You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Populasi adalah kumpulan makhluk hidup sejenis yang hidup di suatu tempat dan waktu tertentu. Populasi adalah kesatuan organisasi yang akan membentuk suatu ekosistem. Untuk mempelajari suatu ekosistem, kita harus mempelajari terlebih dahulu populasi-populasi dan komponen lingkungan yang membentuk ekosistem tersebut. Di lingkungan teresterial seperti ekosistem tanah, terdapat berbagai macam populasi. Populasi tersebut diantaranya populasi dekomposer yang memiliki peranan penting dalam proses perombakan bahan-bahan organik yang berasal dari jasad-jasad hewan ataupun tumbuhan. Salah satu dekomposer yang mudah diamati adalah cacing tanah. Cacing tanah merupakan dekomposer utama pada ekositem tanah. Cacing tanah memakan sisa-sisa tanaman yang membusuk dan menghasilkan sisa pencernaan (feses) yang merupakan sumber bahan organik tanah. Berdasarkan tempat hidupnya, cacing tanah dibedakan menjadi; 1) tipe epigeik : hidup di permukaan tanah, 2) tipe endogeik : hidup di dalam tanah, 3) tipe anecigeik : hidup di dalam tanah dan sekresi di permukaan tanah. Faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi populasi cacing tanah adalah pH tanah, kelengasan tanah, temperatur, aerasi, jenis tanah, dan suplai nutrisi. Jika faktor-faktor abiotik ini mendukung hidupnya cacing tanah, maka cacing tanah dapat hidup dengan baik di dalam tanah tersebut, dan tanah tersebut akan subur. Cacing tanah dapat digunakan sebagai bio-indikator dari kualitas tanah. Pada pertanian subur belum tercemar ditemukan biomassa cacing tanah lebih dari 60 gr tiap meter persegi. Pada tanah pertanian tercemar ringan didapati 30-60 gr biomassa cacing tanah. Sedangkan tanah pertanian tercemar berat hanya ditemukan kurang dari 30 gr biomassa cacing tanah tiap meter persegi tanah. Berdasarkan pemaparan di atas, untuk mengetahui kualitas tanah suatu wilayah, kita dapat melihatnya dari populasi dekomposer, karena keberadaan dekomposer dapat memberikan gambaran kualitas tanah. Oleh karena peranan

cacing tanah sebagai dekomposer di dalam ekosistem tanah yang begitu penting, maka dilakukan praktikum yang berjudul Populasi Dekomposer. 1.2. Tujuan Mengetahui macam-macam jenis cacing tanah pada tempat hidupnya Menentukan kualitas tanah dengan bio-indikator cacing tanah Menentukan kepadatan populasi cacing tanah dengan pengukuran biomassa Mengetahui pola penyebaran cacing tanah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993), populasi adalah kelompok kolektif organismeorganisme dari kelompok yang sama (atau kelompok-kelompok lain dimana individu-individu dapat bertukar informasi genetiknya) yang menduduki ruang dan tempat tertentu, memiliki berbagai ciri atau sifat yang merupakan milik yang unik dari kelompok dan bukan merupakan sifat milik individu di dalam kelompok itu. Populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu (Tarumingkeng, 1994). Dalam hierarki organisasi, populasi berada di bawah tingkatan ekosistem yang berarti populasi membangun suatu ekosistem. Dengan kata lain, mempelajari ekosistem berarti mempelajari populasi. Di ekositem tanah, terdapat populasi yang berperan penting dalam kesuburan tanah. Populasi tersebut adalah populasi dekomposer. Berdasarkan Irwan (2010), dekomposisi dihasilkan dari proses-proses biotik dan abiotik. Dekomposisi berlangsung melalui transformasi energi di dalam dan di antara organisme-organisme. Proses dekomposisi merupakan fungsi yang sangat penting, sebab jika proses ini tidak terjadi, semua makanan akan terikat pada tubuh-tubuh mati, dan dunia ini akan penuh oleh sisa-sisa dan bangkaibangkai. Hasil yang lebih tahan dari dekomposisi berakhir sebagi humus (senyawa-senyawa humik), yang merupakan komponen universal dari ekosistemekosistem. Tahap-tahap dekomposisi adalah sebagai berikut: 1. Pembentukan butiran-butiran kecil, sisa-sisa oleh aksi secara biologi. 2. Produksi humus yang relatif cepat serta pelepasan organik-organik yang larut oleh saprotrop-saprotrop. 3. Mineralisasi humus yang lebih perlahan-perlahan. Selanjutnya berdasarkan Irwan (2010), antara berbagai jasad renik, terdapat pembagian tugas dalam proses dekomposisi bangkai hewan. Sedangkan

