You are on page 1of 16

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

IMPLEMENTASI RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UU NOMER 24 TAHUN 2000 Abstract : There two kinds of internasional agreement ratification in Indonesia ,ratification which need parliament approval in form of an act in ratification without parliament approval in form of president decree and will submit to parliament for acknowledgement . After the existing of internasional agreement act, there is no principal differences in the implementation of internasional agreement ratification in Indonesia .Basically internasional agreement ratification procedure according to internasional agreement act is adopted from the earlier procedure , in which not clearly regulated . The implementation internasional agreement ratification in Indonesia after the exist of internasional agreement act is marketd by the exist of low certainty inevery aspect internasional agreement ratification . Kata kunci :Ratifikasi, Perjanjian Internasional

PENDAHULUAN Perjanjian internasional memainkan peranan penting dalam mengatur hidup dan hubungan antar Negara dalam masyarakat internasional. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan pada era global ini, tidak ada satu negarapun yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak diatur dalam perjanjian internasional (Baca pula Boer Mauna , 2000:82). Hal tersebut didorong oleh perkembangan pergaulan internasional , baik yang bersifat bilateral maupun global. Perkembangan tersebut antara lain disebabkan oleh karena semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang berdampak pada percepatan arus globalisasi masyarakat dunia . Perbuatan perjanjian internasional (treaty) yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik secara khusus maupun umum (universal) merupakan salah satu sarana yang efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan yang timbul sekaligus guna menjamin kesejahteraan dan kedamaian untuk manusia (www. dfa- department luar negeri go.id) . Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian perjanjian internasional hanya diatur dalam hukum kebiasaan . Selanjutnya diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treattes yang ditandatangani 23 Mei

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

1969 , dan mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif (Boer Mauna,2000:83). Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan perjanjian internasional ialah yang biasa disebut dengan traktat(treaty) yaitu suatu sebutan atau istilah untuk perjanjian internasional pada umumnya. Dalam pasal 2 konvensi Wina 1969 dinyatakan , Treaty means an international agreement concluded between states in written form governed by internasional law, whether embodied in a single instrument or two or more related instruments and whatever is particular designation . Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa treaty merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara Negara dalam bentuk tertulis dan seterusnya ,sehingga perjanjian internasional dalam bentuk lisan tidak dapat dimasukkan kedalam jenis treaty, walaupun perjanjian secara lisan itu melahirkan kewajiban internasional . Pengertian lainnya terdapat Undang Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU No . 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional . Dengan demikian , perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi ketentuan ketentuan yang mempunyai akibat hukum (Lihat pula Boer Mauna, 2000:85, dan Mochtar Kusumaatmadja, 1982:84). Dlam hukum wajar menimbulkan kewajiban internasional perjanjian internasional yang dibuat dengan

kewajiban yang mengikat bagi negara- negara peserta(para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara negara untuk melaksanakan dengan itikat baik kewajiban kewajibannya(Lihat F. Isjwara , 1972:201). Perjanjian internasioanal dimuka dapat terlihat bahwa perjanjian internasional (traktat) selalu bertujuan meletakkan kewajiban kewajiban yang mengikat terhadap negaranegara peserta . Pada umumnya perjanjian internasional akan segera mengikat bagi negara negara pesertanya apabila telah melalui proses ratifikasi. Ratifikasi perjanjian internasional merupakan hal menarik dan sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional . Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional , tetepi juga merupakan persoalan hukum nasional ( Hukum Tata Negara). Hukum internasional hanya menentukan pentingnya suatu perjanjian internasional diratifikasi, sedangkan tata cara pemberian ratifikasi perjanjian diatur oleh hukum nasional masing- masing Negara.

