You are on page 1of 32

STUDI POTENSI PUSAT INFORMASI MANGROVE (MANGROVE INFORMATION CENTER) PULAU BENGKALIS DI KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU

PROPOSAL THESIS

OLEH

MISWADI
NIM. 1110247110

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2012

STUDI POTENSI PUSAT INFORMASI MANGROVE (MANGROVE INFORMATION CENTER) PULAU BENGKALIS DI KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Master Sains (M.Si) Bidang Ilmu Lingkungan Pada Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau

OLEH

MISWADI
NIM. 1110247110

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian ini. Proposal Penelitian ini berjudul STUDI POTENSI PUSAT INFORMASI MANGROVE (MANGROVE INFORMATION CENTER) PULAU

BENGKALIS DI KABUPATEN BENGKALIS PROVINSI RIAU Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Dosen Pembimbing dan kepada kedua orang tua dan semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada Penulis dalam penyusunan Proposal Penelitian ini. Penulisan proposal ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap hutan mangrove di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis dalam kaitannya terhadap potensi menjadi pusat informasi mangrove Pulau Bengkalis di Kabupaen Bengkalis. Bahwa Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan

penyusunan Proposal Penelitian ini. Untuk itu segala kritikan dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan penulisan proposal ini.

Pekanbaru, Januari 2012

MISWADI

iii

DAFTAR ISI Isi Halaman iii iv v vi vii 1 1 5 5 6 12 12 12 13 13 13 14 14 14 14 14 15 16 17 18 19 20 21 22 24

KATA PENGANTAR................................................................................ DAFTAR ISI .............................................................................................. DAFTAR TABEL ..................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. 1.2. 1.3. II. III. Latar Belakang ..................................................................... Perumusan Masalah .............................................................. Tujuan dan Manfaat .............................................................

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ BAHAN DAN METODE ............................................................... 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. Waktu dan Tempat ............................................................... Bahan dan Alat .................................................................... Metode Penelitian ................................................................ Prosedur Penelitian ............................................................... 3.4.1. Penentuan stasiun pengamatan .................................. 3.4.2. Penentuan ukuran plot/petakan .................................. 3.4.3. Pengambilan sampel sedimen ................................... 3.4.4. Pengukuran parameter kualitas perairan .................... Analisis Data ........................................................................ 3.5.1. Analisis bahan organik .............................................. 3.5.2. Analisis butiran sedimen ............................................ 3.5.3. Struktur komunitas .................................................... 3.5.4. Indeks keragaman ...................................................... Evaluasi Kondisi Komunitas ................................................ Asumsi..................................................................................

3.5.

3.6. 3.7. IV. V.

JADWAL PENELITIAN ............................................................... PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN ...........................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. LAMPIRAN ...............................................................................................

iv

DAFTAR TABEL Tabel 1 2 Halaman Jadwal kegiatan penelitian ................................................................ Perkiraan biaya penelitian ................................................................ 20 21

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Halaman 4

Kerangka berpikir penelitian ............................................................

vi

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2 Halaman 24 25

Peta lokasi penelitian ........................................................................ Letak penempatan stasiun pengamatan .............................................

vii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem hutan tropis yang memiliki karakteristik yang khas, dan juga salah satu ekosistem yang penting di daerah pesisir. Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan payau karena sebagian besar hidup dan berkembang di daerah payau. Keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir secara ekologi dapat berfungsi sebagai perangkap sedimen (sediment trap), pelindung pantai dari badai dan pengikisan air laut, sebagai daerah asuhan dan tempat mencari makan bagi beberapa jenis ikan tertentu. Menteri Kehutanan pada acara peresmian Gedung Pusat Informasi Mangrove di Banda Aceh, 15 April 2008, menyebutkan bahwa lebih kurang 70% dari 9,4 juta hektar luas potensial hutan mangrove (hutan bakau) di seluruh Indonesia rusak akibat masih banyaknya masyarakat yang belum paham tentang pentingnya ekosistem. Konversi lahan mangrove untuk areal tambak, pertanian dan pemukiman, perlebaran jalan telah menyebabkan luas areal hutan mangrove terus berkurang (Anonimus, 2008). Provinsi Riau memiliki kawasan hutan mangrove yang tersebar di tiga kabupaten. Secara historis kawasan mangrove di daerah ini termasuk hutan terbesar ke dua di Sumatera, setelah Sumatera Selatan. Tekanan terhadap ekosistem mangrove di daerah Riau cenderung meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk dan kegiatan pembangunan di beberapa sektor. Menurut laporan Dinas Kehutanan Provinsi Riau pada tahun 1997 luas hutan mangrove di

