You are on page 1of 8

Teori Kepewartaan Warga

Pendahuluan
Merti Dusun, Media Pelestari Budaya dan Tradisi Sayup-sayup alunan gending-gending Jawa di perbukitan Merapi. Kadang suaranya terdengar jelas, kadang kala menghilang terbawa angin sore. Suasana terasa hikmat. Ada sedikit aroma magis dalam harum bunga setaman dan dupa kemenyan. Setelah ritual adat yang dipimpin sesepuh dusun, upacara merti dusun di Dusun Tutup Ngisor, Magelang, resmi dimulai. Sang dalang memainkan wayang kulit di panggung yang dibuat secara khusus di dalam pendopo. Warga dusun, tua, muda, maupun anak-anak duduk bersila memenuhi ruang lesehan di depan panggung. Dusun Tutup Ngisor terletak di lereng barat Gunung Merapi, masuk wilayah Desa Sumberan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Dusun ini dihuni oleh 60 keluarga yang memegang teguh tradisi dan adat istiadat. Tradisi dan adat makin terjaga dengan adanya Ada Padepokan Cipto Budoyo yang didirikan oleh Romo Yoso Sudarmo pada 1937. Upacara Merti Dusun diadakan setiap tahun sebagai lambang perwujudan syukur warga kepada Sang Maha Pencipta. Kegiatan ini diawali dengan bersih dusun secara bergotongroyong dan dilanjutkan dengan bersih kubur. Hari berikutnya ada acara kenduri yang diikuti oleh seluruh kepala keluarga. Lalu, pada malam harinya digelar pentas wayang kulit. Menurut Sitras Anjilin, Pimpinan Padepokan Cipto Budaya, Merti Dusun menjadi ajang saling sapa dan pertemuan warga dusun. Adat dan tradisi ini juga menjadi cara bertahan warga dari pengaruh buruk budaya asing yang gencar disosialisasikan oleh pelbagai media massa arus utama. **** Demikian gambaran kegiatan Merti Dusun di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumberan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang diunggah oleh Ikhwadunin. Ikhwadunin adalah seorang pegiat Radio Komunitas Sutet FM, yang berlokasi di Kecamatan Dukun, Magelang. Tulisan berjudul Merti Dusun, Media Pelestari Budaya dan Tradisi, menunjukkan kegiatan para warga di Suara Komunitas mengelola informasi di daerahnya. Tulisan sepanjang empat paragraf itu mampu merekam peristiwa di Dusun Tutup Ngisor secara apik dan jelas. Pada hari yang sama, di Makasar, pegiat Jirak Celebes, menceritakan kegiatan kampanye penghentian pekerja usia anak-anak. Kampanye itu dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Tamangapa, Makasar, di mana banyak keluarga pemulung yang mengajak anak-anaknya mengais rezeki. Mereka meyakinkan para keluarga pemulung untuk menyekolahkan anaknya sehingga di masa mendatang bisa menjadi tenaga trampil. Lewat pendidikanlah, keluarga pemulung dapat memutuskan mata rantai kemiskinan, demikian rayuan mereka pada para pemulung. Di Kabupaten Kuningan, Pedro, warga Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana, menulis kegiatan Kelompok Taruna Tani BAINA, mengelola usaha pembenihan dan pembesaran ikan. Jenis ikan yang dikelola di antaranya ikan nila, mas, gurame, dan lele. Persediaan ikan basah di Kuningan hanya 40 prosen dari kebutuhan konsumsi ikan warga. Sisanya, 60 prosen, masih bergantung pada suplai daerah lain. Menurut Pedro, kurangnya ketersediaan ikan disebabkan oleh sedikitnya persediaan benih ikan yang bermutu dalam jumlah cukup dan terus-menerus.

