You are on page 1of 79

1

PENGARUH VARIABEL-VARIABEL
INTERNAL DAN EKSTERNAL PERBANKAN
TERHADAP
KREDIT USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
(UMKM)
PADA BANK UMUM
PERIODE 2008-2010


oleh
RIRIS URSULA LUMBAN TOBING
121091021

Tesis yang diajukan sebagai pelengkap
persyaratan untuk gelar Magister Ekonomi



SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2012
2

PENGARUH VARIABEL-VARIABEL
INTERNAL DAN EKSTERNAL PERBANKAN
TERHADAP
KREDIT USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
(UMKM)
PADA BANK UMUM
PERIODE 2008-2010



oleh
RIRIS URSULA LUMBAN TOBING
121091021

Tesis yang diajukan kepada Sekolah Pascasarjana
Universitas Trisakti
sebagai pelengkap persyaratan untuk gelar Magister
Ilmu Ekonomi



Jakarta, Januari 2012


Dr. Sawidji Widiadmojo, MM
...............................................................................
PEMBIMBING
3

DAFTAR ISI

JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Maksud atau Tujuan Penelitian
1.4. Manfaat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.2. Kerangka Pemikiran
2.3. Hipotesis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sumber Data/Subjek/Objek Penelitian
3.2. Metode (Desain)
3.3. Keterbatasan Metode (Desain)

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
JADWAL PELAKSANAAN








4

BAB I

PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Penelitian

Keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia
tidak bisa dipungkiri lagi memiliki peranan yang cukup signifikan. Pertumbuhan
jumlah sektor usaha tersebut dari tahun ke tahun semakin meningkat, dimana
hingga tahun 2006 saja sudah mencapai kurang lebih 48,9 juta unit usaha (99,99%
dari unit usaha yang ada di Indonesia) dan mampu menyumbang 53,3% dari PDB
nasional serta menyerap 96,18% dari total tenaga kerja yang ada. Bila dilihat
sekilas, kondisi tersebut menggambarkan arah kebijakan pemerintah selama 4
(empat) tahun terakhir untuk semakin memberdayakan usaha mikro, kecil dan
menengah sebagai bagian dari ekonomi rakyat, sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009.
UMKM juga mampu menembus pasar dunia dan memberi kontribusi besar
bagi angka ekspor nasional. Rhenald Kasali, Koordinator Pelaksana Tugas Harian
Badan Pengembangan Ekpor Nasional (BPEN) Departemen Perindustrian dan
Perdagangan (Deperindag), menuturkan, sejak krisis 1997, angka ekspor produk
UKM terus meningkat. Menurut catatan BPEN, yang menjadi primadona produk
ekspor UMKM Indonesia adalah crude palm oil (CPO), furnitur, garmen,
kerajinan tangan, dan makanan olahan. Ekspor produk UMKM selama tahun 2005
5

lebih kurang Rp. 109,13 triliun. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang hanya
Rp. 91,68 triliun.
Tabel 1.1
Jumlah Unit UMKM Menurut Sektor Ekonomi 2006

Sektor Ekonomi Unit
Agrikultura 26.21
Perdagangan 13.3
Listrik 0.002
Pelayanan 2.97
Transportasi 2.7
Keuangan 0.08
Manufaktur 3.22
Tambang 0.27
(dalam jutaan unit)
Sumber: Dapatkan Kredit UMKM, Rizal Calvary Marimbo, hal. 10

Disamping memiliki keunggulan yang sangat prospektif di atas, UMKM
juga menghadapi permasalahan yang tidak sedikit. Sebagaimana dimaklumi
bahwa perkembangan usaha dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal
maupun eksternal perusahaan. Salah satu faktor internal yang cukup berperan
besar dalam mempengaruhi perkembangan usaha yaitu permodalan, baik investasi
maupun modal kerja. Kesulitan memperoleh modal merupakan masalah klasik
yang masih dihadapi UMKM di Indonesia hingga saat ini. Permasalahan modal
tersebut timbul karena tidak adanya titik temu UMKM sebagai debitur dan pihak
kreditur. Di sisi debitur, karakteristik dari sebagian besar UMKM di Indonesia
6

antara lain adalah masih belum menjalankan bisnisnya dengan prinsip-prinsip
manajemen modern, tidak/belum memiliki badan usaha resmi, serta keterbatasan
aset yang dimiliki. Sementara itu, di sisi kreditur, pemodal atau lembaga
pembiayaan untuk melindungi risiko kredit, menuntut adanya kegiatan bisnis yang
dijalankan dengan prinsip-prinsip manajemen modern, ijin usaha resmi serta
adanya jaminan (collateral). Lembaga perbankan sebagai salah satu sumber
modal secara optimal masih belum dapat membantu permasalahan yang dihadapi
UMKM. Relatif tingginya tingkat bunga kredit perbankan, prosedur serta
persyaratan pengajuan kredit yang relatif sulit untuk dipenuhi, serta tidak adanya
jaminan merupakan alasan utama bagi sebagian besar UMKM untuk tidak
mengajukan kredit kepada perbankan, UMKM dengan segala keterbatasannya
masih sulit untuk meraih modal dari sumber-sumber modal lembaga-lembaga
keuangan non-bank seperti pasar modal dan leasing. Namun pihak perbankan pun
tidak tinggal diam menyikapi kondisi demikian. Saat ini pihak perbankan sedang
gencar melakukan pendekatan untuk membiayai UMKM, salah satunya melalui
produk perbankan yang khusus ditujukan bagi pelaku UMKM. Bank BRI sebagai
pelaku lama di sektor kredit UMKM, sebagian besar portofolionya (86,94%)
dialokasikan bagi kredit UMKM. Atau Bank Danamon dengan produk Danamon
Simpan Pinjam (DSP) nya yang pada tahun 2007 telah menyalurkan kredit kepada
8.200 nasabah senilai Rp. 88 miliar. Berkembangnya produk-produk perbankan
dan peningkatan porsi kredit perbankan bagi sektor UMKM itu sejalan dengan
pertumbuhan sektor UMKM sebagai bisnis yang cukup menjanjikan.
7

Survei BPS 2003 dan 2005 terhadap usaha mikro (UMI) dan usaha kecil
(UK) di industri manufaktur menunjukkan permasalahan-permasalahan klasik dari
kelompok usaha ini di Indonesia (Tabel 1.2). Seperti yang dapat dilihat,
permasalahan utama yang dihadapi sebagian besar dati responden adalah
keterbatasan modal dan kesulitan pemasaran. Walaupun banyak skim kredit
khusus bagi pengusaha kecil, sebagian besar dari responden, terutama yang
berlokasi di pedalaman/pedesaan, tidak pernah mendapatkan kredit dari bank atau
lembaga-lembaga keuangan lainnya. Mereka tergantung sepenuhnya pada
uang/tabungan mereka sendiri, uang/bantuan dan dari saudara/kenalan atau dari
sumber-sumber informal untuk mendanai kegiatan produksi mereka. Alasannya
bisa macam-macam; ada yang tidak pernah dengar atau menyadari adanya skim-
skim khusus tersebut, ada yang pernah mencoba, tetapi ditolak karena usahanya
dianggap tidak layak untuk didanai atau mengundurkan diri karena ruwetnya
prosedur administrasi, atau tidak bisa memenuhi persyaratan-persyaratan,
termasuk penyediaan jaminan, atau ada banyak pengusaha kecil yang dari
awalnya memang tidak berkeinginan meminjam dari lembaga-lembaga keuangan
formal.






8

Tabel. 1.2
Problem-problem Utama yang Dihadapi UMI dan UK Manufaktur di
Indonesia
2003 & 2005


UK UMI Total UK & UMI
2003 2005 2003 2005 2003 2005
Tidak ada problem 46.485 95.396 627.65 1.229.953 674.135
1.325.349
(51,89)
(19,48)* (41,43) (25,21) (52,93) (24,71)
Punya problem 192.097 134.851 1.862.468 1.093.819 2.054.565
1.228.670
(48,11)
- Bahan baku (80,52) (58,57) (74,79) (47,07) (75,29) 281.902 (22,94)
- Pemasaran 20.362 32.998 400.915 248.904 421.277 410.643 (33,42)
- Modal (10,60) (24,47) (21,53) (22,76) (20,50) 398.397 (32,43)
-
Transportasi/Distribusi 77.175 44.02 552.231 366.623 629.406 .26.554 (2,16)
- Energi (40,18) (32,64) (29,65) (33,52) (30,63) 3.064 (0,25)
- Biaya tenaga kerja 71.001 48.173 643.628 350.224 714.629 14.067 (1,14)
- Lainnya (39,96) (35,72) (34,56) (32,02) (34,78) 94.043 (7,65)
5.027 2.397 49.918 24.157 54.945
(2,62) (1,77) (2,68) (2,20) (2,67)
40.605 690 50.815 2.374 55.42
(2,4) (0,51) (2,73) (0,22) (2,7)
2.335 1.052 14.315 13.015 16.65
(1,22) (0,78) (0,77) (1,19) (0,81)
11.592 5.521 150.646 88.522 162.238
(6,04) (4,09) (8,09) (8,09) (7,90)
Total UK & UMI 238.582 230.247 2.490.118 2.323.772 2.728.700
2.554.019
(100,00)
(100,00) (100,00) (100,00) (100,00) (100,00)
Catatan: * = persentase distribusi

Sumber: BPS


Keberadaan bank merupakan hal yang penting dalam dunia usaha.
Keterkaitan antara dunia usaha dengan lembaga keuangan bank memang tidak
bisa dilepaskan apalagi dalam pengertian investasi dan kredit. Pihak bank akan
menyalurkan kredit berupa kredit investasi dan modal kerja yang dibutuhkan oleh
pihak dunia usaha. Dalam hal inilah pihak bank akan terus mengembangkan
9

kompetensi yang lain di bidang kredit untuk menggalang pertumbuhan kredit
yang berkesinambungan sekaligus menjalankan fungsinya sebagai jasa
intermediasi keuangan. Berdasarkan Undang-Undang, struktur perbankan di
Indonesia terdiri atas Bank Umum dan BPR (Siamat, 2004:87), sampai dengan
tahun 2008 pembagian bank umum yang terdaftar di Bank Indonesia terlihat pada
tabel 1.3
Tabel 1.3
Institusi Perbankan Indonesia

Kelompok Bank Des 2007 Des 2008
Bank Persero
BUSN Devisa
Bank Non Devisa
Bank Pembangunan Daerah
Bank Campuran
Bank Asing
5
35
36
26
17
11
5
32
36
26
15
10
Total 130 124
Bank Perkreditan Rakyat 1817 3367
Total 1817 3367

Sumber: Indonesian Banking Statistics Vol. 7, No. 1, December 2008

Kredit khusus untuk UMKM yang difasilitasikan oleh pemerintah sudah
ada sejak era orde baru, yang diawali dengan dua skema kredit dari Bank
Indonesia (BI) yang sangat terkenal di era 1970-an, yakni KMKP (Kredit Modal
Kerja Permanen) dan KIK (Kredit Investasi Kecil). Setelah diberlakukannya UU
No. 23 Tahun 1999 tentang BI, program-program kredit dialihkan ke lembaga
khusus, yakni PT Permodalan Nasional Mandiri (PNM). Hingga semester pertama
10

2008, PNM telah merealisasikan sekitar 70 persen pembiayaan bagi UMKM dari
total maksimum yang disediakan sebesar Rp 600 miliar untuk hampir 1000
UMKM (Hasan, 2008).

Tabel 1.4
Kredit UMKM Menurut Sektor Ekonomi (Miliar Rupiah; Desember)

Sektor 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008*
Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
Jasa dunia usaha
Jasa sosial
Lainnya

Jumlah
8.627
542
22.015
93
3.639
38.586
3.687
7.964
2.242
73.583

160.977
8.641
601
24.399
120
4.590
52.752
5.051
13.257
3.026
94.650

207.088
12.098
911
26.547
127
5.922
67.226
6.029
15.550
4.269
132.414

271.093
12.642
971
32.480
245
7.709
87.515
6.485
20.657
5.292
180.912

354.908
13.294
1.311
36.647
1.483
10.123
107.288
6.605
23.514
6.020
203.528

410.442
16.114
1.527
37.796
286
13.241
134.574
7.200
30.512
6.670
254.870

502.796
19.284
1.724
46.304
536
19.357
155.153
8.584
40.450
7.516
332.095

631.002
Catatan: * November
Sumber: Bank Indonesia







11

Tabel 1.5
Perkembangan Kredit UMKM Menurut Kelompok Bank Penyalur
(Miliar Rupiah Desember)


Kelompok Bank

2005

2006

2007

2008*

2007

2008*
Bank Persero
Bank BPD
Bank Swasta Nasional
Bank Asing & Campuran

Total Kredit UMKM
122.189
42.462
176.421
13.836

354.908
144.935
52.859
195.326
17.322

410.442
176.740
67.774
238.211
20.073

502.798
226.434
89.334
288.835
26.399

631.002
35.0
13.0
47.0
4.0

100.0
35.9
14.2
45.8
4.2

100.0
Catatan: * November
Sumber: BI


Tabel 1.6
Perkembangan Kredit Rupiah dan Valuta Asing Bank Umum dan Kredit
Usaha Kecil (KUK) (Miliar Rupiah)

Jenis kredit 2003 2004 2005 2006 2007 2008*
Kredit Bank Umum
KUK
437.942
73.968
553.548
93.615
689.669
106.051
787.136
109.666
995.111
124.428
980.884
136.543
Keterangan: * hingga Agustus
Sumber: BI