Provinsi Riau 234.517 ha. Tingkat kerusakan hutan mangrove dalam satu dasawarsa (1987-1997) mencapai 43.935 ha dan diperkirakan laju kerusakan ini akan terus bertambah setiap tahunnya (Anonimus, 2004). Data penyebaran dan kondisi hutan mangrove dibagi ke dalam dua wilayah, yaitu wilayah barat dan timur Indonesia. Di wilayah barat Indonesia, luas hutan mangrove terbesar berada di Propinsi Riau, diikuti Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat (Zaitunah, 2005). Kemudian dikatakan lagi bahwa Kerusakan hutan mangrove terbesar di wilayah barat Indonesia terlihat pada Propinsi Riau, dikuti Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Hutan mangrove di Kabupaten Bengkalis tercatat dengan perkiraan luas 69.000 ha, berkurang menjadi 50.765,04 (Anonimus, 2004). Adanya perubahan tata guna dan fungsi lahan mangrove melalui beraam aktivitas konversi lahan menyebabkan berkurangnya luas hutan mangrove. Pulau Bengkalis yang merupakan salah satu pulau di wilayah administrative Kabupaten Bengkalis, dengan posisi yang sangat strategis, terletak di sisi timur Pulau Sumatera yang berhubungan langsung dengan Selat Malaka. Kondisi yang strategis ini, akan lebih memacu tingkat perkembangan ekonomi dan perubahan penduduk di daerah ini. Namun di balik itu, kawasan ini tentu akan memikul beban lingkungan yang berat, diantaranya adalah kemungkinan terjadinya degradasi kondisi lingkungan dan sumberdaya alam yang ada. Di wilayah ini masih terdapat aktivitas-aktivitas masyarakat yang memberikan kontribusi terhadap tereduksinya mutu dan potensi sumberdaya wilayah pesisir serta menurunnya, bahkan menghilangnya fungsi hutan mangrove.

Hal ini disebabkan antara lain masih berlangsungnya aktivitas beberapa dapur arang dan konversi hutan mangrove sebagai kawasan pertambakan konvensional. Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem mangrove di Pulau Bengkalis terutama di Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis secara fisik, biologi dan ekonomi, maka diperlukan langkah untuk mengantisipasi kenyataan tersebut di atas. Langkah tersebut adalah dengan mengembangkan konsep pengembangan pusat informasi mangrove (mangrove information center) yaitu suatu kegiatan penyediaan informasi tentang kondisi dan potensi hutan mangrove pada suatu kawasan yang mampu memberikan nilai pada pengelolaan bertanggung jawab yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Konsep ini menawarkan tiga manfaat utama yang terkait satu dengan lainnya. Pertama, pengelolaan hutan mangrove bertanggung jawab terhadap perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam. Kedua, peningkatan peran dan partisipasi masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan hutan mangrove dan pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya alam. Ketiga, edukasi lingkungan khususnya mengenai fungsi dan peranan hutan mangrove bagi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Kecamatan Bantan yang memiliki kawasan ekosistem hutan mangrove yang cukup luas dan memiliki potensi keaneragaman flora dan fauna berpotensi untuk dikembangkan konsep pengembangan pusat informasi mangrove. Untuk itu penelitian ini akan melakukan kajian studi potensi pusat informasi mangrove (mangrove information center) Pulau Bengkalis di kawasan ekosistem hutan mangrove yang terdapat di Kecamatan Bantan meliputi kondisi komunitas hutan

mangrove yang mencakup struktur komunitas dan evaluasi kondisi komunitas hutan mangrove di wilayah tersebut. Dengan demikian, apabila konsep pengembangan pusat informasi mangrove ini dapat dikembangkan di kawasan ekosistem hutan mangrove Pulau Bengkalis, maka kelestarian sumberdaya tersebut dapat terwujud dan

kesejahteraan masyarakat di sekitarnya dapat meningkat. Konsep ini ditawarkan dengan kerangka berfikir penelitian disajikan pada gambar berikut.

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian

1.2.

