You are on page 1of 6

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Kondisi Geografis Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi DIY yang berada di bagian tenggara dengan luas wilayah sekitar 1.485,36 km2 atau 46,63 persen dari luas wilayah Provinsi DIY. Untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan, kabupaten ini secara berjenjang terbagi menjadi 18 kecamatan dan 144 desa. Wilayah bagian utara Kabupaten Gunungkidul berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah dan bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Samudera Indonesia. Adapun di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan Sleman, yang keduanya juga merupakan bagian dari Provinsi DIY serta pada bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri (Provinsi Jawa Tengah). Berdasarkan letak geografisnya, Kabupaten Gunungkidul

terbentang pada 70 15' hingga 80 09' Lintang Selatan dan 1100 21' hingga 1100 50' Bujur Timur. Wilayah kabupaten ini berada pada ketinggian antara 0 hingga 700 meter di atas permukaan air laut dengan topografi wilayah yang cukup bervariasi mulai pantai, dataran, hingga lereng dan berbukit-bukit. Berdasarkan penggunaannya sebagian besar wilayah Kabupaten Gunungkidul merupakan areal pertanian. Namun demikian,

sekitar 90 persennya merupakan lahan kering tadah hujan yang pemanfaatan potensinya sangat tergantung dari curah hujan yang ada. 2. Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2009 berdasarkan hasil proyeksi penduduk tercatat sebanyak 688.145 jiwa. Selama periode 2005-2009, jumlah penduduk mengalami pertumbuhan rata-rata 0,19 persen per tahun. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, maka tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Gunungkidul mencapai 463 jiwa/km2. Dilihat menurut komposisinya, penduduk Kabupaten

Gunungkidul terdiri dari 334.519 penduduk laki-laki dan 353.626 penduduk perempuan sehingga rasio jenis kelaminnya tercatat sebesar 94,60 persen. Hal ini berarti dari setiap seratus orang penduduk perempuan terdapat sekitar 95 orang penduduk laki-laki. Selama beberapa tahun terakhir rasio jenis kelamin penduduk di Kabupaten Gunungkidul berada pada kisaran 95 persen. Salah satu faktor yang cukup mempengaruhi adalah mobilitas penduduk laki-laki yang lebih tinggi dari penduduk wanita, terutama pada penduduk yang sudah berusia kerja. Terbatasnya kesempatan kerja yang tersedia bagi para penduduk yang mulai memasuki usia kerja menyebabkan banyak penduduk laki-laki produktif yang ke luar Gunungkidul untuk mencari pekerjaan. Berdasarkan kelompok umur penduduk, sebanyak 432.155 jiwa atau sekitar 62,80 persen merupakan penduduk yang produktif, yakni mereka yang berumur antara 15 hingga 64 tahun. Sedangkan sisanya,

sebanyak 255.990 jiwa atau 37,20 persen merupakan penduduk yang secara teoritis menjadi tanggungan/beban kelompok produktif yakni kelompok umur muda (0-14 tahun) dan kelompok umur tua (65 tahun keatas). Selanjutnya dari komposisi penduduk tersebut dapat dihitung angka rasio ketergantungan (dependency ratio) yang menyatakan besarnya beban yang menjadi tanggungan kelompok umur produktif. Rasio ketergantungan pada tahun 2009 mencapai 59,24 persen, yang berarti bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung sekitar 59 orang yang belum produktif dan sudah tidak produktif lagi. Namun demikian, ukuran ini masih sangat kasar karena hanya memandang penduduk dari sisi umur saja. Sementara sisi yang lain seperti status sekolah, status pekerjaan serta aktivitas sehari-harinya diabaikan. Ditinjau menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan, mayoritas penduduk Kabupaten Gunungkidul yang berumur 15 tahun ke atas didominasi oleh mereka yang menamatkan tingkat pendidikan SD ke bawah. Jumlahnya mencapai 64,3 persen. Kelompok penduduk yang telah menamatkan pendidikan sampai tingkat SLTP jumlahnya sekitar 20,60 persen. Adapun mereka yang menamatkan pendidikan sampai SMA tercatat sebesar 11,70 persen dan selebihnya sekitar 3,40 persen adalah penduduk yang menamatkan pendidikan tingkat Diploma ke atas. Kecenderungan selama lima tahun terakhir memperlihatkan makin kecilnya proporsi penduduk yang hanya berpendidikan SD ke bawah, yakni dari 67,34 persen pada tahun 2005 dan berangsur turun menjadi 64,3

persen

pada

tahun

2009.

Sebaliknya

persentase

mereka

yang

berpendidikan SLTP dan SMA menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Demikian pula proporsi penduduk yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat diploma dan sarjana juga semakin meningkat dari 2,23 persen pada tahun 2005 menjadi 3,40 persen pada tahun 2009. Secara umum, fenomena ini mencerminkan tingkat kemajuan pembangunan dalam bidang pendidikan selama beberapa tahun terakhir. Namun demikian, jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Provinsi DIY, Kabupaten Gunungkidul masih memiliki persentase penduduk yang menamatkan pendidikan sampai dengan tingkat SD yang terbesar. Hal ini menandakan secara relatif rata-rata tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Gunungkidul masih lebih rendah dibandingkan daerah lainnya. Kondisi ini membawa konsekuensi perlunya upaya lebih kuat untuk meningkatkan tingkat pendidikan penduduk baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal. Berdasarkan klasifikasi wilayahnya juga terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara daerah perkotaan dan pedesaan seputar pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduknya. Hal ini terkait dengan belum meratanya persebaran fasilitas dan sarana belajar serta jumlah pengajar pada masingmasing tingkat sekolah.

Tabel 4.1 Gambaran penduduk Kabupaten Gunungkidul, 2005-2009

3. Ketenagakerjaan Sasaran yang ingi dicapai dalam bidang pembangunan sumberdaya manusia adalah memperluas kesempatan berusaha bagi penduduk, baik di sektor formal maupun sektor informal. Sasaran ini dapat dicapai jika terjadi keseimbangan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar kerja. Kenyatannya, kedua faktor tersebuttidak pernah mencapai keseimbangan, sehingga terjadi akumulasi pencari kerja baik karena ketiadaan lapangan pekerjaan atau karena keterampilan yang dimiliki para pencari kerja tidak sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Pilihan bekerja pada sektor informal tak dapat dihindari karena terbatasnya penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Disamping itu, masih besarnya porsi tenaga kerja tidak terampil (unskilled labor) turut

memicu pertumbuhan sektor informal, karena hanya sektor ini yang bisa menampung mereka.

You might also like