Tiga tabel di atas ini dapat memberikan suatu gambaran mengenai
perkembangan kredit UMKM. Tabel 1.4 memperlihatkan jumlah kredit UMKM
yang setiap tahun terus bertambah, walaupun lajunya bervariasi menurut ekonomi.
Tabel 1.5 memperlihatkan sumber dari kredit UMKM menurut kelompok bank,
yang memperlihatkan bahwa bank-bank swasta nasional adalah kelompok terbesar
Pangsa (%)
12

dalam menyalurkan kredit tersebut, yang sahamnya mencapai 47 persen pada
tahun 2007. Kredit UMKM di Indonesia disalurkan lewat berbagai macam skema
kredit. Yang pada tahun 2008 mencapai 17 skema. Tabel 1.6 mempresentasikan
data mengenai pertumbuhan kredit usaha kecil (KUK) dibandingkan kredit bank
umum.
Tahun ini, penyaluran kredit mikro memulai ekspansinya dengan bekal
pertumbuhan yang sangat bagus. Sepanjang 2010, pertumbuhan kredit usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) mencapai 25,17 persen dan dengan pangsa
mencapai 53,32 persen. Angka ini menunjukkan bahwa kredit sektor UMKM
mendominasi total kredit dan pertumbuhannya lebih tinggi dari total kredit. Modal
tersebut bisa saja menjadi beban bagi perbankan karena itulah pertama kalinya
pangsa pasar kredit UMKM mencapai separo dari total kredit dan pertumbuhan
kredit lebih besar dari industri. Namun tidak ada yang bisa dilakukan oleh
perbankan kecuali terus menyalurkan kredit dan mengatasi masalah yang mendera
bisnis itu selama ini.
Akan tetapi tampaknya keadaan berjalan sesuai harapan saat Bank
Indonesia (BI) mencatat bahwa hingga triwulan ketiga, penyaluran kredit sektor
ini telah tumbuh 20,88 persen atau menjadi Rp. 436 triliun. Meski demikian
banyak pihak yang menilai bahwa pertumbuhan kredit UMKM bisa melejit jika
kendala yang dihadapi pengusaha terutama tingginya suku bunga bisa dipecahkan.
Saat ini bank-bank yang menyalurkan kredit yang jumlahnya di bawah Rp. 1
miliar mengenakan suku bunga berkisar antara 36-40 persen, enam hingga tujuh
kali lipat suku bunga acuan bank sentral yang saat ini 6,00 persen.
13

Menurut ekonom Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Mirza Adityswara
angka tersebut terlalu tinggi dan karenanya masih bisa diturunkan. Dia
mengasumsikan jika komponen bunga deposito yang terdiri dari overhead, premi
risiko, dan margin masing-masing sebesar 7 persen, 3 persen, 7 persen, dan 4
persen, bunga yang dikenakan bisa mencapai minimal 21%. Kalaupun margin
ditambahkan, masih bisa dinaikkan ke level 25 persen. Jadi kelewatan kalau
masih ada bank yang kasih bunga kredit UKM dan mikro 36%-40 persen, ujar
Mirza.
Sepanjang tahun ini industri perbankan menargetkan outstanding kredit
UMKM akan bisa bertambah Rp. 128 triliun menjadi Rp. 488,67 triliun. Sampai
dengan Oktober 2011, kredit UMKM yang telah disalurkan perbankan mencapai
60-70 persen dari target atau berada di kisaran Rp. 90 triliun. Hingga Oktober
2011 pertumbuhan kredit di sektor UMKM sekitar 23-24 persen (year-on-year),
hampir sama dengan pertumbuhan total kredit nasional.
Untuk menjaga agar pertumbuhan kredit UMKM tahun depan bisa lebih
tinggi, Bank Indonesia menyiapkan pembentukan Apex Bank yang merupakan
induk dari beberapa bank perkreditan rakyat (BPR) di suatu daerah. Hal itu
dimaksudkan agar kebijakan untuk UMKM bisa mendapatkan dukungan lebih
besar dari beberapa BPR.
Selain mendukung pemerintah di dalam hal penyaluran kredit di sektor
UMKM, bank juga harus memperhatikan karakteristik internal bank itu sendiri
terhadap kondisi finansialnya (Nuryakin & Warjiyo, 2006:26). Menurut Agung
Juda, et. al. (2001: 23-25) permasalahan yang sering melanda industri perbankan
14

dalam hal penawaran kredit adalah kecukupan modal, kredit bermasalah atau Non
Performing Loan (NPL). Dalam kondisi NPL yang tinggi, bank lebih cenderung
melakukan konsolidasi internal guna memperbaiki kualitas aset daripada
menyalurkan kredit. Permasalahan ketiga yang melanda industri perbankan ialah
risiko kredit, dimana adanya kecenderungan bank untuk hanya berhubungan
dengan debitur lama; kecenderungan untuk meminta jaminan (colaterall) yang
likuid dan adanya perubahan organisasi kredit yang memiliki kecenderungan lebih
sentralistik dalam pemutusan kredit.
Selain itu ada variabel lain yang turut berperan di dalam hal penawaran
kredit kepada masyarakat, menurut Perry Warjiyo (2004) dalam Meydianawathi
(2007:135) kenyataannya perilaku penawaran kredit perbankan tidak hanya
dipengaruhi oleh dana yang tersedia yang bersumber dari Dana Pihak Ketiga,
tetapi juga dipengaruhi oleh persepsi bank terhadap prospek usaha debitur dan
kondisi perbankan itu sendiri seperti permodalan atau Capital Adequacy Ratio
(CAR), jumlah kredit macet atau Non Performing Loan (NPL), Legal Lending
Limit (LLL) atau Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan Loan to
Deposit Ratio (LDR) serta menurut Suseno dan Piter A. (2003) dalam
Meydianawathi (2007:135) tingkat keuntungan atau Return On Asset (ROA).
Diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004, kebijakan Bank
Indonesia dalam membantu pengembangan UMKM mengalami perubahan yang
cukup besar, karena Bank Indonesia tidak lagi memberikan bantuan keuangan
atau Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sehingga peranan Bank Indonesia
15

dalam pengembangan UMKM berubah menjadi tidak langsung (Setyobudi,
2007:32-33). Walaupun peranan Bank Indonesia menjadi tidak langsung tetapi
lebih terfokus kepada bantuan teknis serta pengembangan kelembagaan yang
menunjang UMKM (Booklet Perbankan Indonesia, 2008:69).
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini untuk mengetahui variabel-
variabel yang mempengaruhi di dalam hal memperoleh keputusan penyaluran
kredit UMKM yang dapat diberikan suatu bank dalam membantu dan memajukan
perkembangan perekonomian di Indonesia. Variabel-variabel tersebut dipisahkan
kedalam dua kategori yaitu, variabel internal dan variabel eksternal. Variabel
internal dalam penelitian ini menggunakan DPK, CAR, ROA, NPL dan LLL yang
secara keseluruhan berasal dari dalam bank itu sendiri. Sementara variabel
eksternal dalam penelitian ini menggunakan suku bungan SBI. SBI merupakan
instrumen atas BI rate yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Penggunaan SBI
sebagai variabel eksternal digunakan atas dasar di dalam menentukan suku bunga
kredit yang akan ditawarkan kepada masyarakat, hal lainnya bahwa bank-bank
umum seringkali menempatkan dananya pada SBI. Sehingga dapat dikatakan
bahwa suku bunga SBI memiliki peranan dalam penawaran kredit pada suatu
bank.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti memfokuskan dan
mengkhususkan masalah pokok penelitian dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai
berikut:
16

1. Apakah ada pengaruh variabel internal bank (DPK, CAR, ROA, NPL,
LLL) terhadap kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)?
2. Apakah ada pengaruh variabel eksternal bank yaitu Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) terhadap kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM)?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh variabel internal bank (DPK, CAR, ROA,
NPL, LLL) terhadap kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
2. Untuk menganalisis pengaruh variabel eksternal yaitu Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) terhadap kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM)?

1.4. Signifikansi Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan terkait dengan keputusan kredit di dalam perbankan, diantaranya:
1. Signifikansi Akademis
Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan atau referensi di dalam mempelajari, membahas, dan
memahami mengenai materi pembahasan yang sama. Disamping itu juga
penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan terutama
17

di bidang perbankan serta dapat menjadi referensi untuk penelitian-
penelitian selanjutnya.
2. Signifikansi Praktis
Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan berupa uraian pembahasan dan saran yang layak
dipertimbangkan oleh bank yang bersangkutan.

1.5. Batasan Penelitian
Yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah:
1. Objek penelitian, yang menjadi objek penelitian adalah bank umum
yang terdaftar di Bank Indonesia pada tahun 2008-2010.
2. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
bank umum yang diperoleh dari hasil publikasi Statistik Perbankan
Indonesia serta kebijakan-kebijakan lainnya.
3. Variabel internal di dalam penelitian ini menggunakan Capital
Adequacy Ratio (CAR), Dana Pihak Ketiga (DPK), Return on Asset
(ROA), Non Performing Loan (NPL) UMKM dan Legal Lending Limit
(LLL).
4. Variabel eksternal di dalam penelitian ini adalah menggunakan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI).



18

1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang latar belakang masalah, pokok
permasalahan yang akan dianalisis, tujuan, signifikansi
penelitian, batasan penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II KERANGKA TEORI DAN METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang teori yang terkait dengan
penelitian ini, konstruksi model teoritis, model analisis,
hipotesis yang digunakan, operasionalisasi variabel
penelitian. Kemudian metode penelitian yang digunakan
untuk melakukan analisis data dalam penelitian ini seperti
pendekatan penelitian, jenis atau tipe penelitian, teknik
pengumpulan data, populasi dan sampel, teknik analisis
data.
BAB III GAMBARAN UMUM BANK UMUM
Bab ini berisikan tentang penjelasan mengenai gambaran
umum obyek penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini.
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN
Bab ini berisikan pemaparan hasil temuan dan analisis
mengenai pengolahan data terhadap variabel penelitian
yang ada.
19

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN PENELITIAN
Bab ini merupakan penutup di mana penulis akan menarik
kesimpulan dengan menganalisis pengaruh variabel
terhadap kredit di bank umum berdasarkan hasil penelitian
yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan di
dalam pokok permasalahan. Selain itu penulis juga
memberikan beberapa saran guna perbaikan di masa yang
akan datang.















20

BAB II
KERANGKA TEORI DAN METODE PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian terdahulu yang penulis dapatkan terkait dengan
variabel yang digunakan di dalam penelitian ini, diantaranya adalah hasil
penelitian yang dilakukan Nur Laela (2007) dengan meneliti analisis faktor-faktor
yang mempengaruhi penyaluran kredit perbankan. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan teknik analisis Two Stage Least Square (TSLS) yang dilakukan
untuk melihat pengaruh penyaluran kredit dari sisi penawaran dan permintaan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada faktor yang
mempengaruhi kredit bank dari sisi penawaran yaitu kapasitas kredit, Non
Performing Loan (NPL), suku bunga kredit dan SBI memiliki hasil yang
signifikan. Sedangkan dari sisi permintaan faktor-faktor yang mempengaruhi
penyaluran kredit adalah Produk Domestik Bruto (PDB), spread antara suku
bunga kredit dengan suku bunga deposito, nilai kurs dan inflasi.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Indra Kusuma (2007) yang
meneliti pengaruh faktor-faktor penawaran kredit diantaranya suku bunga kredit,
SBI, NPL dan kapasitas kredit terhadap total kredit. Hasil dari penelitiannya
adalah faktor-faktor penawaran kredit (suku bunga kredit, SBI, NPL) mempunyai
pengaruh yang positif terhadap total kredit yang diberikan bank kepada
masyarakat.
21

Penelitian berikutnya yang penulis dapatkan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Rocky A.lalamentik (2007) yang meneliti pengaruh market share
berdasarkan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan pemberian kredit terhadap
profitabilitas perbankan Indonesia berdasarkan Return on Asset (ROA) dan Net
Interest Margin (NIM). Terdapat dua teknik analisis yang dilakukan oleh Rocky
A.lalamentik, yaitu pendekatan non parametrik dengan metode Somers d dan
pendekatan parametrik dengan metode Pooled Least Square. Hasil akhir dari
penelitiannya menunjukkan bahwa DPK dan pemberian kredit berpengaruh positif
terhadap ROA, yang mengindikasikan bahwa semakin besar market share maka
semakin besar pula peluang untuk memperoleh profit.
Penelitian yang dilakukan oleh Syafii tahun 2005 mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi realisasi kredit ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan.
Penelitian dilakukan beliau dengan menggunakan metode Switching Regression
dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel penawaran kredit (kapasitas
lending, NPL, indeks produksi, spread antara bunga kredit dengan SBI)
mempunyai pengaruh positif terhadap realisasi kredit. Begitu pula dengan variabel
permintaan kredit (PDB, indeks harga konsumen, nilai tukar, spread antara bunga
kredit dengan bunga deposito) turut memberikan pengaruh yang positif terhadap
realisasi kredit.
Chiuri, Ferri dan Majnoni (2002) dalam penelitiannya yang berjudul The
macroeconomy impact of bank capital requirements in emerging economies ,
dimana hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penerapan CAR secara
22

signifikan mempengaruhi penurunan dalam penawaran kredit, terutama bagi bank
yang memiliki jumlah modal yang kecil.
Brinkman dan Horvitz (1995) melakukan penelitian yang berjudul Risk
based capital standards and the credit crunch menyimpulkan bahwa kelebihan
modal yang dimiliki oleh bank dapat menentukan tingkat pertumbuhan kredit
yang disalurkannya. Dalam hal ini bank yang memiliki surplus yang tinggi dapat
menyalurkan kredit dua kali lebih besar dan cepat daripada bank yang memiliki
surplus rendah.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Luh Gede Meydianawathi
(2007) mengambil penelitian mengenai perilaku penawaran kredit perbankan
kepada sektor UMKM di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari penelitiannya
adalah secara bersamaan DPK, ROA, CAR dan NPL memiliki pengaruh nyata
terhadap penawaran kredit pada sektor UMKM. Sedangkan secara parsial DPK,
ROA dan CAR juga memberikan pengaruh positif terhadap penawaran kredit
berbanding terbalik dengan NPL yang berpengaruh negatif terhadap penawaran
kredit.
Penelitian yang dilakukan oleh Amiranti Marsya Agustine (2009)
mengenai perilaku penawaran kredit yang dilakukan oleh empat kelompok bank
umum yang terdaftar di Bank Indonesia yang dipisahkan menjadi empat
kelompok besar yaitu bank persero, bank umum swasta nasional, bank
pembangunan daerah dan bank asing dan campuran terhadap sektor UMKM,
menyimpulkan bahwa secara bersamaan dan signifikan CAR, DPK, NPL UMKM,
23