Pelbagai tulisan di atas secara terus-menerus diunggah oleh para pewarta warga di 32 kota yang difasilitasi oleh COMBINE Resource Institution (CRI). Umumnya, pewarta adalah warga biasa yang bermukim di desa atau pelosok jauh dari hingar-bingar kota. Ada pewarta yang tinggal di lereng-lereng gunung, ada yang bermukim di daerah lembah, dan ada juga pewarta yang tinggal di daerah-daerah kepulauan yang sulit dijangkau transportasi. Di Pulau Sumatra, pewarta warga tersebar di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Medan, Lampung, dan Padang. Di Pulau Sulawesi, ada di Makasar dan Kendari. Di Kalimantan ada pewarta warga di Pontianak dan Banjar Baru. Di Nusatenggara, pewarta warga tersebar di tiga penjuru Pulau Lombok. Sementara itu, di Pulau Jawa pewarta warga ada di Jogjakarta, Cilacap, Wonosobo, Sidoarjo, Lumajang, Malang, Pekalongan, Cirebon, dan lain-lainnya. Para pewarta di Suarakomunitas bekerja secara sukarela tanpa dibayar. Selain mengunggah berita ke portal, mereka juga membuat berita audio yang disebarluaskan melalui radio komunitas. Ada juga yang menyusunnya menjadi semacam surat kabar yang ditempel di papan pengumuman dusun, mereka menyebutnya sebagai kobar (koran selembar).

Kemunculan Pewarta Warga


Kegiatan warga untuk membuat, menggunakan, dan menyebarluaskan informasi daerahnya merupakan perkembangan yang menggembirakan. Kegiatan ini dapat dimaknai sebagai bentuk desentralisasi informasi. Apabila sebelumnya pengelolaan terpusat di tangan media, kini warga pun mampu menjadi anjing penjaga (watchdog) saat media arus utama tidak berfungsi. Secara bahasa, pewartaan warga merupakan alihbahasa dari kata citizen journalism. Citizen Journalism adalah peran serta aktif yang dilakukan oleh warga dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis, serta penyampaian informasi dan berita (Wikipedia: 2010). Pertemuan Nasional Suarakomunitas pada 17-19 Desember 2009 mendefinisikan pewarta warga sebagai sebutan bagi warga yang secara sukarela menyusun, mengemas, dan menyebarluaskannya informasi ke publik dengan memperhatikan prinsip-prinsip kepewartaan. Pewarta warga muncul sebagai cara pandang baru dalam kepewartaan, di mana batas antara produsen dan konsumen informasi sulit dipisahkan. Sosiolog Ambar Sari Dewi (2008) berpendapat kegiatan pewartaan warga memiliki dampak positif. Pertama, pewartaan warga memberikan ruang bagi peran serta warga dalam pengelolaan informasi. Keterlibatan warga dalam dunia pewartaan membuktikan adanya hubungan dinamis antara pelaku media dan pembacanya. Kedua, bagi media arus utama, pewartaan warga meningkatkan hubungan saling percaya antara media dan pembacanya. Ketiga, pewartaan jenis ini mampu memberikan ruang bagi warga untuk menegakkan hak-hak informasi mereka. Kunci perkembangan pewartaan warga tingkat keberaksaraan media (media literacy) warga telah meningkat. Meskipun sebagian besar pewarta warga awalnya dari tindakan iseng, lama-kelamaan mereka menyadari kegiatan pengelolaan dan berbagi informasi merupakan sebagai sebuah pilihan. Menurut Hermanto (2008), bila warga mampu berbagi informasi maka pengetahuan dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan permasalahan akan meningkat. Pada perkembangan selanjutnya, pewartaan warga mampu menggeser cara pandang dunia perwartaan. Sebelumnya warga hanya menempatkan sebagai objek pemberitaan. Lewat pewartaan warga, warga tak sekadar objek sekaligus subjek pemberitaan. Pewartaan warga dianggap sebagai genre baru di tengah kegersangan dunia pewartaan media massa arus utama. Di Indonesia, pewartaan warga dipengaruhi oleh kegiatan radio siaran. Pada 1983, Radio Suara Surabaya (SS) memiliki program siaran informasi lalu-lintas. Lalu, program itu berkembang menjadi konsep interaktif. Konsep ini mengubah cara kerja radio, apabila sebelumnya