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

Berdasarkan uraian dimuka akan dibahas implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia setelah berlakunya UU No . 24 Tahun 2000. RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UU NO . 24 TAHUN 2000 (UUPI) Hubungan luar negeri dan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain ,organisasi internasional , dan subyek-subyek hukum internasional lain, secara umum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Hal ini sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 . Disamping itu, perjanjian internasional merupakan pelaksanaan pasal 11 uud 1945 dan perubahannya (1999). Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat , melaksanakan hubungan luar negeri serta kerjasama internasional berdasarkan pada asas kesamaan derajat, saling menghormati dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing- masing , sejalan dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Pedoman yang digunakan untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional di Indonesia sebelum tahun 2000 terdapat dalam Surat Presiden No . 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 , yang mengatur mengenai pengesahan melalui undang- undang atau Keputusan Presiden (www. depdeinas.go.id). Sebelum UU No. 21 Tahun 2000 berlaku masih terdapat kesimpang siuran dan belum terdapat keseragaman dan pedoman yang jelas mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional. Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya peraturan perundang- undangan sebagai pelaksana ketentuan Pasal 11 UUD 1945 , yang ada hanya Surat Presiden No . 2826/HK/1960 Kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat mengenai penafsiran terhadap Pasal 11 UUD 1945 khususnya tentang masalah substansi perjanjian internasional , dan perjanjian internasional yang membutuhkan persetujuan dan pengesahan oleh Dewan Perwakilan ,dan perjanjian internasional yang cukup disampaikan untuk diketahui saja oleh DPR. Surat Presiden tersebut pada pokoknya membagi perjanjian internasional atas dua pengertian , yaitu perjanjian terpenting(treaties), yang akan disampaikan pemerintah kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR dan perjanjian lain (agreements)yang akan disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh presiden . Walupun surat presiden tersebut telah berlaku sebagai suatu pedoman dan menetapkan criteria perjanjian internasional yang termasuk dalam pengertian perjanjian terpenting namun dalam

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

perkembangan dewasa ini terdapat ketidak jelasan atas bidang perjanjian yang dianggap sehingga pembuatan dan pengesahannya telah mengalami keracuan dan kesimpangsiuran . Oleh karena itu Pemerintah Indonesia berusaha menyusun Rancangan Undang- undang Perjanjian internasional , yang akhirnya pada tanggal 23 Oktober 2000 disahakanlah Undang-undang perjanjian internasional yaitu Undang undang No.24 Tahun 2000 (selanjutnya disingkat UUPI). Undang undang inilah yang menjadi dasar hukum dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia (www. dfa-deplu.go.id0. Landasan hukum mengenai pembuatan Undang- undang mengenai perjanjian internasional antara lain Pasal 11 UUD 1945 dan perubahannya (1999) dan UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri . Selain itu Undang undang tersebut membuat prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional yang berlaku secara universal dan dijadikan pedoman bagi masyarakat internasional internasional . Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UUPI , dalam prakteknya ada dua macam pengesahan perjanjian internasional di Indonesia, yaitu dengan Undang- undang dan keputusan presiden . Dalam menentukan ratifikasi perjanjian internasional ( akan diratifikasi dengan Undang- undang atau dengan keppres), dilihat dari substansi atau materi perjanjian bukan berdasarkan bentuk dan nama (nonmenclature)perjanjian, dan dilakukan oleh Departement Luar Negeri . Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksud agar terciptanya kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan Undang undang. Pengesahan perjanjian internasional yang dilakukan dengan Undang- undang apabila berkenaan dengan (Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000) : a. Masalah politik , perdamaian , dan keamanan negara; b. Perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia ; c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara; d. Hak asasi manusia dan lin gkungan hidup; e. Pembentukan kaidah hukum baru ; f. Pinjaman dan atau hibah luar negeri. Khusus mengenai pinjaman dan / hibah luar negeri berserta persetujuannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat akan diatur oleh Undang- undang tersendiri . Hal ini telah dibicarakan dalam rapat pembahasan Rancangan UUPI dalam keterangan pemerintah mengenai RUUPI pada dalam membuat dan mengesahkan perjanjian

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

tanggal 22 Mei 2000 , ketika dijelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan materi

tentang

Pinjaman Luar Negerisifatnya khusus dan perlu diatur tersendiri.Landasan pemikiran tersebut didasarkan pada suatu pembicaraan dan pembahasan yang intensif dan komprehensif dengan Departemen keuangan , Bank Indonesia ,dan Bappenas mengenai masalah ini . Pinjaman luar negeri tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang undang tentang pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional dengan pertimbangan pertimbangan sebagai berikut (www. dfa-departemen luar negeri.co.id).
a.

