You are on page 1of 13

Etika Kedokteran dan Kontrasepsi

Shamalah Kandayah*
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta**

PENDAHULUAN Latar Belakang


Penyakit Menular Seksual (PMS) atau kadang-kadang disebut infeksi menular seksual (IMS) semakin meningkat di kalangan masyarakat sekarang yang disebabkan terutamanya oleh seks bebas. Kebanyakan penderita dengan PMS malu mendapatkan rawatan karena takut rahasia perbuatannya akan terbongkar apakah kepada ibu bapa, pasangan, kaum kerabat keluarga dan masyarakat. Di sini dokter bertanggungjawab dalam memberikan rawatan kepada pasien dan menjamin kepada pasien bahwa rahasianya akan tetap dijaga. Tapi yang menjadi masalah adalah PMS seperti penyakit Gonore adalah suatu penyakit yang juga bisa tertular kepada pasangan penderita jika tetap berhubungan dengan pasangannya seperti dari definisinya. Di sini, kedua pihak pasangan harus diobati supaya juga pasien itu dapat sembuh total. PMS memang memengaruhi baik pria maupun wanita. Namun masalah kesehatan dan konsekuensi jangka panjang PMS cenderung lebih parah pada wanita. Dokter harus mengambil tindakan yang bijak supaya tetap menjaga etika kedokterannya dan rahasia kedokteran dalam melakukan screening pada pasangan penderita dan memberikan rawatan jika ditemukan positif menghidap penyakit PMS pada pasangan tersebut.

Tujuan
1. Mengetahui prinsip-prinsip etika kedokteran 2. Mengetahui tentang informed consent 3. Mengetahui tentang rahasia kedokteran 4. Megetahui tentang dampak hukum megenai pembukaan rahasia kedokteran 5. Mengetahui tindakan dokter apabila pasien tersebut menderita AIDS.
*Shamalah Kandayah, **Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, jalan Arjuna Utara No 6, 11510 Jakarta Barat

SKENARIO
Seorang pasien laki-laki dating ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter terebut. Kali ini pasien laki-laki ini dating sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular. Istrinya juga harus diobati. Dokter berkompromi dengan laki-lak tersebut untuk berpikiran terbuka untuk membujuk istrinya melakukan general check up. Ternyata hasil pemeriksaan pada istri positif GO.

PEMBAHASAN Prinsip-prinsip Etika Kedokteran


Etika kedokteran adalah pengetahuan tentang perilaku profesional para dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam lafal sumpah dan kode etik masing-masing yang telah disusun oleh organisasi profesinya bersama-sama pemerintah.1 Terdapat 17 pasal yang tentukan menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang secara besar menyentuh tentang kewajiban umum dokter (pasal 1 9) , dan kewajiban dokter terhadap pasien (pasal 10-17). Dalam pasal 1 ditetapkan tentang sumpah dokter itu harus dijunjung tinggi, dihayati dan diamalkan oleh setiap dokter. Dari sumpah dokter, maka kita dapat lihat bahwa setiap dokter itu harus membaktikan hidupnya guna kepentingan kemanusiaan; menjalankan tugas yang terhormat dan bersusila sesuai martabat pekerjaannya sebagai seorang dokter; memelihara martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran; merahsiakan segala sesuatu yang ketahuinya karena keprofesiaanya; mempergunakan pengetahuan dokternya untuk sesuatu yang tidak bertentangan dengan perikemanusiaan; menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan; mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan kepentingan masyarakat; tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial, dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien; menghormati dan berterimakasih kepada guru-gurunya; memperlakukan teman sejawat seperti saudara kandung; mentaati dan mengamalkan KODEKI; dan mengikrarkan sumpahnya dengan sungguh-sungguh dan mepertaruhkan kehormatan dirinya. Pelanggaran etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEK IDI, sedangkan pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan. Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu:2 1. Autonomy Prinsip autonomy atau otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination, yaitu hak menentukan nasib sendiri)2 dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.1 3

2. 3. Beneficence Beneficence yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien.2

4. Non-maleficence Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do no harm.2.

5. Justice Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). 2 Dari skenario, sebagai seorang dokter, tersebut harus tetap mengikuti etika kedokteran yang ada, dan juga mengikuti prinsip-prinsip dalam etika kedokteran. Laki-laki tersebut dan juga istrinya itu keduanya adalah pasiennya si dokter tersebut. Dari segi prinsip autonomy, dokter harus memberikan hak kepada pasien laki-laki tersebut dalam menentukan tindakan medis yang akan dipilih dan hak untuk menyimpan rahasia laki-laki tersebut karena itu adalah autonomynya laki-laki tersebut. Jadi dokter tidak berhak memberitahu kepada istri laki-laki tersebut tentang penyakit yang dialami oleh laki-laki tersebut walaupun dokter tahu bahwa penyakit yang diderita laki-laki tersebut yaitu PMS dapat juga sudah tertular kepada istri laki-laki tersebut. Dari segi prinsip beneficence, dokter harus mengambil tindakan yang terbaik dalam memberikan penyembuhan kepada pasien laki-laki tersebut dan pada masa yang sama dari prinsip non-maleficence, dokter dilarang mengambil tindakan yang dapat memperburuk keadaan pasien laki-laki tersebut. Disini dokter harus menjelaskan kepada pasien tentang PMS dan 4

