You are on page 1of 76

1

Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

KATA PENGANTAR
Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena akibatnya akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Pada umumnya kegiatan industri di daerah, menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan seperti aktifitas industri di sektor perindustrian, pertambangan dan sumberdaya mineral, pariwisata, kehutanan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, kelautan dan perikanan, riset dan teknologi, dan perumahan rakyat, serta sektor kesehatan. Untuk lingkup permasalahan pencemarannya terhadap lingkungan terdiri dari bermacam kegiatan seperti kebocoran gas, tumpahan minyak dari tanker (oil spil), limbah pertambangan ke laut, kecelakaan kapal pengangkut bahan tambang mineral, pencemaran PLTN, illegal mining, penambangan tanpa ijin (PETI), pengeboran minyak lepas pantai, penambangan pasir laut untuk reklamasi pantai atau pulau, industri yang berada di pantai/pesisir, penggunaan bahan kimia pada aktivitas usaha tani di hulu, illegal loging, penggunaan kawasan hutan untuk pelabuhan, pengambilan terumbu karang untuk diekspor, pembuatan kapal yang menggunakan kayu, operasional kapal, kecelakaan kapal, kegiatan kepelabuhanan, illegal fishing, industri perikanan, tambak, pembangunan tempat rekreasi di pantai/pesisir, reklamasi pantai, wisata bahari, bahan beracun dari laboratorium, dan limbah domestik. Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan seperti terangkum di atas menghasilkan limbah yang menyebabkan pencemaran air laut yang memberikan dampak pada kehidupan di laut seperti berdampak pada ekosistem laut kerusakan terumbu karang, mangrove, padang lamun, estuaria dan lain-lain, yang membutuhkan waktu yang sangat lama dan teknologi yang memadai serta dana yang sangat besar dalam menyelesaikan permasalahan pencemaran limbah ini. 2
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Dalam penyusunan Draft Perumusan Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan pada Aktivitas Industri Maritim, dimaksudkan untuk membuka wawasan kepada masyarakat dan bangsa Indonesia dan pemahaman akan lingkungan hidup khususnya di lingkungan laut yang ramah lingkungan. Laporan pembahasan dari perumusan draft kebijakan ini masih jauh dari sempurna dan mengharapkan saran-saran konstruktif guna penyempurnaannya. Jakarta, Juli 2006 Ketua Tim Penyusun/ Sekretaris Bidang Lingkungan Hidup

Dr. Elly Rasdiani Soedibjo, M.Sc, P.hD

3
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

DAFTAR ISI
Hal Kata Pengantar............................................................................................................................ Daftar Isi ...................................................................................................................................... Daftar Tabel ................................................................................................................................. Daftar Gambar................................................................................................................................ BAB. I 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 PENDAHULUAN............................................................................................................. Latar Belakang.. ..... Tujuan dan Sasaran... Lingkup Kegiatan... Metodologi... Keluaran.. i ii iii iv 1 1 2 2 3 3 4 7 8 8 11 19 20 27 27 32 35 37 37 39 43 44 47 47

BAB. II LINGKUNGAN LAUT ...................................................................................................... 2.1 Batasan dan Sifat sifat Wilayah Pesisir........................................................................ 2.1.1 Klasifikasi Wilayah Pesisir.................................................................................... 2.1.2 Sumber Pencemaran ........................................................................................... 2.1.3 Tumpahan Minyak... 2.2 Proses Masuknya Bahan Pencemar ke Dalam Ekosistem Laut.. 2.3 Dampak Pencemaran Laut. BAB. III AKTIVITAS INDUSTRI DI DAERAH.. 3.1 Kondisi Industri Daerah... 3.2 Potensi Konflik Peraturan Perundang undangan 3.3 Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah... BAB. IV PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT....... 4.1 Pengelolaan Potensi Laut.. 4.2 Efektivitas Pengelolaan dan Pemberdayaan Laut.......................................................... 4.3 Konsep Tata Ruang Terpadu Darat dan Laut 4.4 Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan... 4.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu.. 4.6 Governance dalam Pengelolaan Kelautan.

4
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

DAFTAR TABEL
Hal Tabel 1 Tabel 2 Jenis Dan Sumber Bahan Pencemar Di Laut ........................................................... 10 Beberapa Kasus Tumpahan Minyak Di Perairan Indonesia ..................................... 18

5
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

DAFTAR GAMBAR
Hal Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Pemukiman di pesisir 9 Tumpahan Minyak di Laut. 11 Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia 12 Aktivitas Kapal Tangker.. 13 Terminal Bongkar Muat. 15 Pengeboran Lepas Pantai.. 16 Pemukiman Padat Penduduk............................................................................... 25

BAB 1 PENDAHULUAN 6
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

1.1

Latar Belakang Pembangunan maritim Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkesinambungan. Pembangunan maritim Indonesia merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa Indonesia. Dalam memajukan pembangunan maritim, berbagai jenis komoditi dan usaha yang dapat digali dari sumber daya laut telah dilakukan di antaranya pemanfaatan laut untuk perikanan, transportasi, pertambangan, pembangkit energi, sebagai lapangan kerja, wilayah hukum dan lain-lain. Namun perhatian dan investasi yang telah dilakukan terhadap potensi laut belum merupakan upaya yang optimal. Industri maritim yang saat ini sedang terpuruk harus segera dibangkitkan kembali. Keharusan membangun kembali potensi kemaritiman didasari oleh kekhawatiran terhadap implikasi negatif pengurasan sumber daya lautan secara besarbesaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat kompleks. Dilihat dari sisi lingkungan hidup, lingkungan laut sangat rentan (vulnerable) dibandingkan dengan lingkungan darat hal ini karena lingkungan laut terdiri dari air sebagai massa yang senantiasa bergerak, dan lingkungan laut juga tergantung pada penanganan lingkungan darat. Akan tetapi jika diperhatikan, kebijakan pembangunan nasional yang ada lebih berorientasi ke wilayah darat. Hal ini tentu saja menyebabkan aktifitas industri maritim yang ada cenderung tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Padahal majunya industri maritim sangat tergantung dengan lingkungan. Penerapan tata kelola yang baik (good governance) melalui pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) masih belum berjalan dengan baik. Sampai saat ini sudah cukup banyak undang-undang (UU) maupun peraturan mengenai lingkungan hidup dan kelautan yang sudah dihasilkan, tetapi masih banyak indikasi tentang terjadinya tumpang-tindih dalam pelaksanaannya. Hal ini antara lain disebabkan karena rendahnya koordinasi antar sektor yang berkaitan. Selain tumpang tindih ada indikasi masih banyak yang tidak saling menunjang.

7
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Dengan lingkungan hidup serta kualitas aparat penegak hukum dalam bidang lingkungan belum optimal, baik dari segi jumlah maupun kualitas sumber daya manusia (SDM). Dalam kegiatan pemanfaatan laut, dapat diketahui bahwa pengaturan pendayagunaan kelautan telah tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan secara sektoral. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih jauh apa yang menjadi tujuan pengkajian juga mengenai dampaknya terhadap industri maritim, khususnya yang berkaitan dengan sektor lingkungan. Dengan perumusan kebijakan ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan kepada pemerintah pada sektor terkait mengenai permasalahan atau gap kebijakan yang terjadi antar sektor terkait, dimana dalam perumusan kebijakan industri maritim ini yang akan dihasilkan telah mencakup berbagai kepentingan sektor terkait. 1.2 Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kegiatan ini adalah: 1. Mensinergikan kebijakan-kebijakan antar sektor yang ada, sehingga tidak tumpang tindih dan dapat diimplementasikan tanpa merugikan salah satu sektor. 2. Mengkaji peraturan daerah yang berkaitan dengan kebijakan lingkungan di industri martim. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Tercapainya keserasian antara peraturan daerah dengan peraturan nasional. 2. Tersusunnya naskah akademis di lapangan dalam rangka penyempurnaan kebijakan lingkungan di sektor industri maritim, untuk ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah (PP). 3. Terlaksananya penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance) melalui pelaksanaan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif dalam pengelolaan SDA dan LH. 1.3 Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan pekerjaan ini adalah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan data-data dari departemen-departemen dan instansi-instansi terkait diberbagai daerah, dengan cara mengisi kuisioner yang merupakan instrumen survei yang dibuat untuk mendapatkan data rill dan masukan; 2. Inventarisasi permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan pada aktifitas industri 8
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

maritim melalui pembuatan matriks. Matriks ini berbentuk matriks analisis perbandingan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan lingkungan dalam bentuk interaktif. Matrik ini merupakan materi yang digunakan untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Matriks akan memudahkan para peneliti atau pembaca dalam mencari keterkaitan antar peraturan perundang-undangan yang ada. Matriks akan disusun berdasarkan subyek dan kategori yang berbeda, seperti konservasi laut dan sanksi yang diatur. 3. Menganilasa data-data (gap analysis) yang terkumpul, sehingga dapat diketahui kebijakan atau peraturan-peraturan antar sektor yang tumpang-tindih, atau dapat dibuat suatu kebijakan yang belum mengakomodir masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh industri maritim; 4. Melakukan rapat-rapat pertemuan dengan berbagai instansi terkait, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi serta berbagai Asosiasi yang ada di daerah maupun pusat. 1.4 Metodologi 1. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan survei langsung ke beberapa daerah dan memberikan kuisioner kepada instansi terkait, dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah (Pemda). Kuisioner ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai aktifitas industri maritim yang ada di daerah tersebut, serta dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Dari data yang diperoleh juga dapat diketahui apakah di daerah yang bersangkutan sudah tersedia kebijakan, sarana, prasarana dan kelembagaan yang dapat mendukung industri maritim sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, serta langkah-langkah apa saja yang telah dilakukan oleh Pemda dalam rangka menangani pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh industri tersebut. 2. Selain data dari berbagai daerah, diambil juga data maupun informasi dari berbagai departemen terkait. Karena dari data-data tersebut dapat diketahui kebijakan atau peraturan-peraturan yang dalam pengimplementasiannya masih tumpang-tindih dan belum sinergis. 3. Studi pustaka terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir, analisis kualitatif, dan penyajian hasil secara deskriptif; 9
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

4. Membentuk kelompok kerja (pokja) atau tim yang terdiri atas pakar hukum, pakar teknis, dan tim konsultasi dari berbagai institusi pemerintah terkait, lembaga nonpemerintah, dan akademisi; 5. Diskusi dan konsultasi publik yang mendalam dengan pakar dan pemangku kepentingan untuk mendapatkan konsensus dan penyempurnaan hasil, baik melalui pertemuan terbatas maupun dalam skala yang lebih besar; 6. Melakukan penulisan laporan sebagai bentuk rekomendasi publik dalam melakukan reformasi hukum di bidang pengelolaan lingkungan. 1.5 Keluaran Keluaran yang diharapkan adalah suatu Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim.

10
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

BAB 2 LINGKUNGAN LAUT 2.1 Kondisi Dan Sifat Lingkungan Laut Permasalahan lingkungan hidup adalah merupakan hubungan makhluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan sebuah benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup (Bappedal, 1997). Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena adanya kegiatan (aktifitas) yang dilakukan oleh manusia maupun karena pengaruh alam. Salah satu akibat samping dari kegiatan pembangunan diberbagai sektor dan daerah adalah dihasilkannya limbah yang semakin banyak, baik jumlah maupun jenisnya. Limbah tersebut telah menimbulkan pencemaran yang merusak fungsi lingkungan hidup (Tandjung, 1991). Daerah pesisir merupakan salah satu dari lingkungan perairan laut yang mudah terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya merupakan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi juga merupakan lokasi bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan minyak bumi serta pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran. Di daratan pesisir, terutama di sekitar muara sungai besar, berkembang pusat-pusat pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar muara sungai besar dan tersedianya prasarana angkutan yang relatif mudah dan murah, dan pengembangan industri juga banyak dilakukan di daerah pesisir, jadi tampak bahwa sumber daya alam wilayah pesisir indonesia telah dimanfaatkan secara beranekaragam. Namun perlu diperhatikan agar kegiatan yang beranekaragam dapat berlangsung secara serasi. Suatu kegiatan dapat menghasilkan hasil samping yang dapat merugikan kegiatan lain, misalnya limbah industri yang langsung dibuang ke lingkungan pesisir, tanpa mengalami pengolahan tertentu sebelumnya dapat merusak sumber daya hayati akuatik, dan dengan demikian merugikan perikanan. Lingkungan pesisir terdiri dari dari berbagai ekosistem yang berbeda kondisi dan sifatnya. Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat dikatakan 11
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya dimana pun juga di wilayah pesisir secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem di wilayah tersebut. Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumber daya didalamnya. Agar akibat negatif dari pemanfaatan beranekaragam dapat dipertahankan sekecil-kecilnya dan untuk menghindari pertikaian antar kepentingan, serta mencegah kerusakan ekosistem di wilayah pesisir, pengelolaan, pemanfaatan dan pengembangan wilayah perlu berlandaskan perencanaan menyeluruh dan terpadu yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi dan ekologi. Pengrusakan ekosistem alamiah, seperti hutan hujan tropis, hutan mangrove, dan terumbu karang, terutama disebabkan oleh konservasi segenap ekosistem menjadi berbagai peruntukan pembangunan, mulai dari kawasan permukiman (real estate), kawasan industri, hingga tambak. Dari sudut pandang pembangunan, sebenarnya pengalihan fungsi ekosistem alamiah menjadi peruntukan pembangunan tidak menjadi masalah, sepanjang masih pada batas-batas yang dapat ditolerir oleh ekosistem alamiah dalam suatu kawasan pembangunan. Permasalahan akan timbul bila tidak ada atau ekosistem alamiah yang tersisa dalam suatu kawasan pembangunan terlalu kecil. Dari sisi manusia, sebagai pengguna sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir, secara garis besar permasalahan pembangunan pesisir bersumber dari masalah sebagai berikut: 1. Orientasi keuntungan ekonomi jangka pendek. Selama ini pembangunan yang dilakukan lebih banyak berorientasi untuk meraih keuntungan ekonomi jangka pendek (seperti industri, pemukiman) tanpa mempertimbangkan keuntungan jangka panjang (konservasi). Akibatnya, apabila terjadi konflik antara pemanfaatan sumberdaya untuk tujuan jangka pendek dengan tujuan jangka panjang, maka seringkali pembangunan yang bertujuan jangka panjang tersisihkan, seperti yang terjadi pada kasus reklamasi Pantai Indah Kapuk. 2. Kesadaran akan nilai strategis sumber daya yang dapat diperbaharui dan jasa lingkungan bagi pembangunan ekonomi masih rendah. Dari sisi nilai strategis sumber daya hayati laut, sektor kelautan sepertinya masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan dunia swasta, karena dianggap nilai strategisnya masih kurang menarik dibandingkan nilai ekonomi jangka pendek dan menengah. Padahal sumber daya yang dimiliki oleh sektor kelautan tidak hanya hutan mangrove saja, namun masih terdapat terumbu karang, padang lamun dan rumput laut. 12
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