komunikasi yang bersifat satu arah, yaitu radio ke pendengar, konsep interaktif memberikan kesempatan pada pendengar untuk aktif memberikan informasi dan menyampaikan pendapatnya. Konsep interaktif menciptakan hubungan dua arah, yaitu antara pendengar dengan penyiar dan pendengar dengan pendengar. Siapapun pendengar bisa memberi tanggapan atau komentar dari pernyataan narasumber maupun pendengar lainnya. Itulah yang disebut dengan demokrasi dalam siaran radio (Suparyo, 2008). Kegiatan serupa dipopulerkan oleh Radio Elshinta Jakarta, melalui program laporan pendengar. Pendengar bisa menyampaikan informasi melalui telepon ke radio layaknya seorang pewarta. Program ini mendapat respon bagus para pendengarnya. Sembari menunggu kemacetan lalulintas, warga saling bertukar informasi mengenai situasi lalu-lintas di sekitarnya. Dari situlah ragam berita mulai berkembang luas, dari pewartaan peristiwa yang bersifat lokal hingga peristiwa-peristiwa nasional. Pesatnya inovasi di bidang teknologi informasi juga memengaruhi minat warga pada kegiatan peliputan atau pewartaan. Kapan pun dan di mana pun, semua orang dapat merekam dan mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Ada teknologi kamera dijital, kamera tangan (handycam), telepon seluler, perekam suara, yang mampu merekam pelbagai peristiwa dan dibagikannya pada warga lainnya. Kelahiran radio komunitas di pelbagai pelosok daerah semakin menguatkan posisi pewartaan warga. Ketika pengguna internet makin meluas, warga yang mempunyai akses makin menemukan saluran untuk menyampaikan pendapatnya. Tak heran jika lantas bermunculkan blog atau web yang menerapkan model pewartaan warga, seperti suarakomunitas, siar, pasarkomunitas, dan lain-lain. Apakah pengelolaan informasi memiliki dampak positif ke warga? Hermanto (2008) menjelaskan dampak kegiatan perwartaan warga sebagai berikut: Sukiman, pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi tampak sumringah. Ia baru saja menerima surat elektronik dari sejumlah warga negara Indonesia yang tinggal di Jepang yang menyatakan kesediaannya ikut menggelontorkan dana untuk kegiatan penanaman pohon di desanya, Sidorejo, yang habis terlibas awan panas dan lahar saat kawah Gunung Merapi aktif pada pertengahan 2006. Awalnya ia iseng mengunggah tulisan tentang rencana kegiatan penanaman pohon sebagai upaya penyelamatan sumber air di lereng Gunung Merapi dalam portal Jalin Merapi Ia tak menyangka tulisannya ditanggapi oleh pembaca. Ada yang menyumbang bibit, uang, maupun tenaga. Idenya pun cukup nakal, setiap keluarga di sepanjang jalan yang ditanami pohon berkewajiban untuk merawat pohon itu. Hal serupa dialami oleh Muhdi, pegiat Radio Komunitas Jaringan Tani Mandiri (JTM Fm) di Andong, Boyolali. Pria lulusan sekolah lanjutan pertama ini menyebarluaskan hasil wawancara dengan kepala desanya perihal kondisi jalan desa yang rusak. Imbasnya warga sadar bahwa mereka berhak untuk meminta pelayanan fasilitas umum yang layak pada pemerintah daerah. Sekarang kondisi jalan raya Andong telah beraspal mulus dan nyaman dilalui. Pengelolaan informasi oleh warga seringkali lebih andal dalam hal kecepatan dibanding pewarta media arus utama. Secara spontan, pewarta warga bisa merekam peristiwa-peristiwa yang terjadi saat mereka berada di tempat kejadian. Pewarta warga tidak direpotkan oleh perlakukan khusus bagi alat-alat berharga mahal yang berisiko rusak saat dibawa saat liputan ke lapangan. Sebaliknya, cara kerja pewarta media arus utama cukup rumit. Biasanya mereka menerjunkan pewarta setelah mendapat informasi awal atas peristiwa yang terjadi. Setelah itu, mereka menyeleksi peristiwa mana yang layak diliput. Bila ada perstiwa yang lolos uji kelayakan berita,

mereka baru menerjunkan pewarta ke lapangan. Pada peristiwa-peristiwa yang bersifat momentum, pewarta media arus utama seringkali ketinggalan.