jamur atau cendawan lebih banyak berperan dalam penguraian sisa-sisa tumbuhan atau kayu. Perlu diketahui pula bahwa sebelum terjadi penguraian oleh jasad renik, adakalanya hewan-hewan kecil seperti cacing, rayap, atau serangga tanah turut berperanan. Namun tanpa hewan-hewan kecil itupun jasad renik dapat melakukan dekomposisi secara langsung. Dalam ekosistem terlihat bahwa berbagai organisme pengurai secara langsung maupun tidak langsung mampu menyediakan makanan untuk organisme lain, dan gilirannya akan mempercepat proses dekomposisi. Dekomposer utama pada ekosistem tanah adalah cacing tanah. Cacing tanah termasuk ke dalam kelompok invertebrata, phylum Annelida, kelas Oligochaeta. Berdasarkan Wijayanti (2011), terdapat lebih dari 18.000 spesies cacing tanah yang sebagian besar diantaranya termasuk dalam genus Pheretima dan Lumbrikus. Menurut Hardjowigeno (2007), cacing tanah tersebar di seluruh dunia, dan meliputi sekitar 7.000 spesies. Berdasarkan Wijayanti (2011), cacing tanah memakan sisa-sisa tanaman yang membusuk dan menghasilkan sisa pencernaan (feses) yang merupakan sumber bahan organik tanah. Berdasarkan tempat hidupnya, cacing tanah dibedakan menjadi; 1) tipe epigeik : hidup di permukaan tanah, 2) tipe endogeik : hidup di dalam tanah, 3) tipe anecigeik : hidup di dalam tanah dan sekresi di permukaan tanah. Apabila dikaitkan dengan kedalaman perakaran tanaman, tipe epigeik dan anecigeik berpengaruh pada produktivitas tanaman keras dan tanaman kehutanan yang berakar dalam. Tipe epigeik meliputi spesies Dendrobaena octraeda, Octolasion lacteum, Allobofora fonga, dan A. Nocturna. Tipe epigeik hidup di permukaan tanah sampai kedalaman kurang dari 8 cm. Tipe ini mempunyai pergerakkan isi perut yang sedikit lambat, karenanya kurang berperan dalam pembentukkan selom tanah, tetapi sangat berperan dalam penggemburan tanah permukaan (Wijayanti, 2011). Berdasarkan Sutanto (2002), cacing yang hidup di permukaan tanah tidak dapat mengubah sifat fisik tanah, tetapi memberikan kontribusi yang cukup besar pada proses dekomposisi, mineralisasi dan mobilisasi hara yang berasal dari limbah organik.