ROA dan SBI mempengaruhi bank persero, bank umum swasta nasional, bank
pembangunan daerah dan bank asing dan campuran.
Perbedaan antara penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian ini
terletak pada waktu dan variabel. Waktu yang digunakan di dalam penelitian ini
mengambil masa tiga tahun yaitu tahun 2008-2010. Dengan asumsi bahwa waktu
tiga tahun dipandang cukup untuk melihat pengaruh variabel-variabel di dalam
penawaran kredit UMKM setelah diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun
2004. Penambahan variabel Legal Lending Limit (LLL) atau Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) sendiri dilakukan untuk melengkapi dari penelitian
Amiranti Marsya Agustine yang dijadikan sebagai acuan penulisan.
2.2. Konstruksi Model Teoritis
2.2.1 Kredit Perbankan
Bank telah menempati posisi sentral dalam perekonomian modern. Dengan
demikian, hampir seluruh keperluan setiap orang dan segenap lapisan masyarakat
dalam kegiatan perekonomian terkait dengan perbankan. Posisinya yang strategis
dalam bidang ekonomi itu terutama berakar daru dua peranan pokoknya, yaitu
sebagai berikut (Masyhud Ali, 2006:356).
a. Sebagai lembaga intermediasi
Bank menghimpun dana-dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali
kepada masyarakat. Peranannya ini telah mengubah penggunaan dana-dana
masyarakat tersebut menjadi lebih produktif. Hal ini dimungkinkan karena
dana-dana berlebih yang dimiliki sebagian masyarakat yang dihimpun oleh
24

perbankan itu dimiliki sebagian masyarakat yang dihimpun oleh perbankan
itu diinvestasikan kembali dalam kegiatan produktif. Kegiatan produktif itu
dapat berupa pembangunan industri, perdagangan serta investasi pada
prasarana ekonomi.
b. Peranan bank sebagai lembaga penyelenggara dan penyedia layanan jasa-jasa
di bidang keuangan serta lalu lintas pembayaran maupun pemberian jasa-jasa
keuangan lainnya.
Peranannya ini telah berkembang menjadi wahana yang mendukung,
mendorong, dan mengakomodasi tumbuh kembangnya kegiatan investasi,
produksi, serta konsumsi barang dan jasa bagi masyarakat.
Dengan demikian, peranan kredit dalam operasi bank sangat besar/penting,
di samping sebagian besar bank masih mengandalkan sumber pendapatan
utamanya dari operasi perkreditan sehingga untuk mendapatkan margin yang baik
diperlukan pengelolaan perkreditan secara efektif dan efisien. Bank adalah
business. Business yang berdagang dalam kredit dan uang. Jadi bisnis utama dari
suatu bank adalah kepercayaan sehingga dikatakan pula bahwa bank merupakan
lembaga kepercayaan.
Kredit berasal dari kata credere atau creditum. Credere dari bahasa
Yunani yang berarti kepercayaan, sementara creditum dari bahasa latin yang
berarti kepercayaan akan kebenaran. Arti kata tersebut memiliki implikasi bahwa
setiap kegiatan perkreditan harus dilandasi kepercayaan. Tanpa kepercayaan maka
tidak akan terjadi pemberian kredit atau sebaliknya tidak ada calon nasabah
menyepakati kredit, sebab pemberian kredit oleh bank mempunyai nilai ekonomi
25

kepada nasabah perorangan atau badan usaha. Nilai ekonomi yang akan diperoleh
nasabah debitur dan kreditur (bank) harus disepakati sejak awal (ada komitmen)
tanpa merugikan salah satu pihak. Nilai ekonomi atas kredit yang sama akan
dikembalikan kepada kreditur setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan tersebut (Dr. (Cand.) Taswan, S.E., M.Si. 2010).
2.2.1.1. Prinsip Perkreditan
Secara umum, pemberian kredit akan selalu berpegang pada prinsip-
prinsip sebagai berikut (Dr. (Cand.) Taswan, S.E., M.Si. 2010) :
a. Character
Adanya penyerahan uang kepada debitur itu didasari kepercayaan.
Kepercayaan timbul karena debitur memiliki character berupa moral,
watak ataupun sifat-sifat personality yang positif dan kooperatif serta
memiliki rasa tanggung jawab. Debitur yang memiliki karakter baik adalah
debitur yang memiliki tingkat kejujuran yang tinggi dan integritas yang
tinggi untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya.
b. Capacity
Ini menyangkut kemampuan debitur untuk melunasi kreditnya. Penilaian
ini akan dilihat dari kemampuan jenis usahanya untuk mendatangkan
penghasilan guna melunasi kredit. Capacity ini dapat didekati dari aspek
keuangan dan aspek yuridis. Aspek kuangan dilihat dari cashflow yang
dihasilkan dan dari aspek yuridis akan terlihat bahwa debitur itu memang
memiliki kapasitas untuk melakukan perjanjian kredit dan melunasi
kembali sesuai perjanjian.
26

c. Capital
Capital menyangkut modal yang dimiliki perusahaan debitur. Semakin
besar modal sendiri yang dimiliki, maka semakin tangguh menghadapi
kemungkinan risiko yang dihadapi di kemudian hari. Capital ini umumnya
dicerminkan oleh neraca calon debitur dengan melihat komponen modal.
d. Collateral
Collateral merupakan jaminan perusahaan atas kredit yang diterimanya.
Bank memerlukan jaminan ini untuk menutup kemungkinan risiko
terburuk yaitu tidak terbayarnya utang akibat apapun. Jaminan merupakan
pengaman bagi dana perbankan yang dikucurkan. Semakin besar jaminan
itu meng-cover kredit maka semakin aman dana bank itu. Jaminan-
jaminan tersebut akan dianggap aman bila mampu meng-cover 120% dari
total kreditnya. Di samping aman, jaminan yang semakin likuid akan
semakin diminati sebab dapat dijual segera bila kredit macet, untuk
membiayai likuiditas bank.
e. Condition of Economic
Kondisi ekonomi dimaksud adalah kondisi makro yang mempengaruhi
kredit perbankan. Secara spesifik adalah kondisi makro yang
mempengaruhi bisnis debitur. Apakah bisnis debitur sangat rentan dengan
fluktuasi perekonomian atau relatif tangguh menghadapi gejolak
perekonomian. Pada kondisi perekonomian yang relatif stabil akan
mendorong pertumbuhan dunia usaha sehingga pengucuran kredit akan
aman. Sebaliknya kondisi ekonomi yang buruk akan mendorong dunia
27

bisnis ke arah kebangkrutan. Untuk itu bank harus hati-hati. Perusahaan-
perusahaan yang bergerak di bidang ekspor maupun impor umumnya
sangat mudah terpengaruh kondisi perekonomian.
2.2.1.2. Unsur-Unsur Kredit

Unsur-unsur dalam kredit adalah sebagai berikut (Veithzal Rivai, 2007):
a. Adanya dua pihak, yaitu pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit
(nasabah). Hubungan pemberi kredit kepada penerima kredit merupakan
hubungan kerja sama yang saling menguntungkan.
b. Adanya kepercayaan pemberi kredit kepada penerima kredit yang
didasarkan atas credit rating penerima kredit.
c. Adanya persetujuan, berupa kesepakatan pihak bank dengan pihak lainnya
yang berjanji membayar dari penerima kredit kepada pemberi kredit. Janji
membayar tersebut dapat berupa janji lisan, tertulis (akad kredit) atau
berupa instrumen (Credit Instrument).
d. Adanya penyerahan barang, jasa, atau uang dari pemberi kredit kepada
penerima kredit.
e. Adanya unsur waktu (time element). Unsur waktu merupakan unsure
essensial kredit. Kredit dapat ada karena unsur waktu, baik dilihat dari
pemberi kredit maupun dilihat dari penerima kredit. Misalnya,
penabung memberikan kredit sekarang untuk konsumsi lebih besar di
masa yang akan datang. Produsen memerlukan kredit karena adanya
jarak waktu antara produksi dan konsumsi.
28

f. Adanya unsur risiko (degree of risk) baik di pihak pemberi kredit
maupun di pihak penerima kredit. Risiko di pihak pemberi kredit
adalah risiko gagal bayar (risk of default), baik karena kegagalan usaha
(pinjaman komersial) atau ketidakmampuan bayar (pinjaman
konsumen) atau karena ketidaksediaan membayar. Risiko di pihak
nasabah adalah kecurangan dari pihak kreditur, antara lain berupa
pemberian kredit yang dari semula dimaksudkan oleh pemberi kredit
untuk mencaplok perusahaan yang diberi kredit atau tanah yang
dijaminkan.
g. Adanya unsur bunga sebagai kompensasi (prestasi) kepada pemberi
kredit. Bagi pemberi kredit, bunga tersebut terdiri dari berbagai
komponen seperti biaya modal (cost of capital), biaya umum
(overhead cost), risk premium, dan sebagainya. Jika credit rating
penerima kredit tinggi, risk premium dapat dikurangi dengan safety
discount.
2.2.1.3. Tujuan Kredit
Pembahasan tujuan kredit mencakup lingkup yang luas. Pada dasarnya
terdapat dua fungsi yang saling berkaitan dari kredit, yaitu sebagai berikut (Veithzal
Rivai, 2007):
a. Profitability, yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari kredit berupa
keuntungan yang diraih dari bunga yang harus dibayar oleh nasabah.
Oleh karena itu, bank hanya akan menyalurkan kredit kepada usaha-
usaha nasabah yang diyakini mampu dan mau mengembalikan kredit
29

yang telah diterimanya. Dalam faktor kemampuan dan kemauan ini
tersimpul unsur keamanan (safety) dan sekaligus juga unsur
keuntungan (profitability) dari suatu kredit sehingga kedua unsur
tersebut saling berkaitan. Dengan demikian, keuntungan merupakan
tujuan dari pemberi kredit yang terjelma dalam bentuk bunga yang
diterima.
b. Safety, yaitu keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus
benar-benar terjamin sehingga tujuan profitability dapat benar-benar
tercapai tanpa hambatan yang berarti. Oleh karena itu, keamanan ini
dimaksudkan agar prestasi yang diberikan dalam bentuk uang, barang
atau jasa itu betul-betul terjamin pengembaliannya sehingga
keuntungan (profitability) yang diharapkan dapat menjadi kenyataan.
2.2.1.4. Fungsi Kredit
Kredit mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian.
Secara garis besar, fungsi kredit di dalam prekonomian, perdagangan, dan keuangan
dapat dikemukakan sebagai berikut (Veithzal Rivai, 2007):
a. Kredit dapat meningkatkan utility (daya guna) dari modal/uang
Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro,
deposito ataupun tabungan. Uang tersebut dalam persentase tertentu
ditingkatkan kegunaannya oleh bank. Para pengusaha menikmati
kredit dari bank untuk memperluas/memperbesar usahanya, baik
untuk peningkatan produksi, perdagangan maupun untuk usaha-usaha
rehabilitasi ataupun usaha peningkatan produktivitas secara
30

menyeluruh. Dengan demikian, dana yang mengendap di bank (yang
diperoleh dari para penyimpan uang) tidaklah idle (diam) dan
disalurkan untuk usaha-usaha yang bermanfaat, baik kemanfaatan bagi
pengusaha maupun bermanfaat bagi masyarakat.
b. Kredit meningkatkan utility (daya guna) suatu barang
Produsen dengan bantuan kredit bank dapat memproduksi bahan jadi
sehingga utility dari bahan tersebut meningkat, misalnya peningkatan
utility kelapa menjadi kopra dan selanjutnya menjadi minyak
kelapa/minyak goreng, peningkatan utility padi menjadi beras, benang
menjadi tekstil dan sebagainya. Produsen dengan bantuan kredit dapat
memindahkan barang dari suatu tempat yang kegunaannya kurang ke
tempat yang lebih bermanfaat. Umpamanya bulgur yang kurang
bermanfaat di Amerika dipindahkan/dikirim ke Indonesia. Seluruh
barang yang dipindahkan dari suatu daerah ke daerah lain yang
kemanfaatan barang itu lebih terasa pada dasarnya meningkatkan
utility dari barang itu. Pemindahan barang tersebut tidaklah dapat
diatasi oleh keuangan pada distributor saja sehingga mereka
memerlukan bantuan permodalan dari bank berupa kredit.
c. Kredit meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
Kredit yang disalurkan melalui rekening-rekening koran, pengusaha
menciptakan pertambahan peredaran uang giral dan sejenisnya seperti
cek, giro bilyet, weles, promes, dan sebagainya melalui kredit.
Peredaran uang kartal maupun giral akan lebih berkembang karena
31