3. Tingkat pengetahuan dan kesadaran tentang implikasi kerusakan lingkungan terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi masih rendah. Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran akan implikasi kerusakan lingkungan terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi disebabkan karena pelaku kerusakan lingkungan tidak menyadari akan bahaya jangka panjang yang ditimbulkan dari kegiatan pembangunan. 4. Tidak adanya alternatif pemecahan masalah lingkungan. Tindakan destruktif yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumberdaya pesisir dan lautan disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama, ketidaktahuan dan ketidaksadaran bahwa kegiatan yang dilakukan telah mengancam kesinambungan sumberdaya pesisir dan lautan; kedua tidak adanya alternatif matapencaharian, dan ketiga adanya peluang untuk melakukan kegiatan yang bersifat destruktif. 5. Pengawasan, pembinaan, dan penegakkan hukum masih lemah. Kurangnya pengawasan dan penegakkan terhadap pelaksanaan hukum baik di tingkat bawah (masyarakat) maupun tingkat atas (pemerintah) membuat kecenderungan kerusakan lingkungan lebih parah. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya suatu lembaga khusus yang independen dengan otoritas penuh melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Meskipun di Indonesia telah banyak hukum dan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan yang berkelanjutan. Namun pada kenyataannya hukum dan peraturan-peraturan tersebut banyak yang tidak diimplementasikan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum (law enforcement), egoisme sektoral (sectoral egoism) dan lemahnya koordinasi antara sektor. Kerusakan ekosistem di kawasan pesisir, secara umum bersumber dari: (1) Aktivitas manusia di darat atau lahan atas seperti penebangan hutan, kegiatan pertanian, industri, dan lain-lain, (2) Aktivitas manusia di dalam ekosistem pesisir itu sendiri seperti konversi mangrove ke tambak, pengeboman ikan, dan lain-lain, (3) Aktivitas yang ada di laut bebas seperti tumpah minyak dan pembuangan limbah cair (Bengen 2002). Secara empiris, terdapat keterkaitan ekologi (hubungan fungsional) antar ekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan daratan (lahan atas) dan laut lepas. Oleh karena itu, setiap perubahan bentang alam daratan dan dampak negatif lainnya (seperti pencemaran, erosi, dan perubahan secara drastis regim aliran air tawar) yang terjadi di ekosistem daratan (lahan atas) pada akhirnya akan berdampak terhadap ekosistem pesisir. 13
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Sebagian besar permasalahan lingkungan yang menyebabkan kerusakan kawasan pesisir dan laut merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan di darat. Kerusakan lingkungan di kawasan pesisir tersebut disebabkan oleh akumulasi limbah yang dialirkan dari daerah hulu melalui Daerah Aliran Sungai (DAS). Penurunan kualitas lingkungan kawasan pesisir terjadi apabila jumlah limbah telah melebihi kapasitas daya dukungnya. Sumber daya pesisir dan lautan memiliki berbagai sumber daya alam di dalamnya, yang terbagi atas dua jenis, yaitu: a. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), misalnya: sumber daya perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), mangrove, dan terumbu karang. b. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), misalnya: minyak bumi, gas dan mineral, serta bahan tambang lainnya. Selain menyediakan dua sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut memiliki berbagai fungsi lainnya, seperti: transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, pariwisata, kawasan pemukiman serta tempat pembuangan limbah. 2.2 Batasan dan Sifat-sifat Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut yang dicirikan oleh jenis vegetasi yang khas. Wilayah pesisir juga merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) maka suatu wilayah pesisir memiliki 2 macam batas (boundaries), yaitu batas sejajar garis pantai (long shore) dan batas tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore). Batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar dari daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah yang unik karena merupakan tempat pertemuan pengaruh antara darat, laut dan udara (iklim). Pada umumnya wilayah pesisir, khususnya perairan estuaria, mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, kaya akan unsur hara 14
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

dan menjadi sumber zat organik yang penting dalam rangkai makanan di laut. Namun demikian, perlu dipahami bahwa sebagai tempat peralihan antara darat dan laut, wilayah pesisir ditandai oleh adanya gradient perubahan sifat ekologi yang tajam, oleh karena itu merupakan wilayah yang peka terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan dengan fluktuasi di luar normal. Dari segi fungsi, wilayah pesisir merupakan zona penyangga (buffer zone) bagi hewanhewan migrasi. Akibat pengaruh aktifitas manusia yang meningkat, seperti pencemaran minyak hasil kegiatan eksploitasi tambang minyak di lepas pantai serta transportasi minyak, buangan limbah pemukiman dan industri, perairan pesisir akan mengalami tekanan (stress), yang mengarah pada menurunnya kualitas lingkungan wilayah pesisir karena terganggu keseimbangan alami. Apalagi ditambah dengan penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) dan pengrusakan ekosistem koral secara fisik. 2.2.1 Klasifikasi Wilayah Pesisir Wilayah pesisir terbagi menjadi dua subsistem, yaitu daratan pesisir (shoreland), dan perairan pesisir (coastal water), dimana keduanya berbeda tapi saling berinteraksi. Secara ekologis, daratan pesisir sangat kompleks dan mempunyai nilai sumber daya yang tinggi. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah sistem perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap perairan pesisir dan pengaruhnya terhadap daya dukung (carrying capacity) ekosistem wilayah pesisir. Pengaruh daratan pesisir terhadap perairan pesisir terutama terjadi melalui aliran air (run off). Perairan pesisir secara fungsional terdiri dari perairan estuaria (estuaria regime), dan perairan samudera (oceanic regime). Perairan estuaria adalah suatu perairan pesisir yang semi tertutup, yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga dengan demikian estuaria dipengaruhi oleh pasang surut, dan terjadi pula percampuran yang masih dapat diukur antara air laut dengan air tawar yang berasal dari drainasi daratan (Odum, 1971). Perairan pantai meliputi laut mulai dari batas estuaria ke arah laut sampai batas paparan benua atau batas teritorial. Sedangkan perairan samudera meliputi semua perairan ke arah laut terbuka dari batas paparan benua atau batas teritorial. Klasifikasi wilayah pesisir menurut komunitas hayati yaitu: (1) Ekosistem litoral yang terdiri dari pantai dangkal, pantai batu, pantai karang, pantai lumpur; (2) Hutan 15
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

payau; (3) Vegetasi terna rawa payau; (4) Hutan rawa air tawar; dan (5) Hutan rawa gambut. 2.2.2 Sumber Pencemaran Pencemaran laut adalah masuknya zat atau energi, secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia ke dalam lingkungan laut termasuk daerah pesisir pantai, sehingga dapat menimbulkan akibat yang merugikan baik terhadap sumber daya alam hayati, kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut, termasuk perikanan dan penggunaan lain-lain yang dapat menyebabkan penurunan tingkat kualitas air laut serta menurunkan kualitas tempat tinggal dan rekreasi (Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1991). Laut merupakan tempat pembuangan langsung sampah atau limbah dari berbagai aktifitas manusia dengan cara yang murah dan mudah, sehingga di laut dapat ditemukan berbagai jenis sampah dan bahan pencemar. Secara normal, laut memiliki daya asimilasi untuk memproses dan mendaur ulang bahan-bahan pencemar yang masuk kedalamnya. Tetapi konsentrasi akumulasi bahan pencemar yang semakin tinggi mengakibatkan daya asimilatif laut sebagai gudang sampah menjadi menurun dan menimbulkan masalah lingkungan. Dampak pencemaran ini mempengaruhi kehidupan manusia, organisme lain serta lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu pencemaran harus dikendalikan secara dini, sehingga tidak merusak lingkungan laut, menurunkan keanekaragaman hayati dan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem laut.

16
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Gambar 1. Pemukiman di pesisir (Sumber: : www.suarapublik.org) Berdasarkan review dari berbagai sumber, diketahui ada berbagai jenis bahan pencemar di laut beserta sumbernya, seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Jenis dan Sumber Bahan Pencemar di Laut
No. 1. 2. 3. 4. Bahan Pencemar Pestisida Sulfaktan Logam semi logam Buangan thermis Contoh Herbisida, insektidsida, fungisida Deterjen, air sisa cucian, dan lain-lain. Merkuri, raksa, arsen, scelenium, cadmium, tembaga, dan lain-lain. Air panas Sumber Lahan pertanian, semprotan nyamuk. Rumah tangga, pasar, restoran, dan lain-lain. Pabrik tekstil, cat, baterai. Air pendingin mesin dari Pembangkit listrik Tenaga Diesel / Pembangkit Listrik Tenaga Uap / Kapal / Pabrik Rumah tangga, industri. Industri meubel, playwood, dan lainlain. Erosi, penambangan. Pengeboran minyak, kapal (water ballast), dan lain-lain. Penangkapan ikan karang.

5. 6. 7. 8. 9.

Sampah rumah tangga dan industri Limbah organik industri Sedimentasi Minyak Zat kimia

Plastik, kotoran manusia, sisa makanan, botol, kaleng, dan lain-lain. Serbuk gergaji, kulit kayu Lumpur / pasir Tumpahan / buangan minyak Sianida

17
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Dahuri dan Damar (1994) menyatakan, ditinjau dari daya uraiannya maka bahan pencemar pada perairan laut dapat dibagi atas dua jenis yaitu: 1. Senyawa-senyawa konservatif, merupakan senyawa-senyawa yang dapat bertahan lama di dalam suatu badan perairan sebelum akhirnya mengendap ataupun terabsorbsi oleh adanya berbagai reaksi fisik dan kimia perairan, contoh: logam-logam berat, pestisisda, dan deterjen. 2. Senyawa-senyawa non konservatif, merupakan senyawa yang mudah terurai dan berubah bentuk di dalam suatu badan perairan, contoh: senyawa-senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein yang mudah terlarut menjadi zat-zat anorganik oleh mikroba. Lebih lanjut Dahuri dan Damar (1994) mengatakan bahwa sumber bahan pencemar perairan laut dapat dibagi atas dua jenis yaitu: 1. Point sources, yaitu sumber pencemar yang dapat diketahui dengan pasti keberadaannya, contoh: pencemar yang bersumber dari hasil buangan pabrik atau industri. 2. Non point sources, yaitu sumber pencemar yang tidak dapat diketahui secara pasti keberadaannya, contoh: buangan rumah tangga, limbah pertanian, sedimentasi serta bahan pencemar lain yang sulit dilacak sumbernya. 2.2.3 Tumpahan Minyak Pencemaran laut diartikan sebagai adanya kotoran atau hasil buangan aktivitas makhluk hidup yang masuk ke daerah laut. Sumber dari pencemaran laut ini antara lain adalah tumpahan minyak, sisa bahan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal. Polusi dari tumpahan minyak di laut merupakan sumber pencemaran laut yang selalu menjadi fokus perhatian dari masyarakat luas, karena akibatnya akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. 18
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Gambar 2. Tumpahan Minyak di Laut (Sumber: www.clarkson.edu) Sebagai lintasan pelayaran internasional, Indonesia memiliki empat alur laut kepulauan (ALKI), yaitu alur laut Selat Malaka, alur laut Selat Sunda, alur laut Selat Lombok terus melintasi Selat Makassar menuju arah Utara, dan yang terakhir alur laut kepulauan yang menerobos Nusa Tenggara Timur, melintas ke Laut Flores, Laut Banda menuju utara sampai Lautan Pasifik. Masalahnya adalah bahwa disamping memberi keuntungan ekonomi karena menjadi daerah lintasan pelayaran internasional, posisi unik tersebut juga sangat rawan terhadap kerusakan lingkungan, terutama karena tumpahan minyak di laut nusantara.

19
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Gambar 3. Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) Dari keseluruhan perairan Indonesia, yang paling rawan terhadap tumpahan minyak, karena lalu-lalangnya kapal-kapal niaga termasuk kapal-kapal tanker minyak, adalah wilayah yang terdapat pada alur laut kepulauan nusantara. Selat Malaka memiliki kepadatan tertinggi, sehingga menjadi paling rawan terhadap pencemaran akibat tumpahan minyak, kemudian disusul oleh Selat Lombok dan Selat Makassar. Pelayaran kapal-kapal tersebut mengandung resiko terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan keadaan darurat tumpahan minyak yang dapat merugikan lingkungan laut. Karena lingkungan laut Indonesia beserta segenap sumber daya didalamnya merupakan potensi besar bagi pembangunan, maka harus dijaga dari berbagai kerusakan dan pengrusakan. Tumpahan minyak (oil spills) di laut disebabkan oleh aktifitas manusia, baik yang bersumber dari laut itu sendiri maupun yang bersumber dari daratan, antara lain yaitu: a. Aktifitas Transportasi Tumpahan minyak yang berasal dari pengangkut minyak, biasanya memiliki resiko memiliki resiko yang besar dalam hal pencemaran laut. Hal ini terjadi misalnya karena faktor kesalahan navigasi yang mengakibatkan: tabrakan, kandas,

20
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

tenggelam dan terbakar, sehingga kapal tanker pengangkut minyak itu menumpahkan muatannya dan mencemari laut dan pesisirnya. Disamping itu, selain memuat minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem kestabilan kapal menggunakan mekanisme bongkar-muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop. Sampai di pelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.

Gambar 4. Aktivitas Kapal Tangker (Sumber: www.ja.ican.co.jp) Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun dialirkan ke dalam tangki slop. Sehingga di dalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air dalam tangki slop harus dikosongkan dengan memompakannya ke tangki penampungan limbah di terminal atau dipompakan ke laut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat disangkal buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal tanker.

21
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

b. Docking (Perbaikan / Perawatan kapal) Semua kapal secara periodik harus dilakukan reparasi termasuk pembersihan tangki dan lambung. Dalam proses docking semua sisa bahan bakar yang ada dalam tangki harus dikosongkan untuk mencegah terjadinya ledakan dan kebakaran. Dalam aturannya semua galangan kapal harus dilengkapi dengan tangki penampung limbah, namun pada kenyataannya banyak galangan kapal tidak memiliki fasilitas ini, sehingga buangan minyak langsung dipompakan ke laut. Selain itu juga di Docking dilakukan proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini banyak dilakukan di industri kapal di India dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Akibat proses ini banyak kandungan metal dan lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang ke laut. Diperkirakan sekitar 1.500 ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini yang menyebabkan kerusakan lingkungan setempat. c. Terminal Bongkar Muat Proses bongkar muat tanker bukan hanya dilakukan di pelabuhan, namun banyak juga dilakukan di tengah laut. Proses bongkar muat di terminal laut ini banyak menimbulkan resiko kecelakaan seperti pipa yang pecah, bocor maupun kecelakaan karena kesalahan manusia.

Gambar 5. Terminal Bongkar Muat (Sumber: www.members.bumn-ri.com)

22
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

d. Bilga dan tangki bahan bakar Umumnya semua kapal memerlukan proses ballast saat berlayar normal maupun saat cuaca buruk. Karena umumnya tangki ballast kapal digunakan untuk memuat kargo maka biasanya pihak kapal menggunakan juga tangki bahan bakar yang kosong untuk membawa air ballast tambahan. Saat cuaca buruk maka air ballast tersebut dipompakan ke laut sementara air tersebut sudah bercampur dengan minyak. Selain air ballast, juga dipompakan keluar adalah air bilga yang juga bercampur dengan minyak. Bilga adalah saluran buangan air, minyak, dan pelumas hasil proses mesin yang merupakan limbah. Aturan internasional mengatur bahwa buangan air bilga sebelum dipompakan ke laut harus masuk terlebih dahulu ke dalam separator, pemisah minyak dan air, namun pada kenyataannya banyak buangan bilga illegal yang tidak memenuhi aturan Internasional dibuang ke laut. e. Pengeboran minyak lepas pantai Tumpahan minyak dari pengeboran minyak lepas pantai biasanya disebabkan oleh kebocoran peralatan pengeboran yang kurang sempurna, sehingga ceceran minyak akan langsung masuk ke laut. Bila ceceran minyak ini berlangsung terus-menerus, jumlah minyak yang mencemari lingkungan laut tidak boleh diabaikan, apalagi jika terjadi kecelakaan di tempat-tempat pengeboran maka jumlah minyak yang masuk mencemari laut menjadi lebih besar.

Gambar 6. Pengeboran Lepas Pantai (Sumber: www.allposter.com) 23


Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

f.

Pengilangan minyak Kegiatan di kilang minyak merupakan sumber yang dapat menimbulkan pencemaran minyak di perairan, karena air limbah proses pengilangan bercampur minyak, misalnya air drain yang berasal dari stripping, desalter, dan treating process. Setelah digunakan di kilang, sebagian besar air dibuang kembali ke lingkungan sebagai limbah, dimana limbah ini banyak mengandung minyak yang dapat mencemari badan air dan pada akhirnya menuju ke laut. Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak, memberikan dampak negatif ke

berbagai organisme laut, sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem di laut, yang pada akhirnya akan merugikan kehidupan manusia. Beberapa dampak ekologis akibat dari tumpahan minyak adalah sebagai berikut (Laode M. Kamaluddin, 2002): 1. Lapisan tumpahan minyak mempengaruhi tingkat intensitas fotosintesis fitoplankton yang dapat menurunkan atau memusnahkan populasi fitoplankton. Kondisi ini merupakan bencana besar bagi kehidupan di perairan karena fitoplankton merupakan dasar bagi semua kehidupan perairan. 2. Pencemaran air laut dari tumpahan minyak berdampak pada beberapa jenis burung laut, karena tumpahan minyak tersebut menyebabkan degradasi lemak dalam hati, kerusakan saraf, pembesaran limpa, radang paru dan ginjal pada burung-burung tersebut. 3. Tumpahan minyak dapat mengganggu keseimbangan berbagai organisme aquatik pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya pantai wisata. Hutan mangrove yang hidup disepanjang pantai beradaptasi di dalam air laut dengan cara desalinasi melalui proses ultra-filtrasi. Akar mangrove, yang tumbuh di dalam lumpur, berfungsi untuk menyerap oksigen melalui suatu jaringan aerasi yang kontak dengan udara, yang disebut dengan breathing roots. Jika pantai tercemar minyak, lumpur akan tertutup oleh deposit minyak yang dapat merusak sistem akar mangrove, sehingga difusi oksigen dari udara ke dalam jaringan aerasi terhambat. 4. Tumpahan minyak menghambat atau mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam air laut, yang disebabkan karena absorpsi minyak bumi (cahaya matahari diserap oleh tumpahan minyak) atau cahaya dipantulkan kembali oleh minyak ke 24
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