Perumusan Masalah Dalam penelitian ini masalah yang dirumuskan sebagai berikut:

1.

Bagaimana kondisi dan potensi hutan mangrove di Pulau Bengkalis dalam kaitannya berpotensi menjadi pusat informasi mangrove?

2.

Apa saja tekanan terhadap hutan mangrove di Pulau Bengkalis yang berdampak pada terjadinya kerusakan?

3.

Apa saja aktivitas masyarakat dalam pengelolaan yang telah mampu melakukan pemulihan dan pelestariannya?

4.

Bagaimana parameter lingkungan hutan mangrove di Pulau Bengkalis dalam upaya pemulihan dan pelestariannya?

1.3.

Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi dan potensi hutan

mangrove Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis sebagai pusat informasi mangrove. Penelitian ini dilakukan sebagai satu langkah awal untuk menjawab apakah dari aspek sumberdaya alam dan lingkungannya kawasan mangrove Kecamatan Bantan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai pusat informasi mangrove untuk Pulau Bengkalis. Sementara itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi mengenai fenomena-fenomena yang terjadi di kawasan mangrove dan keberlanjutannya di masa akan datang. Di samping itu juga sebagai data awal bagi pengembangan sumberdaya kawasan secara terpadu di Pulau Bengkalis, khususnya kawasan mangrove Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis.

II. TINJAUAN PUSTAKA Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968). Lebih lanjut Macnae menggunakan istilah mangal apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Sedangkan menurut Nybakken (1992) ekosistem mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas dari komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dam bertahan hidup. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau. Dalam pada itu Atmawidjaja (1987) menyatakan bahwa ekosistem mangrove mempunyai dua komponen lingkungan, yakni darat atau terestrial dan air atau akuatik pun dibagi dua, laut dan air tawar. Ekosistem mangrove ini dikenal sangat produktif, juga dikenal sebagai pensubsidi energi, karena adanya

arus pasut yang berperan menyebarkan zat hara yang dihasilkan ekosistem mangrove ke lingkungan sekitarnya. Sebagai daerah peralihan antara laut dan darat ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang tajam. Pasang surut air laut menyebabkan terjadinya fluktuasi beberapa faktor lingkungan yang besar, terutama suhu dan salinitas. Karena itu hanya jenis-jenis tumbuhan dan binatang yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan ekstrim faktor-faktor fisik itu yang dapat bertahan dan berkembang di hutan mangrove. Kenyataan ini menyebabkan keanekaragaman jenis biota bakau kecil saja, akan tetapi kepadatan populasi masing-masing jenis umumnya besar (Kartawinata et al., 1999). Mangrove merupakan suatu kelompok ekologis dari spesies halofitik, terdiri dari 8 famili dan 12 genera. Di Indonesia genera yang termasuk halofitik adalah Avicennia, Lumnitzera, Xylocarpus, Rhizophora, Bruguiera dan Aegiceras. Kelompok tumbuhan tersebut di atas adalah tumbuhan yang menentukan ciri dari hutan mangrove menurut sebaran dan merupakan tumbuhan eksklusif yang sangat terikat pada habitat mangrove. Hutan mangrove juga dicirikan dengan adanya tumbuhan non-eksklusif yang tidak terikat, antara lain paku laut (Acrostichum sp.), waru (Hibiscus tiliaceus dan Thespia populnea), cantingi (Pemphis acidula) dan jenis-jenis anggrek (Atmawidjaja, 1987). Selanjutnya Atmawidjaja

menambahkan selain tumbuhan banyak jenis binatang yang berasosiasi dengan mangrove, baik di lantai hutan, melekat pada tumbuhan mangrove dan ada pula beberapa jenis binatang yang hanya sebagian hidupnya membutuhkan lingkungan mangrove. Jenis ini terutama dari Crustacea, Mollusca dan ikan.