kredit menciptakan suatu kegairahan berusaha sehingga penggunaan
uang akan bertambah, baik secara kualitatif apalagi secara kuantitatif.
Hal ini selaras dengan pengertian bank selaku money creator.
Penciptaan uang itu selain dengan cara substitusi, yaitu penukaran
uang kartal yang disimpan di giro dengan uang giral, ada cara
exchange of claim yaitu bank memberikan kredit dalam bentuk giral.
Di samping itu, dengan cara transformasi, yaitu bank giral.
d. Kredit menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat
Ditinjau dari hukum permintaan dan penawaran, terhadap segala
macam dan ragamnya usaha, permintaan akan terus bertambah bila
masyarakat telah memulai melakukan penawaran. Timbullah
kemudian efek kumulatif oleh semakin besarnya permintaan sehingga
secara berantai kemudian menimbulkan kegairahan yang meluas di
kalangan masyarakat untuk sedemikian rupa. Dengan demikian, hal
tersebut meningkatkan produktivitas. Secara otomatis kemudian
timbul pula kesan bahwa untuk setiap usaha peningkatan
produktivitas, masyarakat tidak perlu khawatir kekurangan karena
masalahnya dapat diatasi bank dengan kreditnya.
e. Kredit sebagai alat stabilisasi ekonomi
Untuk menekan arus inflasi dan terlebih-lebih lagi untuk usaha
pembangunan ekonomi, kredit bank memegang peranan yang penting.
Arah kredit harus berpedoman pada segi-segi pembatasan kualitatif,
yaitu pengarahan ke sektor-sektor yang produktif dan sektor-sektor
32

prioritas yang secara langsung berpengaruh terhadap hajat hidup
masyarakat. Dengan perkataan lain, setiap kredit harus benar-benar
diarahkan untuk menambah flow of goods serta memperlancar
distribusi barang-barang tersebut agar merata ke seluruh lapisan
masyarakat. Kredit bank disalurkan secara selektif untuk menutup
kemungkinan usaha-usaha yang bersifat spekulatif. Simpanan
masyarakat ditingkatkan dengan pengeluaran surat-surat berharga
seperti giro, deposito, tabungan, dan sertifikat-sertifikat bank lainnya,
sedangkan uang masyarakat yang tertanam itu disalurkan ke usaha-
usaha yang produktif.
f. Kredit sebagai jembatan untuk peningkatan pendapatan nasional
Pengusaha yang memperoleh kredit tentu saja berusaha untuk
meningkatkan usahanya. Peningkatan usaha berarti peningkatan profit.
Bila keuntungan ini secara kumulatif dikembangkan lagi dalam arti
kata dikembalikan ke dalam struktur permodalan, peningkatan akan
berlangsung terus-menerus. Dengan earnings (pendapatan) yang terus
meningkat, berarti pajak perusahaan pun akan terus bertambah. Di lain
pihak, kredit yang disalurkan untuk merangsang pertambahan kegiatan
ekspor akan menghasilkan pertambahan devisa bagi negara. Apabila
rata-rata pengusaha, pemilik tanah, pemilik modal dan
buruh/karyawan mengalami peningkatan pendapatan, pendapatan
negara via pajak akan bertambah, penghasilan devisa bertambah dan
penggunaan devisa untuk urusan konsumsi berkurang sehingga
33

langsung atau tidak, melalui kredit, pendapatan nasional akan
bertambah.
g. Kredit sebagai alat hubungan ekonomi internasional
Bank sebagai lembaga kredit tidak saja bergerak di dalam negeri,
tetapi juga di luar negeri. Melalui bantuan kredit antarnegara yang
istilahnya sering kali didengar sebagai G to G (Government to
Government), hubungan antarnegara pemberi dan penerima kredit
akan bertambah erat, terutama yang menyangkut hubungan
perekonomian dan perdagangan. Lalu lintas pembayaran internasional
pada dasarnya berjalan lancar bila disertai kegiatan kredit yang
sifatnya internasional.
2.2.1.5. Jenis-jenis Kredit
Jenis kredit dilihat menurut tujuan penggunaannya adalah (Veithzal Rivai, 2007):
a. Kredit Modal Kerja/Kredit Eksploitasi
Kredit Modal Kerja (KMK) adalah kredit untuk modal kerja
perusahaan dalam rangka pembiayaan aktiva lancar perusahaan, seperti
pembelian bahan baku/mentah, bahan penolong/pembantu, barang
dagangan, biaya eksploitasi barang modal, piutang dan lain-lain.
b. Kredit Investasi
Kredit investasi adalah kredit (berjangka menengah atau panjang) yang
diberikan kepada usaha-usaha guna merehabilitasi, modernisasi,
perluasan ataupun pendirian proyek baru, misalnya untuk pembelian
mesin-mesin, bangunan dan tanah untuk pabrik. Kredit investasi ini
34

digunakan untuk pembelian/pengadaan barang-barang modal seperti
pembelian mesin-mesin, bangunan, tanah untuk pabrik, pembelian
alat-alat produksi baru, perbaikan alat-alat produksi secara besar-
besaran.
c. Kredit Konsumsi
Kredit konsumsi adalah kredit yang diberikan bank kepada pihak
ketiga/perorangan (termasuk karyawan bank sendiri) untuk keperluan
konsumsi berupa barang atau jasa dengan cara membeli, menyewa atau
dengan cara lain. Kredit yang termasuk dalam kredit konsumsi ini
adalah kredit kendaraan pribadi, kredit perumahan (untuk dipakai
sendiri), kredit untuk pembayaran sewa/kontrak rumah dan pembelian
alat-alat rumah tangga. Dalam kelompok ini termasuk juga kredit
profesi untuk pengembangan profesi tertentu seperti dokter, akuntan,
notaris, dan lain-lain yang dijamin dengan pendapatan dari profesinya
serta barang-barang yang dibeli dengan kredit itu.
Jenis kredit menurut jangka waktunya (Veithzal Rivai, 2007):
a. Short term credit (kredit jangka pendek) ialah suatu bentuk kredit yang
berjangka waktu maksimum satu tahun. Dilihat dari sisi perusahaan
kredit jangka pendek dapat berbentuk berikut ini.
1. Kredit rekening koran, yaitu kredit yang diberikan oleh bank
kepada nasabahnya dengan plafon tertentu, di mana perusahaan
menariknya tidak sekaligus, melainkan sebagian demi sebagian
sesuai dengan kebutuhan. Bunga yang dibayar oleh nasabah hanya
35

untuk jumlah yang benar-benar dipergunakan, walaupun
perusahaan mendapatkan kredit lebih dari jumlah yang dipakainya.
2. Kredit penjual, yaitu kredit yang diberikan oleh penjual kepada
pembeli, di mana penjual menyerahkan barang-barangnya lebih
dahulu, baru kemudian menerima pembayarannya dari pembeli.
3. Kredit pembeli, yaitu kredit yang diberikan oleh pembeli kepada
penjual di mana pembeli menyerahkan uang terlebih dahulu
sebagai pembayaran terhadap barang-barang yang dibelinya, baru
kemudian (setelah beberapa waktu tertentu) menerima barang-
barang yang dibelinya.
4. Kredit wesel, yaitu kredit yang terjadi bila nasabah mengeluarkan
surat pengakuan utang yang berisikan kesanggupan untuk
membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak tertentu dan pada
saat tertentu, dan setelah ditandatangani surat wesel dapat dijual
atau diuangkan kepada bank (surat promes/notes payable).
5. Kredit eksploitasi, yaitu kredit yang diberikan oleh bank untuk
membiayai current operation suatu perusahaan.
b. Intermediate term credit (kredit jangka waktu menengah) ialah suatu
bentuk kredit yang berjangka waktu dari satu tahun sampai tiga tahun.
c. Long term credit (kredit jangka panjang) ialah suatu bentuk kredit
yang berjangka waktu lebih dari tiga tahun.
d. Demand loan atau call loan ialah suatu bentuk kredit yang setiap
waktu dapat diminta kembali.
36

Kredit UMKM
Perkembangan potensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di
Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit kepada
UMKM. Setiap tahun kredit kepada UMKM mengalami pertumbuhan dan secara
umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total kredit perbankan. Kredit
UMKM adalah kredit kepada debitur usaha mikro, kecil dan menengah yang
memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil dan menengah sebagaimana
diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM. Berdasarkan UU tersebut,
UMKM adalah usaha produktif yang memenuhi kriteria usaha dengan batasan
tertentu kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan.
Statistik kredit UMKM disajikan dengan berbagai item yakni Net
Ekspansi (NE), Baki Debet (BD), Non Performance Loan (NPL), dan
Kelonggaran Tarik, dilengkapi dengan variasi berdasarkan kelompok bank, Sektor
Ekonomi, Jenis Penggunaan dan Lokasi Proyek pada setiap Propinsi dan rincian
skala Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Publikasi Statistik kredit UMKM
berdasarkan definisi dan kriteria usaha berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008
tentang UMKM mulai dilaksanakan untuk data laporan bulanan bank sejak
Januari 2011. Sampai akhir 2010 Statistik kredit UMKM didasarkan pada definisi
plafon, yaitu: (1) kredit mikro dengan plafon s.d Rp50juta, (2) kredit kecil dengan
plafon lebih dari Rp50juta s.d Rp500 juta, dan (3) kredit menengah dengan plafon
lebih dari Rp500juta s.d Rp5miliar. Dalam definisi tersebut, seluruh jenis
penggunaan kredit termasuk kredit konsumtif masuk di dalam Statistik kredit
UMKM.
37

Penyaluran kredit kepada UMKM bagi bank umum pada prinsipnya tidak
berbeda dengan penyaluran kredit kepada non-UMKM. Yang membedakannya
adalah kemampuan untuk memenuhi persyaratan kredit dari calon debitur dan
kemudahan monitoring kredit antara kedua kelompok usaha tersebut. Dalam
penyaluran kredit kepada UMKM, pada umumnya bank melakukan dua
pendekatan, yaitu pendekatan langsung dan pendekatan kelompok. Pendekatan
langsung dilakukan oleh bank kepada calon debitur yang dapat memenuhi
persyaratan kredit serta pada umumnya untuk plafon yang relatif besar.
pendekatan kelompok pada umumnya dilakukan bank bagi penyaluran kredit
UMKM dengan maksud untuk memudahkan administrasi dan monitoring kredit
serta meminimalisir risiko atas kredit (Untoro, 2005:64).
Sejak tanggal 4 Januari 2001, Bank Indonesia telah menyempurnakan
ketentuan tentang Kredit Usaha Kecil (KUK) melalui Peraturan Bank Indonesia
(PBI) No. 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil yang pada
intinya bank Indonesia tidak mewajibkan namun menganjurkan kepada bank
untuk menyalurkan KUK sesuai dengan business plan-nya. Namun demikian,
bank tetap berkewajiban untuk melaporkan pencapaian kredit UMKM. Selain itu,
Bank Indonesia juga menerbitkan PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian
Kualitas Aktiva bank umum yang mengatur bahwa penetapan kualitas kredit dan
penyediaan dana lain sampai dengan Rp 500 juta (usaha mikro dan kecil) hanya
didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga (Veithzal Rivai,
2007:334).

38

2.2.2. Variabel Internal
2.2.2.1. Modal Bank
Modal bank adalah dana yang diinvestasikan oleh pemilik dalam rangka
pendirian badan usaha yang dimaksudkan untuk membiayai kegiatan usaha bank
di samping untuk memenuhi regulasi yang ditetapkan oleh otoritas moneter
(Taswan, 2010:214). Modal merupakan salah satu faktor yang penting bagi bank
dalam mengembangkan usahanya dan menampung risiko kerugian. Berkaitan
dengan hal tersebut, kegiatan perbankan di Indonesia harus mengikuti ukuran
yang berlaku secara internasional. Menurut Standard Bank For International
Settlements, masing-masing negara dapat melakukan penyesuaian dalam
menerapkan prinsip-prinsip perhitungan kecukupan permodalan bank dengan
menyesuaikan kondisi ekonomi di suatu negara. Untuk Indonesia juga melakukan
penyesuaian-penyesuaian tertentu walaupun secara prinsip tetap berpedoman pada
Bank For International Settlements (BIS), bahkan saat ini Indonesia telah turut
menerapkan kecukupan modal berdasarkan ketentuan Basel Accord II.
Rasio kecukupan modal atau modal untuk rasio aset berbobot risiko adalah
suatu cara untuk mengukur modal bank, yang ditunjukkan sebagai pembukaan
kredit berbobot risiko bank. Rasio ini digunakan untuk melindungi depositor dan
menaikkan stabilitas dan efisiensi sistem keuangan di seluruh dunia.
Tingkat kecukupan modal sangat tergantung dari portofolio asetnya.
Semakin besar penempatan dana pada aset berisiko tinggi, maka semakin rendah
rasio kecukupan modal (dengan asumsi tidak ada tambahan modal yang
proporsional). Sebaiknya penempatan dana pada aset yang berisiko rendah, maka
39

dapat menaikkan tingkat kecukupan modal. Peningkatan maupun penurunan rasio
kecukupan modal membawa konsekuensi pada perilaku bank (pemegang saham).
Semakin bebas suatu bank mengikuti aktivitasnya, dengan kata lain
semakin rendah regulasi mensyaratkan permodalan semakin mendorong
peningkatan peluang bank untuk melakukan diversifikasi (berisiko rendah), atau
sebaliknya bank lebih berpeluang mengambil risiko yang lebih tinggi (Gonzales,
2003). Insentif bank untuk mengambil risiko tinggi atau rendah sangat tergantung
dari prospek laba bank. Bank-bank yang memiliki prospek baik, tentu akan
mengamankan modalnya melalui diversifikasi (menekan risiko), sebaliknya bank-
bank yang berprospek buruk akan cenderung mengambil konsentrasi tinggi pada
aset tertentu (berisiko tinggi) pada sektor tertentu sebagai bentuk ada tindakan
atau agenda tersembunyi moral hazard.
Perhitungan rasio kecukupan modal pada bank umum memiliki perbedaan
dengan tata cara perhitungan rasio kecukupan modal Capital Adequacy Ratio
(CAR) pada Bank Perkreditan Rakyat. Pada bank umum, untuk menentukan
kecukupan modal perlu memasukkan risiko pasar. Untuk menentukan besaran
risiko pasar dalam perhitungan kecukupan modal dapat menggunakan metode
standar dan metode internal.
Metode standar menawarkan pendekatan pengukuran risiko pasar serta
perhitungan kecukupan modal yang terstandardisir untuk seluruh bank sejak tahun
2003. Namun berdasarkan perkembangan dan tuntutan yang ada termasuk sejalan
dengan perkembangan instrumen keuangan dan semakin kompleksnya usaha
bank, maka telah dilakukan penyempurnaan kembali terhadap penggunaan metoda
40

standar dalam perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dengan
memperhitungkan risiko pasar. Penggunaan metoda standar dalam Perhitungan
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bank umum dengan memperhitungkan
risiko pasar dituangkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/33/DPNP
tanggal 18 Desember 2007.
Pada intinya pendekatan ini adalah:
Perhitungan KPMM dengan memperhitungan risiko kredit dan risiko pasar
dilakukan dengan formula sebagai berikut:
(Tier 1 + Tier 2 + Tier 3) Penyertaan
KPMM = = 8% (minimum)
ATMR (Risiko Kredit) + 12,5 x beban modal untuk Risiko Pasar