udara. Semakin tebal lapisan minyak maka pelarutan oksigen dari udara semakin terganggu dan akan merugikan biota-biota laut. 5. Jika tumpahan minyak tersebut tidak mematikan sumber daya laut, maka pencemaran tersebut menurunkan kualitasnya. Hal ini berhubungan dengan kemampuan hewan-hewan laut untuk mengakumulasi minyak di dalam tubuhnya. Akumulasi ini sering menyebabkan daging ikan berbau minyak, sehingga merugikan para nelayan karena tidak dapat menjual ikan tangkapan mereka. 6. Untuk bidang pariwisata, polutan minyak di perairan mengurangi minat wisatawan, karena keindahan laut tertutup oleh lapisan minyak. Pencegahan pencemaran minyak di perairan ditujukan untuk berbagai sumber penyebab pencemaran. Untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan polusi laut akibat tumpahan minyak ini terdapat 3 (tiga) faktor yang dapat dijadikan landasan yaitu: a. Aspek Legalitas Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan formal sebagai suatu perturan, tapi juga dapat menimbulkan rasa keadilan dan kepatuhan, serta dilaksanakan atau ditegakan dalam kenyataan. Menjadi tugas pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk menegakan peraturan-peraturan yang ada. Di lain pihak, tugas pemerintah ini juga harus diimbangi dengan dua faktor yaitu: pertama, adanya fasilitas yang memungkinkan untuk bergerak dinamis, dalam hal ini mencari dan mengumpulkan data lapangan tentang penyebab terjadinya suatu kasus pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak di laut; kedua, ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. Perlu ada aturan yang jelas untuk diberikan sanksi kepada pemerintah yang memberikan izin tidak sesuai dengan aturan sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. b. Aspek Perlengkapan Beberapa teknik yang dapat direkomendasikan untuk penanggulangan minyak adalah: penggunaan spraying chemical dispersants; pengoperasian slick-lickers; dan floating boom. Berkaitan dengan perlengkapan kapal, UU No. 21 tahun 1992 juga menyebutkan tentang perlengkapan kapal baik dalam operasi maupun penanggulangan kecelakaan (termasuk tumpahan minyak). Para produsen 25
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

minyak dan gas bumi pun sudah memiliki produsedur kerja dan fasilitas penanggulangan tumpahan minyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam penerapan Tier 1 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi dalam lingkup pelabuhan) dan Tier 2 (penanggulangan bencana tumpahan minyak yang terjadi di luar lingkungan pelabuhan) yang dilakukan secara inerconnection di bawah koordinasi Administrasi Pelabuhan (Adpel). Hal yang penting untuk diperhatikan pada aspek ini adalah pentingnya penguasan prosedur dan teknik-teknik penanggulangan tumpahan minyak oleh pelaksana lapangan. c. Aspek Koordinasi Seluruh departemen, instansi terkait serta masyarakat harus dapat berkoordinasi untuk menanggulangi pencemaran ini. Beberapa kasus pencemaran laut akibat tumpahan minyak yang terjadi di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia
No 1. 2. Tahun Agustus 2005 2004 Lokasi Teluk ambon Balikpapan Keterangan Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu F66 yang menyebabkan tumpahnya minyak ke perairan. Tumpahan minyak dari Perusahaan Total E dan P Indonesia, membuat nelayan sekitar tidak dapat melaut dalam beberapa waktu. Tumpahan minyak mentah dari Pertamina UP VI Balongan, tumpahan ini merusak terumbu karang tempat pengasuhan ikan-ikan milik masyarakat sekitar. Tumpahan Minyak oleh MT Lucky Lady yang memuat Syria Crude Oil sebanyak 625044 barel. Volume minyak yang tumpah ke perairan adalah sekitar 8000 barel dan menyebar 5 km sepanjang pantai. Kapal tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca buruk dan menumpahkan limbah minyak dalam tangki slop sebanyak 200 ton Tabrakan antara tongkang PLTU-I/PLN yang mengangkut 363 kiloliter IDF dengan kapal kargo An Giang. Menyebabkan sungai Musi di sekitar kota Palembang tercemar. Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan Seribu.

3.

Oktober 2004

Pantai Indramayu

4.

September 2004

Cilacap

5.

Juli 2004

Kepulauan Riau

6.

Juli 2003

Palembang

7.

2003 - 2005

Kepulauan Seribu

26
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

No 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 2001

Tahun

Lokasi Tegal - Cirebon Batam Cilacap Tanjung Priok Selat Singapura Natuna Pelabuhan Cilacap Selat Malaka Selat Malaka Pelabuhan Lhokseumawe Pelabuhan Buleleng, Bali Selat Malaka Selat Malaka

Keterangan Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton limbah minyak. Kandasnya MT Natuna Sea dan menumpahkan 4000 ton minyak mentah. Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan menumpahkan sekitar 4000 barel. Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat solar. Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker Evoikos. Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO. Tabrakan kapal tanker MV Bandar Ayu dengan Kapal Ikan Tanjung Permata III. Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator. Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak. Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500 kilo liter minyak tanah. Kecelakaan kapal tanker Choya Maru pada Desember menumpahkan 300 ton bensin. Tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace. Kandasnya kapal tanker Showa Maru yang menumpahkan minyak sebesar 1 juta barel minyak solar.

Oktober 2000 1999 - 2000 1998 Oktober 1997 1996 April 1994 Januari 1993 September 1992 Februari 1979 Desember 1979 Januari 1975 1975

Sumber: Agung Sudrajad, 2006 2.4 Proses Masuknya Bahan Pencemar Ke Dalam Ekosistem Laut Secara umum, masuknya bahan pencemar ke dalam perairan laut, berasal dari industri dan domestik kemudian dialirkan ke tingkat-tingkat tropik yang terdapat pada lingkungan laut dipicu oleh: 1. Disebarkan melalui adukan atau turbulensi, dan arus laut. 2. Dipekatkan melalui proses biologi dengan cara diserap oleh ikan, plankton nabati atau ganggang, dan melalui proses fisik dan kimiawi dengan cara absorbsi, pengendapan dan pertukaran ion. Bahan pencemar ini akhirnya akan mengendap di dasar laut, 3. Terbawa langsung oleh arus dan biota laut (ikan).

27
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Sebagian bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem laut dapat diencerkan dan disebarkan ke seluruh wilayah laut melalui adukan turbulensi dan arus laut. Untuk wilayahwilayah laut yang luas dan terbuka dengan pola arus dan turbulensi yang aktif, bahan-bahan pencemar akan terurai dan terbuang ke perairan laut yang lebih luas, sehingga dapat meminimalkan konsentrasi akumulasinya dalam suatu badan perairan. Akan tetapi pada wilayah-wilayah laut yang sempit dan tertutup, bahan pencemar akan mudah sekali terakumulasi di dalam suatu badan perairan. Sebagian dari bahan pencemar akan terbawa oleh arus laut atau biota yang sementara melakukan migrasi ke wilayah laut lainnya, dan akan lebih menguntungkan apabila terbawa ke perairan laut terbuka. Sedangkan sisa bahan pencemar yang tidak dicencerkan dan disebarkan serta terbawa ke wilayah-wilayah laut yang luas dan terbuka, akan dipekatkan melalui proses biologi, fisik dan kimiawi, dimana dalam proses biologi, bahan pencemar biasanya diserap oleh organisme laut seperti ikan, fitoplankton maupun tumbuhan laut untuk kemudian diserap lagi oleh plankton nabati kemudian akan berpindah ke tingkat-tingkat tropik selanjutnya seperti avertebrata dan zooplankton dan kemudian ke ikan dan mamalia. Sedangkan dalam proses fisik dan kimiawi, bahan pencemar akan diabsorbsi, diendapkan dan melakukan proses pertukaran ion. 2.4 Dampak Pencemaran Laut Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan, maka terjadi pula peningkatan eksploitasi sumberdaya alam yang bersifat multi-use (pertanian, perikanan, pariwisata, industri, pertambangan, dan lain-lain), sehingga terjadi konflik kepentingan yang memicu kerusakan lingkungan. Pemahaman dalam permasalahan daerah aliran sungai (DAS) dilakukan melalui suatu pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan. Peningkatan jumlah penduduk, khususnya yang berdomisili di sekitar DAS akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup yang dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya alam. Kedua hal tersebut akan mempengaruhi perubahan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan perilaku yang bersifat negatif akan menimbulkan tekanan 28
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

terhadap lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dikenal sebagai daya dukung lingkungan (DDL). Jika tekanan semakin besar maka daya dukung lingkunganpun akan menurun. Secara nasional ketersediaan sumber daya air memang masih sangat besar, tetapi tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Akibat pengelolaan lahan dan hutan yang kurang bijaksana, analisis neraca air dan water demand-supply wilayah menunjukkan bahwa ada kecendrungan semakin tidak meratanya sebaran dan ketersediaan air menurut waktu atau musim dan sepanjang antara lokasi sumber dengan pusat-pusat kebutuhan air meningkat. Hal tersebut selain meningkatkan frekuensi dan luas ancaman kekeringan dan banjir juga meningkatkan sengketa dan persaingan dalam pemanfaatan sumber daya air (Pawitan, dkk 1996). Secara fisik sengketa dan persaingan kebutuhan air akan meningkatkan intervensi manusia terhadap tatanan hidrologi dan sumber daya air. Akibatnya adalah meningkatnya kepekaan sumber daya air terhadap fluktuasi dan goncangan iklim, serta turunnya kualitas air akibat pencemaran oleh berbagai kegiatan. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa aktivitas penggunaan lahan dapat mempengaruhi kualitas lingkungan dalam hal ini adalah kualitas sumber daya air. Daerah aliran sungai merupakan penghubung antara kawasan hulu dengan kawasan hilir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan hilir. DAS meliputi semua komponen lahan, air dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai keterkaitan antar komponen. Dalam suatu ekosistem DAS terjadi berbagai proses interaksi antar berbagai komponen yaitu tanah, air, vegetasi dan manusia. Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk pertanian, energi, dan lain-lain. Sungai juga mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain). Oleh karena itu, pengelolan DAS ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Supriadi (2000) menyatakan bahwa kawasan hulu mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjuang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemikiman dan lain-lain. Kemampuan 29
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai. Menurut Sugandhy 1999, jika dihubungkan dengan penataan ruang wilayah, maka alokasi ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air permukaan, kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30 % dari luas wilayah harus diupayakan adanya tutupan tegahan pohon yang dapat berupa hutan lindung, hutan produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lain-lain. Hasil penelitian Deutsch and Busby (2000) menunjukkan bahwa total suspended solid (TSS) dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai mengalami penurunan penutupan hutan dibawah 30% dan apabila terjadi pembukaan lahan pertanian lebih dari 50%. Pencemaran laut merupakan salah satu bentuk tekanan terhadap lingkungan laut maupun sumber daya yang didalamnya dapat menyebabkan kerugian bagi sistem alami (ekosistem) maupun bagi manusia yang merupakan bagian dari sistem alami tersebut. Dengan kata lain, pencemaran laut tidak hanya merusak habitat organisme laut serta proses biologi dan fisiologinya saja, tapi secara tidak langsung dapat membahayakan kesehatan dan kehidupan manusia, karena terakumulasi oleh bahan-bahan pencemar melalui konsumsi bahan pangan laut yang telah terakumulasi sebelumnya. Padahal selain sebagai sumber bahan pangan, laut juga mengandung berbagai jenis sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Beberapa jenis bahan pencemar yang sering menyebabkan terjadinya pencemaran di laut yaitu limbah domestik dan pertanian. Macam - macam limbah cair terdiri dari: rumah tangga (domestik), industri dan pertanian. a. Air limbah domestik Sumber domestik terdiri dari air limbah yang berasal dari perumahan dan pusat perdagangan maupun perkantoran, hotel, rumah sakit, tempat rekreasi, dll. Limbah jenis ini sangat mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD (biological oxygen demand), COD (chemical

30
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

oxygen demand) dan kandungan organik sistem pasokan air. Metoda dasar penanganan limbah domestik pada dasarnya terdiri dari tiga tahap: (1) Pengolahan dasar (primary treatment), yang meliputi pembersihan grit, penyaringan, penggilingan dan sedimentasi, (2) Pengolahan kedua (secondary treatment) menyertakan proses oksidasi larutan materi organik melalui media lumpur yang secara biologis aktif, dan kemudian disaring, (3) Penanganan tersier, di mana metode biologis canggih diterapkan untuk menghilangkan nitrogen, di samping metode kimia maupun fisika seperti penyaringan granular dan absorbsi karbon. Limbah domestik berupa limbah rumah tangga dan kotoran manusia yang terbuang ke perairan apabila melebihi kemampuan asimilasi perairan sungai dan terbawa ke laut dapat mencemari perairan dan menimbulkan penyuburan berlebihan (eutrofikasi). Gejala ini akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut akibat meledaknya populasi organisme tertentu sehingga dapat menimbulkan kematian beberapa organisme perairan. Kondisi perairan yang mengalami eutrofikasi, organisme makro-zoobenthos yang menjadi indikator lingkungan jarang sekali ditemukan. Sedangkan kadar NH3 perairan meningkat dan pH-nya menjadi rendah (asam). Keadaan ini menunjukan kondisi perairan yang tidak stabil dimana terjadi penurunan kualitas perairan sehingga organisme laut akan mati atau tidak dapat melangsungkan aktifitas hidupnya untuk proses pertumbuhan dan perkembangbiakan. b. Limbah Industri Sifat-sifat air limbah industri relatif bervariasi tergantung dari sumbernya. Limbah jenis ini bukan saja mempengaruhi tingkat kekeruhan, BOD, COO maupun kandungan organiknya, tetapi juga mengubah struktur kimia air akibat masuknya zat-zat anorganik yang mencemari. Penanganan limbah ini diiakukan dengan cara memasang instalasi pengolahan air limbah (IPAL) sebelum dibuang ke lingkungan atau badan air, dan penanganan sistem pembuangan limbah domestik itu sendiri. Terdapat beberapa pilihan dalam mengendalikan air limbah industri yaitu: Pengendalian secara end of pipe, yaitu pada titik pembuangan dari sumbernya pabrik), Penanganan pada proses produksi (penerapan produksi bersih). Dampak yang diberikan oleh limbah industri akan sangat tergantung dari jenis kegiatan industri dan bahan baku yang digunakan. Misalnya logam Pb (Timbal) dan Hg (Merkuri) 31
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

yang dihasilkan dari penambangan liar (senyawa yang dipakai pada penambangan emas) seperti di daerah Provinsi Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara, yang merupakan salah satu jenis bahan pencemar di laut, selain dapat menurunkan kualitas dan produktivitas perairan laut, juga dapat menimbulkan keracunan. Karena unsur Pb dan Hg merupakan unsur logam berbahaya yang dapat menimbulkan penyakit pada apabila terakumulasi pada organisme perairan yang dimakan manusia. Pencemaran logam berat seperti di atas dapat terlihat di kawasan Teluk Jakarta saat ini memang sudah dalam tahap memprihatinkan. Ini terlihat dari tingginya angka pencemaran, khususnya merkuri dan pestisida, yang mencapai rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT. Keduanya sudah melebihi ambang batas yang diperbolehkan, yaitu maksimum 0,5 ppb. Logam berat lain yang kandungannya tinggi dan dinyatakan jauh melebihi batas aman, yang ditemukan dalam pencemaan Teluk Jakarta ini, antara lain seng (Zn), tembaga (Cu), kadmium (Cd), fosfat, dan timbal (Pb). Pencemaran ini diakibatkan pembuangan limbah industri kertas, minyak goreng, dan industri pengolahan logam di kawasan Pantai Marunda, termasuk juga limbah rumah tangga dan industri dari 13 sungai yang ada di DKI Jakarta. Kondisi itu lebih diperburuk lagi dengan adanya pembuangan minyak secara rutin dari kapal dan perahu kecil di kawasan itu. Limbah industri lainnya yang umumnya terbuang ke badan sungai dan dialirkan ke laut atau yang langsung terbuang ke laut akan terakumulasi. Dalam jumlah tertentu yang melebihi kapasitas daya asimilatif perairan, bahan pencemar ini akan menjadi sludge yang menimbulkan bau busuk. Kandungan kimia sludge dapat menurunkan DO dan BOD serta meningkatkan COD. Disamping itu sludge mengeluarkan pula bahan beracun berbahaya seperti sulfida, fenol, Cr (Heksavalen), Pb(Timbal), dan Cd (Cadmium) yang dapat terakumulasi dalam organisme perairan tertentu dan secara tidak langsung merupakan acaman bagi kehidupan manusia. c. Limbah cair domestik dan tinja Secara sederhana, penanganan limbah cair domestik dan tinja dengan membangun septiktank untuk setlap perumahan atau septiktank komunal di pemukiman padat penduduk secara kolektif, bagi daerah yang beium mempunyai pengolahan limbah cair domestik secara terpadu. 32
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Gambar 7. Pemukiman Padat Penduduk (Sumber: www.peopleandplanet.net) d. Air limbah pertanian Berasal dari sedimen akibat erosi lahan, unsur kimia limbah hewan atau pupuk (umumnya fosfor dan nitrogen), dan unsur kimia dari pestisida. Unsur pencemar ini meliputi balk sedimen dari erosi lahan tanaman perkebunan maupun larutan fosfor dan nitrogen yang dihasilkan oleh limbah hewani serta pupuk, pengendalian dapat dilakukan dengan membuat penampungan di samping melakukan penanganan baik dalam kolam terbuka maupun tertutup, dan sistem pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit dengan komposisi yang tepat. Sedangkan limbah pertanian selain dapat menimbulkan eutrofikasi yang disebabkan akumulasi bahan-bahan organik sisa tumbuhan yang membusuk, akumulasi residu dari pestisida terutama bahan kimia beracun chlorine dan organo-chlorine juga dapat menimbulkan keracunan bagi organisme perairan yang pada akhirnya akan membawa kematian. Keadaan ini tidak hanya mengancam kehidupan organisme yang hidup di habitat yang terkena kontaminasi bahan beracun saja, tetapi dapat mengancam kehidupan organisme lain yang secara ekologis mempunyai kaitan erat dengan organisme tersebut melalui aliran rantai makanan. Akibat tidak langsung dari kegiatan pertanian berupa perladangan berpindah dan penebangan hutan secara serampangan juga dapat menimbulkan pencemaran berupa sedimentasi dan pendangkalan sungai yang disebabkan oleh erosi. Proses kekeruhan dan 33
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