Tipe endogeik meliputi cacing tanpa pigmen yang membuat terowongan permanen hingga kedalaman sekitar 45 cm. Tipe ini kebanyakan terdiri atas Lumbrikus terestris. Tipe endogeik paling rentan terhadap perubahan lingkungan yang buruk. Tindakan budidaya pertanian yang tidak ramah lingkungan paling berpengaruh terhadap tipe ini. Karena itu, cacing tipe endogeik merupakan bioindikator dari kerusakan tanah (Wijayanti, 2011). Tipe anecigeik mempunyai bobot paling berat serta berkebiasaan makan dan sekresi di permukaan tanah sehingga berperan paling penting dalam meningkatkan kadar biomassa serta kesuburan tanah permukaan. Tipe anecigeik meliputi Octolasion cyaneum serta Allobofora fonga dewasa (Wijayanti, 2011). Menurut Gult dalam Wijayanti (2011), Faktor-faktor abiotik yang mempengaruhi populasi cacing tanah adalah pH tanah, kelengasan tanah, temperatur, aerasi, jenis tanah, dan suplai nutrisi. Populasi cacing tanah paling banyak dijumpai pada tanah lempung ringan, pasir ringan, dan lempung sedang; kemudian pada tanah aluvial, liat, dan lempung berkrikil sedangkan paling sedikit pada tanah gambut. Cacing tanah mengaduk tanah dan memperbaiki tata udara tanah sehingga infiltrasi air menjadi lebih baik, dan mudah ditembus akar (Hardjowigeno, 2007). Cacing tanah dapat digunakan sebagai bio-indikator dari kualitas tanah. Pada pertanian subur belum tercemar ditemukan biomassa cacing tanah lebih dari 60 gr tiap meter persegi. Pada tanah pertanian tercemar ringan didapati 30-60 gr biomassa cacing tanah. Sedangkan tanah pertanian tercemar berat hanya ditemukan kurang dari 30 gr biomassa cacing tanah tiap meter persegi tanah (Wijayanti, 2011). Menurut Odum (1993), kerapatan/kepadatan populasi adalah besarnya populasi dalam hubungannya dengan satuan ruangan. Umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu, atau biomas populasi, per satuan areal atau volume. Dalam pengukuran kepadatan populasi, perlu diketahui pola penyebaran dari populasi tersebut. Menurut Odum (1993), penyebaran populasi adalah gerakan individuindividu atau anak-anaknya (biji-biji, spora, larva, dan sebagainya) ke dalam atau ke luar populasi atau daerah populasi. Individu-individu di dalam populasi dapat

menyebar menurut tiga pola: (1) acak, (2) seragam, (3) bergerombol (tidak teratur, tidak secara acak). Penyebaran secara acak relatif jarang di alam, terjadi di mana lingkungan sangat seragam dan terdapat padanya kecenderungan untuk berkumpul. Penyebaran seragam dapat terjadi di mana persaingan di antara individu sangat keras di mana terdapat antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama. Penggerombolan dari berbagai derajat mewakili pola yang paling umum, hampir merupakan aturan, apabila yang diperhatikan adalah individu-individu. Walaupun demikian, apabila individu-individu dari suatu populasi cenderung untuk membuat kelompok-kelompok dari ukuran tertentu, penyebaran dari kelomok-kelompok itu dapat lebih mendekati acak.

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Praktikum Ekologi dengan judul Populasi Dekomposer dilaksanakan pada tanggal 28 Maret 2011, bertempat di taman depan Perpustakaan Utama dan di dalam Pusat Laboratorium Terpadu, UIN Syarif Hidayatulullah Jakarta. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain peralatan tulis, penggaris, sekop, linggis, plastik sempel, koran, tisu, lux meter, sling psychrometer, termometer, soil tester, core sampler, cawan poreselen, timbangan elektrik, dan beberapa alat lainnya yang menunjang kelancaran praktikum. Sedangkan bahan yang digunakan adalah aquades dan tanah. 3.3. Cara Kerja Persiapan yang dilakukan sebelum praktikum adalah mempersiapkan alatalat yang diperlukan. Kemudian dilakukan pengukuran faktor abiotik yang meliputi intensitas cahaya, kelembaban udara, kelembaban tanah, pH tanah, dan suhu tanah. Setelah itu dilakukan penggalian tanah dengan ukuran (25 x 25) cm. Pertama, dibersihkan serasah penutup tanah pada petakan yang akan diamati. Setelah itu, dibatasi petak kuadrat dengan luas 625 cm2. Digali tanah sampai kedalaman kira-kira 5 cm. Diamati tanah dengan metode hand sorting, dilihat keberadaan cacing tanah. Setalah itu, digali tanah dari batas 5 cm sebelumnya sampai kedalaman 15 cm dari permukaan tanah. Diamati kembali keberadaan cacing tanah dengan metode hand sorting. Tanah digali kembali hingga kedalaman 25 cm dari permukaan tanah di petak yang sama. Diamati kembali keberadaan cacing tanah di layer dengan kedalaman 15-25 cm tersebut. Di bawah kedalaman 25 cm, diambil cuplikan tanah dengan core sampler untuk mengetahui bobot isi tanah sebagai faktor abiotik dan sebagian tanah untuk menghitung kandungan organik dan anorganik tanah.