2.2.2.2. Dana Pihak Ketiga (DPK)
Dana pihak ketiga (DPK) adalah dana yang diperoleh dari masyarakat,
dalam arti masyarakat sebagai individu, perusahaan, pemerintah, rumah tangga,
koperasi, yayasan, dan lain-lain baik dalam mata uang rupiah maupun dalam
valuta asing. Pada sebagian besar atau setiap bank, dana masyarakat ini umumnya
merupakan dana terbesar yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan fungsi bank sebagai
penghimpun dana masyarakat (Veithzal Rivai, 2007:413). DPK yang dihimpun
oleh pihak bank dari masyarakat biasanya berupa giro, deposito dan tabungan.
Giro itu sendiri adalah rekening yang penarikannya dapat dilakukan cek, bilyet
giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan pemindahbukuan, dalam
hal pembukaan rekening bank dilarang menerima nasabah yang namanya
tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku (Booklet perbankan Indonesia,
2008:114).
41

Deposito berjangka adalah simpanan pihak ketiga (rupiah dan valuta
asing) yang diterbitkan atas nama nasabah pada bank yang penarikannya hanya
dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan
bank yang bersangkutan. Simpanan yang dimaksud dengan deposito berjangka
adalah simpanan berjangka termasuk deposit on call. Jangka waktu deposit on call
relatif singkat dan dapat ditarik sewaktu-waktu dengan pemberitahuan
sebelumnya.
Sedangkan tabungan adalah simpanan pihak ketiga dalam rupiah dan atau
valuta asing pada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu dari masing-masing bank penerbit, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,
bilyet giro atau alat lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Tabungan ini
dikatakan pula sebagai dana yang sensitif atau peka terhadap perubahan sehingga
disebut pula sebagai dana yang labil yang sewaktu-waktu dapat ditarik atau
disetor oleh nasabah, meskipun frekuensi pengambilannya relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan giro. Akibatnya adalah dana tabungan ini dapat mengendap
di bank dalam waktu yang relatif lebih lama dari dana giro.
Baik giro, deposito maupun tabungan turut memberikan andil di dalam
kehidupan perbankan. Pengumpulan atas dana-dana tersebut digunakan perbankan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan juga untuk menjalankan fungsinya
sebagai lembaga keuangan yaitu memberikan kredit kepada masyarakat.
2.2.2.3. Return on Asset (ROA)
Return on Asset (ROA) adalah salah satu metode penilaian yang
digunakan untuk mengukur tingkat rentabilitas atau profitabilitas sebuah bank,
42

yaitu tingkat keuntungan yang dicapai oleh sebuah bank untuk memperoleh laba
dari setiap rupiah atas aset yang dimiliki. ROA digunakan dengan
membandingkan laba setelah pajak terhadap total aset. Dalam hal ini Bank
Indonesia biasanya tidak memberlakukan ketentuan yang ketat terhadap rasio ini,
sepanjang suatu bank tidak mengalami kerugian atau tidak adanya tanda-tanda
atau kecenderungan untuk mengalami kerugian di masa yang akan datang (Susilo,
2000:32).
Penilaian yang paling aman untuk rasio ini adalah sebesar 1,5 persen.
Penilaian ini juga digunakan untuk menilai kesehatan suatu bank akan tetapi tidak
tertutup kemungkinan ROA yang dimiliki oleh suatu bank berada dibawah 1,5
persen atau melebihi 1,5 persen. Tingkat profitabilitas yang dimiliki suatu bank
berhubungan erat dengan modal yang dimiliki oleh bank tersebut, dimana modal
tersebut digunakan secara maksimal oleh bank untuk memperoleh keuntungan
atau penghasilan secara tetap dimana salah satunya melalui penyaluran kredit,
sehingga diperoleh profitabilitas atas penyaluran kredit tersebut. Brinkman dan
Horvitz (1995:853) menyatakan bahwa bank yang memiliki surplus besar akan
menyalurkan kredit dua kali lebih cepat daripada bank yang memiliki surplus
sedikit.
2.2.2.4. Non Performing Loan (NPL)
NPL menunjukkan kemampuan kolektibilitas sebuah bank dalam
mengumpulkan kembali kredit yang dikeluarkan oleh bank sampai lunas. NPL
merupakan persentase jumlah kredit bermasalah dengan kriteria kurang lancar,
diragukan, dan macet terhadap total kredit yang dikeluarkan bank (Indonesian
43

Banking Statistics, 2008:vii). Pengkategorian kredit kurang lancar diantaranya
adalah apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah
melampaui batas 90 hari, ditemukan indikasi masalah keuangan yang dihadapi
oleh debitur, frekuensi rekening relatif rendah, dan dokumentasi pinjaman yang
lemah (Siamat, 2004:136).
Sedangkan yang dapat dikategorikan sebagai kredit yang diragukan
diantaranya adalah terdapat tunggakan angsuran pokok dan atau bunga yang telah
melampaui 180 hari, adanya dokumentasi hukum yang lemah baik untuk
perjanjian kredit maupun pengikat jaminan (Siamat, 2004:136). Yang termasuk
kategori kredit macet diantaranya adalah terdapat tunggakan angsuran pokok dan
atau bunga yang telah melampaui 270 hari, kerugian operasional ditutup dengan
pinjaman baru, dari segi hukum maupun kondisi pasar jaminan tidak dapat
dicairkan pada nilai wajar (Siamat, 2004:136). Standar terbaik atas persentase
NPL adalah sebesar kurang dari 5 persen akan semakin baik jika persentase NPL
bisa berada dibawah 5 persen. NPL sendiri mempunyai hubungan negatif dengan
penawaran kredit sehingga dengan kata lain semakin tinggi NPL dari suatu
perbankan akan mempengaruhi penurunan penawaran kredit yang dapat dilakukan
oleh suatu bank.
2.2.2.5. Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)/Legal Lending Limit
(LLL)
Untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank serta
melindungi kepentingan dan kepercayaan masyarakat, maka dalam penyaluran
dananya, bank diwajibkan mengurangi risiko dengan cara menyebarkan
44

penyediaan dana sesuai dengan ketentuan batas maksimum pemberian kredit atau
BMPK yang ditetapkan sedemikian rupa sehingga pemberian kredit tidak terpusat
pada peminjam dan atau kelompok peminjam tertentu. Oleh karena itu, ketentuan
BMPK ini perlu diteliti oleh setiap pejabat kredit dalam setiap pemberian kredit
(Veithzal Rivai, 2007:281).
BMPK adalah penyediaan dana yang diperkenankan untuk dilakukan oleh
bank kepada peminjam atau kelompok peminjam tertentu. Ketentuan BMPK
berlaku pula bagi kantor-kantor operasional yang beroperasi di luar negeri. Modal
bank adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang kewajiban
penyediaan modal minimum bank. Penyediaan dana yang terkena BMPK meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1. Pemberian fasilitas kredit, termasuk fasilitas cerukan.
2. Penyediaan fasilitas pemberian jaminan, yaitu segala jenis pernyataan bank
yang mengandung unsur jaminan yang meliputi garansi bank, aval,
endorsement dan stand by L/C, serta pernyataan lain yang mengandung unsur
jaminan. Dalam fasilitas jaminan ini tidak termasuk L/C dalam rangka impor,
SKBDN, dan shipping guarantee.
3. Pembelian surat berharga yaitu penempatan dana dalam surat berharga pasar
uang (SPBU) yang masih ada dalam portofolio bank, termasuk
peminjam/kelompok peminjam.
Pengawasan terhadap ketentuan ini ditujukan untuk memastikan bahwa
ketentuan Batas Maksimun Pemberian Kredit, baik kepada seorang debitur
maupun grup debitur tidak terlampaui. Hal ini dilakukan untuk melindungi
45

kepentingan dan kepercayaan masyarakat serta memelihara dan meningkatkan
daya tahan bank serta melaksanakan diversifikasi yang ditetapkan Bank
Indonesia.
2.2.3. Variabel Eksternal
Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga jangka pendek (1-12
bulan) dengan sistem diskonto yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dalam bentuk
surat pengakuan utang dalam satuan unit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Saat
ini, sesuai dengan ketentuan baru (SE No. 4/20DPM) SBI diterbitkan dengan
warkat (scripless) dan ditatausahakan melalui Central Registry yang dikelola oleh
Bank Indonesia-Sistem Penatausahaan SBI (BI-SPS). Seperti disampaikan
sebelumnya, SBI diperkenalkan pada bulan Februari 1984 untuk dipergunakan
dalam OPT yang digunakan kembali sebagai instrumen tidak langsung
pengembalian moneter sejak deregulasi 1 Juni 1983. Oleh karena itu, SBI dapat
diperdagangkan baik di pasar primer maupun sekunder. Penjualan di pasar primer
dilakukan melalui lelang mingguan setiap hari Rabu yang didahului dengan
pengumuman mengenai sasaran indikatif sehari sebelumnya. Penjualan di pasar
sekunder dapat dilakukan kapan saja sebelum jatuh waktunya.
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (1-3
bulan) dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang
digunakan Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai Rupiah. Dengan
46

menjual SBI, Bank Indonesia dapat menyerap kelebihan uang primer yang
beredar.
Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan
oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005, BI
menggunakan mekanisme "BI rate" (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan
target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode
tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar
dalam mengikuti pelelangan.
Dalam penelitian, tingkat suku bunga SBI yang digunakan adalah dalam
periode bulanan. Oleh karena itu, data tingkat suku bunga SBI yang diperoleh
dalam periode harian akan diubah menjadi periode bulanan dengan rumus sebagai
berikut:
Rata-rata tingkat suku bunga SBI = Jumlah tingkat suku bunga periode harian
selama 1 bulan dibagi dengan jumlah periode waktu selama 1 bulan
Sistem penawaran SBI yang dilakukan oleh Bank Indonesia saat ini
menggunakan sarana Automatic Bidding System (ABS) dengan sistem lelang yang
berdasarkan target kuantitas dengan memerhatikan tingkat suku bunga (diskonto)
yang terjadi. ABS adalah sistem penawaran dana dan surat-surat berharga dari
bank atau pialang dalam rangka OPT secara on-line dan real time. Sistem lelang
dengan target kuantitas akan menghasilkan stop-out rate (SOR), yaitu tingkat
diskonto tertinggi yang dihasilkan dari lelang ini yang dimenangkan oleh peserta
setelah target kuantitas yang diinginkan terpenuhi. Target indikatif kuantitas
diumumkan sehari sebelum lelang. Sistem lelang lain yang pernah digunakan oleh
47

Bank Indonesia adalah sistem lelang dengan target harga di mana tingkat diskonto
tertinggi yang dihasilkan dari lelang yang disebut cut-out rate (COR), yang
dimenangkan peserta, setelah target harga atau suku bunga yang diinginkan
terpenuhi. Target indikatif suku bunga tidak diumumkan sebelumnya.
Peserta lelang terdiri dari peserta langsung dan peserta tidak langsung.
Peserta langsung terdiri dari bank, atas nama bank sendiri atau atas nama bank
lain, dan pialang pasar uang, atas nama bank, yang memiliki sarana ABS. Peserta
tidak langsung terdiri dari bank yang tidak memiliki sarana ABS. Pada hari lelang
peserta langsung dapat mengajukan penawaran yang terdiri dari nominal dan
diskonto yang diinginkan antara pukul 10.00-14.00 WIB, melalui sarana ABS ke
Bagian Operasi Pasar Uang (OPU). Peserta tidak langsung dapat mengajukan
penawarannya melalui peserta langsung.
Jumlah penawaran yang dapat diajukan perbankan minimum 1.000
(seribu) unit atau Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), dan selebihnya
dengan kelipatan 100 (seratus) unit atau Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Tingkat diskonto yang diajukan harus dalam kelipatan 6,5 basis point atau
0,0625% untuk semua peserta.
Sesuai dengan sistem SOR, pemenangnya ditentukan berdasarkan
kuantitas yang masuk. Pengumuman pemenang dilakukan melalui saran ABS,
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) atau sarana lainnya pada hari pelaksanaan
lelang selambat-lambatnya pukul 16.30 WIB. Apabila jumlah seluruh penawaran
yang masuk melebihi sasaran kuantitas, BI harus mengambil pemenang dimulai
dari yang mengajukan tingkat diskonto terendah sampai dengan jumlah kumulatif
48

penawaran mencapai sasaran tersebut. Apabila jumlah penawaran lebih rendah
dari sasaran kuantitas maka BI harus mengambil seluruhnya.
Dengan sistem SOR, pemenangnya adalah peserta yang mengajukan
penawaran di bawah atau sama dengan SOR. Apabila tidak semua penawaran
pada SOR memenangkan lelang maka sesuai dengan metode penghitungan
multiple price (American procedure) yang dianut:
a. Peserta yang mengajukan penawaran pada tingkat diskonto di bawah SOR
akan memenangkan lelang sebesar 100% dari nominal yang mereka ajukan,
dengan mendapat tingkat diskonto sesuai yang mereka ajukan, dan
b. Peserta yang mengajukan penawaran tingkat diskonto sesuai SOR akan
memenangkan lelang secara proporsional sesuai dengan penawaran nominal
yang diajukannya, dengan mendapat tingkat diskonto SOR.
SBI adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, yang bisa
dibeli oleh bank atau pihak lain melalui broker. Dengan SBI, Bank Indonesia bisa
mengatur jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat. Kalau jumlah dana
yang beredar dinilai terlalu tinggi, maka Bank Indonesia akan memberikan suku
bunga yang tinggi sehingga masyarakat (melalui bank dan lembaga keuangan)
memilih menyimpan dananya di Bank Indonesia. Sebaliknya kalau dana yang
beredar terlampau sedikit, Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sehingga
perbankan dan lembaga keuangan memilih menyediakan dananya untuk dipakai
masyarakat. Tarik ulur seperti ini diperhitungkan dengan cara yang sedemikian
cermat sehingga target inflasi bisa tercapai.
49