sedimentasi ini bisa mencapai perairan estuaria dan perairan pantai. Secara ekologis proses kekeruhan karena sedimentasi dapat menyebabkan terganggunya penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan, sehingga kegiatan fotosintesa plankton maupun organisme laut lainnya menjadi terhenti. Hal ini menyebabkan kadar oksigen dalam perairan menjadi menurun diikuti oleh kematian organisme laut. Kematian organisme laut yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas perairan karena proses pembusukan pada perairan yang telah mengalami pendangkalan dan penumpukan bahan organik akan menimbulkan racun. e. Tumpahan Minyak Akibat Kegiatan Penambangan dan Pengangkutannya Pengaruh spesifik dari peristiwa tumpahan minyak terhadap lingkungan perairan laut dan pantai tergantung pada jumlah minyak yang tumpah, lokasi kejadian dan waktu kejadian. Buangan dan tumpahan minyak bumi akibat kegiatan penambangan dan pengangkutannya dapat menimbulkan pencemaran laut yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut. Pengaruh buangan atau tumpahan minyak terhadap ekosistem perairan laut dapat menurunkan kualitas air laut secara fisik, kimia dan biologis. Secara fisik dengan adanya tumpahan atau buangan minyak maka permukaan air laut akan tertutup oleh minyak. Secara kimia, karena minyak bumi tergolong senyawa aromatik hidrokarbon maka dapat bersifat racun, sedangkan secara biologi adanya buangan atau tumpahan minyak dapat mempengaruhi kehidupan organisme laut. Tumpahan minyak bumi pada perairan laut akan membentuk lapisan film pada permukaan laut, emulsi atau mengendap dan diabsorbsi oleh sedimen-sedimen yang berada di dasar perairan laut. Minyak yang membentuk lapisan film pada permukaan laut akan menyebabkan terganggunya proses fotosintesa dan respirasi organisme laut, sementara minyak yang teremulsi dalam air akan mempengaruhi epitelial insang ikan sehingga mengganggu proses respirasi. Sedangkan minyak yang terabsorbsi oleh sedimen-sedimen di dasar perairan akan akan menutupi lapisan atas sedimen tersebut sehingga akan mematikan organisme-organisme penghuni dasar laut dan juga meracuni daerah-daerah pemijahan. Akibat terganggunya proses fotosintesa maka populasi plankton akan menurun yang akan diikuti oleh penurunan populasi organisme pemakan plankton (misalnya: ikan), yang diikuti pula dengan penurunan populasi burung pemakan ikan. Menurunya populasi burung akan mengakibatkan guano (penghasil fosfat) akan berkurang sehingga akan terjadi penurunan 34
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

hasil perikanan. Selain itu, buangan atau tumpahan minyak yang menyebar dengan cepat ke wilayah laut yang lebih luas akan menyebabkan rusaknya ekosistem hutan mangrove sehingga mengakibatkan terjadinya abrasi dan intrusi air laut, rusaknya tempat-tempat pemijahan (spawning ground) dari organisme laut.

35
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

BAB 3 AKTIVITAS INDUSTRI DI DAERAH 3.1 Kondisi Industri Daerah Pada umumnya kegiatan industri di daerah, menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan seperti aktivitas industri di sektor perindustrian, pertambangan dan sumberdaya mineral, pariwisata, kehutanan, pekerjaan umum, perhubungan, pertanian, kelautan dan perikanan, riset dan teknologi, dan perumahan rakyat, serta sektor kesehatan. Untuk lingkup permasalahan pencemarannya terhadap lingkungan terdiri dari bermacam kegiatan seperti kebocoran gas, tumpahan minyak dari tanker (oil spil), limbah pertambangan ke laut, kecelakaan kapal pengangkut bahan tambang mineral, pencemaran PLTN, illegal mining, penambangan tanpa ijin (PETI), pengeboran minyak lepas pantai, penambangan pasir laut untuk reklamasi pantai atau pulau, industri yang berada di pantai/pesisir, penggunaan bahan kimia pada aktivitas usaha tani di hulu, illegal loging, penggunaan kawasan hutan untuk pelabuhan, pengambilan terumbu karang untuk diekspor, pembuatan kapal yang menggunakan kayu, operasional kapal, kecelakaan kapal, kegiatan kepelabuhanan, illegal fishing, industri perikanan, tambak, pembangunan tempat rekreasi di pantai/pesisir, reklamasi pantai, wisata bahari, bahan beracun dari laboratorium, dan limbah domestik. Kegiatan-kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan seperti terangkum di atas menghasilkan limbah yang menyebabkan pencemaran air laut yang memberikan dampak pada kehidupan di laut seperti berdampak pada ekosistem laut kerusakan terumbu karang, mangrove, padang lamun, estuaria dan lain-lain, yang membutuhkan waktu yang sangat lama dan teknologi yang memadai serta dana yang sangat besar dalam menyelesaikan permasalahan pencemaran limbah ini. Untuk mengetahui pencemaran lingkungan, dapat terlihat seperti di bawah ini yang merupakan hasil penelitian yang didapatkan dari pengumpulan data tentang kegiatan industri di daerah-daerah (lihat lampiran 3) seperti dikemukakan sebagai berikut: a. Daerah Provinsi Kalimantan Barat Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain:

36
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Industri perkapalan seperti pembuatan galangan kapal dan kapal nelayan dengan menggunakan bahan baku kayu dan sebagian menggunakan bahan penolong besi. Pada kegiatan industri ini, sejauh ini belum mencemari lingkungan karena industri ini dikerjakan di luar daerah bantaran Sungai Kapuas.

Industri perikanan seperti pengambilan hasil laut (ikan, ubur-ubur, dan lain-lain), budidaya perikanan (pengolahan hasil laut: udang air payau dan asin, ikan beku). Aktifitas industri ini mencemari lingkungan, contoh pada industri pengolahan hasil laut tidak memiliki pengolahan limbah dan untuk budidaya perikanan tidak sesuai dengan tata ruang pesisir/laut sehingga merusak ekosistem dan lingkungan.

Industri parawisata bahari seperti industri wisata pantai, pulau dan hotel, pada kegiatan industri ini tidak mencemari lingkungan justru rentan terhadap pencemaran, karena jika terjadi pencemaran maka aktifitas pariwisata akan terganggu wisatawan yang berkunjung akan berkurang.

Industri kayu seperti kayu hulu dan playwood, kegiatan industri ini menyebabkan pencemaran perairan Sungai Kapuas karena pemakaian bahan kimia dan juga mengakibatkan pendakalan maritim sehingga dapat mengganggu lalu lintas maritim.

Industri pertambangan seperti penambangan liar, pada kegiatan ini menyebakan pencemaran perairan karena diakibatkan oleh senyawa kimia (merkuri) yang digunakan oleh penambangan emas. Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi

pencemaran lingkungan seperti: Dinas Perindag Kop dan UKM, Kota Pontianak antara lain: Keputusan Walikota Pontianak No. 446 dan 447 tahun 2002, tentang Pembentukan Komisi AMDAL, UKL dan UPL. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata antara lain: Peraturan Gubernur Kalimantan Barat No. 137 tahun 2004, tentang Rencana Strategis (RENSTRA) Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Kalimantan Barat, dan Keputusan Gubernur No. 83 tahun 2006, tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi Kalimantan Barat.

b. Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur 37


Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: Industri perikanan seperti usaha perikanan, budidaya mutiara, dan budidaya rumput laut. Pada aktifitas penangkapan ikan masih menggunakan bahan peledak sehingga menyebabkan kerusakan ekosistem dan biota laut. Industri pertanian seperti usaha pertanian, pada kegiatan ini menimbulkan erosi yang mengakibatkan sedimentasi. Industri pariwisata bahari seperti perhotelan dan restaurant di pinggir pantai. Aktifitas dari industri ini menghasilkan limbah domestik dari perhotelan di pinggir pantai, tercemarnya air yang dapat mengakibatkan punahnya ekosistem laut dan juga menghasilkan limbah cair dan padat sehingga menimbulkan dampak yaitu kerusakan hutan bakau. Industri transportasi laut seperti transportasi perhubungan laut. Pada aktifitas industri ini menyebabkan pencemaran walaupun dalam skala kecil, terlihat ada penurunan produktifitas pada masyarakat, seperti: keramba, rumput laut yang berdekatan dengan alur pelayaran. c. Daerah Provinsi Riau Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: Industri kepelabuhanan seperti pelabuhan perikanan (pelabuhan modern dan pelabuhan tangkapan tradisional). Pada aktifitas industri ini menyebabkan kualitas air menurun, dan juga menghasilkan limbah cair yang melebihi standar baku mutu, dan dapat mengakibatkan dampak pada kesehatan manusia, dan biota laut selain itu juga negara dirugikan karena harus merehabilitasi kembali lingkungan yang rusak. Industri pertambangan di lepas pantai seperti minyak dan gas, pertambangan pasir laut. Pada kegiatan industri migas ini menghasilkan limbah berupa tumpahan minyak, buangan air terproduksi (salin water), dan menyebabkan perubahan/kenaikan temperatur air laut di sekitar pembangunan, sedangkan kegiatan pertamabangan pasir di laut menyebabkan kerusakan lingkungan (pulau) yang sangat parah (oleh kegiatan eksport pasir laut) sehingga menyebabkan tenggelamnya pulau. Industri Perkayuan/Perkebunan seperti: pemotongan kayu menyebabkan sedimentasi karena penggundulan hutan dan menyebabkan erosi di darat. Industri perkapalan seperti pembuatan galangan kapal perikanan dan tradisional. Industri Rumah Tangga menghasilkan limbah rumah tangga. 38
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi pencemaran lingkungan seperti: Dinas Budaya Seni dan Pariwisata antara lain: Perda tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata. Badan Perencana Pembangunan Daerah (BAPPEDA) antara lain: Perda (Naskah Akademik) Pengelolaan Wilayah Pesisir. Dinas Kehutanan antara lain: Perda tentang Baku Mutu Air Sungai Siak

d. Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: Industri perikanan, aktifitas industri ini seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak, pada aktifitas ini jelas memberikan dampak terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan sedangkan penangkapan ikan dengan kapal-kapal yang menggunakan pukat cincin dalam operasinalnya tidak/belum memberikan dampak terhadap pencemaran lingkungan. Industri wisata bahari, secara umum kegiatan ini telah mencemari lingkungan, namun besarnya potensi tersebut serta ada tidaknya pencemaran di laut sebagai dampak aktifitas tersebut dan berapa besarnya masih diperlukan penelitian. Industri pertambangan seperti penambangan pasir laut, penambangan terumbu karang, dan pengeboran migas lepas pantai; industri kepelabuhanan seperti pembangunan pelabuhan besar dan kecil; dan industri Pelayaran seperti transportasi kapal nelayan dan kapal kargo. secara umum kegiatan ini telah mencemari lingkungan, namun besarnya potensi tersebut serta ada tidaknya pencemaran di laut sebagai dampak aktifitas tersebut dan berapa besarnya masih diperlukan penelitian. Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi pencemaran lingkungan seperti dari: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata antara lain: Kebijakan tentang aktifitas maritim masih berbentuk naskah akademik/draft.

e. Daerah Provinsi Kepulauan Riau (Batam) 39


Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: Industri transportasi laut, pada aktifitas ini menghasilkan kotoran (kerak), pelumas atau minyak yang berasal dari kapal sehingga menyebabkan pencemaran perairan. Banyaknya aktifitas transportasi laut antar pulau dengan menggunakan speedboat dan kapal ferry, alat transportasi laut tersebut menghasilkan air limbah yang banyak mengandung minyak yang sangat berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan perairan. Selain itu juga pencemaran ini meyebabkan menurunnya kualitas lingkungan wilayah pesisir, sehingga mengakibatkan tergganggunya keseimbangan ekosistem seperti rusaknya ekosistem bakau dan terumbu karang yang merupakan tempat bernaung dan hidup berbagai jenis biota laut (ikan, kerang, benih-benih ikan, dan lain-lain). Industri penambangan pasir seperti eksploitasi pasir untuk diekspor. Pasir laut memang sudah dilarang untuk diekspor, namun pasir darat, tanah dan golongan C (bahan galian yang tidak termasuk golongan strategis dan vital yaitu: batu kapur, bentonite, basal, phosphate, kaolin, mika, andesit, granit dan gabro) lainnya masih bebas diekspor, sehingga masih terjadi penambangan yang berpotensi merusak ekosistem pesisir dan laut. f. Daerah Provinsi Sulawesi Utara Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: Industri kepelabuhanan seperti aktivitas pelabuhan kontainer, pelabuhan kapal pengangkut (minyak, barang elektronik, kebutuhan pangan). Industri pelayaran seperti aktivitas jasa transportasi laut Industri rumah tangga yang menghasilkan limbah masyarakat (sisa konsumsi rumah tangga). Industri perikan seperti penangkapan dan pengolahan ikan Industri galangan kapal Pada umumnya kegiatan industri di atas terjadi pencemaran yang ada, masih di bawah ambang batas. Pencemaran masih bisa diatasi, dan belum mencemarkan lingkungan sekitar.

g. Daerah Provinsi Sumatera Utara Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: 40
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Industri kepelabuhanan seperti pelabuhan niaga. Pada aktivitas industri ini menghasilkan sisa-sisa kegiatan operasional kapal-kapal ikan (misalnya: bahan baker dan oli pelumas), dan untuk operasional kapal-kapal niaga (misalnya: bahan baker, sisa-sisa muatan minyak, dan bahan kimia) serta sisa-sisa kegiatan atau limbah dari shore base facilities.

Industri perikanan seperti penangkapan dan pengolahan ikan. Untuk penangkapan ikan di Pantai Barat Sumatera Utara dan Kepulauan Nias sering menggunakan bahan peledak dan racun sehingga merusak terumbu karang.

Industri pelayaran, pada kegiatan industri ini menghasilkan limbah dari kapal yang dibuang langsung ke laut tanpa pengelahan sehingga merusak biota laut dan juga menyebabkan menurunya kualitas air.

h. Daerah Provinsi Bali Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: Industri perikanan tangkap, perikanan longline tuna (penangkapan dan pengelohan), perikanan lemuru (penangkapan, pengalengan, industri tepung ikan) dan pengalengan ikan serta Processing/perikanan (cold storage), Docking kapal-kapal ikan. Pada kegiatan industri ini salah satunya menghasilkan limbah industri dan juga menyebabkan pencemaran udara (bau) oleh aktifitas pengolahan tepung ikan dan aktifitas kapal-kapal ikan yang belum mempunyai kesadaran dalam hal lingkungan. Industri kepelabuhanan seperti perawatan/perbaikan perahu (boat). Industri pelayaran seperti pelayaran antar pulau/niaga, pelayaran penumpang, dan Usaha angkutan laut khusus industri pariwisata dan tambang, perdagangan hasil laut antar negara (seperti Taiwan, dan lain-lain) Industri perkapalan seperti galangan kapal, pembuatan perahu nelayan, Bangkai kapal. Industri wisata bahari seperti Snorkling, Boating, Fishing, Paracyling, melihat LumbaLumba dan Pariwisata cruise baik jarak dekat (N. Lambongan) maupun jarak jauh (Moyo, Komodo) dan Atraksi wisata (snorkling, diving, dan lain-lain)
-

Industri rumah tangga seperti limbah domestik (cair/padat), deterjen, limbah dari darat yang terbawa melalui aliran sungai, limbah padat & cair (khusus jenis plastik), menghasilkan sedimentasi oleh muara sungai. 41
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Kebijakan lokal yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam menanggulangi pencemaran lingkungan seperti: Dinas Perikanan dan Kelautan antara lain: Perda No. 3 thn 1985 ttg Perlindungan Ikan, SKB No. 367 & 604 tahun 1992 Gub. Bali & JaTim ttg Pembatasan Jumlah Purseseine di Selat Bali, dan Perda No. 3 thn 1985 ttg Perlindungan Ikan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) antara lain: Keputusan Gub. No. 151 thn 2000 ttg Standar Baku Mutu Lingkungan, antara lain menetapkan baku mutu air laut untuk kegiatan budidaya & industri pariwisata. Kantor Administrator Pelabuhan Benda antara lain: Keputusan Menhub No. 38 thn 1990 ttg Pencegahan Pencemaran oleh Wilayah, dan Keputusan Menhub yang menetapkan bahwa setiap Pelabuhan Umum DUICS, Pelsus diwajibkan Pembuatan AMDAL, & telah dibentuknya AMDAL DepHub di Tingkat Pusat. PT. Pelabuhan Indonesia, Cabang Benoa antara lain: Perda ttg : Baku Mutu Budidaya, Baku Mutu Pariwisata, dan Pengelolaan Lingkungan. i. Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Terdapat beberapa aktifitas industri maritim antara lain: Industri perikanan seperti cold storage (saat ini tidak beroperasi karena terkena bencana gempa dan tsunami). Pada kegiatan industri ini menghasilkan limbah tetapi belum mencemari lingkungan karena masih dapat dikelola secara domestik, juga menyebabkan perubahan BOD, COD, dan DO, menyebabkan peningkatan kekeruhan air, jumlah biotic dan bakteri sehingga menyebabkan perubahan kualitas perairan dan dapat merusak ekosistem, mengakibatkan menurunya kualitas lingkungan dan menyebabkan rendahnya kesehatan masyarakat setempat dan akan menyebabkan konflik sosial. Industri transportasi laut, pada aktifitas ini menghasilkan kotoran (kerak) dan pelumas yang bersal dari kapal.