Mangrove merupakan tumbuhan halofita, atau tumbuhan yang dapat mentolerir kadar garam. Kemampuannya mentolerir kadar garam melebihi tumbuhan yang ada di daratan, meski pun ada variasi di antara spesies mangrove dalam derajat toleransinya. Ternyata spesies mangrove yang sangat toleran pada kadar garam tinggi adalah dari spesies Avicennia germinans di Florida bagian utara selama musim panas dengan salinitas yang sangat tinggi. Hutan mangrove dikenal sebagai hutan yang unik dan rumit, karena di samping tumbuhnya pada daerah peralihan antara laut dan darat, juga di dalamnya terdapat berbagai macam kehidupan biota yang saling membutuhkan dalam berbagai segi kehidupan. Mangove dikenal sebagai hutan yang paling dinamik, karena apabila menempati daerah yang cocok, maka akan tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan substratnya. Bird and Barson (1982) menyatakan bahwa tumbuhan mangrove sangat berperan dalam proses peninggian lapisan lumpur dan berkembangnya teras-teras yang berbentuk endapan. Proses ini biasanya dimulai oleh jenis tumbuhan pionir, seperti Rhizophora spp., Avicennia spp. dan Sonneratia spp. yang tumbuh di hamparan lumpur, pasir atau pasir lumpur di daerah garis pantai yang langsung berbatasan dengan laut. Sebagai daerah peralihan yang merupakan habitat dari berbagai biota, hutan mangrove memiliki sifat yang sangat khas dan menarik untuk dikaji. Ekosistem mangrove juga diketahui memiliki fungsi ekologik, hal ini karena ekosistem mangrove merupakan suatu kesatuan antara segi fisik, kimiawi dan biologik. Fungsi mangrove secara ekologik diantaranya sebagai filter dan pengendali banjir, penahan intrusi air laut ke daratan, penahan erosi akibat

gelombang, sebagai sumber bahan organik, sebagai penopang mata rantai dalam memelihara keseimbangan daur biologi di suatu perairan dan juga sebagai tempat bertelur (spawning ground), tempat bernaung, pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) larva dan berbagai jenis ikan (Pramudji dan Sediadi, 1999). Akar-akar Rhizophora spp., Bruguiera spp., Avicennia spp. dan jenis lain bersama substrat lumpur sangat baik untuk berlindung anak-anak udang, kepiting dan ikan. Anak udang, kepiting dan ikan ini akan dapat terhindar dari pengaruh derasnya arus air dan dari serangan hewan-hewan predator. Sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif, hutan mangrove memberikan manfaat yang sangat banyak seperti sebagai penghasil kayu untuk bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan dan penghasil bahan kimia (zat pewarna dan penyamak kulit). Namun secara umum pemanfaatan hutan mangrove oleh penduduk setempat telah memberikan manfaat yang cukup banyak, terutama juga diiringi dengan pesatnya pembangunan di pesisir pantai, seperti membangun tambak-tambak (Bujang et al.,1999) untuk pemeliharaan udang dan bandeng (Nontji, 1993), pelabuhan, industri perikanan, seperti pembuatan arang yang bernilai ekonomik, taman rekreasi, perpindahan penduduk (transmigrasi) dan pembangunan perumahan (real estate), pembuatan kapal, dermaga dan lain

sebagainya. Dalam industri non perikanan, tumbuh-tumbuhan mangrove dikenal sebagai penghasil garam, bahan makanan dan obat-obatan (Budiman dan Kartawinata, 1986), penghasil gula (Rachman dan Sudarto, 1991) dan alkohol dari nipah (Nypa fruticans), bahan pengawet tanin dari batang tengger (Ceriops spp.) dan Nyirih (Xylcarpus spp.), bahan industri, seperti industri arang (Santoso,

1999), bahan baku kertas (pulp), pupuk dan makanan ternak (Atmawidjaya, 1987) dan tatal kayu olahan (wood chips). Tatal kayu diproses secara kimia untuk produksi kain rayon (Bujang et al., 1999). Secara sederhana Noor et al. (1999), menyatakan bahwa umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu : a. Mangrove terbuka yaitu mangrove yang berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Biasanya pada zona ini dikuasai dari jenis Avicennia sp. dan Sonneratia sp. dimana areal pantainya sangat tergenang oleh air serta substratnya pasir lumpur yang kaya akan bahan organik. b. Mangrove tengah yaitu mangrove yang zonanya terletak di belakang mangrove zona terbuka. Vegetasi mangrove yang mendominasi pada daerah ini biasanya dari jenis Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. c. Mangrove payau yaitu mangrove yang berada di sepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa dan Sonneratia sp. d. Mangrove daratan yaitu mangrove yang berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moilucensis. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove, namun kenyataan di lapangan tidaklah sesederhana itu. Banyak formasi serta zona mangrove

