datang kembali, merusakkan pakaian dan mengubah warna muka. Ya Ali! Engkau akan aman dari bahaya kebakaran jika engkau mengucapkan : Subhana Robbi laa ilaha illa anta alaika tawakkaltu wa anta Robbul Arsyil Azhim. Ya Ali! Engkau aman dari was-was syaitan bila engkau baca : (surah al-Isra : 45-46) Ya Ali! apabila engkau berdiri di depan cermin maka ucapkanlah : YAA ALLAH sebagaimana Engkau telah mengindahkan kejadianku maka indahkanlah pula budi pekertiku dan berikanlah aku rezeki. Ya Ali! apabila engkau keluar dari rumah untuk sesuatu hajat keperluan maka bacalah Ayat Kursi niscaya hajat engkau, insya ALLAH, sampai.

Ya Ali lakukanlah sholat ditengah malam sebentar walaupun sesingkat kadar waktu memerah susu kambing dan berdoalah kepada ALLAH di waktu sahur. (dari milis Lovers Ahl al-Bayt)

You might also like