42
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

BAB 4 PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT 4.1 Implementasi dan Penegakan Hukum (law enforcement) Bidang Kelautan Harus diakui dalam pengimplementasian dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang kelautan di Indonesia masih lemah. Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar sektor pembangunan, institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Untuk penegakan hukum lingkungan laut belum jelas dan terjadi carut marut , sehingga untuk menyelesaikan permasalahan ini diperlukan suatu badan hukum (badan khusus) yang menangani keselamatan dan keamanan di laut yang terdapat di wilayah yuridis dan untuk wilayah ZEE sudah menjadi tanggung jawab TNI AL, seperti yang ada di negara USA dan Jepang terdapat suatu badan yang bertugas yaitu Coast Guard yang sesuai dengan aturan internasioanal (TZMKO). Oleh karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan. Terdapatnya perangkat hukum membutuhkan aparatur penegak hukum yang memiliki komitmen untuk menegakkan peraturan. Tanpa itu semua, persoalan di laut dan pesisir akan menjadi tumpang tindih dan bermuara pada kerusakan lingkungan dan kemiskinan dalam masyarakat. Peran aparatur penegak hukum, seperti TNI, Polri, kejaksaan, dan pengadilan dalam pembangunan kelautan sangat penting dan strategis. Hal ini mengingat banyak kasus yang terjadi dalam pembangunan kelautan dilatarbelakangi oleh persoalan hukum. Contoh muktahir dari pentingnya peran hukum dalam pembangunan kelautan adalah kasus pencurian pasir laut dan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Kasus penambangan ilegal pasir laut, merupakan contoh kasus dari persoalan tumpang tindihnya peraturan dan kebijakan. Tumpang tindih peraturan itu membuat kegiatan penambangan membawa berbagai implikasi negatif bagi ekonomi, lingkungan, sosial, dan politik. Negara dan masyarakat di pesisir dan kepulauan Riau, terutama nelayan yang menyandarkan diri pada kegiatan perikanan hampir selama 32 tahun menderita kerugian. Pemerintah telah mengambil langkah-langkah strategis untuk meminimalkan sisi kerugian akibat kegiatan penambangan pasir yang tidak terkendali itu. Langkah yang ditempuh 43
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

oleh pemerintah adalah menerbitkan Inpres No.2 Tahun 2002. Garis besar Inpres tersebut menginstruksikan kepada pejabat negara terkait untuk berkoordinasi dalam pengawasan dan pengendalian penambangan pasir. Inpres ini kemudian diperkuat dengan Keppres No.33 Tahun 2002 tentang pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut. Dalam keppres itu disebutkan pula tentang pembentukan Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut (TP4L) yang diketuai oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Tugas dari TP4L ini adalah mengawasi dan pengendali pengusahaan pasir laut. Dalam mengemban tugas yang diamanatkan, TP4L secara bertahap berhasil meminimalkan praktik ilegal dalam penambangan pasir melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum seperti TNI AL dan polisi. Kapal-kapal yang ditangkap kemudian dibawa ke pengadilan, meski pada tahapan ini, proses peradilan belum optimal memberikan sanksi yang berat bagi kegiatan illegal ini. Namun kemampuan membawa pelaku ini merupakan langkah yang baik sekali, mengingat hampir 22 tahun kegiatan ilegal ini tidak tersentuh oleh hukum. Begitu pula halnya dengan masalah praktek penangkapan ikan secara ilegal, khususnya yang beroperasi di perairan ZEEI. Pemerintah telah mengantisipasi praktek tersebut lewat penegakan hukum di wilayah laut. Dalam rangka penegakan hukum ini dilakukan koordinasi dengan pihak aparat hukum seperti kepolisian, dan TNI-AL. Proses tersebut selanjutnya dilakukan dengan membawa pelaku pencurian ke pengadilan melalui bekerja sama dengan pihak kejaksaan agar tuntutan hukum atas perkara pelanggaran di bidang perikanan dapat diberikan sanksi yang setimpal dan prosesnya cepat. Tentunya kegiatan pengendalian penangkapan ikan tidak dapat dilakukan oleh aparat pemerintah saja, melainkan juga harus melibatkan masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, DKP telah mengembangkan Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS) yang disosialisasikan ke beberapa daerah. Pemasangan alat komunikasi dilakukan di pusat-pusat perikanan seperti Pekalongan, Pemangkat, Belitung, Kendar yang dihubungkan ke pusat pemantauan Dep.KP. Sehingga informasi pelanggaran terutama oleh kapal penangkap ikan ilegal dapat diketahui dan diteruskan kepada aparat penegak hukum di laut. Pada tahun 2001, telah terpasang 15 set alat

44
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

komunikasi, serta perangkat sistem komputer database yang dioperasikan secara Wide dan Local Area Net. Begitu pula sanksi hukum bagi perusak lingkungan terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggungjawab, dan seterusnya. Masih maraknya kegiatan bersifat destruktif, yang tidak hanya dilakukan oleh nelayan tradisional, tetapi juga nelayan-nelayan modern, dan nelayan-nelayan asing yang banyak melakukan pencurian ikan di perairan nusantara. Fakta ini merupakan bukti lemahnya penegakan hukum. Memang, permasalahan lain yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya kelautan adalah kurangnya koordinasi dan kerja sama antarpelaku pembangunan dan sekaligus pengelola di kawasan tersebut, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kurangnya koordinasi antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan laut yang dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak. Lemahnya koordinasi ini diakibatkan oleh belum adanya sistem atau lembaga yang mampu mengkoordinasikan setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan. Beberapa contoh dapat dilihat seperti terjadi benturan kepentingan antara pemanfaatan sumberdaya kelautan dengan kegiatan konservasi lingkungan, antara pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan lestari dengan pemanfaatan sumberdaya secara maksimal untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Akibatnya, sektor kelautan yang memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkange) dengan sektor-sektor perekonomian lainnya tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu akibat kebijakan sektor-sektor perekonomian tersebut tidak berorientasi atau tidak berkoordinasi dengan sektor kelautan. Sehingga sektor-sektor perekonomian lain yang terkait tersebut juga tidak tumbuh dan berkemban secara optimal dan berkelanjutan.

4.2

Permasalahan Konflik Pemanfaatan dan Kewenangan 45


Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Dalam banyak kasus, pendekatan pembangunan sektoral tidak mempromosikan penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu dan efisien. Penekanan sektoral hanya memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan ruang di wilayah pesisir dan lautan karena belum adanya tata ruang yang mengatur kepentingan berbagai sektor yang dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Pada dasarnya hampir di seluruh wilayah pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai kepentingan. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang pesisir dan lautan dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya (user conflict) dan konflik kewenangan (jurisdictional conflict). Sebagai contoh adalah konflik penggunaan ruang yang terjadi di Pantai Indah Kapuk Jakarta yaitu ruang untuk konservasi mangrove dengan pembangunan lapangan golf dan pemukiman mewah, konflik nelayan tradisional dengan trawl, konflik antara kepentingan untuk konservasi dengan pariwisata di Taman Laut Kepulauan Seribu. Di perairan Taman Nasional Bunaken, sektor perikanan bertujuan meningkatkan produksi ikan tangkap. Sektor pariwisata bertujuan meningkatkan jumlah wisatawan yang melakukan snorkelling dan scuba diving. Pengembang bertujuan membangun kota pantai Manado yang bisa menikmati keindahan Pulau Manado Tua dan Bunaken, sementara Balai Pengelola Taman Nasional Laut Bunaken ingin mengkonservasi keanekaragaman hayati lautnya (Manado Post 1997). Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, masing-masing pihak menyusun perencanaan sendiri-sendiri, sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Perencanaan dari berbagai sektor ini sering tumpang-tindih dan masing-masing berkompetisi memanfaatkan ruang yang sama. Tumpang-tindih perencanaan dan kompetisi pemanfaatan sumber ini memicu munculnya konflik pemanfaatan antar berbagai pelaku dan konfik kewenangan antar instansi yang berkepentingan. Fenomena konflik tersebut sebenarnya sudah lama ada, tetapi makin lama makin banyak jumlahnya dan makin besar skala konfliknya. Untuk melihat fenomena tersebut menjadi kenyataan, dilakukan observasi di Sulawesi Utara, untuk melihat apakah ada tumpang tindih 46
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

atau kesenjangan antara maksud, tujuan, sasaran dan rencana masing-masing instansi swasta dan masyarakat. Diikuti dengan in depth interview terhadap key respondents, di lokasi yang diperkirakan konflik terjadi dan korelasinya dengan kondisi SD pesisir sekitarnya. Berdasarkan studi tersebut dapat ditemukan bahwa konflik pemanfaatan SD pesisir dan jasa lingkungan ( marine resources and environmental amenities) muncul di Teluk Manado dan daerah pesisir lainnya di Sulawesi Utara. Konflik antara nelayan tradisional dengan pengusaha budidaya mutiara di perairan Pulau Talise. Konflik antara pengelola pariwisata, pengelola TNL Bunaken, nelayan serta pengembang reklamasi pantai di Teluk Manado. Salah satu masalah mendasar, pihak yang berkepentingan sering kurang jelas dalam menjabarkan konsep pemilikan dan penguasaan SD pesisir dan kurang memperhatikan sistem pengelolaan yang bersifat tradisional. Secara defacto, penduduk pesisir setempat merasa bahwa lahan dan SDK kelautan disekitarnya adalah milik mereka, yang dikelola secara tradisional turun temurun. Tetapi secara dejure, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menyatakan seluruh sumber kekayaan alam yang terdapat dalam perairan Indonesia adalah milik pemerintah pusat. Dalam skala tertentu pemerintah membiarkan kelompok masyarakat pesisir untuk mengelolanya. Sehingga timbul kerancuhan (ambiguity) bahwa disatu sisi SD pesisir dianggap milik kelompok penduduk (common property), tetapi disisi lain dianggap milik pemerintah (state property). Kerancuan pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir (ambiguity of property regimes) ini mendorong timbulnya konflik kewenangan ( jurisdictional conflict) dan konflik pemanfaatan (user conflict). Konflik pemanfaatan lain pernah terjadi di Makassar antara nelayan dengan pemerintah kota. Dalam kesadaran nelayan, meskipun tidak ada ketentuan hukum tertulis yang mengatur mereka dalam hubungannya dengan bagang, tetapi kebiasaan turuntemurun merupakan sesuatu yang pantang untuk dilanggar. Memang belum ada pengalaman bagaimana sanksi dijatuhkan apabila ada di antara nelayan yang melanggar kebiasaan turuntemurun tersebut, tetapi secara hipotetik mereka yakin si pelanggar kebiasaan akan menerima sanksi dari masyarakat, seperti dikucilkan dari pergaulan hidup sehari-hari, termasuk pada aktivitas di laut. Ketika kepada mereka diajukan pertanyaan-pertanyaan hipotetis tentang hukum yang akan dijadikan dasar penyelesaian konflik, segenap responden menjawab bahwa dasar itu adalah kebiasaan turun-temurun. Demikian juga ketika ditanyakan mengenai cara penyelesaian konflik, mereka berpendapat bahwa pertama-tama akan diusahakan diselesaikan di antara mereka yang berkonflik, baru kemudian melibatkan pihak lain sebagai juru damai, jika konfliknya 47
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

berlanjut. Seterusnya, para responden berkeyakinan bahwa konflik akan selesai, paling jauh pada tingkat kedua (melibatkan juru damai). Jawaban hipotetik tersebut, mengindikasikan bahwa dalam benak para nelayan, penyelesaian melalui pengadilan merupakan suatu alternatif yang hampir tak terpikirkan. Secara konseptual, cara penyelesaian konflik yang dikemukakan responden tersebut, dapat disebut negosiasi dan mediasi. Negosiasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik melalui pembicaraan langsung, sedang mediasi melalui pembicaraan tidak langsung atau dengan bantuan pihak ketiga. Lebih jauh, jawaban hipotetik itu dapat juga diberi makna bahwa masyarakat nelayan secara kultural sesungguhnya memiliki cara tersendiri dalam mengelola dan menyelesaikan konflik yang muncul di tengah-tengah mereka. Meskipun institusi tradisional sudah runtuh, ternyata tidak berarti otomatis dapat tergantikan oleh institusi formal dari negara. Konflik kewenangan semakin berkembang di propinsi Sulawesi Utara dan derah lainnya, terutama sejak ditetapkannya perairan pulau-pulau Bunaken menjadi Taman Nasional Laut (TNL) tahun 1991. Konflik kewenangan muncul antara pemerintah Pusat c.q. Ditjen PHPA dengan Pemerintah Daerah c.q. Dinas Pariwisata di TNL Bunaken. Dalam kasus ini Pemerintah Daerah merasa bahwa daratan pulau-pulau di perairan Bunaken serta masyarakatnya di bawah kewenangan Pemda Sulut, sesuai dengan UU RI No. 5/1974. Namun di pihak lain, setelah pulau-pulau Bunaken ditetapkan sebagai Taman Nasional, maka kewenangan pengelolaan sumberdaya hayati lautnya berada di bawah Departemen Kehutanan. 4.3 Permasalahan Ketidakpastian Hukum Ketidakpastian hukum sering terjadi karena adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property resources), tetapi berdasarkan UUD 45 pasal 33 menyatakan bahwa semua sumberdaya termasuk sumberdaya perairan Indonesia adalah milik pemerintah (state property), sehingga Pemerintah memberikan izin pemanfaatan kepada pihak investor yang memenuhi persyaratan. Investor tersebut mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini untuk memenuhi kepentingannya atau mendapatkan keuntungan jangka pendek. Jika tidak maka pihak lain (intruders) yang mengangap sumberdaya tersebut open access akan mengeksploitasinya. Tidak 48
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

ada insentif bagi investor untuk melestarikannya, sehingga dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir terjadi the tragedy of commons. Untuk itu pemerintah perlu mengatur mekanisme pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah yang menjadi state property, tetapi juga mengakui hak-hak ulayat (common property) atau memberikan konsesi pengelolaan kepada masyarakat adat yang melestarikan sumberdaya pesisir dan mereka berhak untuk mendapatkan incremental benefit dari upaya mereka melestarikannya. Konflik antara UU versus hukum adat terjadi pada persoalan status wilayah perairan pesisir dan laut. Di dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, status perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat lokal di berbagai wilayah pesisir, menganggap sumberdaya di sekitar desanya sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Ironisnya pemberlakuan berbagai undang-undang lainnya yang memberikan mandat bagi instansi pemerintah dan izin pengelolaan bagi swasta membuat sumberdaya tersebut diklaim sebagai milik pribadi (quasy private property). Ketidakpastian pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini melemahkan mekanisme pengelolaan yang bersifat tradisional dan mendorong terjadinya pemanfaatan sumberdaya yang bersifat open access. Selain itu norma-norma hukum yang ada dalam berbagai undang-undang, yang seharusnya memberikan kepastian bagi instansi-instansi pemerintah dan masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya. Sebagai contoh dapat disebut UU No. 24 Tahun 1992 dan UU No. 22 Tahun 1999. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992, kewenangan penataan ruang laut harus diatur dengan UU (Pasal 9) dengan kewenangan terbesar ada pada pemerintah pusat (sentralistik). Sebaliknya, UU No. 22 Tahun 1999 serta merta menyerahkan kewenangan penataan ruang laut (sejauh 12 mil) sepenuhnya ke daerah (Pasal 10). Selanjutnya dalam pasal 11 penataan ruang menjadi kewenangan wajib pemerintah kabupaten/kota. Perubahan yang terlalu ekstrim tersebut berpotensi besar menimbulkan konflik kewenangan baru, di antaranya, konflik antara berbagai tingkatan pemerintahan (pusat, propinsi, dan kabupaten/kota) serta konflik pemanfaatan antara pengguna sumberdaya dari daerah yang berbeda (misalnya, konflik antara nelayan Jawa Tengah dan Jawa Timur). Bentuk ketidakpastian hukum yang lain adalah peraturan pelaksanaan yang tidak konsisten dan ketiadaan peraturan hukum sama sekali (kekosongan hukum). Salah satu contoh dari peraturan pelaksanaan yang tidak konsisten itu adalah peraturan yang berkaitan dengan 49
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