Selain SBI, Bank Indonesia mengendalikan jumlah uang beredar dengan
menetapkan suku bunga patokan (benchmark) yang disebut dengan BI Rate. Bank
Indonesia menyebut BI Rate ini sebagai sinyal kemana sebenarnya kebijakan
moneter sedang diarahkan. Dengan demikian, diharapkan bunga di pasar uang
(bank dan lembaga keuangan lainnya) akan mengacu pada BI Rate tersebut.
Logikanya sama seperti pada SBI. Semakin tinggi BI Rate, maka suku bunga
perbankan (tabungan maupun kredit) juga akan tinggi, dan dana masyarakat akan
cenderung tersimpan di bank. Sebaliknya kalau BI Rate rendah, maka suku bunga
perbankan juga akan turun, dan masyarakat akan cenderung menggunakan
dananya untuk keperluan lain.
Pertanyaan untuk kita, kalau penurunan suku bunga ini ibarat sodokan
stick pada satu bola bilyar, kemana bola-bola mana saja yang akan terpengaruh,
dan yang lebih terpenting lagi bola mana yang akan masuk lobang di sudut dan
mendatangkan poin untuk kita?
Bola pertama yang akan tersodok adalah suku bunga perbankan. Artinya,
bank-bank pasti akan segera menurunkan suku bunganya. Pertama-tama, tentu
saja, yang akan diturunkan adalah sukubunga tabungan dan deposito, dan baru
kemudian suku bunga kredit. Ini normal, bahwa bank dengan cepat menurunkan
bunga tabungan deposito, tetapi lambat dalam menurunkan bunga kredit. Alasan
klasik yang dikemukan bank adalah bahwa dana yang tersedia saat ini adalah dana
masyarakat yang masih berbunga tinggi. Misalnya saja, ada deposito satu tahun
yang jatuh tempo Juni tahun depan, yang untuknya bank masih harus membayar
bunga tinggi. Tetapi sebenarnya deposito baru sudah berbunga rendah, dan
50

tabungan lama pun bunganya langsung disesuaikan. Di sinilah justru bank
berpeluang untuk mendapatkan margin karet dari beban bunga (tabungan dan
deposito) yang sudah turun, tetapi pendapatan bunga (kredit) masih tetap tinggi.
Apakah ini saatnya membeli saham sektor perbankan? Tentu boleh dipikirkan.
Bola kedua akan bergerak beberapa bulan lagi, ketika bank-bank sudah
secara riil juga menurunkan bunga kredit. Kalau ini yang terjadi, maka akan
terjadi sodokan karambol ke bola-bola yang lain yang akan kita lihat berikut ini.
Bola ketiga yang tersodok adalah dunia bisnis. Bola ini tersodok karena dunia
bisnis akan mendapatkan kredit dengan biaya yang lebih murah. Mereka yang
sebelumnya tidak berani mengabil kredit untuk modal usaha karena bunga masih
tinggi, sekarang akan berani, dan berarti akan ada aktivitas bisnis baru. Mereka
yang sebelumnya sudah menggerakkan roda usahanya dengan bunga yang cukup
tinggi, sekarang berpeluang mendapatkan kredit dengan bunga yang lebih murah,
sehingga usaha mereka akan lebih efisien. Apakah ini artinya laba persahaan-
perusahaan akan meningkat? Banyak orang sudah menduga ke sana. Buktinya,
orang sudah berburu saham di bursa, sehingga dalam sebulan terakhir indeks
harga saham gabungan terus mencatat rekor terbarunya.
Situasi ini menyodok bola keempat, yakni dunia kerja. Kalau dunia usaha
sudah bergerak lagi, maka karyawan yang dulu sempat dirumahkan mungkin akan
dipanggil lagi. Perusahaan yang sebelumnya tidak mampu menyesuaikan gaji
terhadap inflasi, kini mulai bisa menaikkan gaji. Bahkan kini ada banyak
perusahaan baru, yang otomatis juga akan menyerap tenaga kerja baru.
51

Maka bola kelima pun tersodok, yakni daya beli masyarakat. Daya beli
masyarakat meningkat karena perusahaan tempat mereka bekerja menjadi lebih
aktif, semakin banyak usaha baru, dan semakin banyak peluang usaha baru pula.
Daya beli masyarakat naik karena sumber pendapatan mereka semakin mantap.
Kondisi ini menyodok bola keenam, yakni rasa percaya diri masyarakat
sebagai konsumen untuk mengambil kredit untuk konsumsi, karena bunga kredit
konsumsi juga sudah turun. Masyarakat mulai kembali membeli rumah dengan
KPR, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, dan ini berarti sodokan
balik ke bola ketiga, yakni dunia usaha Karena masyarakat mulai berbelanja,
maka sektor industri akan bergerak lebih lancar, dan ini kembali menyodok bola
keempat (dunia kerja) yang pada gilirannya akan kembali lagi menyodok bola
kelima.
Bola ketujuh yang tersodok adalah investasi. Ketika suku bunga tinggi,
orang akan cenderung menyimpan uangnya di bank, karena tanpa susah payah,
orang akan mendapatkan bunga yang lumayan. Sedikit lebih baik dari pendapatan
bunga bank adalah bunga obligasi. Maka pendek kata wahana atau sarana
investasi yang laku adalah instrumen berpendapatan tetap. Tetapi ketika suku
bunga turun, maka hasil investasi pendapatan tetap juga otomatis akan turun.
Maka orang akan memutar otak, bagaimana mendapatkan hasil investasi yang
lebih baik. Pilihan yang cukup umum adalah dengan menanamkan dana di bursa
saham. Dan inilah yang sudah mulai terjadi di Indonesia belakangan ini. Buktinya,
sekali lagi, harga-harga saham di bursa terus merambat naik, sehingga indeks
harga saham gabungan juga terus merambat naik
52

Secara umum penentuan bunga kredit yang digunakan oleh bank adalah
(Siamat, 2004:128-129):
a. Jangka waktu kredit, jangka waktu kredit merupakan cerminan umum dari
risiko kredit yang mungkin muncul, semakin panjang jangka waktu dari
suatu kredit maka semakin besar pula beban bunga yang diberikan.
b. Kualitas jaminan kredit, jaminan kredit merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam memberikan pertimbangan mengenai berapa
besarnya bunga yang akan dibebankan kepada seorang
nasabah/perusahaan. Bila jaminan yang diberikan oleh nasabah
mempunyai kualitas yang tinggi yaitu mudah dicairkan, nilainya tidak
mengalami penurunan yang berarti, mudah diperjualbelikan berarti risiko
atas kredit yang diberikan bank rendah sehingga bank pun akan
memberikan bunga kredit yang rendah.
c. Reputasi Perusahaan, credit rating merupakan cerminan atas kualitas dan
reputasi perusahaan. Semakin baik credit rating suatu perusahaan maka
semakin kecil tingkat risikonya.
d. Produk yang kompetitif, perusahaan-perusahaan yang mempunyai produk
yang mudah diproduksi oleh perusahaan lainnya menunjukkan perusahaan
tersebut berada di tingkat kompetitif yang tinggi sehingga mencerminkan
risiko yang tinggi sehingga bank pun akan memberikan bunga yang tinggi
di bandingkan dengan perusahaan yang memproduksi produk-produk yang
exclusive.
53

e. Hubungan baik, hubungan baik yang pernah terjalin antara perusahaan
dengan bank akan dapat mempengaruhi keputusan bank dalam
memberikan bunga kredit.
f. Jaminan pihak ketiga, adanya jaminan pihak ketiga akan mempengaruhi
penentuan bunga kredit yang dibebankan oleh bank (Siamat, 2004:132).
g. Biaya dana bank, dana yang dipinjamkan oleh bank sebagian besar berasal
dari masyarakat, dalam bentuk tabungan, giro, deposito maupun surat-
surat berharga lainnya dan ada pula bantuan likuiditas dari BI atas dana-
dana tersebut bank mengeluarkan biaya yang dinamakan biaya bank. Oleh
karena itu tingkat bunga yang dibebankan bank harus lebih besar daripada
biaya dana yang dikeluarkan bank.
h. Spread, selisih antara biaya dana (borrowing rate) dengan tingkat bunga
kredit (lending rate).
i. Biaya overhead, semua biaya yang dikeluarkan bank dalam rangka
kegiatan penghimpunan dana dari berbagai sumber yang menjadi beban
rugi laba diantaranya: beban personalia, administrasi dan umum dan
beban-beban lainnya.
j. Premi risiko, faktor risiko merupakan salah satu komponen terhadap bunga
kredit yang dibebankan kepada debitur. Premi risiko dapat diketahui dari
pengalaman bank dalam pengelolaan kredit yaitu dengan melakukan
penilaian atas kualitas kredit. premi risiko dapat dihitung dengan
menggunakan metode pembentukan cadangan penyisihan penghapusan
54

kredit yang dikaitkan dengan persentase tertentu terhadap kualitas atau
kolektibilitas kredit dibagi dengan outstanding loan (saldo debet).
Bank sentral sebagai pelaksana kebijakan moneter, menjalankan
kebijakannya yang bersifat kuantitatif melalui (Judisseno, 2002:21):
a. Pengaturan tingkat bunga dan tingkat diskonto (rediscount rate policy)
Dilakukan oleh BI untuk mengontrol jumlah uang yang beredar dengan
cara menaikkan atau menurunkan tingkat bunga dan atau tingkat diskonto.
Tingkat diskonto diartikan sebagai tingkat bunga yang ditetapkan oleh BI
kepada bank-bank umum terhadap penjualan surat-surat berharga yang
mempunyai likuiditas tinggi.
b. Pengaturan operasi pasar terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka yaitu kebijakan yang dijalankan pemerintah dengan
cara menjual atau membeli surat-surat berharga seperti obligasi ke atau
dari masyarakat melalui bank-bank umum yang secara langsung memiliki
dampak dengan berkurangnya jumlah uang beredar di masyarakat.
c. Pengaturan tingkat cadangan minimal dan tingkat kelebihan cadangan
(reserve requirement policy).
Kebijakan yang mengatur besarnya tingkat cadangan minimal bank (legal
reserve ratio) yang secara tidak langsung juga mengatur besarnya kelebihan
cadangan yang dapat disalurkan dalam bentuk kredit ke masyarakat (excess
reserve). Kebijakan BI untuk meningkatkan cadangannya (reserve requirement).
Bagi dunia perbankan akan mempengaruhi penurunan terhadap jumlah kredit
yang disalurkannya (Judisseno, 2002:22).
55

(I Putu Gede Ary Suta, Soebowo Musa...2004) As a monetary authority, the
central bank is responsible to maintain the monetary stability. The central bank is
required to implement policy that promotes micro and macro economic growth,
taking into account the external and internal conditions. To create stability in its
monetary policies, the central bank has four instruments: reserve requirement,
discount rate, foreign exchange policy and open market operations.
2.3. Model Analisis
Sebagai penggambaran atas hubungan antar variabel yang bertujuan untuk
mempermudah pembaca di dalam memahami hubungan yang terjadi di antara
variabel-variabel yang ada. Variabel yang terdapat di dalam penelitian ini adalah
penawaran kredit di sektor UMKM sebagai variabel terikat (dependent variable)
dan DPK, CAR, ROA, NPL, LLL, BI Rate sebagai variabel bebas (independent
variable).






