You are on page 1of 10

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam sejarah penggunaan kurikulum di Indonesia setelah merdeka, ada sepuluh kurikulum yang pernah dipakai, yaitu kurikulum paska kemerdekaan 1947, 1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK yang disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau disingkat KTSP (Sudrajat : 2010). Kurikulum itu disusun oleh pemerintah, dengan tujuan utama agar setiap warga negara, dimanapun ia bersekolah, mempunyai kesempatan memperoleh pengalaman belajar yang sejenis (Ali, 1992 : 1). Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustasi karena membingungkan (Amri & Ahmadi, 2010 : 62). Jadi, kurikulum yang berubah-ubah kadang hanya membingungkan guru di sekolah sebagai pelaksana kurikulum tersebut dan menimbulkan beberapa masalah dalam pelaksanaan proses belajar mengajar di sekolah. Salah satu masalah yang dihadapi oleh guru bahkan dirasakan langusng oleh siswa adalah mata pelajaran dan pokok bahasan dari setiap mata pelajaran tersebut yang terlalu banyak. Pada sekolah menengah pertama atau setingkat, saat ini saja, kurang lebih dalam satu semester para siswa harus menghadapi 11 sampai 12 mata pelajaran sekaligus. Belum lagi beberapa pokok bahasan dari setiap mata pelajaran tersebut dan kegitan lain di sekolah yang cukup banyak, sehingga

kadang hanya membuat siswa frustasi dalam belajar di sekolah. Seperti halnya pendapat Roestiyah (2008 : 132), bila hanya menggunakan seluruh jam pelajaran yang ada untuk tiap mata pelajaran, hal itu tidak akan mencukupi tuntutan luasnya pelajaran yang diharuskan, seperti yang tercantum dalam kurikulum. Berdasarkan pengalaman peneliti, hal tersebut yang merupakan salah satu masalah guru dalam menerapkan pelajaran matematika di sekolah. Seorang guru diuntut bisa menyampaikan seluruh pokok bahasan matematika yang banyak dengan waktu sedikit. Sehingga, kadang guru mengajar siswa dengan metode ceramah yang kadang di selangi latihan soal dalam LKS atau buku paket. Proses belajar tersebut cenderung kaku dan hanya bertujuan agar materi dapat tersampaikan seluruhnya dengan berharap siswa dapat mengikuti pelajaran tersebut dan mengerti. Jelas dengan metode tersebut, siswa akan merasa cepat bosan dan jenuh, sehingga belajar matematika menjadi jauh dari kata menyenangkan. Sehingga, siswa hanya akan terpaksa belajar matematika karena kewajiban, tidak menjiwai pelajaran matematika tersebut. Sehingga anggapan pelajaran matematika sulit dan tidak menyenangkan pun akan semakin melekat, hal itu membuat belajar maupun mengajar matematika akan semakin sulit. Padahal menurut pendapat Comenius (Krisbheda : 2010) Pendidikan atau mengajar akan menjadi mudah dan menyenangkan apabila mengikuti proses yang terjadi dalam alam. Hal itu terjadi apabila, pertama, memulai sedini mungkin sebelum jiwa dan kepribadian peserta didik, murid atau siswa dirusak oleh berbagai kepentingan. Kedua, jiwa dan kepribadian harus dipersiapkan sebaik mungkin unuk menerima pendidikan. Siuasi dan iklim pendidikan harus diciptakan secara kundusif. Ketiga, pendidikan harus berlangsung dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus, dengan

memulai dari hal-hal yang mudah dan berproses menuju hal-hal yang sukar. Keempat, murid atau pelajar tidak dibebani dengan banyaknya mata pelajaran. Pelajaran matematika yang kurang disukai menimbulkan kurangnya minat siswa terhadap pelajaran tersebut. Hal tersebut berdampak pada hasil belajar siswa yang rendah. Berdasarkan hasil ujian nasional 2011 (Seputar Indonesia : 2011) diperoleh nilai rata-rata pelajaran matematika hanya 7.50 dengan nilai minimum 0.80. Data tersebut memperlihatkan rendahnya nilai matematika jika

dibandingkan dengan pelajaran lain. Rendahnya nilai matematika tesebut, salah satunya seperti yang disebutkan sebelumnya, disebabkan oleh karena kurangnya minat siswa terhadap pelajaran matematika karena menganggap pelajaran tersebut sulit dipelajari dan tidak menyenangkan sama sekali. Munculnya anggapan tersebut disebabkan kurangnya pemahaman siswa terhadap pelajaran tersebut, akibat dari metode belajar di kelas yang monoton dan cenderung menuju ke pemecahan soal-soal dalam LKS bukan pada ke pemahaman materi. Sehingga jika siswa diberi soal yang berbeda dari soal yang pernah mereka kerjakan dalam LKS, siswa cenderung sulit untuk mengerjakannya. Jadi, siswa dibentuk seperti sebuah mesin dengan program tertentu. Metode pembelajaran ceramah ditambah dengan latihan soal yang