hak ulayat. Di dalam UU No. 5 Tahun 1960, hak ulayat (termasuk hak ulayat laut) diakui eksistensinya (Pasal 3), tetapi peraturan pelaksanaannya justru mengingkarinya (PP No. 24 Tahun 1998). Sementara itu, kekosongan hukum juga telah menyebabkan ketidakpastian hukum. Misalnya, penguasaan bagian-bagian tertentu dari wilayah pesisir untuk usaha budidaya laut dan pengelolaan pulau-pulau kecil, yang hingga saat ini belum ada peraturannya sama sekali. Padahal, pada kenyataannya, kedua kegiatan tersebut sangat memerlukan perlindungan hukum, sebab selain mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi juga berkaitan dengan kelestarian sumberdaya wilayah pesisir. Produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sekarang ini, masih banyak terdapat over lap/tumpang tindih pada sektor-sektor terkait dalam kewenangannya menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Perundang-undangan yang ada seperti dapat dikemukakan di bawah ini: a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan. Kekhawatiran ini sebetulnya tidak perlu terjadi jika konsisten dalam membuat kebijakan-kebijakannya. Sebagaimana diketahui dalam pasal 38 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Disisi lain UU Tentang Pertambangan (UU No. 11 tahun 1967) beserta peraturan organik lainnya, yang sifatnya masih sentralistik belum dicabut. Saat ini masih terlihat ketidakjelasan pengaturan masalah hukum di Indonesia, seperti Kepmen 1453 tahun 2001 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum, yang menuangkan tentang tata cara memperoleh perijinan pertambangan di era otonomi. KepMen tersebut terasa ganjil karena masih menggunakan UU No. 11 tahun 1967 sebagai dasar hukum, sementara substansi dari peraturan tersebut adalah desentralisasi pemberian perijinan tambang kepada daerah, sebab KepMen tersebut juga memuat UU No. 22 tahun 1999 sebagai dasar hukum. Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya PP No No 75 tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 11 tahun 1967 Tentang 50
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Ketentuan - Ketentuan Pokok Pertambangan. Setali tiga uang dengan Kepmen 1453 terdahulu PP ini juga dibuat sebagai tali penyambung antara UU No. 11 tahun 1967 dengan UU No 22 tahun 1999. Padahal dengan adanya TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam telah mengamanatkan perlunya penataan kembali, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air Indonesia Mining Association (IMA) mengecam lahirnya PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, oleh karena itu IMA mendesak pemerintah segera merevisi PP tersebut. Keberadaan PP No. 82 tahun 2001 akan menghambat masuknya investasi di sektor pertambangan. Dalam pasal 42 pada PP tersebut dinyatakan bahwa setiap orang dilarang membuang limbah padat, baik berwujud lumpur atau slurry, termasuk tailing ke dalam air dan atau sumber air. Padahal tailing belum tentu mengandung bahan berbahaya atau beracun. Seperti tailing yang dikeluarkan oleh PT. Freeport Indonesia yang ternyata malah bisa ditanami berbagai macam tumbuhan. Kebijakan yang dihasilkan saat ini lebih mengedepankan kepentingan investasi sementara keberlanjutan lingkungan diabaikan. Tentu kebijakan-kebijakan kontroversial yang dikeluarkan selama ini sangat bertolak belakang dengan propaganda bahwa upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi harus sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Kasus terakhir adalah keluarnya Perpu No 1 tahun 2004. Ironisnya, ditengah hujan kritik atas keluarnya Perpu itu tiba-tiba pemerintah mengeluarkan Keppres No. 41 tahun 2004. Sebuah kebijakan untuk melegitimasi dan mempercepat investor tambang melanjutkan operasinya yang sempat terganjal oleh UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2004 dan Keppres No. 41 Tahun 2004 belum menjawab masalah tumpang tindih kegiatan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung. Keluarnya Keppres tersebut, para pelaku tambang yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Indonesia (IMA) menyambut dengan penuh antusias. Mereka menanggapi 51
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

positif keluarnya Perpu No. 1/2004 yang ditindaklanjuti dengan Keppres No. 41/2004 itu. "Keppres tersebut membuat iklim investasi di sektor pertambangan kita jadi menggairahkan kembali. Indonesia Mining Association (IMA) juga menentang Pasal 38 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yaitu mendesak untuk dimasukkan klausul diperbolehkannya menambang di kawasan hutan lindung ataupun konservasi. c. Rancangan Undang-Undang Pertambangan Setelah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka pemerintah memandang perlu untuk segera membuat RUU Pertambangan Umum. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, maka pembuatan peraturan perundangundangan di Indonesia setelah keluarnya UU No. 22 tahun 1999 menjadi kebutuhan mendesak karena UU tersebut telah merubah sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Paling tidak diperlukan pembentukan banyak peraturan perundangundangan yang bersifat baru maupun penyempurnaan sebagaimana dapat dilihat dalam matriks UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, dimana UU Pertambangan termasuk salah satu yang harus dirubah. Permasalahan lain juga dapat terlihat pada UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang terbit 23 November 2001 membuka pintu liberalisasi bisnis migas di hilir yang selama ini terproteksi oleh privilege Pertamina yang diberikan oleh UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Migas dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina. UU migas baru pun menggantikan satu lagi UU, yaitu UU No. 15 Tahun 1962 tentang Penetapan PP Pengganti UU No. 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri; dan UU No. 8/1971 tentang Pertamina. d. Rantap Rancangan Undang-Undang Pengeloaan Sumber Daya Alam Salah satu keputusan penting yang dihasilkan dalam sidang tahunan MPR RI tanggal 1-10 Nopember 2001 adalah ditetapkannya rantap RUU PSDA melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001. Tap ini dimaksudkan sebagai jawaban untuk mengatasi masalah kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi, serta kerusakan sumber daya alam yang selama ini terjadi. Demikian juga masalah kebijakan pengelolaan SDA yang tumpang tindih. Meskipun begitu beberapa pihak menyayangkan karena pada keputusan Rantap PSDA 52
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

masih terdapat kekurangan seperti penyatuan Agraria dan PSDA. Tidak ada integrasi konseptual yang memadai antara keduanya. Contoh permasalahan lain dapat terlihat dalam kewenangan dan peran institusi dengan jelas dapat ditemukan pada pembagian kewenangan sumberdaya laut dan konservasinya. Departemen Kehutanan berwenang melakukan pengelolaan pada sebagian besar kawasan lindung dan spesies langka, sedangkan Departemen Kelautan dan Perikanan bertanggung jawab terhadap keberadaan spesies laut. Penafsiran terminologi yang berbeda-beda juga sering ditemukan. Contohnya, pengertian tentang kawasan lindung ditemukan berbeda-beda dalam UU 5/1990, UU 5/1994, UU 41/1999, UU 9/1985, dan UU 24/1992. Pengelolaan tata ruang pun ditemukan tidak konsisten dalam dua peraturan perundangan, yaitu UU 23/1997 dan UU 24/1992. UU 24/1992 pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa tujuan rencana tata ruang adalah untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan, sedangkan UU 23/1997 pasal 4 menegaskan bahwa tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah melakukan pengawasan terhadap eksploitasi terhadap sumberdaya secara bijaksana. Hal ini menunjukkan dua hal yang sangat bertolak belakang. Di satu pihak, tujuan rencana tata ruang disebutkan untuk meningkatkan penggunaan sumberdaya, sementara pihak lainnya mengisyaratkan tindakan pengawasan. Dalam pengelolaan secara sektoral, konflik peraturan-perundangan juga kerap ditemukan. Contohnya, UU 41/1999 menghalalkan pemanfaatan sumberdaya mangrove. Sementara UU 9/1985 justru melarang pengrusakan habitat yang menjadi sumberdaya ikan ini. Ketidakjelasan penegakan hukum yang berbeda juga kerap terjadi. Sebagai contoh, UU 5/1990 memberikan serangkaian tindakan untuk pelanggaran yang dilakukan secara sengaja dalam mengambil atau melukai satwa liar, dengan hukuman sampai 5 tahun penjara atau maksimal Rp 100 juta, dan untuk kelalaian dengan hukuman satu tahun atau denda Rp 50 juta. Sementara UU 9/1985 pasal 24 menjatuhkan denda sebesar Rp 100 juta atau hukuman penjara 10 tahun untuk segala bentuk pelanggaran pasal 6 ayat 1 atau 7 ayat 1 tentang pelarangan memancing dengan peralatan atau metode yang dapat melukai ikan dan larangan pengerusakan habitat sumberdaya ikan. Kekuatan sanksi dalam undangundang ini lebih besar dibandingkan yang dilakukan dalam UU 5/1990.

53
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

BAB 5 KEBIJAKAN STRATEGIS PENGELOLAAN LINGKUNGAN LAUT 5.1 Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah Faktor yang perlu mendukung dalam menyelesaikan masalah pencemaran ini antara lain perlu keterpaduan dan keselarasan pada kebijakan/peraturan yang sudah ada dan perlu ketegasan dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah kebijakan/peraturan yang over lap atau yang bersinggungan antara instansi-instansi terkait pada pengelolaan sektor kelautan, untuk kelembagaan yang terlibat langsung pada penanganan masalah lingkungan (selain Kementerian Lingkungan Hidup) perlu penindakan yang tegas dari pemerintah apabila terdapat suatu lembaga yang tidak menjalankan program kegiatannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Selain faktor di atas, untuk memudahkan dan agar dapat dijadikan acuan hukum yang berlaku maka perlu penjabaran Konvensi-konvensi Internasional ke dalam kebijakan atau peraturan nasional, dalam hal ini pasal-pasal yang perlu dijabarkan adalah pasal-pasal yang mempunyai pengertian khusus atau mensyaratkan jangka waktu untuk dipenuhinya bagi kepentingan negara, seperti batasan waktu untuk klaim batas landas kontinen Indonesia. Pada UNCLOS 1982 terdapat Bab mengenai Negara Kepulauan yang sangat penting bagi Indonesia tetapi tidak disebutkan pada UU RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS. Dalam menangani masalah pencemaran lingkungan yang masih terjadi, terdapat kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain: I. Pemerintah Daerah: a. SDM Sumberdaya manusia dan laboratorium belum memadai Sumberdaya manusia yang ada masih kurang, dan belum siap untuk menangani pencemaran lingkungan. Sumberdaya manusia belum mencukupi, baik kualitas maupun kuantitasnya. Sumberdaya manusia yang ada belum/tidak sesuai dengan bidangnya. b. Masyarakat Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan masih rendah. 54
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Masyarakat belum mengetahui tentang Perda yang berlaku yang terkait dengan lingkungan. c. Arogansi daerah dalam mengurus perizinan. d. PAD rendah ini disebabkan karena rendahnya ekonomi masyarakat sehingga banyak nelayan yang mengambil jalan pintas untuk menangkap ikan, yaitu dengan menggunakan bom. e. Sarana dan prasarana, serta fasilitas yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan masih kurang. f. Kurangnya dana yang ada untuk menangani pencemaran lingkungan.

II. Pemerintah Pusat: a. Illegal mining / Penambangan Tanpa Izin (PETI) : Departemen Kehutanan: Kegiatan PETI, seperti emas, batu bara, nikel, dan lain-lain, masih terjadi dan sulit untuk ditertibkan di kawasan konservasi darat, seperti taman nasional, hutan lindung, cagar alam, dan lain-lain. b. Kegiatan pelayaran / angkutan laut (termasuk wisata bahari / kapal pesiar; pengangkutan limbah B3 dan zat radioaktif / perpindahan lintas batas limbah B3): KLH: Alamat importir & eksportir B3 dan limbah B3 tidak diketahui (illegal) sehingga sulit dilacak Penyimpanan dan pengangkutan B3 tidak mengikuti tata cara dan persyaratan yang diatur Lokasi pengelolaan B3 tidak sesuai dengan persyaratan yang diatur

c. Reklamasi (termasuk pembuatan tempat-tempat rekreasi di wilayah pesisir, Daerah Aliran Sungai / DAS, atau rawa): KLH: Masih banyak kawasan konservasi yang tidak dikelola dengan baik; Tidak adanya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan keanekaragaman hayati laut; Potensi SDA pulau-pulau kecil masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal, walaupun ada sebagian potensi SDA pulau-pulau kecil yang telah 55
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

dimanfaatkan (eksploitasi bahan tambang dan mineral) tapi masih sangat kurang memperhatikan pertimbangan unsur pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan pulau Pembangunan infrastruktur ekonomi dan social baik di wilayah pesisir dan khususnya pulau-pulau kecil masih sangat kurang diperhatikan Kurangnya komitmen pemerintah dalam pembangunan pulau-pulau kecil Kegiatan penambangan pasir laut dilarang di dalam kawasan konservasi laut (Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Suaka Margasatwa Laut dan Cagar Alam Laut); Kegiatan reklamasi pantai tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan konservasi laut dan perlu dikaji secara mendalam karena akan berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang; Kegiatan reklamasi pada daerah pantai yang berstatus kawasan hutan harus mengacu pada UU No. 41 thn 1999; Kegiatan reklamasi pantai untuk perumahan tidak diperbolehkan di kawasan konservasi; dan Pembangunan kawasan industri di wilayah pantai umumnya kurang memperhatikan status lahan yang merupakan kawasan hutan, sehingga sering berbenturan dengan DepHut. d. Limbah domestik (domestic waste yang masuk ke perairan melalui saluran air atau sungai) yang antara lain berasal dari permukiman, perkantoran, hotel, restaurant dan tempat rekreasi; dan limbah industri dan limbah rumah sakit / laboratorium: Departemen Kehutanan: Pembangunan kawasan industri di wilayah pantai umumnya kurang memperhatikan status lahan yang merupakan kawasan hutan, sehingga sering berbenturan dengan DepHut. Pemerintah daerah saat ini sedang berambisi untuk membangun kawasan industri perikanan, tapi pembangunan industri tersebut kurang memperhatikan status kawasan konservasi laut, sehingga sering berbenturan dengan fungsi konservasi kawasan; 56
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Departemen Kehutanan: -

Kawasan konservasi yang berdekatan dengan main land sering mendapat kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya Manado.

e. Limbah pertanian / perkebunan (dari penggunaan bahan kimia pada aktifitas tani di hulu), termasuk limbah dari tambak. Departemen Kehutanan: Kegiatan pembangunan tambak kurang memperhatikan status kawasan hutan yang berada di wilayah pesisir (hutan lindung maupun kawasan lindung, termasuk kawasan konservasi lahan basah dan kawasan konservasi laut), sehingga berbenturan dengan konsep konservasi; Kegiatan tambak secara komersial tidak diizinkan di dalam kawasan konservasi; Kegiatan tambak di dalam kawasan hutan dikembangkan secara silvo fisheries (tambak empang parit); Kawasan konservsi yang berdekatan dengan main land sering mendapat kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya Manado. f. Eksploitasi hutan (Illegal logging, pembukaan lahan hutan untuk pertambangan, penggunaan kawasan hutan untuk pelabuhan): Departemen Kehutanan: Pembangunan kawasan industri di wilayah pantai umumnya kurang memperhatikan status lahan yang merupakan kawasan hutan, sehingga sering berbenturan dengan DepHut. Kawasan konservsi yang berdekatan dengan main land sering mendapat kiriman sampah domestik/sampah seperti Taman Nasional Bunaken dari Kodya Manado. Pembangunan pelabuhan banyak terkait dengan kawasan hutan pantai yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Bahan baku untuk pembuatan kapal masih sering dengan mengambil kayu dari dalam kawasan hutan secara illegal.

57
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

g. Eksploitasi

perikanan

(illegal

fishing/penangkapan

ikan

dengan

pukat

harimau/pemboman ikan/penangkapan ikan dengan racun); pengambilan terumbu karang untuk diekspor; penambangan pasir laut: KLH: Masih banyak kawasan konservasi yang tidak dikelola dengan baik; Kecepatan laju penurunan hutan mangrove dan kerusakan terumbu karang; Perdagangan hewan dan tumbuhan laut yang langka yang tidak terkendali Tidak adanya koordinasi antar instansi terkait dalam pengelolaan keanekaragaman hayati laut; Perdagangan hewan dan tumbuhan laut yang langka yang tidak terkendali;

Departemen Kehutanan: Pengambilan terumbu karang tidak diperbolehkan di dalam kawasan konservasi laut (Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Suaka Margasatwa Laut dan Cagar Alam Laut); Pengambilan terumbu karang untuk ekspor masih dimungkinkan di alam dengan kuota, tapi diwajibkan untuk transplantasi koral; Pengambilan soft coral masih untuk diizinkan mangambil di alam karena teknologi transplantasi belum berhasil dengan baik; Kegiatan reklamasi pantai tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan konservasi laut dan perlu dikaji secara mendalam karena akan berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang; Di dalam kawasan konservasi tidak diperbolehkan dilakukan izin penangkapan ikan maupun budidaya (komersial); dan Masih didapati izin penangkapan ikan dan penyu di dalam kawasan konservasi oleh pemerintah daerah. Dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan yang terjadi, terdapat beberapa strategi yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah: a. Diperlukan penyusunan Undang-undang/peraturan tentang pencemaran lingkungan yang komprehensif. b. Perlu aparat yang memiliki integrasi dan tanggung jawab.

58
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

c. Perlu ada peraturan/perundangan kemaritiman di Indonesia yang berpihak kepada masyarakat kecil.
d. Perlu adanya penegakan hukum / sangsi (law enforcement) bagi para pelanggarnya.

e. Perlu penerapan industri yang ramah lingkungan f. Perlu optimalisasi lembaga atau badan hukum yang ada di daerah berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. g. Perlu adanya koordinasi dengan instansi terkait secara terpadu dan kontinyu. h. Perlu deprogram melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mengatasi pencemaran lingkungan. i. j. Perlu ada sosialisasi dari pemerintah kepada semua stakeholders yang terkait dengan indutri maritim. Perlu adanya penetapan zonasi pemanfaatan wilayah laut yang ditatapkan oleh daerah dan sesuai denga RUTW Propinsi / Kabupaten / Kota.
k. Perlu adanya pendidikan khusus masalah lingkungan hidup.