menjelaskan bahwa penyakit ini bisa ditularkan lagi kepadanya walaupun ia sudah berobat tapi istrinya tidak diobati. Maka, dokter harus mengambil tindakan yang benar dengan mengobati pasien laki-laki tersebut dan juga sang istrinya. Dari segi prinsip justice, si istri kepada laki-laki tersebut juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kesembuhan dari dokter tersebut. Jadi dokter harus merawat kedua-keduanya tanpa membuka rahasia pasien laki-laki tersebut dengan meminta si suami sendiri bilang ke istrinya.

Kerahasiaan Kedokteran
Kerahasiaan merupakan pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu. Dalam hal ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan, atau mengeluarkan informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu. Informasi yang bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.2 Tugas dokter untuk menjaga kerahasian informasi pasien merupakan dasar pokok dalam etka kedokteran sejak zaman Hippocrates. Sumpah Hippocrates menyebutkan: Apa yang mungkin aku lihat atau dengar dalam perawatan atau bahkan di luar perawatan yang saya lakukan yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang tidak disampaikan ke luar, saya akan menyimpannya sebagai sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan. Sumpah ini, dan versi yang lebih baru, tidak menempatkan perkecualian dalam tugas menjaga kerahasiaan. Kode Etik Kedokteran Internasional dari World Medical Association (WMA) menyatakan Seorang dokter harus menjaga kerahasiaan secara absolute mengenai yang dia ketahui tentang pasien-pasien mereka bahkan setelah pasien tersebut mati.3 Menurut sumpah dokter sesuai dengan Deklarasi Jenewa 1948 (Geneva Declaration 1948), Saya akan merahasiakan segala rahasia yang saya ketahui bahkan sesudah pasien meninggal dunia. Saya tidak akan mengizinkan pertimbangan umur, penyakit dan disabilitas, kepercayaan, asal etnik, gender, kewarganegaraan, affiliasi politik, ras, orientasi seksual.1 Kepercayaan merupakan bagian penting dalam hubungan dokter-pasien. Untuk dapat menerima perawatan medis, pasien harus membuka rahasia pribadi kepada dokter atau orang yang mungkin benar-benar asing bagi mereka mengenai informasi yang mungkin tidak ingin diketahui orang lain. Mereka pasti mempunyai alas an yang kuat untuk mempercayai orang yang memberikan perawatan bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi tersebut. Kepercayaan 5

merupakan standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi kesehatan harus menjaganya. Tanpa pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan selalu dijaga kerahasiaannya, pasien mungkin akan menahan informasi pribadi yang dapat mempersulit dokter dalam usahanya memberikan intervensi efektif atau dalam mencapai tujuan kesehatan public tertentu.3

Informed Consent
Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terpeutik. Tiap-tiap pihak, yaitu yang memberi pelayanan dan yang menerima pelayanan mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Informed artinya diberitahukan, telah disampaikan, atau telah diinformasikan. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian, informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.1 Yang dimaksud dengan informed atau memberi penjelasan di sini adalah semua keadaan yang berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medic apa yang akan dilakukan dokter serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau keluarga. Dalam Permenkes Nomor 589 tahun 1989 dijelaskan bahwa Persetujuan Tindakan Dokter (Informed Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindak medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Dari pengertian demikian, informed consent bisa dilihat dari dua sudut, yaitu pertama membicarakan informed consent dari pengertian umum dan kedua membicarakan informed consent dari pengertian khusus. Dalam pengertian umum, informed consent adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medic apapun yang akan dilakukan. Namun dalam pelayanan kesehatan sering pengertian kedua lebi dikenal, yatu informed consent yang dikaitkan dengan persetujuan atau izin tertulis dari pasien/keluarga pada tindakan invasif operatif atau tindakan invasif lain yang berisiko.1 Ada dua bentuk informed consent yaitu implied consent dan expressed consent. Implied consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien.1-3 Expressed consent adalah persetujuan yang dinyatakan secra lisan ataupun tulisan, bila yang dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang biasa.Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan dahulu tindakan apa yang akan dilakukan 6

supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya pemeriksaan dalam rectal atau pemeriksaan vaginal, mencabut kuku dan tindakan lain yang melenihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan tertulis. Persetujuan secara lisan sidah mencukupi.1,2 Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung risiko seperti tindakan pembedahan atas prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasive, sebaiknya didapatkan informed consent tertulis. Dalam Permenkes Nomor 585 tahun 1989 tentang informed consent, dinyatakan dokter harus menyampaikan atau menjelaskan informasi kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta. Jadi informasi harus disampaikan. Inti dari persetjuan adalah persetujuan haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental. Selain memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, informed consent itu penting juga kepada dokter dalam menjamin dokter tidak akan dihukum jika apa-apa masalah yang timbul seperti yang telah dijelaskan kepada pasien berlaku atas tindakan yang diberi dengan persetujuan pasien.