Pengamatan kemudian berlanjut ke dalam Laboratorium, dikeringkan cacing tanah dengan tisu. Kemudian, ditimbang dengan timbangan elektrik berat total dari cacing tanah yang didapatkan di setiap layer dari petakan tanah yang digali. 3.4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan perhitungan secara matematis untuk mengetahui kepadatan biomassa dan pola penyebaran cacing tanah, dengan rumus: Kepadatan biomassa [x] = (gr/m2) Pola penyebaran individu: x=x N x S2 N S2 = (x2) (x2)/N N-1 berat total cacing tanah (gr) Luas petak sampling (m2)

= Nilai rata-rata kepadatan biomassa cacing tanah = Nilai variansi = Jumlah cuplikan

Kreteria kesuburan tanah berdasarkan biomassa cacing tanah: x > 60 gr/m2 tanah subur tanah tercemar berat 30 g < x < 60 gr/m2 tanah tercemar ringan x < 30 gr/m2

Kreteria pola penyebaran: S2 / x = 1 S2 / x > 1 S2 / x < 1 acak mengelompok seragam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan, didapati bahwa kepadatan biomassa rata-rata cacing tanah pada areal vegetasi sekitar 1,67 gr/m2, sedangkan pada areal terbuka hanya 1,42 gr/m2 (Tabel 1). Dari data ini, dapat diketahui bahwa tanah di taman depan Perpustakaan Utama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta termasuk tanah yang tercemar berat. Hal ini dikarenakan kepadatan biomassa cacing tanah kurang dari 30 gr/m2. Rendahnya kualitas tanah pada areal tanah di taman depan Perpustakaan ini dapat terlihat dari keanekaragaman tumbuhan yang hidup. Kualitas tanah yang rendah ini dapat disebabkan oleh tanah yang merupakan tanah hasil urugan, dan sebagian besar tanah tersebut adalah serpihan semen. Tabel 1. Data Kepadatan Biomassa Cacing Tanah pada Areal Vegetasi dan Terbuka Kel. 1 2 3 4 5 6 7 Berat Cacing Areal Vegetasi 0,1957 gr 0,1183 gr 0 gr Areal Terbuka 0,2886 gr 0,0488 gr 0 gr 0,0165 gr Kepadatan Biomassa Areal Vegetasi 3,1312 gr/m2 1,8928 gr/m2 0 gr/m2 1,6747 gr/m2 Areal Terbuka 4,6176 gr/m2 0,7808 gr/m2 0 gr/m2 0,2640 gr/m2 1,4156 gr/m2

Total Kepadatan Biomassa Rata-Rata


Keterangan: Kel. 1-3 mengamati areal vegetasi Kel. 4-7 mengamati areal terbuka

Rendahnya kepadatan cacing tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor abiotik. Tampak hubungan yang erat antara kepadatan cacing tanah dengan komponen abiotik (Tabel 2). Tabel 2. Data Pengukuran Komponen Abiotik

Kelompok Intensitas cahaya (KLux) Suhu tanah (C) Kelembaban udara (%) Kelembaban tanah pH tanah Kandungan air tanah (%) Kandungan organik tanah (%) Kandungan mineral tanah (%) Bobot Isi (gr/cm3) Porositas (%)