5.2

Pengelolaan Potensi Laut Beberapa permasalahan yang selama ini dianggap sebagai faktor penghambat pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal antara lain sebagian besar nelayan merupakan nelayan tradisional dengan karaktersitik sosial budaya yang belum kondusif untuk kemajuan usaha, sebagian besar struktur armada yang dimiliki masih didominasi struktur skala kecil dan tradisional (berteknologi rendah), ketimpangan tingkat pemanfaatan stok ikan antara kawasan satu dengan kawasan lainnya, masih banyaknya praktek illegal, unregulated dan unreported fishing, penegakan hukum masih lemah, terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut yang disebabkan oleh pengeboman dan penambangan pasir,terbatasnya sarana prasarana sosial dan ekonomi (transportasi, komunikasi, kesehatan, pendidikan dan perumahan) dan lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang segmen pasar, harga dan pesaing. Sedangkan faktor eksternal yang ikut mempengaruhi lambatnya pembangunan kelautan dan perikanan adalah khususnya yang terkait dengan kebijakan moneter, fiskal dan investasi seperti suku bunga pinjaman dan penyediaan kredit perikanan. Pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan masa depan tentunya harus dapat menjawab 59
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

permasalahan permasalahan yang selama ini dianggap sebagai faktor yang menghambat proses pembangunan kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, berkeadilan dan merata. Pengelolaan dan pemberdayaan laut memiliki ruang lingkup yang luas karena sarana dan prasarana untuk mengelola potensi laut memerlukan teknologi tinggi, investasi besar, pelatihan dan kemampuan khusus SDM, sarana khusus untuk menghadapi resiko alam dan keterlibatan masyarakat internasional dalam penggunaan laut untuk pemanfaatan ekonomi bersama. Hal tersebut merupakan kendala dan peluang yang harus kita menangkan untuk kesejahteraan bangsa, karena kita yakin laut menyimpan sumber alam sebagai sumber kehidupan bangsa pada masa mendatang. Berbagai jenis komoditi dan usaha yang dapat digali dari sumber daya laut telah dilakukan di antaranya pemanfaatan laut untuk perikanan, transportasi, pertambangan, pembangkit energi, sebagai lapangan kerja, wilayah hukum dan lain-lain. Namun perhatian dan investasi yang telah dilakukan terhadap potensi laut belum merupakan upaya yang optimal. Di samping belum sebanding perhatian kita terhadap potensi laut yang kita miliki, kita juga masih menghadapi berbagai kendala dalam melaksanakan pembangunan di sektor kelautan di antaranya adalah: a. Melibatkan berbagai departemen dan instansi secara lintas sektoral yang memerlukan adanya koordinasi yang sebaik-baiknya. b. Dihadapkan kepada hambatan-hambatan teknis eksplorasi dan pengelolaannya. c. Masih kurang menarik minat penanam modal, baik asing maupun dalam negeri. d. Terbatasnya sumberdaya manusia yang mampu memanfaatkan dan mendayakan potensi kelautan sesuai dengan perkembangan iptek mutakhir. Permasalahan lain yang ditemukan dalam pengelolaan potensi laut adalah pada kebijakan pemerintah yang telah dicanangkan, pada pelaksanaannya di lapangan tidak semudah yang direncanakan. Laut di wilayah Indonesia tidak berdiri sendiri namun merupakan bagian laut seluruh dunia. Oleh karena itu Indonesia tidak dapat lepas dari peraturan-peraturan internasional mengenai kelautan. Pemberdayaan kelautan saat ini dikelola oleh berbagai departemen dan lembaga yang berkaitan dengan potensi kelautan, masing-masing departemen dan lembaga tersebut mempunyai perencanaan, program dan kebijaksanaan sendiri sehingga terjadi benturan kepentingan, tumpang tindih dan sering tidak searah.

60
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

Pengelolaan potensi laut yang meliputi pengelolaan hasil penangkapan ikan dan biota laut, sumber daya alam, transportasi laut, industri maritim dan jasa maritim mempunyai ciri-ciri kelautan yang sama yaitu kegiatan bermedia kelautan yang seyogyanya mempunyai landasan kebijaksanaan yang saling mengait dan mendukung. Pengelolaan mempunyai pengertian yang berbeda dengan eksploitasi kekayaan laut karena di dalam kegiatan pengelolaan mencakup unsur pelestarian dalam arti bahwa pengambilan kekayaan laut itu dapat dilakukan secara berkesinambungan. Dengan demikian pengelolaan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri yang mungkin dapat terjadi perbenturan antar instansi dengan instansi lain, oleh karena itu untuk menghindari kewenangan sektoral yang mengkotak-kotakkan pembangunan kelautan dan menghindarkan pemborosan yang mungkin terjadi perlu adanya pengelolaan secara terpadu. Wilayah laut dengan pantai merupakan kawasan yang sangat menarik tempat konsentrasi hasil produk hasil bumi/daratan dan hasil laut yang paling produktif, karena terletak di sepanjang garis khatulistiwa beriklim tropis yang panas, lembab dengan curah hujan yang tinggi menjadikan pertemuan darat dan laut yaitu disepanjang pantai nusantara terbentang terumbu karang dan hutan bakau yang luas. Dengan ekosistem laut yang relatif terjaga kelestariannya menjadikan kawasan pantai menjadi kaya akan sumber daya untuk kehidupan manusia dan membawa manfaat ekonomi kepada penduduknya. Maka kepadatan penduduk sepanjang pantai ini pada gilirannya akan menyebabkan pengambilan kekayaan alam yang intesif dengan tingkat degradasi lingkungan yang tinggi dan masalahnya bertambah parah dengan meningkatkatnya pencemaran baik yang berasal dari darat maupun dari kapal atau kegiatan anjungan lepas pantai. Kawasan pantai dengan desa pesisir adalah kawasan dengan degradasi lingkungan yang tinggi perlu dipertahankan kelestarian lingkungan laut dan pesisirnya agar tetap bisa mendukung pengambilan kekayaan laut secara berkesinambungan. Disini terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan untuk pembangunan di satu pihak dengan keperluan untuk melindungi kelestarian lingkungan di pihak lain. Manifestasi dari ketidak seimbangan ini diwujudkan dalam pengambilan kekayaan laut yang berlebihan, cara penangkapan ikan yang merusak, pengrusakan habitat, konservasi dari pada jenis makhluk laut yang langka dan terancam serta pencemaran laut. 5.2.1 Efektifitas Pengelolaan dan Pemberdayaan Laut Uraian permasalahan yang ditemukan dalam pengelolaan dan pemberdayaan potensi kelautan wilayah Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut: 61
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

a. Pengelolaan sumber daya ikan dan biota laut; b. Pengelolaan sumber daya minyak bumi dan mineral; c. Pengelolaan transportasi laut, industri dan jasa maritim; d. Pengelolaan laut untuk pelestarian lingkungan, pemukiman pantai pesisir dan penelitian ilmiah kelautan; e. Pengelolaan laut untuk pertahanan dan keamananan negara (hankamneg). Sejauh mana potensi laut merupakan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dapat diuraikan sebagai berikut: a. Kekuatan, laut Indonesia mengandung kekayaan alam beraneka ragam yang belum dikelola secara optimal untuk dimanfaatkan sebagai lahan mata pencaharian dan sumber kehidupan bangsa Indonesia pada masa mendatang. b. Kelemahan, untuk mengelola laut sebagai perekat persatuan bangsa membutuhkan sarana dan prasarana berteknologi dan SDM dengan biaya tinggi. Bila tidak dikelola dengan baik akan berbalik menjadi media yang penuh dengan ancaman khususnya media Hankam sebagai jalan masuknya infiltrasi dan kerusakan lingkungan laut. c. Peluang, kegiatan pembangunan laut menjanjikan terbukanya lapangan kerja bagi penduduk Indonesia yang jumlah tenaga kerjanya cukup besar sekali sekaligus diberdayakan untuk mengelola potensi laut untuk kesejahteraan bangsa. d. Ancaman, posisi silang geografi negara kepulauan nusantara Indonesia menjadi lalu lintas komoditi kebutuhan manusia hidup didunia. Sehingga perairan nusantara menjadi pengamatan / perhatian banyak negara karena kepentingan lalu lintas perdagangan dan ekonominya maka landas benua untuk menentukan batas wilayah laut juga merupakan sumber konflik di masa mendatang. Berdasarkan analisis terhadap permasalahan yang timbul dalam pembangunan kelautan dihadapkan kepada strengths (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunities (peluang) dan threats (ancaman) maka kelompok-kelompok pengelolaan potensi kelautan tersebut dapat diantisipasi effektifitasnya sebagai berikut: a. Pengelolaan sumberdaya ikan dan biota laut dilakukan dengan: 1) Memanfaatkan sumber daya penghasilan ikan dari usaha penangkapan maupun budidaya tidak melampaui kapasitas (overfishing). 62
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

2) Mengalihkan operasional penangkapan ikan dan budidaya ikan ke daerah yang masih sama sekali belum dimanfaatkan, untuk menghindari perairan yang telah melampaui daya dukung lingkungan guna menjaga kelestarian sumberdaya ikan dari ancaman kepunahan. 3) Mengfokuskan usaha penangkapan ikan dan budidaya tidak hanya pada komoditas konvensional seperti jenis ikan tuna, cakalang dan udang, karena perairan nusantara Indonesia memiliki ribuan spesies biota laut seperti jenis kerang-kerang laut, rumput laut dan biota laut lainnya yang permintaan dunia semakin meningkat untuk bahan baku industri bioteknologi laut pembuat obatobatan, kosmetika termasuk pangan. 4) Memperbaiki kondisi lingkungan yang telah rusak kelestariannya seperti menghidupkan kembali (reboisasi) hutan bakau yang telah punah, konservasi daerah terumbu karang dan mencegah serta memperbaiki lingkungan yang telah tercemar. 5) Menggunakan teknologi pengawetan ikan atau pengalengan ikan dan lemari pendingin penyimpan ikan agar tetap segar karena ikan merupakan bahan makanan yang mudah busuk, sehingga sering ditolak oleh konsumen. 6) Mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan pasar dan pesaing ikan untuk memperinci kebutuhan pasar domestik dan global menurut jenis, ukuran komoditas, waktu dan lokasi untuk menetukan daya saing dalam sistem perdagangan dunia. 7) Meningkatkan kemampuan galangan kapal penangkap ikan nasional agar bersaing dipasaran global. 8) Meningkatkan kemampuan industri pembuat peralatan penangkap ikan seperti pembuat jaring alat tangkap ikan, pancing, pelampung dan tali temali yang masih kalah bersaing dengan produk luar negeri mengakibatkan ketergatungan hasil penangkapan terhadap luar negeri. 9) Meningkatkan kinerja dan manajemen pelabuhan ikan nasional dalam kualitas pelayanan. 10) Meningkatkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) perikanan dan sumber daya manusia dan memperpendek birokrasi perijinan penangkapan ikan. 63
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

b.

Pengelolaan sumberdaya tambang minyak dan mineral dilakukan dengan: 1) Melaksanakan pendidikan tenaga ahli yang terampil dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan untuk menghadapi resiko tinggi ekploitasi / ekploirasi, data based yang lengkap dengan akurasi yang tinggi, keterbatasan dalam permodalan, sarana dan prasarana penunjang. 2) Menyelesaikan batas landas yang belum mendapat kesepakatan dengan negara tetangga yang potensial menjadi konflik masa mendatang. 3) Melakukan intensifikasi terus menerus dalam menawarkan proyek-proyek pertambangan dan energi ke negara maju (sebagai investor) terhadap suasana kompetitif dari negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin yang menawarkan kondisi kontrak dan sistem insentif yang lebih baik dari Indonesia.

c.

Pengelolaan transportasi laut, industri dan jasa maritim dilaksanakan dengan: 1) Memanfaatkan potensi pelayaran nasional dalam percaturan muatan dalam negeri dengan menggunakan kapal nasional yang memiliki daya saing dan efisiensi tinggi termasuk harga kapal, biaya operasi, modal kerja, beban pajak dan bea pabean. 2) Mempertahankan tingkat suku bunga pada sekitar 18% pertahun sehingga dapat memperkuat daya saing kapal nasional Indonesia dan menambah investasi armada nasional. 3) Mengharapkan kebijaksanaan pemerintah untuk menyederhanakan tata cara pengadaan dan pendaftaran kapal serta mempertahankan secara konsisten mengenai ditanggungnya oleh pemerintah atas pajak pertambahan nilai (PPN) impor kapal, jual beli kapal, charter kapal, keagenan dan pengenaan jasa pelabuhan. Perlakuan single tax tariff terhadap penghasilan pengangkutan orang dan atau barang termasuk penyewaan tetap dilaksanakan. 4) Membatasi pendirian perusahaan pelayaran yang selama ini dapat diperoleh dengan mudah tetapi tidak diimbangi dengan penambahan armada yang mengakibatkan timbulnya persaingan yang tajam karena pemenuhan kebutuhan jasa pelayaran cederung lebih besar dari permintaannya. 5) Menambah fasilitas dermaga pelabuhan untuk mengimbangi kunjungan kapal yang pada waktu-waktu tertentu kekurangan tempat bersandar beserta 64
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

dukungan peralatan bongkar muat, dukungan aksesibilitas dari pelabuhan ke gudang atau sebaliknya untuk menghindari biaya operasional tidak effektif. 6) Menambah fasilitas dok dan galangan perbaikan kapal yang tidak merata dikota-kota pelabuhan di Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa untuk mengindari lamanya perbaikan kapal sehingga menyebabkan tidak tercapainya commision days kapal. 7) Pembangunan industri perkapalan untuk membuat kapal-kapal baru sangat diperlukan untuk pengembangan armada nasional guna melaksanakan azaz cabotage dengan lebih efektif. Hal tersebut mengantisifasi laju pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang baik dalam negeri maupun luar negeri atas pertumbuhan kemampuan / kapasitas angkut armada pelayaran nasional yang ada. Sebagai infomasi, meningkatnya penggunaan kapal berbendera asing untuk angkutan dalam negeri disebabkan azaz cabotage yang merupakan prinsip yang dianut oleh sebagian besar negara maritim dunia yang menyatakan bahwa angkutan di dalam suatu negara hanya dapat diangkut oleh kapal yang berbendera dari negara yang bersangkutan ternyata di Indonesia tidak berjalan. d. Pengelolaan laut untuk pelestarian lingkungan laut, pemukiman pantai penelitian ilmiah dilakukan dengan: 1) Pelaksanaan dan pengawasan secara konsisten UU No. 23 tahun 1997, tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, dan penjabarannya ke daerah / lapangan. 2) Mengevaluasi masalah lingkungan hidup di lapangan untuk mendapatkan solusi penyelesaiannya. 3) Melaksanakan sosialisasi tentang pentingnya lingkungan hidup di pantai dan pesisir untuk dipahami oleh masyarakat Indonesia. 4) Menetapkan tata ruang pantai dan pesisir khususnya pada daerah yang padat penduduknya. 5) Melengkapi sarana dan prasara pemukiman untuk kelestarian lingkungan seperti tersedianya air bersih (mandi, cuci, kakus / MCK), pembuangan sampah / limbah padat di darat, treatment (pengolahan) limbah cair agar limbah layak dibuang ke laut, pencegah banjir karena pasang surut air laut (pintu air dan 65
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

penahan ombak), saluran pembuangan, penataan kabel listrik, pipa air, kabel telepon dan lain-lain. 6) Membuat suatu lembaga atau institusi yang khusus menangani pembangunan kelautan mencakup didalamnya untuk menyelenggarakan pengawasan dan penelitian ekosistem dengan disiplin (ilmiah). e. Pengelolaan Laut untuk Hankamneg dilakukan dengan: 1) Mempertahankan kemampuan tempur TNI AL melalui komponen Sistem Senjata Armada Terpadu untuk dapat beroperasi di perairan Indonesia sepanjang tahun. 2) Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Hankamneg di laut secara bertahap sesuai dengan kemampuan ekonomi negara. 3) Meningkatkan pembangunan industri maritim dan galangan kapal karena kemampuan Hankamneg di laut tidak dapat lepas dari kemampuan industri maritim dan galangan kapal di Indonesia. 4) Menyelesaikan dan segera batas landas benua yang belum disepakati melalui diplomasi luar negeri dan melaksanakan evaluasi hukum laut internasional sesuai perkembangan globalisasi. 5) Menentukan posisi tiga Alur Laut utama Kepulauan Indonesia (ALKI) dan mensosialisasikan kepada dunia pelayaran.