Saat ini pinjaman luar negeri pemerintah mengacu pada ketentuan dalam

Indische

Comptabilitets Wet/ICW, sementara pinjaman luar negeri yang diterima oleh bank Indonesia mengacu pada Undang- undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 yang penggunaannya berkaitan dengan pengelolaan cadangan devisa ,sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan moneter . b. Berdasarkan praktek yang berlaku selama ini , pagu (plafon) pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR berdasarkan disahkanya Undang- undang APBN pada setiap tahun anggaran , sehingga secara otomotis persetujuan DPR terhadap jumlah pinjaman luar negeri telah diperoleh pada saat disetujuinya Undang- undang APBN .
c.

Untuk melaksanakan kebijakan ekonomi sebagaimana diamanatkan dalam Bab IV TAP MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri Pemerintah sebagai kegiatan ekonomi yang produktif dan pelaksanaannya dilakukan secara transparan , efektif dan efisien , maka Pemerintah sedang RUU yang mengatur mekanisme dan prosedur pinjaman luar negeri.

d.

Oleh karena sifat perjanjian pinjaman luar negeri sangat khusus dan agar proses penerimaan pinjaman luar negeri yang dibutuhkan untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia tidak mengalami hambatan- hambatan, maka mekanisme persetujuan DPR perlu diatur secara komprehensif sehingga memerlukan pengaturan secara khusus dalam UU tersendiri. Selanjutnya pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk dalam

pasal 10 tersebut dilaksanakan dengan keputusan presiden (pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000) . Pengesahan perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan bagi perjanjian yang memasyarakatkan adanya pengesahan sebelum mulai berlakunya perjanjian tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis- jenis perjanjian yang termasuk

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

dalam kategori ini , diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi , ekonomi , teknik, perdagangan , kebudayaan , pelayaran , niaga, penghindaran pajak berganda,dan kerjasama perlindungan penanaman modal , serta perjanjian perjanjian yang bersifat teknis(penjelasan atas UU No. 24 Tahub 2000). Berdasrkan ketentuan tersebut dimuka dapat diketahui bahwa dasar hukum pengesahan perjanjian internasional dengan Undang- undang adalah Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000, sedangkan dasar hukum pengesahan melalui keputusan presiden ialah pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000. Setelah penandatanganan , instansi/ departemen teknis terkait sebagai Vocal poin-nya menyiapkan bahan bahan berupa dokumen- dokumen yang telah di-Certified True Copy oleh departemen luar negeri . Dokumen dokumen yang perlu dipersiapkan oleh lembaga pemrakarsa adalah (Pasal 12 UU No. 24 Tahun 2000) : a. Salinan naskah perjanjian ; b. Terjemahan ; c. Rancagan Undang undang / Rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ;dan ; d. Dokumen dokumen lain yang diperlukan . Lembaga pemrakarsa dalam membuat rancangan Undang- undang (RUU) / rancangan keppres (RKP) pengesahan perjanjian , dilakukan bersama- sama dengan departemen luar negeri atau dapat pula dilakukan oleh lembaga pemrakarsa itu sendiri dengan diketahui oleh departemen luar negeri. Sifat RUU/ RKP pengesahan perjanjian internasional adalah sangat sederhana , biasanya hanya terdiri dari pasal yang berisi kalimat pengesahannya. Apabila terdapat reservasi / persyaratan , disebutkan dalam RUU/ RKP tersebut . Setelah menyiapkan semua dukumen yang dipersyaratkan dalam Pasal 12 , lembaga pemrakarsa mengirimkannya ke departemen luar negeri untuk selanjutnya departemen luar negeri meneruskan ke secretariat negara dan memulai proses ratifikasi . Adapun proses ratifikasi dapat dijelaskan sebagai berikut : Ratifikasi / Pengesahan dengan Keppres Proses ratifikasi dengan keputusan presiden adalah sebagai berikut . Departemen luar negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian internasional dengan keppres kepada secretariat Negara , disertai copynaskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh) copy, plus 1 (satu)