Aspek Hukum
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, terdapat pasal-pasal berkaitan dengan pelaksanaan praktik seorang dokter yaitu dengan pasiennya (Pasal 39); persetujuan kedokterani dalam menjalankan prakteknya (Pasal 45); rahasia kedokteran (Pasal 48) dan kewajiban dokter merahasiakan hal pasien (Pasal 51); dan hak pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran (Pasal 52) seperti berikut: Pasal 39 Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan peyakit dan pemulihan. 7

Pasal 45 (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup: (4) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan; alternatif tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (5) Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara bertulis maupun lisan. (6) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Pasal 48 (1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan prakrik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran. (1) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien. Pasal 51 Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Pasal 52 Pasien dalam, menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: (1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3), 8

(2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; (3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; (4) Menolak tindakan medis; dan mendapatkan isi rekam medis. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1966 dijelaskan tentang kewajiban simpan rahasia Kedokteran seperti berikut: Pasal 1: Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu tertentu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran. Pasal 2: Pengetahuan tersebu pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini menentukan yang lain. Pasal 3: Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah: a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang kesehatan b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan. Pasal 4: Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran, yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat melakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan. Pasal 5: Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenag dan kebijaksanaannya. 9

Pasal 6: Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan Pelinding Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu. Seperti dalam pasal 4 PP no 10/1966, tindak pidana yang dikenakan adalah berdasarkan pasal 322 yang seperti berikut: Pasal 322 KUHP: (1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. Tapi menurut 48 KUHP: Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Yaitu sini, apabila seorang dokter itu terpaksa membuka rahsua dokter karena dipaksa dengan ugutan dan atau diancam nyawa, dokter itu tidak akan dipidana. MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969 Dalam noodtoestand harus dilihat adanya: 1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum 2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum 3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum Pasal 49 KUHP: (1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta bnda sendiri maupun orang

10

lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. Pasal 50 KUHP Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.

Nice To Know : Jika Pasien Adalah Penderita HIV


Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien terhadap kerahasian. Deklarasi ini juga menyatakan adanya perkecualian terhadap kewajiban menjaga kerahasian, beberapa hal relatif tidak masalah, tetapi yang lain dapat memunculkan masalah etik yang sulit bagi dokter.Terhadap kerahasian yang diminta oleh hukum dokter mempunyai tugas etik untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin berada dalam bahaya karena pasien tersebut. Dua keadaan dimana hal ini dapat terjadi adalah saat pasien mengatakan kepada psikiater bahwa dia berniat menyakiti orang lain dan saat dokter yakin bahwa pasien yang dihadapinya HIV Positif namun tetap meneruskan hubungan seks yang tidak aman dengan pasangannya atau dengan orang lain. Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informasi kepada pasangan atau partner seksnya saat itu bukanlah suatu yang tidak etis dan bahkan dibenarkan jika pasien tidak bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia (mereka) dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar: partner beresiko terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi; pasien menolak memberi tahu pasangan seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter telah mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya.

11

KESIMPULAN
Dalam menjalankan tugas profesi kedokteran, seorang dokter itu harus mengamalkan etika kedokteran dan prinsip-prinsip etika kedokteran tersebut. Menjaga rahasia pasien itu sangatlah penting dalam profesi kedokteran karena melibatkan kepercayaan yang diberi kepada dokter oleh pasien karena tanpa kepercayaan tersebut, pasien tidak akan memberikan informasiinformasi yang penting kepada dokter yang mungkin penting dalam dokter gunakan untuk mengobati pasien tersebut. Sebelum melakukan tindakan ke atas pasien, dokter harus memberikan informed consent kepada pasien, sama ada secara expressed atau implied consent, lisan atau tertulis supaya pasien dapat mendapatkan penjelasan-penjelasan tentang tindakantindakan yang akan dilakukan ke atasnya dan juga demi kebaikan dokter supaya dokter tidak dituntut dengan syarat dokter melakukan tugasnya dengan benar. Terdapat hokum-hukum seperti Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1966 dijelaskan tentang kewajiban simpan rahasia Kedokteran yang harus dipatuhi oleh seorang dokter.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. 2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2005. 7-16, 53-5, 77-85 3. Sagiran. Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran Islam FK Universitas Muhammadiyah; 2006. 4. Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kedokteran. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1994. 17-8 5. World Medical Association. Medical Ethics Manual. 2nd Ed. 2009.

13

You might also like