5.3

Konsep Tata Ruang Terpadu Darat dan Laut Secara umum, perencanaan ruang adalah suatu proses penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang tersebut dilakukan melalui proses proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengikat semua pihak (Darwanto, 2000). Keunikan wilayah pesisir serta beragam sumber daya yang ada, mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu demi keberlanjutan sumber daya untuk masa yang akan datang. Keterpaduan (integrated) yang dimaksud meliputi (DKP 2002): 1. Integrasi Perencanaan Sektor Secara Horisontal, yaitu memadukan perencanaan dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian dan sektor konservasi yang berada di hulu, 66
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

perikanan, pariwisata, perhubungan laut, industri maritim, pertambangan lepas pantai, konservasi laut, dan sektor pengembangan kota. 2. Integrasi Perencanaan Secara Vertikal, meliputi integrasi kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai Nasional. 3. Integrasi Ekosistem Darat dengan Laut. Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis misalnya daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif propinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan sebagai basis perencanaan. Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan pesisir. 4. Integrasi Sains dengan Manajemen. Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan mempertimbangkan kondisi, karakteristik sosial-ekonomi budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat. 5. Integrasi antar Negara. Pengelolaan wilayah pesisir yang berbatasan dengan negara tetangga perlu mengintegrasikan kebijakan dan perencanaan pemanfaatan sumberdaya pesisir masing-masing negara. Integrasi kebijakan ataupun perencanaan antar negara antara lain mengendalikan faktor-faktor penyebab kerusakan sumberdaya pesisir yang bersifat lintas negara, seperti di antar Pulau Batam dengan Singapura.

5.4

Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan sudah selayaknya dikelola dengan baik dan optimal untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional sehingga dapat menjadikan negara Indonesia makmur, adil dan sejahtera. Karena meskipun pemanfataan sumber daya pesisir dan lautan telah dilakukan berabad-abad lamanya, tetapi wilayah pesisir dan lautan belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kondisi ini mendorong timbulnya disparitas antar wilayah yang semakin luas, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang cukup berlimpah. Sumber daya pesisir dan lautan memiliki berbagai sumber daya alam didalamnya, yang terbagi atas dua jenis, yaitu: 1. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), misalnya: sumber daya perikanan (perikanan tangkap dan budidaya), mangrove, dan terumbu karang. 67
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

2. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources), misalnya: minyak bumi, gas dan mineral, serta bahan tambang lainnya. Selain menyediakan dua sumber daya tersebut di atas, wilayah pesisir dan laut memiliki berbagai fungsi lainnya, seperti: transportasi dan pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, pariwisata, kawasan permukiman serta tempat pembuangan limbah. Selama ini pembangunan wilayah pesisir dan laut masih dilihat seperti pembangunan wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah perdesaan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena menurut RUU Pesisir, wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu: 1. Wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan; 2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan dan mencari makan; 3. Wilayahnya sempit, tapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut: 4. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; 5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional, serta mempunyai dimensi internasional. Jika diamati dengan seksama, persoalan pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan selama ini tidak optimal dan berkelanjutan disebabkan oleh beberapa factor kompleks yang saling berkaitan, dan dapat dikategorikan ke dalam faktor internal (berkaitan dengan kondisi internal sumber daya masyarakat pesisir dan nelayan) dan eksternal (Dra. Wahyuningsih Darajati, 2004). a. Faktor internal: 1. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya, teknologi dan manajemen usaha; 2. Pola usaha tradinsional dan subsistem (hanya cukup memenuhi kehidupan jangka pendek); 3. Keterbatasan kemampuan modal usaha; 4. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat pesisir dan nelayan. 68
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

b. Faktor eksternal: 1. Kebijakan pembangunan pesisir dan lautan yang lebih berorientasi pada produktifitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, bersifat sektoral, parsial dan kurang memihak nelayan tradisional; 2. Belum adanya kondisi kebijakan ekonomi makro (political economy), suku bunga yang masih tinggi, serta belum adanya program kredit lunak yang diperuntukan bagi sektor kelautan; 3. Kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, eksploitasi dan perusakan terumbu karang, serta penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan; 4. Sistem hukum dan kelembagaan yang belum memadai, disertai implementasinya yang lemah, dan birokrasi yang beretos kerja rendah serta sarat KKN; 5. Perilaku pengusaha yang hanya memburu keuntungan dengan mempertahankan sistem pemasaran yang menguntungkan pedagang perantara dan pengusaha; 6. Rendahnya kesadaran akan arti penting dan nilai strategis pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Jika dilihat dari sudut lingkungan hidup, lingkungan laut lebih rentan (vulnerable) daripada lingkungan darat, karena: 1. 2. 3. 4. 5. Lingkungan laut terdiri dari air sebagai massa yang senantiasa bergerak; Merupakan muara dari sungai yang menampung buangan dan berbagai aktifitas darat; Merupakan milik umum (common property) sehingga sulit diberikan hak pemilikan dan sulit diawasi; Sulit memberikan tapal batas sehingga ikan-ikan tidak mengenal pemilikan Negara; Memiliki sifat penggunaan ganda (multipurpose) laut untuk angkutan, habitat ikan, pertambangan minyak lepas pantai, tenaga energi gelombang, pariwisata, dan lain-lain. Beberapa permasalahan utama yang dihadapi oleh laut karena memiliki potensi penggunaan secara berganda adalah: a. Eksploitasi secara berlebihan sumber daya hayati ikan; b. Pencemaran laut akibat pembuangan balast oleh kapal, pembuangan minyak oleh eksploitasi minyak lepas pantai, pencemaran yang berasal dari darat; c. Pelumpuran (sedimentasi) yang berasal dari darat dan dibawa sungai ke muara; 69
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

d. Reklamasi laut untuk memperoleh lahan bagi pembangunan dan perubahan pulau kecil bagi kepentingan pariwisata, dan lain-lain; e. Pembuangan air panas dari tenaga listrik dan industri yang merubah suhu laut dengan berbagai dampaknya pada habitat laut. 5.5 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu Upaya pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Indonesia cenderung bersifat sektoral dan terkesan ekslusif. Ini terjadi karena pelaksanaan pengelolaannya selama ini dilakukan secara terpisah oleh instansi-instansi berwenang. Padahal karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan saling terkait satu sama lain secara ekologis dengan ekosistem lahan atas, serta beraneka sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan. Oleh karena itu konsep perencanaan mengenai pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara terpadu, yang berbasis pengorganisasian, prosedur, dan mekanisme kerja, harus segera diwujudkan. Dalam kaitannya dengan pengendalian wilayah pesisir dan laut, terdapat tiga bidang utama dapat dijadikan dasar melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut berkelanjutan, yaitu: 1. Bidang kewilayahan, diperlukan suatu penataan ruang pesisir laut terpadu. 2. Bidang ekosistem, diperlukan suatu keseimbangan ekosistem di laut. 3. Bidang fisik (geologi/geografi/geomorfologi laut), dan dinamik (interaksi obyek di laut) pesisir dan laut. Sedangkan dalam pelaksanaannya diperlukan keterpaduan dalam melaksanakan pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan. Aspek keterpaduan yang perlu dipertimbangkan adalah: 1. Keterpaduan antar sektor pembangunan terkait. 2. Keterpaduan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. 3. Keterpaduan wilayah garapan. 4. Keterpaduan multi-disiplin ilmu. 5. Keterpaduan produk dan teknologi. 6. Keterpaduan hukum dan penegakkannya. 70
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

7. Keterpaduan pelaksanaan dan kewenangan. 5.6 Governance dalam Pengelolaan Kelautan Dengan jumlah pulau sekitar 17.508 dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia juga dikenal sebagai negara mega-biodiversity dalam hal keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem pesisir dan lautan. Dengan perkataan lain, dari sisi kemampuan memproduksi (supply capacity) barang dan jasa pesisir dan lautan, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi pembangunan yang masih besar dan terbuka lebar untuk berbagai pilihan pembangunan. Sementara itu, dari sisi permintaan kebutuhan manusia akan produk dan jasa pesisir dan lautan, diyakini akan berlipat ganda di masa-masa mendatang. Hal ini berdasarkan pada beberapa alasan utama, yaitu: jumlah penduduk dunia yang terus meningkat, kesadaran umat manusia akan arti penting produk makanan laut (seafood) bagi kesehatan dan kecerdasan, dan semakin berkurangnya sumberdaya alam di darat bagi keperluan pembangunan. Oleh karena itu, jika dikelola dengan tepat dan benar, sumberdaya pesisir dan lautan sesungguhnya dapat merupakan tumpuan dan sumber pertumbuhan baru bagi pembangunan ekonomi Indonesia secara berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat yang maju dan mandiri serta adil dan makmur. Pengalaman bangsa Indonesia membangun sumber daya pesisir dan lautan selama kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I telah menghasilkan sejumlah keberhasilan (seperti dalam bentuk peningkatan perolehan devisa, pendapatan asli daerah, dan penyerapan tenaga kerja). Akan tetapi peningkatan devisa melalui melalui sumberdaya pesisir dan lautan tersebut juga menyisakan berbagai permasalahan mendasar yang dikhawatirkan dapat mengancam kesinambungan (sustainability) pembangunan itu sendiri. Kecenderungan pembangunan sumberdaya pesisir ke arah yang tidak berkelanjutan (unsustainable development), pada dasarnya disebabkan karena paradigma dan praktek pembangunan yang selama ini diterapkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pola pembangunan pesisir dan lautan dalam kurun PJP I cenderung bersifat ekstraktif, kepentingan ekonomi pusat lebih diutamakan daripada ekonomi masyarakat setempat (pesisir), dan penuh kesenjangan. Kecenderungan ini tercermin pada praktek pengaturan penyelenggaraan pembangunan sumber daya pesisir dan lautan yang jauh dari kebaikan (good governance), yang antara lain seharusnya bersifat partisipatif, 71
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

transparan, dapat dipertanggungjawabkan (accountable), efektif dan efisien, pemerataan, dan mendukung supremasi hukum. Analisis kualitas governance dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia mengacu pada karakteristik umum good governance yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) yaitu, partisipasi, transparansi, effektivitas dan efisiensi, implementasi peraturan dan perundang-undangan, pemerataan (equity) dan tanggung jawab (accountibility). Dalam praktek pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang telah dan kini sedang berlangsung di Indonesia, prinsip partisipasi sebagaimana dikehendaki oleh good governance tidak berjalan dengan baik. Di satu sisi, terdapat sejumlah instansi pemerintah sesuai dengan sektornya melakukan berbagai kebijakan pengelolaan, di sisi lain ada pihak-pihak yang mestinya terlibat dalam pengelolaan tersebut justru tidak diikutsertakan secara proporsional. Bahkan, masing-masing instansi sektoral terkesan tidak peduli dengan pihak-pihak lain. Instansi-instansi tersebut merupakan instansi sektoral utama yang paling banyak berkecimpung dan berkepentingan dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun di sisi lain, yang seharusnya juga ikut terlibat dalam berbagai pengambilan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan tersebut, seperti DPR, Pemerintah Daerah (Pemda), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak diikutsertakan. Efisiensi dan efektifitas merupakan salah satu karakteristik good governance dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Berkaitan dengan karakteristik ini, sedikitnya, ada tiga hal yang perlu dicermati. Pertama, efisiensi dan efektifitas dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan. Kedua, efisiensi dan efektifitas dalam pemanfaatan anggaran pembangunan pesisir dan lautan. Ketiga, berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya daya alam. Perubahan tata aturan (governance) dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan merupakan suatu keharusan. Untuk sampai kepada suatu good governance dalam sektor kelautan harus ada perubahan yang mendasar dalam beberapa hal, yaitu: a. Kriteria keberhasilan pembangunan, selama ini kriteria keberhasilan pembangunan suatu wilayah masih berdasarkan pada pertumbuhan ekonominya, sedangkan kriteria berdasarkan lingkungan mempunyai porsi penilaian sangat kecil. 72
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

b. Perubahan peraturan dan perundang-undangan yang lebih memihak kepada kepentingan rakyat kebanyakan, bukan hanya melindungi kepentingan segelintir orang atau pengusaha. c. Perlu UU Pemda yang memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah dalam hal pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, serta memberikan perimbangan keuangan yang adil. d. Masing-masing daerah harus membuat suatu rencana tata ruang untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan, sesuai dengan kewenangan yang dimiliki; peraturan tentang pemanfaatan sumberdaya hayati secara optimal dan lestari; dan peraturan mengenai pengendalian pencemaran serta pengendalian perusakan fisik habitat pesisir. e. Pemerintah harus memiliki keberanian politik melakukan dan membuat berbagai kebijakan secara transparan, adil, efisien dan bertanggung jawab. f. Komponen bangsa lainnya, yaitu masyarakat, swasta dan pihak-pihak yang berkepentingan harus berperan aktif dan terlibat dalam segenap proses kebijakan yang dilindungi oleh UU, dimana peran media juga sangat penting. g. Hukum sebagai institusi tertinggi harus benar-benar ditegakan dan semua pihak harus tunduk dan berada di bawah hukum tersebut. h. Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis sumber daya pesisir dan lautan bagi pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif, kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta. i. Perlu dibangun sistem informasi kelautan yang terpercaya dan sesuai dengan kebutuhan para pengguna (users needs).

73
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Pengelolaan lingkungan hidup untuk kehidupan kenyataannya lebih didominasi oleh kepentingan mendapatkan keuntungan dan meletakkan kepentingan publik dan generasi mendatang dalam urutan terakhir. Wacana dan praktek pertumbuhan dan pembangunan, sekalipun telah dibungkus dengan berbagai konsep yang partisipatif dan karitatif dari perusahaan telah memicu sejumlah kasus lingkungan di level masyarakat dalam dua dekade belakangan ini, karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dan penyangkalan hak lingkungan rakyat. 2. Krisis ekologi dan kerusakan lingkungan yang mengarah pada ecocide di Indonesia. Indikator lain adalah banyaknya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, juga disebabkan oleh: a. Lahirnnya Kebijakan-kebijakan, seperti UU Perkebunan, UU SDA, UU Perikanan, Perpu 1/2004, kelahirannya karena kepentingan politik serta didominasi oleh semangat liberalisasi dan privatisasi; b. Kebijakan yang dijalankan masih tumpang tindih dan bersifat egosentrisme, karena tidak adanya prinsip pengelolaan yang berkesinambungan serta sikap yang mengingkari TAP MPR No.IX/2001 tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam; c. Kriminalisasi atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat korban yang menuntut hakhak keadilan sosial dan ekologi. d. Keterlibatan aparat militer dalam bisnis Sumberdaya Alam.

Banyak orang berpandangan pesimistik melihat sejumlah kebijakan yang telah disahkan oleh parlemen periode 1999-2004. Paling tidak, ada tiga peraturan dan perundangundangan yang akan menambah parahnya kerusakan lingkungan hidup di Indonesia, yaitu Perpu No 1/ 2004 pengganti undang-undang tentang pertambangan di hutan lindung, UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air serta UU perkebunan. B. Rekomendasi 74
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

1. HAL (Hak Atas Lingkungan) penting dimasukan sebagai prisip di dalam semua kebijakan dan perundang-undang di tingkat internasional, regional, dan nasional, yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagaimana pula dapat terimplementasikan sampai pada tahap pelaksanaan. 2. Pemerintah harus membuat visi dalam bentuk cetak biru lingkungan hidup sebagai pijakan praksis dalam pengimplementasian pembangunan lingkungan hidup yang dapat diakses oleh rakyat. 3. Diperlukan peradilan lingkungan hidup yang independen dan berkeadilan, yang sifatnya ad hoc bagi para penjahat lingkungan yang selama ini telah menyebabkan berbagai bencana, kemiskinan struktural serta kejahatan lingkungan di Indonesia. 4. Perlu diperjuangkan dan diupayakan pengesahan deklarasi HAM dan Lingkungan hidup, seperti yang pernah diajukan pada tahun 1994 di PBB, agar menjadi norma baru dalam penegakan HAL sebagai hak asasi rakyat. 5. Perlu juga ada aturan yang jelas, untuk diberikan sanksi kepada pemerintah yang memberikan izin tidak sesuai dengan aturan sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. 6. Diperlukan suatu badan hukum (badan khusus) yang menangani keselamatan dan keamanan di laut yang terdapat di wilayah yuridis.

75
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D. G. 2000. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir, Laut dan Pulaupulau Kecil. Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dahuri, R. dan A. Damar. 1994. Metode dan teknik Analisis Kualitas Air, dalam Kumpulan Makalah Kursus Amdal Tipe B. Kerjasama PSL-Undana, Kupang dan Bapedal Kupang, Kupang. Dahuri, Rokhmin. dkk. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Rencana Strategi Pembangunan Jangka Menengah Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Homepage Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, http://www.depnakertrans.go.id Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. Rencana Aksi Terpadu Pengembangan Pulau Enggano Kab. Bengkulu Utara, Bengkulu. 2004. Jakarta. Kamaluddin, Laode M. 2002. Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sastrawijaya dan A. Tresna. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta. Sekretariat Dewan Maritim Indonesia. 2000. Laporan Penyelenggaraan Sarasehan Nasional Dewan Maritim Indonesia, Buku 2: Makalah Utama dan Makalah Penunjang. Jakarta. Siahainenia, Laura. 2001. Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana/S3: Pencemaran Laut, Dampak dan Penanggulanggannya. Institut Pertanian Bogor. Suratmo, F.G. 1990. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Jogja. Wiryawan, B. 2002. Karakteristik dan Dinamika Sumberdaya Fisik dan Lingkungan Pesisir dan Lautan. Materi Kuliah pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program Pascasarjana IPB. Zamani, N.P dan Darmawan. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat. Dalam Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

76
Naskah Akademis Dalam Rangka Menuju Perbaikan Kebijakan Lingkungan Pada Aktivitas Industri Maritim

You might also like