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

yang tekah di Certified True Copy . Setelah dipelajari sekneg , selanjutnya diteruskan kepada presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada Kepala Biro Hukum , kemudian ke Deputi Eselon 1 , diteruskan kepada s/sesneg (Dulu ada Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika diproses untuk diteruskan kepada presiden disertai dengan RKP (Rancangan Keppres ). Memo-memo beserta ampresnya(amanat presiden ) untuk ditandatangani oleh presiden . Isi dari ampres tersebut ditujukan kepada ketua DPR , yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar diketahui oleh DPR .Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi keppres , diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki yang sama seperti sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara oleh Sekneg , untuk kemudian didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B . Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara , dan Daftar B adalah departemen departemen / instansi terkait. Pendistribusian ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum . Adapun perjanjian yang telah diratifikasi dengan keputusan presiden , sejak berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 antara lain adalah sebagai berikut (Sumber Biro Hukum Setneg RI). 1. Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2001 tentang Pengesahan Convension on Nuclear Nafaty No.139. 2. Keputusan presiden Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pengesahan Instrumen Amending the Constution and the Convention of the Internasional Telecommunt cottion union Minneapolis 44. 3. Keputsan Presiden Nomer 26 Tahun 2002 tentang Pengesahan amandemen of the agreement relating to the internasional Telecommunication Satellite Organization INTELSAT ( Perubahan terhadap Perjanjian Berkaitan dengan Organisasi satelit Telekomunikasi Internasional INTELSAT)Tanggal 30-4-2002, Lembaran Negara No. 45. 4. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2002 tentang pengesahan internasional Coffe Agreement 2001 ( Pengesahan Kopi Internasional 2001). Tanggal 20-5-2002, Lembaran Negara No. 60. 5. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002 tentang pengesahan ILO Convention No.88 Concerning the Organization of the Imployment Service ( Konvensi ILO No.88 mengenai ,1998( Instrumen Perubahan Koinstitusi dan Konvensi Perhimpunan Telekomunikasi Internasional Minneapolis 1998) Tanggal 30-4-2002. Lembaran Negara No. ( Konvensi tentang Keselamatan Nuklir ). Tanggal 4-10-2001 Lembaran Negara

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja ). Tanggal 20-5-2002, Lembaran Negara No. 63. Ratifikasi / Pengesahan dengan Undang undang Proses ratifikasi dengan Undang undang dapat dijelaskan sebagai berikut : Departemen luar negeri mengajukan permohonan ijin pemrakarsa penyusunan RUU (hanya sebagai formalitas , karena biasanya pada rapat- rapat interdep terdahulu , instansi teknis beserta departemen luar negeri telah menyusun terlebih dahulu RUU nya).Dilampirkan pula copy naskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh ) copy , plus 1 (satu) yang telah di Certified True Copy . Setelah dipelajari oleh Sekneg kemudian diteruskan kepada presiden melalui hierarki yang sama dengan pembuatan keppres . Setelah presiden menyetujui permohonan tersebut kemudian Sekneg Cq. Bagian Ratifikasi memberitahukan kepada departemen luar negeri .Selanjutnya departemen luar negeri beserta instansi teknis terkait dan juga setneg, kembali mengadakan rapat interdep untuk membahas RUU pengesahan yang biasanya telah dipersiapkan sebelum pengajuan permohonan dan tentang pelaksanaan perjanjian tersebut . Tata cara penyiapan RUU ini diatur dalam Keppres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang , yang pada pasal 1 ayat (1)nya menyebutkan bahwa menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen dapat mengambil prakarsa dalam penyusunan RUU untuk menyangkut masalah yang menyangkut bidang tugasnya. Selain itu , teknik penyusunan diatur dalam Keppres No. 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang- undangan dan Bentuk Rancangan Undang- Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keppres. Setelah rapat interdep itu selesai , selanjutnya departemen luar negeri mengirimkan RUU yang disetujui dalam rapat tersebut ke Sekneg beserta naskah akademisnya. Sekneg kemudian akan meneruskan ke Presiden untuk kemudian Presiden mengeluarkan ampres yang telah ditandatanganinya (Ditujukan kepada ketua DPR , yang isinya meminta agar DPR membahas RUU tersebut ), selanjutnya , mengirimkannya ke DPR (Pasal 18 Keppres No. 188 Tahun 1998). Setelah DPR menerima ampres tersebut , kemudian DPR mengadakan rapat pembahasan RUU. Menurut penjelasan pihak Biro Hukum DPR-RI No. 16/DPRRI/1/1999-2000 yang ditetapkan pada tanggal 23 September 1999 , pembahasan rancangan undang- undang