I 2,41 26 67 1 7 27,50

II 7,24 22 70 >8 7 34,33

III 1,33 25 73 2 7 27,89

Rataan 3,66 24,3 70 3,67 7 29,91

IV 17,3 26 76,33 1 7 26,85

V 19,16 24 55 1 7 28,99

VI 9,05 28 76,33 2 6,8 24,12

VII 16,67 26 72 3 6,8 23,08

Rataan 15,54 26 69,92 1,75 6,9 25,76

13,90

15,17

14,55

14,54

13,83

14,69

13,32

12,42

13,56

86,09

84,82

85,45

85,45

86,16

85,31

86,68

87,58

86,43

0,78 70,61

0,89 66,28

1,25 52,75

0,97 63,21

0,48 81,77

0,43 83,74

0,49 81,26

0,96 63,96

059 77,68

Rendahnya kepadatan biomassa cacing tanah dapat disebabkan oleh suhu tanah yang terlampau tinggi untuk kehidupan cacing tanah. Dari hasil pengamatan, diketahui bahwa suhu tanah rata-rata pada daerah vegetasi sekitar 24,3C sebanding dengan intensitas cahaya yang jatuh sebesar 3,66 KLux. Tidak berbeda jauh dengan kondisi di areal vegetasi, suhu tanah rata-rata pada daerah terbuka yaitu 26C sebanding dengan intensitas cahaya yang diterima sekitar 15,54 KLux. Padahal, menurut Hardjowigeno (2007), cacing tanah lebih senang hidup pada tanah hangat dengan suhu sekitar 21C. Suhu tanah yang tinggi, menyebabkan cacing tanah sulit untuk beradaptasi. Kulit cacing tanah sangat tipis, hal ini baik untuk pernapasannya, namun tidak mendukung dia untuk hidup di tempat yang panas. Ditambah lagi dengan kandungan air tanah yang hanya 29,91% pada areal vergetasi dan 25,76% pada areal terbuka yang keduanya tergolong rendah. Kelembaban tanah yang hanya 3,67 di areal vegetasi dan 1,75 di areal terbuka pun menjadi faktor penyebab lainnya. Karena berdasarkan Hardjowigeno (2007), cacing tanah senang hidup pada tanah-tanah yang lembab. Jika tanah itu

10

kering, maka cacing sulit untuk bergerak, mengingat kembali kulitnya yang tipis akan cepat aus. Selain itu, dari kedua data ini, dapat diketahui bahwa kualitas tanah pada areal vegetasi lebih tinggi daripada kualitas tanah pada areal terbuka, karena kepadatan biomassa rata-rata cacing tanah pada areal vegetasi lebih besar dibandingkan kepadatan biomassa rata-rata cacing tanah di tanah areal terbuka. Hal ini dapat dikarenakan kurangnya asupan nutrisi yang terdapat di dalam tanah bagi cacing tanah, dimana asupan nutrisi tersebut termasuk daun-daun yang gugur dari pohon yang menaungi tanah di areal vegetasi. Berdasarkan Hardjowigeno (2007), cacing tanah tidak makan vegetasi hidup, tetapi hanya makan bahan organik mati baik sisa hewan atau tanaman. Selain itu, faktor abiotik pada areal vegetasi lebih baik bagi cacing tanah bila dibandingkan dengan faktor abiotik pada areal terbuka. Lanjut menurut Hardjowigeno (2007), cacing tanah senang hidup di tanah yang banyak mengandung bahan organik. Sedangkan berdasarkan pengukuran faktor fisik, tanah di depan Perpustakaan Utama hanya mengandung sekitar 14,54% bahan organik di areal vegetasi dan 13,56% bahan organik di areal terbuka. Berdasarkan Sutanto (2002), 1 kg cacing tanah setiap hari mampu mengkonsumsi bahan organik seberat 1 kg. Kurangnya kandungan bahan organik sebagai nutrisi cacing tanah ini menjadi salah satu penyebab rendahnya populasi cacing tanah. Karena tanpa bahan organik yang cukup sebagai sumber nutrisi bagi cacing tanah, maka cacing tanah tidak dapat tumbuh dengan baik dan perkembangannya pun terhambat. Cacing hidup pada tanah dengan tata udara yang baik dengan pH tanah antara 5,0-8,4, tanah di taman depan Perpustakaan Utama memiliki porositas yang cukup tinggi yaitu 63,21% pada areal vegetasi dan 77,68% pada areal terbuka, dengan kata lain tata udara lumayan baik dan pH 6,9-7 yang netral. Keadaan ini baik untuk hidup cacing, namun tidak cukup untuk menjadi tempat yang baik bagi cacing karena setiap komponen abiotiknya harus saling mendukung. Walau tata udara dan pH-nya sesuai, namun jika salah satu komponen abiotiknya menghambat pertumbuhannya seperti kandungan mineral yang tinggi mencapai