Gambar 2.1. Model Analisis
Sumber: diolah, tahun 2009
DPK
CAR
ROA
NPL
LLL
SBI
Penawaran
Kredit sektor
UMKM
56

2.3.1. Hipotesis
Hipotesis merupakan proporsi yang akan diuji keberlakuannya, atau
merupakan suatu jawaban sementara atas pertanyaan penelitian. Penyusunan
hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ho : Tidak adanya pengaruh antara DPK terhadap penawaran kredit UMKM
Ha : Adanya pengaruh antara DPK terhadap penawaran kredit UMKM
2. Ho : Tidak adanya pengaruh antara CAR terhadap penawaran kredit UMKM
Ha : Adanya pengaruh antara CAR terhadap penawaran kredit UMKM
3. Ho : Tidak adanya pengaruh antara ROA terhadap penawaran kredit UMKM
Ha : Adanya pengaruh antara ROA terhadap penawaran kredit UMKM
4. Ho : Tidak adanya pengaruh antara NPL terhadap penawaran kredit UMKM
Ha : Adanya pengaruh antara NPL terhadap penawaran kredit UMKM
5. Ho : Tidak adanya pengaruh antara LLL terhadap penawaran kredit UMKM
Ha : Adanya pengaruh antara LLL terhadap penawaran kredit UMKM
6. Ho : Tidak adanya pengaruh antara SBI terhadap penawaran kredit UMKM
Ha : Adanya pengaruh antara SBI terhadap penawaran kredit UMKM
7. Ho : Tidak adanya pengaruh antara DPK, CAR, ROA, NPL, LLL dan SBI
terhadap penawaran kredit UMKM
Ha : Adanya pengaruh antara DPK, CAR, ROA, NPL, LLL da SBI terhadap
penawaran kredit UMKM



57

2.3.2. Operasionalisasi Variabel Penelitian
2.3.2.1. DPK
Dana Pihak Ketiga merupakan dana yang diterima oleh bank dari
masyarakat yang berupa tabungan, giro dan deposito. Pengumpulan atas dana-
dana terebut digunakan oleh bank untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga
keuangan dalam menyalurkan kredit. Rasio ini menggunakan total DPK yang
terdiri atas penjumlahan tabungan, giro dan deposito.
2.3.2.2. CAR
Sesuai dengan ketentuan BI, CAR minimum yang harus dimiliki oleh perbankan
adalah sebesar 8 persen. Menurut Manurung (2008:154) modal bank membantu
mencegah kegagalan bank di dalam membayar kewajibannya terhadap deposan
dan kreditur. Pada dasarnya angka CAR dimaksudkan sebagai indikator tingkat
solvabilitas sebuah bank karena jika nilainya berada di bawah ketentuan minimum
akan sangat membahayakan keselamatan dana para nasabahnya (Eko dan
Supriyanto, 2006:26). Rasio CAR diukur dengan rumus (Indonesian Banking
Statistics, 2008:x):
Modal
CAR : (2.1)
ATMR


2.3.2.3. ROA
Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat rentabilitas atau profitabilitas
sebuah bank. Profitabilitas dapat diraih dengan menjalankan fungsi perbankan
58

sebagai lembaga keuangan yaitu menyalurkan kredit. Perbankan yang memiliki
surplus besar dapat menyalurkan kredit dua kali lebih cepat daripada bank yang
memiliki surplus kecil (Brinkman dan Horvitz, 1995:853). Rasio ROA diukur
dengan rumus (Siamat, 2004:102):
Laba Setelah Pajak
ROA : (2.2)
Total Aset

2.3.2.4. NPL
NPL menunjukkan kemampuan kolektibilitas sebuah bank dalam
mengumpulkan kembali kredit yang dikeluarkan oleh bank sampai lunas. NPL
merupakan persentase jumlah kredit bermasalah dengan kriteria kurang lancar,
diragukan, dan macet terhadap total kredit yang dikeluarkan bank. Rasio ini
diukur dengan rumus (Indonesian Banking Statistics, 2008:xii):
Kredit
NPL : (2.3)
Total Kredit

2.3.2.5. LLL
Batas maksimum pemberian kredit adalah ketentuan tentang tidak
diperbolehkannya suatu bank untuk memberikan kredit (baik kepada nasabah
tunggal maupun kepada nasabah grup) yang besarnya melebihi 20% dari besarnya
modal bank yang bersangkutan.


59

Total kredit (Perorangan/Group) x 100%
BMPK = (2.4)
Modal

Maksimal BMPK, maksimal penyediaan dana yang bisa diberikan kepada
perorangan atau grup = 20% dari Modal Bank
2.3.2.6. SBI
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/4/DPM SBI adalah surat
berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan atas hutang berjangka waktu pendek. Tingkat suku bunga kredit yang
diberikan oleh perbankan menggunakan SBI sebagai acuan terhadap perentase
yang akan diberikan. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diperoleh dari Bank
Indonesia yang dipublikasikan secara umum.
2.4. Metode Penelitian
2.4.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif, yaitu analisis yang menggunakan suatu alat analisis
dengan menggunakan model-model seperti model matematika, statistik dan
ekonometrik (Suliyanto, 2005:7). Selain itu pendekatan kuantitatif berangkat dari
kerangka pemikiran dan teori untuk dikembangkan menjadi suatu analisa data
(Hasan, 2004:30).

60

2.4.2. Jenis Penelitian
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan jenis penelitian
eksplanatif karna penelitian ini bermaksud untuk memberikan penjelasan.
Penelitian ini bermaksud untuk memberikan penjelasan hubungan mengenai
penawaran kredit di sektor UMKM yang dipengaruhi oleh variabel internal (DPK,
CAR, ROA, NPL, LLL) dan variabel eksternal (SBI). Berdasarkan manfaat
dilakukannya penelitian ini, penelitian ini merupakan penelitian murni karena
dilakukan dalam kerangka akademis.
2.4.3. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan pengamatan yang menjadi perhatian dalam
penelitian (Walpole, 1988:5). Populasi dari penelitian ini terdiri dari bank-bank
yang tercatat di BI, bank-bank yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah
bank umum yang memiliki data-data yang dibutuhkan mulai dari tahun 2008-2010
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bank umum yang tercatat di Bank Indonesia
b. Memiliki laporan keuangan yang dipublikasikan di Bank Indonesia dari
tahun 2008-2010
c. Memiliki laporan penyaluran kredit UMKM yang dipublikasikan di BI
dari tahun 2008-2010
2.4.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah dengan
studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca, mendalami dan
61

menelaah berbagai macam buku-buku, catatan kuliah dan jurnal-jurnal yang
menunjang penelitian yang dilakukan. Selain itu data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data berupa laporan Statistik Perbankan
Indonesia yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia.
2.4.5. Teknik Analisis Data
Berawal dari pengumpulan data maka data-data yang diperlukan di dalam
penelitian ini kemudian dianalisa dan untuk memudahkan dalam perhitungan
data-data yang diperlukan. Penelitian ini menggunakan bantuan program
Microsoft Excel dan Eviews. Penggunaan program Microsoft Excel untuk
melakukan deskripsi statistik terhadap data yang diolah. Sementara program
Eviews digunakan untuk melakukan regresi dan pengujian-pengujian terhadap
hasil regresi tersebut.
Analisa Regresi Berganda
Dengan analisa regresi berganda yang digunakan untuk melihat pengaruh
sejumlah variabel independen terhadap variabel dependen atau juga untuk
memprediksi nilai suatu variabel dependen berdasarkan nilai variabel
independennya. Di dalam penelitian ini penulis ingin menguji adanya pengaruh
variabel internal (DPK, CAR, ROA, NPL, LLL) dan variabel eksternal (SBI)
terhadap penawaran kredit UMKM yang ditunjukkan dengan model persamaan
sebagai berikut:
K
UMKM
=
0
+
l
DPK
t
+
2
CAR
t
+
1
ROA
t
+
4
NPL
t
+

LLL
t
+
o
SBI
t
+ u
62

Keterangan:
K
UMKM
: Jumlah kredit di sektor UMKM pada Bank Umum (2008-2010)
DPK
t
: Dana Pihak Ketiga pada Bank Umum (2008-2010)
CAR
t
: Capital Adequacy Ratio pada Bank Umum (2008-2010)
ROA
t
: Return On Asset pada Bank Umum (2008-2010)
NPL
t
: Non performing Loans pada Bank Umum (2008-2010)
LLL
t
: Legal Lending Limit pada Bank Umum (2008-2010)
SBI
t
: Suku Bunga SBI (2008-2010)
u : Tingkat kesalahan atau tingkat gangguan
Regresi ini dihitung dengan menggunakan Metode Ordinary Least Square (OLS)
yang menurut Gauss-Markov mempunyai sifat BLUE (Best Linier Unbiased
Estimate) atau mempunyai sifat yang linier, tidak bias dan varian yang minimum
(Nachrowi dan Usman, 2006).
Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik merupakan dasar dari teknik analisis regresi, dimana
dalam penggunaan regresi linier rentan terhadap beberapa masalah yang sering
timbul dan akan menyebabkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan menjadi
kurang akurat yaitu:
63

Otokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel
dalam satu kurun waktu. Variabel-variabel yang terkorelasi tersebut akan
menimbulkan bias pada hasil penelitian yang mana tidak sesuai dengan
prinsip OLS yaitu bersifat BLUE. Salah satu cara untuk melihat keberadaan
otokorelasi adalah dengan menggunakan program Eviews yang dilihat dengan
pengujian Durbin Watson Statistic (DW). Selain itu dapat juga diuji dengan
menggunakan Langrange Multiplier (LM) yang dikembangkan oleh Breusch-
Godfrey. Langrange Multiplier (LM) digunakan untuk mengatasi kelemahan
atas uji DW. Dengan uji LM ini keberadaan otokorelasi dapat dilihat apabila:
Nilai probability > E!/ tidak terdapat otokorelasi atau Ho diterima
Nilai probability < E!/ terdapat otokorelasi atau Ho ditolak
Heteroskedastisitas yaitu suatu kondisi dimana semua residual atau error
mempunyai varian yang tidak konstan atau berubah-ubah. Salah satu cara
untuk mendeteksi keberadaan heteroskedastisitas dengan menggunakan
program Eviews yaitu dengan menggunakan Uji White maka kriteria
hipotesis untuk menentukan keberadaan heteroskedastisitas adalah:
Probabilitas < Nilai kritis 5% Ho ditolak
Probabilitas > Nilai kritis 5% Ho diterima
Multikolinieritas yaitu munculnya peluang diantara beberapa variabel bebas
untuk saling berkorelasi, yang pada praktiknya multikolinieritas tidak dapat
dihindari. Untuk menguji ada tidaknya gejala multikolinieritas digunakan
analisa korelasi terhadap semua variabel bebas. Bila korelasi (r) berkisar 0.8
0.9 maka terjadi gejala multikolinieritas.
64

Uji F
Uji F digunakan untuk menguji hipotesis koefisien regresi secara
bersamaan, sehingga nilai dari koefisien regresi tersebut dapat diketahui secara
bersama. Dalam uji model ini dipergunakan hipotesis sebagai berikut:
H
o
:
l
!
2
!
1
!
4
!

!
o
apabila f value > 0.05 maka disimpulkan H
o

H
a
: paling tidak, satu diantaranya tidak sama dengan nol, apabila f value < 0.05
maka disimpulkan H
a

Uji T
Uji T digunakan untuk menguji kontribusi variabel independen terhadap variabel
dependen. Di mana Ho menunjukkan hipotesis nol, besarnya koefisien regresi
dinyatakan nol berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas
ke-i dengan variabel terikatnya. Sedangkan Ha menunjukkan hipotesis alternatif.
Ho ditolak jika t value < 5%.






65

Langkah-Langkah Pengolahan Data















Sumber: diolah, tahun 2009
Mulai
Pengumpulan Data
Deskripsi Data Ya
OLS
Difference
Terdapat
Pengujian
Otokorelasi, multikorelasi
dan heterokedastisidas
Selesai Uji Beda
Tidak
Terdapat
66

BAB III
GAMBARAN UMUM INDUSTRI PERBANKAN NASIONAL

3.1. Kelembagaan Keuangan
Perkembangan kelembagaan keuangan sebagai lembaga intermediasi, baik
bank maupun lembaga keuangan bukan bank yang mengalami pasang surut
sesuai dengan perkembangan kondisi keuangan dan moneter yang dialami suatu
negara. Lembaga keuangan adalah badan usaha yang kekayaannya terutama
berbentuk aset keuangan (financial assets) atau tagihan (claims), seperti saham
dan obligasi. Lembaga keuangan terdiri dari beraneka ragam lembaga yang
bergerak di sektor finansial. Dengan demikian, konsep lembaga keuangan dapat
dirumuskan dalam beberapa definisi tergantung dari sudut mana melihatnya
(Veithzal Rivai, 2007:15).
Lembaga keuangan merupakan bagian dari sistem keuangan dalam
ekonomi modern yang melayani masyarakat pemakai jasa keuangan. Sistem
keuangan pada dasarnya merupakan suatu jaringan pasar keuangan (financial
market), institusi, sektor usaha, rumah tangga dan lembaga pemerintah yang
merupakan peserta dan juga sekaligus memiliki wewenang dalam mengatur
operasi sistem keuangan tersebut. Pada dasarnya fungsi pokok sistem keuangan
adalah mengalihkan dana (loanable funds) dari penabung atau unit surplus kepada
peminjam atau unit defisit.
Sistem keuangan merupakan tatanan perekonomian dalam suatu negara
yang berperan dan melakukan aktivitas dalam berbagai jenis keuangan yang
diselenggarakan oleh lembaga keuangan. Di Indonesia dikenal dua jenis sistem
67

keuangan, yaitu sistem perbankan dan sistem lembaga keuangan bukan bank.
Lembaga keuangan dalam sistem perbankan adalah lembaga keuangan yang
menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1: adalah badan
usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak, sehingga
disebut juga dengan depository financial institution (deposit taking). Sementara
itu, lembaga keuangan bukan bank (LKBB) disebut juga dengan non-depository
financial institution (non-deposit taking) adalah lembaga keuangan selain bank
yang dalam kegiatannya tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung
selain bank yang dalam kegiatannya tidak diperkenankan menghimpun dana
secara langsung dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi
perusahaan asuransi, dana pensiun, pasar modal, leasing, anjak piutang, modal
ventura, dan pegadaian serta perusahaan pembiayaan lainnya.
Metode pengalihan dana dari unit surplus ke unit defisit dapat dilakukan
dengan menggunakan tiga cara berikut ini:
a. Metode Pembiayaan Langsung

Arus Dana
Sekuritas


Gambar 3.1. Metode Pembiayaan Langsung

Unit
Defisit
Unit
Surplus
68

b. Metode Pembiayaan Semilangsung


Sekuritas Sekuritas
Primer Sekunder

Gambar 3.2. Metode Pembiayaan Semilangsung

c. Metode Pembiayaan Tidak Langsung

Arus Dana Arus Dana

Sekuritas Sekuritas
Primer Sekunder



Gambar 3.3. Metode Pembiayaan Tidak Langsung

Lembaga keuangan memegang peran yang sangat penting dalam
pengalihan dana dari unit surplus dan atau unit defisit yang disalurkan dari satu
unit ekonomi (perusahaan, rumah tangga, dan pemerintah) ke unit ekonomi
(perusahaan, rumah tangga, dan pemerintah lainnya seperti yang terlihat pada
Gambar 3.4 dan Gambar 3.5.