10

vegetasi yang tumpang tindih dan bercampur serta seringkali struktur dan korelasi yang tampak di suatu daerah tidak selalu dapat diaplikasikan di daerah yang lain. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia (Bengen, 2001)

adalah 1) daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasanya berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik, 2) lebih ke arah darat hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Pada zona ini dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.,

3) zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp., 4) zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan daratan rendah biasanya ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies lainnya. Hutan mangrove juga sangat peka terhadap kerusakan. Kerusakan yang terjadi selama ini umumnya disebabkan oleh pengelolaan sumberdaya alam hayati yang tidak terencana seperti pembukaan lahan untuk tambak udang, pembangunan pelabuhan dan di Riau kebanyakan kerusakan ekosistem mangrove ini disebabkan oleh penebangan oleh masyarakat untuk keperluan bahan bangunan, kayu bakar dan arang. Arang tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan lokal juga untuk ekspor ke Malaysia dan Singapura (Sugiarto dan Ekariyono, 1996).

11

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - Oktober 2013 di kawasan hutan mangrove Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis (Lampiran 1). Untuk analisis bahan organik dan butiran pada sedimen dilaksanakan di Laboratorium Kimia Pangan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. 3.2. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah mangrove sebagai objek penelitian, tali, meteran, kayu pancang untuk pembuatan transek dan plot (petakan). Pengukuran kualitas perairan dengan menggunakan termometer untuk mengukur suhu perairan, hand refractometer untuk mengukur salinitas perairan, soil tester untuk mengukur pH tanah, kertas indikator universal untuk mengukur pH air, stop watch dan botol apung untuk mengukur kecepatan arus, serta pipa PVC berdiameter 10 cm untuk mengambil sampel sedimen. Untuk pengamatan di laboratorium, bahan dan peralatan yang digunakan untuk menghitung persentase ukuran butiran sedimen antara lain air bersih untuk penyaringan sedimen dengan metode penyaringan basah, saringan bertingkat (2,0 dan 0,063 mm), oven pengering merk Memmert U-40, timbangan, gelas beaker dan kaca pengaduk. Sedangkan untuk menghitung kandungan bahan organik total pada substrat dipergunakan cawan untuk sampel tanah, oven furnes, oven pengering Blue M. Electric OV-18 C dan timbangan analitik ketelitian 0,0001 gr dan desikator.

12

3.3.

Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

survei/pengamatan, dimana data primer yang dikumpulkan diperoleh langsung dari lapangan. Untuk pengamatan ini dilakukan dengan metode transek plot garis/ line plot sampling (Noor et al., 1999). Sementara itu, dalam melakukan identifikasi jenis vegetasi mangrove dilakukan menurut petunjuk Noor et al. (1999) dan Bengen (2001). Hasil analisis bahan organik di laboratorium selanjutnya dianalisis secara deskriptif. Di samping itu juga dikumpulkan beberapa data parameter perairan penting yang diperlukan dalam penelitian ini. Untuk data sekunder sebagai data penunjang diperoleh dari instansi terkait Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis. 3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Penentuan stasiun pengamatan Pada pelaksanaan penelitian ini ditetapkan tiga stasiun pengamatan, yaitu Stasiun I terletak di kawasan mangrove Sungai Kembung Desa Teluk Pambang, Stasiun II terletak di perairan sungai yang berada di sekitar Desa Bantan Tengah terletak lebih kurang 17 km dari Stasiun I. Kemudian Stasiun III terletak di kawasan hutan mangrove sekitar Desa Jangkang yang berjarak 7 km dari Stasiun II (Lampiran 2).

13

3.4.2. Penentuan ukuran plot/petakan Pada masing-masing stasiun pengamatan ditetapkan satu transek dengan tiga buah plot/petakan yang berukuran 10 x 10 m untuk pengamatan pohon dengan ukuran diameter > 4 cm. Kemudian sub plot yang berukuran 5 x 5 m untuk pengamatan anakan (seedling) dengan ukuran diameter e 4 cm