11

85,45% pada areal vegetasi dan 86,43% pada areal terbuka, maka kemungkinan keberadaan cacing tanah pun rendah. Berdasarkan data hasil pengamatan dari kelompok I, didapati bahwa cacing tanah terdapat di kedalaman 0-5 cm dan 5-15 cm. Dimana di kedua layer tersebut, masing-masing hanya ditemukan 1 cacing tanah. Pada layer dengan kedalaman 0-5 cm ditemukan cacing tanah yang ukurannya tidak panjang tetapi tubuhnya lumayan besar dan warnanya merah kecoklatan. Sedangkan cacing yang ditemukan di tanah dengan kedalaman 5-15 cm ukurannya cukup panjang tetapi tubuhnya kecil dengan warna yang pucat. Ukuran cacing tanah pada kedalaman 5-15 cm yang lebih kecil dibandingkan cacing tanah yang berada pada kedalaman 0-15 cm tidak sesuai dengan teori. Berdasarkan teori, cacing endogeik (cacing yang hidup di dalam tanah) memiliki ukuran yang besar, karena dapat membuat terowongan hingga kedalaman 45 cm dari permukaan tanah. Hal ini dapat terjadi karena keadaan tanah yang tidak mendukung kehidupan cacing di dalam tanah, menyebabkan cacing tanah tidak tumbuh dengan baik. Sedangkan warna cacing tanah pada kedalaman 5-15 cm yang pucat sesuai dengan teori, karena cacing endogeik biasanya tidak berpigmen. Hal ini disebabkan kulitnya tidak terpapar oleh sinar matahari. Dari hasil pengamatan, didapati pola penyebaran cacing tanah pada kedua wilayah (vegetasi dan terbuka) adalah mengelompok, karena variansi per kepadatan rata-rata cacing tanah lebih dari satu. Nilai variansi per kepadatan cacing tanah di areal vegetasi 1,4849, sedangkan nilai variansi per kepadatan cacing tanah di areal terbuka adalah 3,2932 (Tabel 3). Pola penyebaran yang mengelompok ini memberikan kepadatan yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah pada suatu wilayah. Pola penyebaran yang berkelompok ini memberikan kekuatan bagi individu-individu di dalam populasi untuk mempertahankan dirinya dari lingkungan yang ekstrim. Tabel 3. Data Variansi per Kepadatan Cacing Tanah Wilayah Vegetasi Terbuka x 1,6747 1,4156 S2 2,4867 4,6619 S2/ x 1,4849 3,2932

12

Berdasarkan Indriyanto (2008), beberapa faktor yang menyebabkan populasi tersebar secara bergero mbol: 1. Kondisi lingkungan jarang yang seragam meskipun pada area yang sempit. Perbedaan kondisi tanah dan iklim pada suatu area akan menghasilkan perbedaan dalam habitat bagi setiap organisme yang penting bagi setiap organisme yang ada di dalamnya, karena suatu organisme akan ada pada suatu area yang faktor-faktor ekologinya tersedia dan sesuai bagi kehidupannya. 2. Pola reproduksi dari suatu individu-individu anggota populasi. Bagi binatang yang masih muda menetap bersama dengan induknya merupakan suatu kekuatan yang mendorong terjadinya penggerombolan. 3. Perilaku hewan yang cenderung membentuk kesatuan atau membentuk koloni merupakan kekuatan yang mendorong terjadinya distribusi bergerombol. Demikian juga daya tarik seksual bagi binatang merupakan kekuatan yang mendorong terjadinya distribusi menggerombol. Pengumpulan dapat meningkatkan persaingan di antara individu-individu untuk hara, pakan, atau ruangan, tetapi ini sering kali lebih daripada diimbangi oleh meningkatnya daya hidup dari kelompok (Odum, 1993). Individu-individu di dalam kelompok-kelompok sering mengalami laju kematian lebih rendah selama periode-periode tidak baik atau selama diserang organisme lain, daripada individu-individu yang terpencil sebab daerah permukaan yang terbuka terhadap lingkungan lebih kurang jika dibandingkan dengan massa dan sebab kelompok mungkin mampu mengubah secara baik iklim mikro atau habitat mikro (Odum, 1993). Selain itu, dari hasil perhitungan, tampak bahwa indeks dispersal di areal terbuka lebih besar dibandingkan areal vegetasi. Hal ini dikarenakan lingkungan pada areal terbuka kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan areal vegetasi bagi cacing tanah. Hal ini menyebabkan cacing tanah hidup bergerombol untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. BAB V KESIMPULAN Cacing tanah pada kedalaman 0-5 cm ukurannya kecil dan berpigmen.