Pewartaan yang Berpihak ke Warga


Berbeda dengan media arus utama, pewartaan warga tidak perlu risau dengan tekanan kepentingan ekonomi, kekuasaan, ideologi, maupun tiras. Pewarta dapat merekam peristiwa apapun yang ada di daerahnya, lalu menyebarkannya. Kontrol utama dari pewartaan warga hanya pada aturan dan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan pers dan penyiaran. Lalu, muncullah persoalan baru, apakah pewartaan warga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya sebab pewarta warga umumnya tidak memiliki dasar ilmu kepewartaan yang baik, layaknya pewarta pada media arus utama. Bagi Hermanto (2008), kemasan pewartaan warga secara teknis tidak sebagus pewartaan media massa arus utama. Namun, kemampuan pewarta warga dalam menangkap kenyataan yang sesungguhnya tidak perlu diragukan. Perhatikan contoh tulisan berikut ini: Juli tahun lalu, Radisem meninggalkan tanah air dengan perasaan bangga. Ia akan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia yang nantinya bisa membawa pulang Ringgit dalam jumlah banyak. Sayang, bukan ringgit yang didulang, justru nasib buruk yang ia diterima. Beberapa hari yang lalu Radisem pulang dalam kondisi mengenaskan. Kutipan di atas merupakan penggalan tulisan pewarta warga yang kebetulan tetangga korban. Peristiwa tragis itu tidak diliput oleh media arus utama. Pewarta warga merekamnya dalam lima tulisan secara berturut-turut. Tulisan itu memunculkan solidaritas warga lainnya untuk menggalang solidaritas, seperti malam keprihatinan, diskusi, tuntutan, dan dialog publik yang melibatkan banyak pihak, seperti warga, mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dan lain-lain. Berita di atas menunjukkan keperpihakan pewartanya atas kepentingan warga. Kisah menarik lainnya diwartakan Nurhadi, pewarta warga di Indramayu. Dia menulis keluhan warga atas Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan di daerah itu. Pemerintah Kabupaten Indramayu mewajibkan warga untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Siapapun yang melanggar aturan ini akan dikenakan sanksi kurungan penjara 5 tahun atau denda 50 juta rupiah (Suarakomunitas, 17/11/2008). Perhatikan paragraf berikut ini: Awalnya, warga Indramayu berbondong-bondong menyekolahkan anaknya. Namun, di tengah jalan warga merasa terjebak. Mereka dihantui tagihan biaya sekolah yang semakin mahal. Sementara itu, jaminan akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu tidak bisa ditepati pemerintah, anak-anak miskin pun tidak terbebas dari biaya sekolah. Hal serupa dituliskan oleh Ibe, pewarta dari Kowane, Sulawesi Tenggara. Dia menceritakan nasib para siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Satu Atap Saponda, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, yang kekurangan guru. Siswa kelas 1-3 sekolah ini tidak belajar matematika karena gurunya pergi mendulang emas. Selama ini, kegiatan belajar-mengajar difasilitasi oleh 5 guru yang semuanya berstatus honorer. Hingga hari ini belum ada upaya serius yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Konawe. Pemerintah seharusnya menambah tenaga pengajar dan mengubah status honorer menjadi pegawai negeri bagi para pengajar di sekolahnya. Tiga bulan setelah berita ini disebarluaskan, Pemkab Kowane mengangkat para guru honorer di Saponda menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Pewartaan warga mampu menggeser dunia pewartaan menjadi media perubahan sosial. Hal itu sesuai tugas yang diemban dunia kepewartaan, yaitu memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas.

Peran pewartaan warga sebagai alat perubahan sosial juga terjadi di Kabupaten Cilacap. Pemkab Cilacap memperbaiki tata layanan administrasi kependudukan setelah pewarta warga mengulas buruknya mutu pelayanan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Kecamatan Patimuan. Sesuai dengan Kepmenpan Nomor 26 tahun 2004, setiap unit pelayanan instansi pemerintah wajib mempublikasikan mengenai prosedur, persyaratan, biaya, waktu, standar, akta atau janji, motto pelayanan, lokasi serta pejabat/petugas yang berwenang dan bertangung jawab sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun, dua papan informasi yang ada tak menyampaikan informasi secuilpun perihal layanan-layanan yang diselenggarakan oleh kecamatan. Awalnya, liputan peristiwa ini mendapat reaksi negatif dari pemerintah. Bahkan, Camat Patimuan akan mengajukan si pewarta ke jalur hukum. Tindakan ini memunculkan empati dan dukungan dari warga pada si pewarta. Pewarta warga di kecamatan-kecamatan lainnya meliput topik serupa. Hasilnya sama, tatacara dan mutu layanan tidak memenuhi standar yang diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 26 Tahun 2004. Dua bulan kemudian, muncul papan informasi di dekat loket yang berisi prosedur dan tata cara layanan administrasi. Kini, warga dapat mengetahui prosedur dan pelayanan publik secara jelas. Sayang, ada dua hal yang tidak tercantum dalam papan informasi, yaitu rincian harga dan berapa lama waktu layanan.