(Aksornkoae et al., 1991). Pengukuran diameter mangrove diukur pada ketinggian 1,3 meter atau pada titik setinggi dada (diameter at breast height / DBH). 3.4.3. Pengambilan sampel sedimen Sampel sedimen yang diambil pada masing-masing plot tiap stasiun pengamatan dengan menggunakan pipa PVC berdiameter 10 cm, dengan membuat core sedalam 20 cm. Kemudian sampel sedimen tersebut dimasukkan ke dalam ice box untuk dianalisis di laboratorium. 3.4.4. Pengukuran parameter kualitas perairan Parameter kualitas lingkungan yang pengukurannya dilakukan langsung di lapangan adalah suhu air, salinitas, kecepatan arus, pH air dan pH tanah. Selanjutnya hasil pengukuran ini dihubungkan dengan literatur yang ada. 3.5. Analisis Data

3.5.1. Analisis bahan organik Untuk mengetahui bahan organik total dalam sedimen dilakukan prosedur menurut Pett (1993) yaitu : 1. Cawan penguap kosong atau wadah dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 0C selama 15 - 20 menit dan didinginkan ke dalam desikator selama 15 menit dan kemudian cawan/wadah ditimbang.

14

2.

Sampel tanah dimasukkan ke dalam cawan/wadah sebanyak 50 gr, selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 0C sampai sedimen benar-benar kering. Kemudian sampel didinginkan ke dalam desikator selama 30 - 60 menit dan selanjutnya ditimbang.

3.

Sampel dalam cawan/wadah dibakar pada furnes dengan suhu 550 0C selama 15 - 30 menit lalu didinginkan ke dalam desikator selama 30 - 60 menit dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Untuk mengetahui berat zat padat organik dilakukan perhitungan dengan

menggunakan rumus :
da x 100 % c

Zat padat organik =

Dimana : a = berat sampel dan cawan/wadah sesudah pembakaran 550 0C c = berat sampel (d berat cawan/wadah).

d = berat sampel dan cawan/wadah setelah pengeringan 105 0C. 3.5.2. Analisis butiran sedimen Sedimen yang telah diambil dianalisis di laboratorium dengan tahap-tahap analisis menurut petunjuk Buchanan (1984) sebagai berikut: 1. Cawan/wadah yang telah dikeringkan dalam oven ditimbang untuk mengetahui berat kering cawan. 2. Setelah itu sampel sedimen sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam cawan/wadah dan dikeringkan ke dalam oven selama 24 jam dan setelah kering didinginkan di dalam desikator selama 15 menit.

15

3.

Sampel sedimen yang telah kering direndam dengan larutan hidrogen peroksida 3%.

4.

Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam ayakan yang mempunyai ukuran 2 dan 0,063 mm lalu diayak dengan air mengalir deras sehingga partikel yang lebih kecil dari mata saringan akan lolos dan partikel yang lebih besar akan tertahan. Partikel yang tertahan pada setiap saringan ditempatkan pada aluminium foil dengan manggunakan labu semprot.

5.

Setiap fraksi yang tertahan pada masing-masing saringan dikeringkan dalam oven selama 4 jam dengan suhu 100 0C. Setelah itu ditimbang sehingga diperoleh berat dan persentase dari masing-masing fraksi. Penentuan jenis sedimen dilakukan dengan melihat persentase fraksi

kerikil, pasir dan lumpur. Sistem penamaan jenis sedimen dilakukan menurut segitiga Shepard. 3.5.3. Struktur komunitas Jenis mangrove yang diperoleh dari setiap transek diidentifikasi kemudian diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis, frekwensi jenis, basal area, dominansi dan nilai penting jenis. Data hasil identifikasi dan perhitungan jumlah individu pada setiap transek ditabulasikan dan diambil kesimpulannya. Data yang diperoleh dalam analisa vegetasi mangrove dinyatakan dalam rumus English et al. (1997) sebagai berikut: Jumlah individu suatu jenis x 10.000 Luas seluruh plot (m 2 )

Kerapatan

16

KR

Kerapatan suatu jenis x 100 Kerapatan seluruh jenis Jumlah plot yang terisi suatu jenis Jumlah seluruh plot Frekuensi suatu jenis x 100 Jumlah frekuensi seluruh jenis DBH 2 (cm2 ) 4 Jumlah basal area 2 m /ha Luas seluruh plot Total basal area suatu spesies x 100 Basal area seluruh spesies Kerapatan Relatif Frekuensi Relatif Dominansi Relatif 3,1416 Diameter pohon pada ketinggian 1,3 m

Frekwensi

FR

Basal Area

Dominansi

DR

dimana :