cenderung monoton tersebut memang bukan tanpa alasan, seorang guru melakukan hal tersebut karena tuntutan kurikulum yang mengharuskan mereka mengajarkan pokok bahasan yang banyak dengan jam belajar yang sedikit. Sehingga, tidak ada pilihan lain bagi guru untuk melakukan metode seperti itu,

karena metode tersebutlah yang dianggap paling relevan untuk diterapkan pada keadaan sistem pendidikan seperti sekarang. Karena seorang guru tidak mungkin merubah kurikulum dan jam pelajaran seenaknya. Dengan banyaknya kegiatan pendidikan di sekolah, dalam usaha meningkatkan mutu dan frekuensi isi pelajaran, maka sangat menyita waktu siswa untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar tersebut (Roestiyah, 2008 : 132). Pendidikan di Indonesia baru sebatas mencetak anak-anak pintar. Belum mampu mencetak anak-anak kreatif, ini karena sistem pendidikan di Indonesia terlalu banyak memiliki mata pelajaran, sehingga mengesampingkan kreatifitas dan mendidik anak hanya mahir menghafal dan menghafal (Beritasrurabaya : 2012). Lebih lanjut, menurut Fahmi Idris (Beritasurabaya : 2012), di negara lain, seperti singapura, siswa SD hingga SMA tidak diberi mata pelajaran terlalu banyak, tapi anak didik diberi kesempatan berkreasi, sehingga mereka didorong menjadi anakanak yang kreatif dan inovatif. Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu adanya suatu strategi yang tepat dari seorang guru matematika untuk memecahkan permasalahan tersebut. Strategi yang relevan yang dapat digunakan dalam kondisi sistem pendidikan dan kurikulum di Indonesia seperti sekarang dan dapat merubah stigma matematika yang sulit dan membosankan menjadi pelajaran yang dianggap mudah dan menyenangkan untuk dipelajari. Banyak sekali teknik mengajar yang dapat diterapkan dalam kelas untuk pelajaran matematika, mulai dari strategi, metode, sampai model belajar yang paling baru dan diuji di luar negeri. Seperti model pembelajaran Students Team

Achievement (STAD), Times Games Tournament (TGT), Number Head Together (NHT), metode Drill (latihan), sampai yang terkenal yaitu Quantum Learning dan banyak lagi yang lainnya. Namun peneliti berpikir bahwa model-model seperti STAD, TGT, sampai Quantum Learning tidak terlalu cocok diterapkan pada sistem pembelajaran sekolah di Indonesia umumnya. Hal itu disebabkan model-model tersebut menyita waktu belajar yang lumayan lama, karena menekankan kepada pemahaman konsep siswa, jadi diharapkan siswa dapat mengerti penuh pelajaran yang diajarkan. Dengan pokok bahasan yang banyak dan waktu belajar maksimal sehari hanya dua jam pelajaran dengan alokasi satu jam pelajaran yaitu 40 menit (di SMP). Maka, penulis beranggapan jika penerapan model-model tersebut tidak akan cukup membantu. Pengalaman membuktikan bahwa kegagalan pengajaran salah satunya disebabkan oleh pemilihan metode yang kurang tepat. Kelas yang kurang bergairah dan kondisi anak didik yang kurang kreatif dikarenakan penentuan metode yang kurang sesuai dengan sifat bahan dan tidak sesuai dengan tujuan pengajaran (Djamarah & Zain, 2002 : 86) Penulis beranggapan metode ceramah ditambah latihan yang umum dilaksanakan oleh guru matematika sekarang ini adalah metode yang cukup tepat untuk diterapkan pada sistem dan kurikulum yang berlaku di Indonesia saat ini. Metode tersebut cukup efektif dalam menampung banyak pokok bahasan dan jam pelajaran yang tidak terlalu lama. Namun permasalahnnya, seperti dibahas sebelumnya, metode tersebut cenderung monoton dan kurang menarik.

Maka dari itu penulis mengambil metode penugasan terbimbing sebagai alternatif pemecahan masalah tersebut. Metode ini tidak terlalu berbeda dengan metode yang biasa digunakan guru matematika dalam mengajar di kelas. Idenya peneliti ingin mengemas metode yang biasa menjadi lebih menarik dan memberikan tantangan pada siswa. Sehingga siswa dapat lebih antusias belajar dan terlibat langsung dalam pembelajaran matematika, tidak hanya