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

Dilakukan melalui 4 (empat) tingkat pembicaraan (Pasal 116 ayat (1)),tetapi pada prakteknya dalam membahas RUU pengesahan perjanjian internasional adalah melalui prosedur singkat shortcut , yaitu tanpa melalui pembahasan Tingkat II dalam Rapat Paripurna . Jadi prosedur pembahasn yang dilalui dalam membahas RUU pengesahan perjanjian internasional adalah sebagai berikut : 1) Pembicaraan Tingkat I dalam Rapat Paripurna .Dalam pembicaraan di tingkat ini pemerintah memberikan keterangan atau penjelasan Undang undang tersebut.
2) Pembicaran Tingkat III dalam Rapat Komisi (Komisil) Berupa Raker dengan menteri-

mengenai pokok pokok materi Rancangan

menteri dari departemen teknis pemrakarsa penyusunan RUU Pengesahan , termasuk kedalam jadwal acaranya adalah pengantar musyawarah fraksi-fraksi , tanggapan pemerintah atas pengantar , pembahasan materi, pengambilan keputusan sampai dengan penandatanganan Draft RUU. 3) Pembicaraan Tingkat IV dalam Rapat Paripurna . Pengambilan keputusan atas RUU pengesahan perjanjian internasional yang didahului oleh laporan hasil pembicaraan Tingkat III dan pendapat akhir dari fraksi-fraksi serta pemberian kesempatan kepada pemerintah untuk menyampaikan sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut. Pada tanggal 16 Oktober 2001 ditetapkan Peraturan Tata Tertib DPRRI yang baru No 03/A/DPRRI/I/2001-20002 menggantikan Tatib DPRRI No. 16/DPRRI/I/1999-2000. Ketentuan tahap pembahasan RUU menurut Tatib DPRRI No. 3A/DPRRI/I/2001-2002 ini diatur dalam Pasal 120 yang membagi tahapan pembahasan RUU menjadi 2( dua ) tingkat pembicaraan , yaitu :
1) Tingkat I dalam Komisi , Rapat Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran , atau Rapat

Panitia Khusus , bersama-sama pemerintah.


2) Tingkat II dalam Rapat Paripurna . Pembahasan RUU pengesahan melalui kedua tahap

pembicaraan tersebut , yang pembahasan materi RUU dan pengambilan keputusan serta penandatanganan naskah RUU dilakukan pada Tingkat I dalam Rapat Komisi , sedangkan pada pembahasan Tingkat II dilakukan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului oleh laporan hasil akhir pembicaraan Tingkat I , pendapat akhir fraksi-fraksi dan sambutan pemerintah. Dalam pembicaraan Tingkat I dapat diadakan Rapat Dengar Penda[at

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

10

atau Rapat Dengar Pendapat Uum , diundang pula pimpinan lembaga /departemen yang terkait dengan materi Rancangan Undang- undang. Setelah DPR menyetujui RUU tersebut , maka bentuk persetujan DPR adalah berupa surat dari ketua DPR kepada Presiden dan Keputusan DPR atas RUU tersebut , yang dikirimkan ke Sekneg untuk diteruskan kepada Presiden . RUU yang telah disetujui oleh DPR itu ditandatangani dan disahkan oleh presiden sehingga menjadi Undang- undang (Pasal 26 ayat (!) Keppres No. 188 Tahun 1998).Tindakan selanjutnya dilakukan oleh Sekneg yang menuangkannya ke dalam Lembar Negara dan mendistribusikannya kepada Daftar A dan Daftar B. Adapun perjanjian yang telah diratifikasi dengan Undang-undang , sejak berlakunya UU No. 24 Tahun 2001 sampai tanggal 17 April 2002 adalah sebagai berikut:
1) Undang undang Nomor 1 Tahun 2001 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah

RI dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan Pelanggaran Hukum yang Melarikan Diri (Agreement between the Government of Republic of Indonesia and The Government of Hongkong for The Surrender of Fugitive Offender).Tanggal 8 Mei 2001 , Lembaran Negara No. 43, TLN 4091.
2) Undang undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles

Governing The Activities of States in The Exploration and Use of Outer Space, Including The Moon and Other Celestical Bodies, 1967 (Traktat Mengenai Pprinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara- Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa , Termasuk Bulan dan Benda Benda langit lainnya , 1967). Tanggal 8 April 2002 , Lembaran Negara No. 34,TLN 4195. Setelah UU/ Keppres pengesahan tersebut didistribusikan kepada lembaga tertinggi dan tinggi negara , dan departemen departemen terkait termasuk departemen luar negeri , selanjutnya departemen luar negeri Cq direktorat perjanjian internasional melakukakan pemberitahuan kepada mitra bahwa Indonesi telah meratifikasi, hal ini disebut dengan pertukaran Nota Diplomatik . Apabila perjanjian internasional yang dilakukan merupakan suatu konvensi yang diprakarsai oleh organisasi internasional , maka departemen luar negeri akan mengirimkan Piagam Ratifikasi yang telah ditandatangani oleh Menlu kepada Sekretariat organisasi

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

11

internasional

tersebut,

dan

kemudian

secretariat

organisasi

internasional

itu

akan

memberitahukan negara- Negara lain bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut. Cara pemberlakuan suatu perjanjian internasional yang ditentukan oleh perjanjian itu sendiri yang dapat berupa antara lain sebagai berikut (Departemen Luar Negeri , 2002:11).
a. Untuk konvensi agreement yang bersifat multilateral , mulai berlaku sejak Piagam

Pengesahan didepositkan melalui perwakilan setempat pada negara pendeposit atau sekjen organisasi internasional /PBB. b. Untuk perjanjian internasional yang bersifat bilateral , berlaku sejak pertukaran Piagam Pengesahan yang biasanya dilakukan oleh Duta Besar dengan Menlu setempat.
c. Pemberlakuan suatu perjanjian dapat juga dilakukan sejak pertukaran nota (Exchange of

Notes) . Biasanya pada perjanjian bilateral, berlaku terhitung sejak 30 hari setelah pemberitahuan terakhir . d. Untuk konvensi , dapat pula berlaku setelah memenuhi jumlah ratifikasi yang ditentukan dalam perjanjian. Sesuai dengan kebiasaan internasional , seluruh naskah asli perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah RI dengan negara lain seyogyanya disimpan pada Departemen Luar Negeri Cq Direktorat Perjanjian Internasional . Departemen Teknis cukup memegang copy dari perjanjian asli yang disahkan oleh Departemen Luar Negeri Cq Direktorat Perjanjian Internasional. Selanjutnya seiring restrukturisasi Departemen Luar Negeri Republik Indonesia maka direktorat yang mengurusi ratifikasi perjanjian internasional ada dua yaitu, kesatu Direktorat Perjanjian Politik ,Keamanan dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri RI,kedua,Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri RI. Kedua direktorat tersebut berada dibawah Direktorat Jenderal Informasi , Diplomasi Publik dan Perjanjian Internasional. Dengan demikian Direktorat Perjanjian Internasional yang biasa menangani ratifikasi perjanjian internasional sekarang sudah tidak ada , dan diganti dua direktorat tersebut.

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

12

Direktorat Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan , Departemen Luar Negeri RI menangani ratifikasi perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 10 UU No. 4 Tahun 2000, yang harus diratifikasi dengan Undang undang . Selanjutnya Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri RI menangani ratifikasi di luar Pasal 10 tersebut , yaitu yang diratifikasi dengan keputusan Presiden (lihat Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000).

KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di muka implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia setelah berlakunya UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional (UUPI)adalah sebagai berikut . Ada dua macam pengesahan / ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia , yaitu ratifikasi yang memerlukan persetujuan DPR dalam bentuk Undang- undang dan ratifikasi tanpa persetujuan DPR dalam bentuk Keputusan Presiden dan akan disampaikan kepada DPR sekedar untuk diketahui saja. Menteri- menteri perjanjian yang diratifikasi dengan Undang undang diatur dalam pasal 10 UU No . 24 Tahun 2000. Setelah berlakunya UUPI , tidak terdapat perbedaan yang sifatnya prinsipil dalam proses implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia .Hal ini disebabkan oleh karena pada dasarnya prosedur pengesahan perjanjian internasional setelah berlakunya UUPI merupakan adopsi dari prosedur terdahulu ketika berpedoman pada Surat Presiden No. 2826/HK/60, yang ketika itu diatur secara jelas dan tegas . Implementasi ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia setelah berlakunya UUPI , ditandai dengan terciptanya kepastian hukum dalam setiap aspek ratifikasi perjanjian internasional . Selanjutnya, mulai tahun 2002 penanganan ratifikasi perjanjiann internasional yang dilakukan oleh dua direktorat sesuai dengan materi perjanjian yaitu Direktorat Perjanjian Politik , Keamanan dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri RI, dan Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Departemen Luar Negeri RI .Kedua direktorat tersebut berada di bawah Direktorat Jenderal Informasi , Diplomasi Publik dan Perjanjian Internasional.

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

13

DAFTAR PUSTAKA

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

14

Boer Mauna .2000. Hukum Internasional , Pengertian , Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global . Bandung :Alumni. Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Pendidikan Nasional . 2000. Pembuatan Perjanjian Internasional di Lingkiungan Departemen Pendidikan Nasional . <www. depdiknas. go.id > Surakarta, 14 Maret 2002. Budiono Kusumohamidjojo. 1986.Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional . Bandung : Bina Cipta . Departemen Luar Negeri . 2002, 22 Mei . Keterangan Pemerintah Atas Rancangan UndangUndang tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional . <www. dfadeplu.go.id> Surakarta 3 November 2001. Departemen Luar Negeri . 2002,2 Agustus . Pemerintah dan DPR Sepakati Naskah Akhir Undang- Undang tentang Perjanjian Internasional . <www. dfa-deplu.go.id> Surakarta, 3 November 2001. Departemen Luar Negeri . 2002. Petunjuk Pelaksanaan Proses dan Prosedur Perjanjian Internasional . Jakarta : Departemen Luar Negeri. Departemen Luar Negeri.2000.Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional . Jakarta: Deplu RI. Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia . 1999. Peraturan Tata Tertib DPR-RI Nomer 16 /DPRRI/1999-2002.Jakarta:Sekretariat DPR RI. Dewan Perwakilan Rakyat Repubik Indonesia . 2000. Pengaturan Tata Tertib DPR-RI Nomer 03A/DPRRI/2001-2002.Jakarta:Sekretariat DPR RI. Djenat Sidik Soerasaputra. 1993. Kebijakan Ratifikasii Perjanjian Internasional Menurut Tiga UUD Indonesia . Jakarta :Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jenderal DPR-RI . F. Isjwara. 1972. Pengantar Hukum Internasional .4th edition . Saduran . Bandung :Alumni. Hamid S. Attamimi.1993. Pengesahan / Ratifikasi Perjanjian Internasional . Jakarta: Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR-RI. Mochtar Kusumaatmaja.1982.Pengantar Hukum Internasional . Bandung:Bina Cipta. Sekretariat Negara Republik Indonesia .1998. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 188 Tahun 1998 Tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang- undang. Pembuatan

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

15

Sekretariat Negara Republik Indonesia .1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Taknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang,Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden .Jakarta:Setneg RI. Sri S Suwardi.1993. Ratifikasi Perjanjian Internasional dalam Kaitannya dengan Pasal 11 UUD 1945. Jakarta:Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi Sekretariat DPR-RI. Starke. J.G.1989. Introduction to Internasional Law . London :Butterworths.

NOMOR 60 TAHUN XV/JANUARI- MARET 2003

16

You might also like