You are on page 1of 12

FOTOGRAFI FORENSIK

Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi. Fotografi adalah salah satu media yang memiliki andil cukup besar dalam proses ini. Sejak awal, fotografi telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para ilmuwan dan seniman. Ilmuwan telah menggunakan fotografi untuk merekam dan mempelajari suatu mekanisme gerak, seperti penelitian Eadweard Muybridge terhadap mekanisme gerak hewan dan manusia pada tahun 1887. Para seniman pun memiliki ketertarikan yang sama terhadap aspek-aspek fotografi.Tidak hanya itu, mereka juga mencoba untuk mengeksplorasi lebih dalam untuk menghasilkan karya yang tidak sekedar sebagai suatu bentuk representasi realita melalui foto hasil proses mekanik, seperti yang dilakukan para seniman foto berpaham pictorialism,yang terkenal dengan idenya untuk memadukan seni lukis dan seni etsa melalui seni fotografi. Militer, polisi, dan petugas keamanan menggunakan fotografi sebagai alat pengawas, alat pendeteksi dan sebagai tempat penyimpanan data. Fotografi juga digunakan untuk menyajikan gambar kenangan akan suatu masa, untuk menangkap kejadian-kejadian khusus, menceritakan tentang suatu kejadian, mengirim pesan, atau sebagai sekedar alat hiburan.

FOTOGRAFI Fotografi [f 't gr fi] adalah suatu proses seni merekam gambar, berupa proses penangkapan cahaya pada suatu media yang sensitif cahaya, seperti film atau sensor elektronik. Pola-pola cahaya yang dikeluarkan dan dipantulkan dari

obyek, akan diteruskan ke suatu media elektronik atau media kimia berbahan dasar silver halide yang terdapat di dalam suatu alat yang disebut kamera selama waktu eksposur melalui lensa fotografi, termasuk di dalamnya proses penyimpanan dari hasil informasi yang ditangkap, secara elektronik maupun kimiawi. Kata photography berasal dari tulisan perancis photographie yang didasari oleh bahasa yunani, yaitu (phos) yang berarti cahaya dan (graphis)

yang artinya coretan atau gambar. Maka fotografi, dapat diartikan suatu proses menggambar dengan cahaya.

FOTOGRAFI FORENSIK Fotografi forensik sering juga disebut forensic imaging atau crime scene photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia, tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyelidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan atau penyidikan. Termasuk di dalam kegiatan fotografi forensik adalah pemilihan pencahayaan yang benar, sudut pengambilan lensa yang tepat, dan pengambilan gambar dari berbagai titik pandang. Skala seringkali digunakan dalam gambar yang diambil sehingga dimensi sesungguhnya dari obyek foto dapat terekam.(4) Biasanya digunakan penggaris atau perekat putih yang berskala sentimeter diletakkan berdekatan dengan lesi atau perlukaan sebagai referensi ukuran. Pada bagian yang tidak terekspos atau kurang memberikan gambaran yang signifikan, dapat digunakan probe (alat pemeriksa luka) atau jari sebagai penunjuk dengan posisi yang semestinya. Gambar yang diambil biasanya berupa gambar yang berwarna atau dapat pula dalam bentuk gambar hitam-putih tergantung kebutuhannya. Gambar berwarna lebih dipilih saat mengumpulkan bukti berupa cat atau bercak yang ditemukan di TKP (tempat kejadian perkara). Sebaliknya, jejak ban akan lebih

tegas pola dan perbedaan warna dengan sekitarnya saat diambil dalam bentuk foto hitam-putih. Metode yang digunakan dalam fotografi forensik tergantung dari kebijakan setiap negara berkaitan dengan pemakaian kamera dengan film 35 mm atau secara digital. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dulu dikatakan, fotografi konvensional atau yang menggunakan film dianggap lebih memiliki resolusi gambar yang baik dan tinggi sehingga memungkinkan untuk dilakukan pembesaran guna memperoleh detail gambar yang dibutuhkan. Foto digital memiliki kelebihan berupa tanggal dan waktu yang tertanda secara automatis pada gambar untuk menunjukkan keabsahan gambar yang diambil dan hal ini tidak dimiliki oleh foto konvensional di mana, keabsahan gambar harus dibuktikan sendiri oleh sang fotografer dengan cara misalnya mengikut sertakan saksi-saksi dalam fotonya.(4) Seiring dengan perkembangan teknologi, perbedaan antara kamera film (analog) dan kamera digital tidak lagi terlalu mencolok. Setiap alat dapat dipakai dalam kegiatan fotografi forensik, sesuai dengan kebutuhannya.