Unit
Defisit
Perusahaan
efek
Reksa Dana
Unit
Surplus
Unit
Defisit
Unit
Surplus
y Bank
y Dana Pensiun
y Asuransi
y Reksa Dana
y Perusahaan
Efek
y Pegadaian
y Modal Ventura
69

Indirect Finance






Gambar 3.4. Arus Dana Melalui Sistem Keuangan

Sekuritas Sekuritas
Primer Sekunder



Instrumen Arus
Utang Tabungan


Gambar 3.5. Proses Intermediasi Keuangan
Sekuritas Sekunder (giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, polis
asuransi, program pensiun, dan reksa dana).
Sekuritas Primer (obligasi, saham, commercial paper, promissory notes,
repurchase agreement, bankers acceptance, treasury bills, bill of exchange).
Unit Defisit
y Perusahaan
y Rumah Tangga
y Pemerintah
y Individu
y Koperasi, dll
Lembaga Intermediasi
Keuangan
Pasar Keuangan
Direct Finance
Unit Surplus
y Perusahaan
y Rumah Tangga
y Pemerintah
y Individu
y Koperasi, dll.


Unit
Defisit


Unit
Surplus

y Bank Umum
y Bank Syariah
y BPR
y Perusahaan Efek
y Perusahaan Asuransi
y Dana Pensiun
y Reksa Dana
y Pegadaian
70

3.2. Jenis Bank
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, terdiri dari:
1. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau verdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Bank umum
melaksanakan seluruh fungsi perbankan yaitu menghimpun dana,
menempatkan dana dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral. Dalam
praktiknya, kegiatan usahanya juga ada yang murni berbasis bunga, murni
berbasis syariah dan kombinasi antara konvensional (sistem bunga)
dengan syariah. Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk
melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih
besar kepada kegiatan tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan
mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu antara lain
melaksanakan kegiatan pembayaran jangka panjang, pembiayaan untuk
mengembangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan
lemah/kecil, pengembangan ekspor nonmigas, pengembangan
pembangunan perumahan, dan lain-lain.
2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang
dalam kegiatannya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Bank ini
seperti bank umum, namun wilayah operasinya sangat terbatas di wilayah
tertentu misalnya kabupaten saja. BPR tidak dibolehkan mengikuti kliring
atau terlibat dalam transaksi giral. Dengan demikian penghimpunan dana
71

hanya boleh dilakukan dalam bentuk tabungan dan deposito. Pelaksanaan
kegiatan BPR ada yang berbasis bunga dan syariah.
Dilihat dari fungsinya, jenis bank terdiri dari:
1. Bank Komersial, yaitu bank yang dalam pengumpulan dananya terutama
menerima deposito dalam bentuk deposito lancar (giro) dan deposito
berjangka dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka
pendek.
2. Bank Pembangunan, yaitu bank yang dalam pengumpulan dananya
terutama menerima deposito dalam bentuk deposito berjangka dan atau
mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan jangka panjang dan
dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan
panjang di bidang pembangunan. Bank pembangunan di Indonesia terdiri
dari Bank Pembangunan Pemerintah, Bank Pembangunan Daerah, Bank
Pembangunan Swasta dan Bank Pembangunan Koperasi.
3. Bank Tabungan, yaitu bank yang dalam pengumpulan dananya terutama
menerima deposito dalam bentuk deposito tabungan dan dalam usahanya
terutama memperbungakan dananya dalam kertas berharga. Bank
tabungan ini terdiri dari Bank Tabungan Negara, Bank Tabungan Swasta
dan Bank Tabungan Koperasi.
Dilihat berdasarkan kepemilikannya, jenis bank terdiri dari:
1. Bank Pemerintah Pusat, yaitu bank-bank komersial, bank tabungan atau
bank pembangunan yang mayoritas kepemilikannya berada di tangan
pemerintah pusat.
72

2. Bank Pemerintah Daerah, yaitu bank-bank komersial, bank tabungan atau
bank pembangunan yang mayoritas kepemilikannya berada di tangan
pemerintah daerah.
3. Bank Swasta Nasional, yaitu bank yang dimiliki oleh warga negara
Indonesia.
4. Bank Swasta Campuran, yaitu bank yang dimiliki oleh swasta domestik
dan swasta asing.
Dilihat berdasarkan kegiatan devisa, jenis bank terdiri dari:
1. Bank Devisa, yaitu bank yang memperoleh ijin dari BI untuk menjual,
membeli dan menyimpan devisa serta menyelenggarakan lalu lintas
pembayaran dengan luar negeri. Contoh: Bank Mandiri, Bank BNI, dan
Bank BCA.
2. Bank Non Devisa, yaitu bank yang tidak memperoleh ijin dan BI untuk
menjual, membeli dan menyimpan devisa serta menyelenggarakan lalu
lintas pembayaran dengan luar negeri. Contoh: Bank BPD tertentu.
Dilihat dari dominasi pangsa pasarnya, jenis bank terdiri dari:
1. Retail Banking, bank yang dalam kegiatannya mayoritas melayani
perorangan, usaha kecil dan koperasi. Contoh Retail banking: BCA, BRI,
dan sebagainya.
2. Wholesale Banking, yaitu bank yang mengandalkan nasabah besar atau
nasabah korporasi. Contoh Bank BNI sebelum krisis 1997 mayoritas kredit
diberikan kepada konglomerat.

73

3.3. Perkembangan Perbankan Indonesia
Perkembangan dunia perbankan sangat pesat setelah terjadi deregulasi di
bidang keuangan, moneter dan perbankan pada Juni 1983. Deregulasi tersebut
telah mengakibatkan kebutuhan dana secara langsung maupun tidak langsung
melalui perbankan. Kondisi ini mendorong tumbuhnya perbankan kita baik
menyangkut produk perbankan, jumlah bank maupun jumlah cabang yang pada
gilirannya semakin banyak menjangkau masyarakat yang membutuhkan jasa
perbankan. Kondisi perbankan yang sarat dengan pertumbuhan (ekspansif) terjadi
hingga awal 1997 menjelang krisis perbankan.
Krisis perbankan tahun 1997/1998 memberikan pelajaran sangat serius
dalam bisnis perbankan. Bank kesulitan likuiditas, kualitas aset memburuk, tidak
mampu menciptakan earning dan akhirnya modal terkuras dalam waktu yang
sangat cepat dan kondisi ini melanda sebagian besar bank di Indonesia. Kondisi
yang memprihatinkan ini berlangsung hingga tahun 2004 yang dicerminkan oleh
return on asset (ROA) negatif, terjadi negative spread, sangat sedikit bank yang
membagi dividen, likuiditas rendah, kredit bermasalah atau Non Performing Loan
(NPL) relatif tinggi dan rasio kecukupan modal bank di bawah 8% bahkan
beberapa bank mengalami Capital Adequacy Ratio (CAR) negatif (direktori
perbankan Indonesia dan direktori pasar modal Indonesia 1997 s/d 2004).
Kesulitan-kesulitan lembaga perbankan di Indonesia tampak berkepanjangan,
padahal Bank Indonesia telah menjalankan tugasnya sebagai lender of last resort,
yaitu fungsi yang melekat sebagai pelindung bank dalam hal terjadi kesulitan
likuiditas. Di samping itu Bank Indonesia (bank sentral) telah menciptakan
74

jejaring pengaman (safety net) dengan memberikan penjaminan penuh (blanket
guarantee) atas simpanan masyarakat. Ini menunjukkan ada kebijakan perbankan
yang keliru ataupun kelemahan-kelemahan manajerial lain dalam bisnis
perbankan di Indonesia.
Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997-1998
memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor
perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah
terulangnya krisis. Langkah penting yang dilakukan sehubungan dengan hal
tersebut antara lain:
a. Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusus rencana implementasi
yang jelas untuk memenuhi 25 Basel Core Principles for Effective Banking
Supervision yang menjadi standar internasional bagi pengawasan bank;
b. Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real
Time Gross Settlements (RTGS);
c. Menerapkan bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat
di bank;
d. Merestrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan melalui BPPN, Prakarsa
Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA);
e. Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bank-bank BUMN dan
bank-bank yang direkap; serta
f. Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.

75

Kondisi bank yang relatif buruk pada gilirannya akan menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat. Bank-bank yang sangat buruk kinerjanya
dilikuidasi oleh Bank Indonesia (saat ini kalau ada bank yang dilikuidasi maka
dilakukan oleh lembaga penjaminan simpanan) dan di satu sisi pemerintah
memberlakukan penjaminan penuh (blanket guarantee) sejak 1998 hingga
pertengahan tahun 2005 dan sejak itu sampai dengan saat ini pemerintah
memberlakukan penjaminan terbatas atau eksplisit (explicit guarantee) untuk
simpanan masyarakat. Di samping itu otoritas pengawas memperketat regulasi
perbankan dan telah menetapkan arah kebijakan perbankan yang tercermin pada
Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Pengawasan lembaga perbankan juga
tampak bergeser dari pengawasan berbasis kepatuhan ke pengawasan berbasis
risiko yang berlaku umum pada dunia internasional (penerapan Basel II) yang di
dalamnya memperhatikan persyaratan modal minimum, supervisory review lebih
memastikan bahwa bank secara konsisten memenuhi persyaratan modal
minimum, sedangkan disiplin pasar lebih menekankan peran publik (investor
maupun nasabah simpanan) turut mengawasi bank.
Hal-hal yang disampaikan di atas mengindikasikan bahwa bisnis
perbankan memerlukan sikap yang hati-hati terutama dalam menghadapi
perubahan. Produk bank sebagian besar sangat dipengaruhi oleh perubahan pasar.
Perubahan nilai uang dan perilaku suku bunga adalah harus disikapi secara
profesional. Bank perlu selalu menjada kepercayaan masyarakat dengan cara
memelihara likuiditas yang memadahi, tanpa mengorbankan kepentingan
76

memperoleh profit dan selalu mematuhi regulasi-regulasi yang bersentuhan
dengan bidang perbankan.
Proses konsolidasi dan penataan kembali sruktur industri perbankan
sampai dengan tahun 2008 berjalan secara stabil walaupun menghadapi tekanan
sebagai dampak dari krisis global. Konsolidasi industri perbankan ditujukan untuk
mewujudkan industri perbankan yang sehat, kuat dan efisien serta untuk
meningkatkan kemampuan untuk bersaing dengan bank-bank lain di tingkat
regional dalam rangka mengantisipasi penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN
pada tahun 2015. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan dikeluarkannya
PBI No. 7/15/PBI/2005 dan PBI No. 1/16/PBI/2007 tentang Jumlah Modal Inti
Minimum Bank Umum. Pemenuhan modal inti minimum bank umum yang pada
awalnya sebesar Rp. 80 miliar menjadi Rp. 100 miliar telah dipenuhi oleh bank-
bank umum yang ada bahkan sebanyak 101 bank umum telah memiliki modal inti
lebih dari Rp. 100 miliar.
Berbagai perkembangan positif pada sektor perbankan sejak
dilaksanakannya program stabilisasi antara lain tampak pada pemberian kredit
yang mulai meningkat dan inovasi produk yang mulai berjalan, seperti
pengembangan produk derivatif (antara lain credit linked notes), serta kerjasama
produk dengan lembaga keuangan lain (reksa dana dan bancassurance). Selain
itu, keberhasilan divestasi bank-bank rekap dan penawaran saham perdana (IPO)
Bank Mandiri dan Bank BRI juga memberikan indikasi makin pulihnya
kepercayaan pasar terhadap industri perbankan Indonesia. Indikator-indikator
positif lainnya juga tampak dari investasi asing yang mulai mengalir kembali ke
77

Indonesia, nilai tukar rupiah yang semakin stabil, serta tingkat suku bunga dan
rasio NPL yang menunjukkan kecenderungan menurun.
Perkembangan industri perbankan nasional dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir didominasi oleh bank-bank yang beraset besar dengan total aset yang
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari BI,
Bank Mandiri merupakan bank yang berada di peringkat pertama dari sepuluh
bank beraset besar dalam kurun waktu lebih dari tiga tahun. Sampai dengan tahun
2008 kesepuluh bank-bank beraset besar tersebut mendominasi pasar sebesar
62.22% dari total secara keseluruhan.
Peningkatan aset secara bertahap yang dialami oleh bank-bank besar turut
memberikan pengaruh terhadap penyaluran kreditnya. Terutama terhadap
penyaluran kredit di sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Berdasarkan data dari BI, penyaluran kredit UMKM per Desember dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir yang dilakukan oleh bank umum mengalami
peningkatan.
3.3.1. Bank BUMN
Jika membicarakan mengenai bank-bank milik negara, masyarakat selalu
memiliki harapan lebih dalam mendukung usaha mereka. Sejatinya hal itu
tidaklah berlebihan karena bank-bank persero memang memiliki tugas tambahan.
Selain harus memperlihatkan kinerja terbaiknya melalui laba yang
berkesinambungan, bank-bank persero juga memiliki kewajiban dalam
mendorong perekonomian melalui fungsi intermediasi. Bahkan tak jarang, bank-
78

bank ini diharuskan membantu sebuah industri atau proyek pemerintah melalui
pembiayaan kredit.
Sepanjang Januari-Februari tahun 2011(Stabilitas Perbankan 2011:22)
prestasi penyaluran kredit bank-bank persero berada di bawah rata-rata industri
perbankan nasional.
3.3.2. Bank Umum Swasta Nasional
3.3.3. Bank Pembangunan Daerah
3.3.4. Bank Asing
3.3.5. Perbankan Syariah
3.3.6. Bank Perkreditan Rakyat
3.3.7. Perbankan Internasional











79

You might also like