KR FR DR T

= = = =

DBH =

Dari hasil perhitungan rumus di atas, kemudian ditentukan nilai penting untuk memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove, nilai penting berkisar antara 0 300 (Bengen, 2001). Rumus Nilai Penting (NP) adalah : NP = KR + FR + DR

17

Sementara itu rumus Nilai Penting (NP) untuk vegetasi tingkat anakan berdasarkan Hermalena et al. (1999) yaitu : NP = KR + FR 3.5.4. Indeks keragaman Dalam menentukan indeks keragaman spesies mangrove digunakan Indeks Keragaman Shannon -Wienner (H`) (Wantasen, 2002) dengan rumus:

ni ni H`!  ln N i !1 N
s

Dimana : ni = Jumlah setiap jenis ke -i N = Jumlah total individu s = Jumlah jenis

Jika nilai indeks keragaman (H`) < 1 berarti keragaman rendah, nilai H` antara 1 3.6. 3 keragaman sedang dan jika nilai H` > 3 maka keragamannya tinggi.

Evaluasi Kondisi Komunitas Dalam melakukan evaluasi kondisi komunitas hutan mangrove, dilakukan

pengamatan secara visual terhadap kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam dan berbagai aktivitas manusia, kemudian dibandingkan dengan hasil studi terhadap struktur komunitas mangrove.

18

3.7.

Asumsi Pada penelitian ini digunakan beberapa asumsi yaitu :

1.

Faktor-faktor yang tidak diukur dalam penelitian ini dianggap tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter yang diteliti.

2.

Ketepatan dan ketelitian peneliti dalam penelitian ini adalah sama.

19

IV. JADWAL KEGIATAN Jadwal kegiatan penelitian yang dilaksanakan ini dijelaskan sebagaiamana tabel berikut. Tabel 1. Jadwal kegiatan penelitian

NO

URAIAN

PELAKSANAAN (BULAN) JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

I PRA PENELITIAN - Penyusunan proposal - Revisi-revisi proposal - Pengesahan dan seminar - Penyelesaian administrasi penelitian II PENELITIAN - Pengambilan data primer - Pengumpulan data sekunder - Analisis laboratorium III PASCA PENELITIAN - Penyusunan hasil penelitian - Revisi-revisi hasil penelitian - Pengesahan, seminar dan ujian

20

V. PERKIRAAN BIAYA PENELITIAN Penelitian ini diperkirakan menggunakan biaya sebesar Rp 15.125.000,(limabelas juta seratus duapuluh lima ribu rupiah) dengan rincian sebagaimana tabel berikut. Tabel 2. Perkiraan biaya penelitian
No KOMPONEN BANYAKNYA Volume Satuan 2 2 1 Sub Total II Akomodasi & Konsumsi - Penginapan di lokasi - Penginapan di Bengkalis - Konsumsi selama penelitian Sub Total III Insentif Tenaga Lokal - Insentif tenaga pembantu lapangan - (masyarakat lokal) 6 org x 3 hari Sub Total IV Bahan dan Alat - Computer stuff/photocopy - Sewa kamera dan GPS - Bahan dan alat untuk transek plot - Sewa alat ukur parameter lingkungan - Bahan dan alat-alat pendukung - Analisis Laboratorium Sub Total VI Biaya lain-lain - Biaya seminar - Perbanyak proposal/laporan Sub Total TOTAL 15 2 1 hari hari ls Rp Rp Rp OT OT ls Rp Rp Rp HARGA JUMLAH

I Transportasi - Pekanbaru Bengkalis (PP) - Bengkalis - Teluk Pambang - Local transport

200.000 Rp 100.000 Rp 1.000.000 Rp Rp 75.000 Rp 250.000 Rp 1.000.000 Rp Rp 50.000 Rp Rp

400.000 200.000 1.000.000 1.600.000 1.125.000 500.000 1.000.000 2.625.000 900.000 900.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 2.500.000 5.000.000 2.500.000 2.500.000 5.000.000