Pengetahuan Lokal
Derasnya pewartaan media massa arus utama menyebabkan konsumen media cenderung memiliki informasi global dibanding informasi lokal. Mereka mampu menyebutkan nama sungai terbesar di dunia dibanding nama sungai di desanya. Lalu, lahirlah generasi yang tercerabut dari pengetahuan lokalnya. Kenyataan ini tepat seperti gugatan budaya yang diajukan W.S. Rendra dalam puisinya berjudul Sajak Seonggok Jagung yang ditulisnya pada 1975. . Aku bertanya: Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya? Apakah gunanya seseorang belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata: Di sini aku merasa asing dan sepi! Pelbagai simulasi yang dilakukan penulis pada pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh CRI menunjukkan sebagian besar warga mulai acuh dengan lingkungannya. Pewartaan warga mengajak warga menengok kembali pengetahuan-pengetahuan yang dekat dengan lingkungannya. Lewat pewartaan warga, banyak khasanah lokal muncul ke ruang publik kembali. Widarto menulis makanan tradisional Gholak. Kini, makanan khas Desa Serut, Kecamatan Kuwarasan, Kabupaten Kebumen hanya tersedia di satu tempat. Perhatikan kutipan berikut ini: Makanan yang berbentuk angka delapan dengan panjang 12-15 cm dan diameter 4-6 cm ini terbuat dari tepung krekel. Tepung krekel adalah sebutan untuk tepung singkong yang telah dijemur. Tepung krekel dicampur dengan parutan kelapa, dibentuk angka delapan, lalu digoreng. Gholak cocok dimakan dengan gethuk dan secangkir teh atau kopi panas. Rasanya yang gurih membuat lidah terus bergoyang. Apalagi ditemani dengan alunan macapat di pagi hari, tulis Widarto.

Mia adalah pewarta warga Desa Kertosari yang sering mengunggah kegiatan adat di desanya. Desa Kertosari yang terletak di lereng Gunung Semeru, masuk wilayah Kecamatan Pasrujambe, Lumajang, tidak pernah melepaskan adat istiadat nenek moyangnya. Keseharian mereka diwarnai beragam ritual adat yang diwariskan secara turun-menurun. Simak petikan tulisan warta sedekah desa berikut ini: Ritual Sedekah Desa ini di awali dengan kenduri oleh seluruh warga di perempatan jalan desa. Esok harinya diadakan ruwatan sehari penuh dan ditutup dengan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Seluruh warga membuat kue untuk memeriahkan acara itu. Lalu, kue dikumpulkan di ketua Rukun Tetangga (RT)-nya masing-masing. Kue-kue yang terkumpul itu di arak ke balai desa dengan menggunakan amben atau dipan tempat tidur dan dikumpulkan jadi satu di balai desa. Saat sedekah desa segala aktivitas warga seharihari dihentikan. Sekedah desa menjadi hari libur bagi warga Desa Kertosari. Warta menarik disampaikan oleh pewarta warga Lombok. Ia menulis perayaan Maulid Adat Wetu Telu yang dilakukan oleh Warga Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Perayaan maulid adat ini dilaksanakan pada Mei minggu kedua, bertepatan dengan tanggal 15 Rabiul Awal 1430 Hijriyah. Acara ini disemarakkan oleh permainan Perisaian (temetian dalam bahasa Bayan) yang berlangsung di masjid kuno, seperti di halaman masjid kuno Dusun Barung Birak, Desa Sambik Elen; masjid kuno Desa Bayan; masjid kuno Dusun Semokan Desa Sukadana dan Desa Anyar. Perhatikan kutipan berikut ini: Permainan tradisional Suku Sasak ini dilakukan oleh dua petarung yang menggunakan rotan sebagai pemukul lawan serta perisai (ende) terbuat dari kulit kerbau. Sementara itu, pekembar berfungsi sebagai wasit sekaligus pendukung bagi petarung. Acara perisaian berlangsung semalam suntuk dalam suasana temaram sinar bulan purnama. Suasana menjadi semakin hidup oleh iringan musik gamelan yang ditabuh bertalu-talu. Beberapa wanita membimbing bocah kecil dan gadis remaja memukul dua gong musik tradisional, lalu melamparkan ayam baker dan sejumlah uang ke arah sekaha (penabuh). Kisah menarik datang dari Jogjakarta,. Pewarta warga menulis perhelatan demokratisasi ala kampung. Di RT 05/10 Warak, Sumberadi, Mlati, Sleman pemilihan Ketua Rukun Tetangga (RT) secara langsung. Masa jabatan seorang Ketua RT dibatasi selama tiga tahun. Dengan masa jabatan yang tidak terlalu lama, warga lebih bisa merasakan kinerja Ketua RT. Apabila kinerja ketua RT kurang memuaskan, warga tidak menunggu jangka waktu yang lama untuk menggantinya. Pemilihan Ketua RT dengan sistem ini baru dijalankan untuk masa jabatan 2005-2008. Seluruh warga juga diperbolehkan menggunakan hak pilihnya. Sebelumnya pemilihan Ketua RT hanya diikuti oleh kepala keluarga yang mengikuti rapat RT setiap bulannya. Inisiatif warga Dusun Warak tersebut menginspirasi warga di daerah lainnya untuk melakukan hal serupa. Kepewartaan warga menjadi alat untuk menggali segala potensi yang ada di sekeliling warga. Kepewartaan warga juga melatih orang untuk perhatian pada pengembangan pengetahuan lokal. Pelihara Politik Ingatan Tanpa dukungan pusat dokumentasi, pelbagai peristiwa cepat terlupakan. Akibatnya kehidupan warga seperti keledai sebab dia sering terjatuh dalam lubang yang sama. Pewartaan warga menjadi metode mendokumentasikan peristiwa yang ada di masyarakat. Pewartaan warga menjadi penjaga ingatan sehingga warga mampu mengkritisi peristiwa-peristiwa yang memiliki