memperhatikan dan mengerjakan soal saja. Lebih dari itu, metode penugasan terbimbing ini juga dikemas seefektif mungkin, sehingga tidak memakan waktu lama, namun diharapkan dapat meningkatkan pemahaman kognitif siswa. Metode penugasan adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar (Djamarah & Zain, 2002 : 96). Teknik pemberian tugas atau resitasi biasanya digunakan dengan tujuan agar siswa memiliki hasil belajar yang lebih mantap, karena siswa melaksanakan latihan selama melakukan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu dapat lebih terintegrasi (Roestiyah, 2008 : 133). Metode pemberian tugas ini terpusat pada siswa yang mengerjakan tugas di kelas dengan arahan dari guru, sehingga siswa dapat mengerjakan tugas dengan mandiri namun tetap terarah karena dibimbing langsung oleh guru. Maka metode ini dinamakan metode pemberian tugas terbimbing. Miller berpendapat (Firmansyah : 2009), Bimbingan adalah proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal di sekolah, keluarga dan masyarakat.

Tugas yang diberikan pada siswa adalah tugas yang khusus dibuat oleh guru. Pembuatan tugas tersebut dipersiapkan dengan matang oleh guru dengan memperhatikan kemampuan siswa, tujuan, materi, dan alokasi waktu yang dibutuhkan. Ketika siswa mengerjakan tugas, guru membimbing siswa dengan memberikan arahan-arahan sampai siswa memahami tujuan diberikannya tugas tersebut, dan pada akhirnya siswa dapat mengerti materi yang diajarkan. Dalam penelitian ini materi yang diajarkan adalah garis dan sudut dimana diperlukan peragaan dan keterampilan menggambar dengan menggunakan penggaris dan busur untuk bisa memahami materi tersebut. Maka dengan memberikan tugas menggambar dengan penggaris dan busur, siswa diharapkan dapat terampil dan dapat mamahami dan menjiwai materi tersebut. Lebih lanjut, siswa diharapkan dapat merasa senang dalam belajar, dan dapat merubah paradigma pelajaran matematika menjadi lebih menarik. Berdasarkan pemaparan dan temuan-temuan diatas, maka penulis merasa tertarik melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Metode Pemberian Tugas Terbimbing Terhadap Pemahaman Kognitif Siswa SMP Pada Pokok Bahasan Garis dan Sudut.

B. Rumusan & Batasan Masalah Rumusan Masalah : 1. Apakah terdapat pengaruh pemahaman kognitif antara siswa yang menggunakan metode penugasan terbimbing dengan yang tidak

menggunakan metode penugasan terbimbing (metode konvensional) ? 2. Bagaimana respon siswa terhadap metode penugasan terbimbing ? Batasan Masalah : 1. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Cugenang. 2. Penelitian ini dilakukan khusus pada pokok bahasan garis dan sudut dengan metode penugasan terbimbing. 3. Permasalahan yang diteliti yaitu pengaruh pemahaman kognitif siswa, yang diukur pada pokok bahasan garis dan sudut.

C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah dipaparkan, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan pemahaman kognitif, antara siswa yang menggunakan metode penugasan terbimbing dengan siswa yang tidak menggunakan metode penugasan terbimbing (metode konvensional). 2. Untuk mengetahui respon siswa terhadap metode penugasan terbimbing.

D. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, terutama yang berhubungan langsung terhadap dunia pendidikan dan matematika, yaitu sebagai berikut : 1. Bagi Siswa Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, pengalaman baru, meningkatkan cara berfikir, dan merangsang kreatifitas siswa. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan antusiasme belajar matematika dan dapat memahaminya. 2. Bagi Guru Jika melalui penelitian ini ditemukan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode penugasan terbimbing dapat berpengaruh baik terhadap pemahaman kognitif siswa dibandingkan dengan yang

menggunakan metode konvensional, maka metode penugasan terbimbing ini dapat dijadikan solusi atau alternatif guru dalam melakukan proses belajar mengajar matematika di kelas, khususnya dalam pokok bahasan garis dan sudut. 3. Bagi Sekolah Jika dengan metode ini bahwa pemahaman siswa lebih baik, maka metode ini dapat dijadikan oleh sekolah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Kemudian, hasil penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi dasar untuk perkembangan pembelajaran selanjutnya. 4. Bagi Peneliti

10

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan peneliti lain yang akan melakukan kegiatan penelitian selanjutnya.

E. Anggapan Dasar Menurut pendapat Winarno Surakhmad (Arikunto, 2010 : 104), anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyelidik. Adapaun anggapan dasar dari penelitian ini adalah Metode penugasan terbimbing dapat memberikan pengaruh yang besar dalam peningkatan pemahaman kognitif siswa.

G. Hipotesis Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permaslahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2010 : 110). Berdasarkan analisis tersebut, hipotesis dari penelitian ini adalah Terdapat pengaruh pemahaman kognitif yang cukup besar antara siswa yang mendapat pengajaran dengan metode penugasan terbimbing dengan siswa yang mengguankan metode konvensional.

You might also like