18

OH

Rp

1 1 1 1 1 1

ls ls ls ls ls ls

Rp Rp Rp Rp Rp Rp

500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 2.500.000

Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp

1 1

ls ls

Rp Rp

2.500.000 Rp 2.500.000 Rp Rp

Rp 15.125.000

Terbilang: Limabelas Juta Seratus Duapuluh Lima Ribu Rupiah 21

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 2004. Program Pendampingan Community Development (II). Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam. Laporan Akhir. Co-fish Project dan PT. Ayamaru Bakti Pertiwi. Bengkalis. (tidak diterbitkan). ________, 2008. Status Lingkungan Hidup Indonesia. http://www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/5_pesisirdanLaut.pdf [23 Februari 2010]. Aksornkoae, S., W. Arirob, K. G. Boto, H. T. Chan, P. F. Chong, B. F. Clough, W. K. Gong, S. Hardjowigeno, S. Havanod, V. Jintana, C. Khemnark, J. Kongsangchai, S. Limpiyaprapant, S. Muksombut, J. E. Ong, A. B. Samarakoon and K. Supappibul, 1991. Soils and Forestry Studies. Final Report of The Integrated Multidisciplinary Survey and Research Programme of The Ranong Mangrove Ecosystem. UNESCO, Camar and UNDP. pp 35 81. Atmawidjaja, R., 1987. Konservasi Dalam Rangka Pemanfaatan Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Denpasar, Bali, 5-8 Agustus 1986 : 63 69. Bengen, D. G., 2001. Pedoman Teknis : Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indonesia. 57 hal. Bird, E. C. F. and M. M. Barson, 1982. Stability of Mangrove System. In Mangrove Ecosystem in Australia: Structure, Function and Management. Proceeding of The Australian National Mangrove Workshop. Australian Institute University Press. Canberra, Australia, London, England and Miami, Fla, USA. 265 274. Buchanan, J. B., 1984. Sedimen Analysis, pp 41 65. In N. A. Holme and A. D. McIntyre (eds.), Methods for The Study of Marine Benthos. Blackwell Sci. Publ., Oxford and Edinburg. Budiman, A dan K. Kartawinata, 1986. Pattern of Settlement and Uses in Mangrove with Special Reference to Indonesia. Proceeding Workshop in Human Induced Stressed on Mangrove Ecosystem: 23-26. Bujang, J. S., E. Kamal, S. Otman Dan M. Rahman, 1999. Mangrove : Fungsi, Manfaat dan Pengelolaannya. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1998: 288-292.

22

English, S., C. Wilkinson and V. Baker, 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia Institute of Marine Science. 2nd Edition. Townsville. 367 p. Hermalena, L., R. Tamin, E. Kamal dan J. S. Bujang, 1999. Studi Zonasi Hutan Mangrove di Pulau Unggas, Air Bangis, Pasaman. Prosiding Seminar Sistem Hutan Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1998 : 135-139. Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo dan I.G.M. Tantra, 1999. Status Pengetahuan Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding Seminar Sistem Hutan Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1998 : 21-39. Macnae, W., 1968. A General Account of The Fauna and Flora of Mangrove Swamps and Forest in The Indo-Pacific Region. Adv. Mar. Biol. 6: 73 270. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368 hal. Noor, Y. S., M. Khazali, I. N. N. Suryadiputra, 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PKA dan Wetland International. Bogor. 220 hal. Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh M. Eidwan, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan Sukarjo. Gramedia. Jakarta. 459 hal. Pett, R. J., 1993. A collection of Laboratory Methods for Selected Water and Sediment Quality Parameter Report No. 13. International Development Program at Australia University and College. PT. Husfarm Dian Konsultan. 20 p. Pramudji dan A. Sediadi. 1999. Potensi Hutan Mangrove di Teluk Kayeli Pulau Buru, Maluku Tengah. Prosiding Seminar VI ekosistem Mangrove. Pekanbaru, 15-18 September 1998: 149-159. Rachman A. K. dan Y. Sudarto, 1991. Nipah Sumber Pemanis Baru. Penerbit Kanisius. 44 hal. Sugiarto dan W. Ekariyono, 1996. Penghijauan Pantai. Penebar Swadaya. Jakarta. 79 hal. Zaitunah, A., 2005. Meninjau Keberadaan Hutan Mangrove di Indonesia. http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/10245/anita_zaitunah.pdf.[23 Februari 2010].

23

Lampiran 1.

Peta lokasi penelitian

Sumber Peta: Pemerintah Kabupaten Bengkalis

24

Lampiran 2.

Letak penempatan stasiun pengamatan

Sumber Peta: Pemerintah Kabupaten Bengkalis

25

You might also like