kecenderungan yang sama. Meminjam istilah Milan Kundera, pewartaan warga adalah politik memelihara ingatan dan melawan lupa. Pewarta warga korban lumpur PT Lapindo di Sidoarjo yang tergabung dalam Radio Komunitas Suara Porong (RSP) memiliki cara unik untuk menjaga ingatan warga atas tragedi bencana lumpur yang menimpa warga Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jambon. Mereka menamai program siaran dengan istilah mengingatkan pendengarnya pada biang kerok bencana lumpur yang menenggelamkan desa mereka, yakni Lapindo. Seperti terpampang di jadwal siaran, ada program siaran bernama Lapindo, singkatan dari Lagu Pop Indonesia. Program ini berisi siaran musik pop terkini diselingi dengan pembacaan pesan dari pendengar lewat layanan pesan pendek (short messeage service atau sms). Lapindo disiarkan pukul 08.00-10.00 dari Senin sampai Jumat. Tina, pewarta warga Gentasari menuliskan nasib desanya, Gentasari, Kecamatan Kroya, Cilacap, dengan gaya satir (Suarakomunitas, 28/11/1008). Perhatikan kutipan berikut ini: Reputasi jamu asal Desa Gentasari hancur oleh ulah beberapa orang yang berlaku lancung. Mereka menggunakan aneka obat kimia agar jamu buatannya bisa bereaksi cepat pada pemakainya. Umumnya, peramu obat kimia menggunakan obat penghilang pusing, memacu nafsu makan, dan obat tidur. Cara ini terbukti menghancurkan tradisi meramu jamu tradisional yang telah berlangsung ratusan tahun. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kini, tradisi dan pondasi usaha jamu tradisional warga Desa Gentasari hancur oleh segelintir orang yang ingin mengeruk kekayaan secara cepat. Isnu Suntoro (2009), ahli teknologi informasi CRI, mengatakan sejak diluncurkan pada Juli 2008, portal Suarakomunitas telah mendokumentasikan 2.335 tulisan. Dari statistik di atas, tak berlebihan bila pewartaan warga mampu menjadi alat memelihara ingatan warga. Warga bisa melakukan temu kembali informasi sehingga pelbagai kejadian masa lalu bisa diingat kembali secara mudah[::]

Cari
Top of Form

Artikel Pembicaraan Lihat sumber Versi terdahulu Masuk log / buat akun Halaman Utama Portal komunitas Peristiwa terkini Perubahan terbaru Halaman sembarang Bantuan

Navigasi

Bottom of Form

Kotak peralatan

Pranala balik Perubahan terkait Halaman istimewa Versi cetak Pranala permanen

Halaman ini terakhir diubah pada 05:05, 8 Februari 2011. Halaman ini telah diakses sebanyak 1.080 kali. Seluruh teks tersedia sesuai dengan Attribution-Noncommercial-Share Alike 3.0 Unported. Kebijakan privasi Tentang WikiKombinasi Penyangkalan

You might also like