13

Cacing tanah pada kedalaman >5 cm ukurannya besar dan tidak Kepadatan biomassa cacing tanah lebih besar pada areal vegetasi Tanah di taman depan Perpustakaan Utama UIN tergolong tanah tercemar Pola penyebaran cacing tanah di taman depan Perpustakaan Utama UIN Indeks dispersal cacing tanah lebih besar pada areal terbuka dibandingkan Populasi cacing tanah dipengaruhi oleh kelembaban tanah, kandungan air

berpigmen. dibandingkan pada areal terbuka. berat. adalah mengelompok. pada areal vegetasi. tanah, porositas tanah, suhu tanah, pH tanah, banyaknya bahan organik dan mineral yang terkandung.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hardjowigeno, Sarwono. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.

14

2. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Bumi Aksara, Jakarta 3. Irwan, Zoeraini. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi Dan Organisasi Ekosistem, Komunitas, dan ingkungan. Bumi Aksaran, Jakarta. 4. Odum, Eugene. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Diterjemahkan oleh Tjahjono Samingan dari Fundamentals of Ecology. UGM Press, Yogyakarta. 5. Sutanto, Rachman. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta. 6. Tarumingkeng, Rudy. 1994. Dinamika Populasi Ekologi Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta. 7. Wijayanti, Fahma. 2011. Petunjuk Praktikum Ekologi. Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta

LAMPIRAN Data Mentah

15

a. Populasi Dekomposer - Kepadatan biomassa Areal vegetasi Kepadatan biomassa [x] = (gr/m2) = = Areal terbuka Kepadatan biomassa [x] = (gr/m2) = = Keterangan: Luas petak sampling: 25 cm x 25 cm 625 cm2 0,0625 m2 0,1875 m2 untuk areal vegetasi karena terdapat 3 petak sampling dan untuk areal terbuka 0,25 m2 karena terdapat 4 petak sampling. - Pola penyebaran individu Areal vegetasi x=x N = 5,024 3 = 1,6747 DI = S2 / x = 2,4867 S2 = (x2) (x2)/N N-1 = (3,13122 + 1,89282) (5,0242) / 3 2 berat total cacing tanah (gr) Luas petak sampling (m2) 0,3539 gr 0,25 m2 1,4156 gr/ m2 berat total cacing tanah (gr) Luas petak sampling (m2) 0,314 gr 0,1875 m2 1,6747 gr/ m2

16

= 2,4867 / 1,6747 = 1,4848 Areal terbuka x=x N = 5,6624 gr 4 = 1,4156 gr DI = S2 / x = 4,6619 / 1,4516 = 3,2932 b. Faktor Fisik kelompok I: - Intensitas cahaya0,0523 = 2,41 klx - Kelembaban udara Suhu basah = 25 oC Suhu kering = 30 oC - Kandungan air tanah Kandungan air tanah (%) = berat segar tanah berat kering tanah x 100 % berat segar tanah = 10,0000 gr 7,2496 gr x 100 % 10,0000 gr = 27,504 % - Kandungan organik dan anorganik (mineral) tanah Kandungan organik tanah (%) = berat kering tanah berat abu tanah x 100 % berat kering tanah Selisih suhu : (30-25) oC = 5 oC Kelembaban udara di tabel : 67 % = 4,6619 gr2 S2 = (x2) (x2)/N N-1 = (4,61762 + 0,78082 + 0,2640 2 ) ( 5,66242 ) / 4 3

17

= 7,2496 gr 6,2416 gr x 100 % 7,2496 gr = 13,904 % Kandungan anorganik tanah (%) = berat abu tanah x 100 % berat kering tanah = 6,2416 gr x 100 % 7,2496 gr = 86,0957 % - Bobot isi Bulk density = berat kering tanah volme core sampler (berat partikel kasar) kepadatan partikel tanah = 66,038 gr 85,0262 cm3 ( 5,8 cm ) 2,65 gr/cm = 0,7787 gr/cm3 Keterangan: volume core sampler = v r2 t = 3,14 . 2,7352 cm. 3,62 cm = 85,0262 cm3 - Porositas Total porositas (%) = 1 [ bulk density ] x 100 % particle density = 1 [ 0,7787 gr/cm3] x 100 % 2,65 gcm-1 = 70,615 %

18

You might also like