FOTOGRAFER FORENSIK Orang yang melakukan kegiatan fotografi disebut fotografer. Dalam fotografi forensik, sang fotografer terbagi dalam tiga tipe yakni: fotografer TKP, fotografer teknik, dan fotografer autopsi. Fotografer TKP Sesuai namanya, fotografer TKP bekerja di tempat terjadinya perkara di mana pun itu terjadi. Pada TKP indoor atau yang terjadi di dalam suatu ruangan, biasanya fotografer TKP menggunakan metode pengambilan gambar empat sudut. Pertama, foto diambil secara serial di pintu masuk ruangan tempat korban ditemukan. Lalu fotografer berpindah sudut dan melakukan hal serupa saat di pintu masuk, demikian seterusnya hingga sudut ruangan yang keempat, untuk menghasilkan gambaran panoramik ruangan. Selanjutnya konsentrasi dipusatkan ke tubuh korban untuk dilakukan pengambilan gambar dengan jarak pengambilan terjauh dari sisi kiri dan kanan maupun jarak dekat jika diperlukan. Tak luput dari pandangan fotografer mengenai obyek di sekitar tubuh korban seperti senjata yang

berpotensi sebagai senjata yang digunakan, tumpahan air dari minuman, atau asbak beserta isinya. Semua ruangan yang terhubung pada ruangan TKP juga diambil gambarnya secara panoramik, termasuk segala sesuatu yang dianggap tidak biasa ditemui berkaitan dengan TKP yang sedang diolah tersebut. Proses serupa juga dilakukan terhadap TKP outdoor atau yang terjadi di luar ruangan, seperti TKP kecelakaan lalu lintas, TKP di tempat kerja (pada kasus kematian akibat kecelakaan kerja), dan TKP bencana (pada kasus kecelakaan pesawat terbang).(5) Fotografer forensik teknik Fotografer tipe ini membutuhkan keahlian khusus dalam menjalankan pekerjaannya. Spesialisasi mereka termasuk melakukan pengambilan gambar bercak darah, cipratan darah, tapak jari, tapak sepatu, atau ban yang ditemukan di TKP, menggunakan film dan kamera khusus yang dapat memberikan detail gambar yang tinggi pada obyek berskala. Waktu mereka dihabiskan untuk bekerja dengan proses High-magnification photomacrography, photomicrography,

bergelut dengan gambar yang dihasilkan oleh cahaya dengan panjang gelombang yang tidak tampak, dan memanipulasi gambar secara digital untuk kepentingan penyelidikan. Film-film yang sensitif terhadap ultraviolet (UV) dan infrared sekarang telah digunakan untuk mendemonstrasikan permukaan luka yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Dikatakan bahwa memar yang tidak tampak, dapat diperlihatkan melalui metode fotografi ultraviolet, misalnya pada kasus kekerasan pada anak. Metode ini memerlukan telaah dan pengalaman lebih lanjut guna mengeliminasi false positive dari artefak yang ditemukan. Fotografer autopsi Setelah olah TKP selesai, tubuh korban dikirim ke instalasi kedokteran forensik untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik oleh ahli patologi forensik. Proses pemeriksaan ini harus didokumentasikan oleh seorang fotografer autopsi. Syarat utama yang harus dimiliki seorang fotografer autopsi adalah memiliki dasar pengetahuan anatomi tubuh manusia. Pengambilan gambar dilakukan sejak tubuh korban tiba, dimulai dari jarak pengambilan terjauh dari

tubuh korban dengan sudut pengambilan gambar pada bagian depan dan belakang korban, dilanjutkan dengan proses serupa saat pemeriksaan dimulai, yakni mulai dari pelepasan pakaian hingga pembersihan tubuh korban. Close-up dilakukan pada pengambilan gambar perlukaan yang ditemukan pada tubuh korban, pada luka tembak, patah tulang, atau terhadap jaringan parut, tattoo, dan lain sebagainya, berkaitan dengan kepentingan foto untuk proses identifikasi pada mayat tak dikenal. Pada pemeriksaan dalam, pengambilan gambar dilakukan dua kali. Pertama, in situ untuk memperlihatkan lokasi dan beratnya penyakit atau kerusakan yang terjadi. Kedua, gambar diambil setelah organ dikeluarkan dan dibersihkan.

PERALATAN FOTOGRAFI FORENSIK Kamera Kamera yang lazim digunakan dan dapat diterima sebagai kamera yang mampu berbicara banyak di lapangan pekerjaan forensik adalah kamera tipe single-lens reflex 35mm. Kamera ini menggunakan sebuah lensa dengan sistem cermin yang bergerak secara automatis, menerima cahaya yang datang untuk dipantulkan ke sebuah pentaprism yang ditempatkan di atas jalur optik cahaya yang berjalan di bagian dalam lensa, yang memungkinkan fotografer untuk melihat dimensi obyek sesungguhnya yang akan ditangkap oleh film tersebut. Format film 35 mm adalah jenis format film yang digunakan pada kamera ini dan lazim digunakan untuk kepentingan pemeriksaan forensik. Format film ini menawarkan berbagai kecepatan sensitifitas dan emulsi film, kualitas gambar yang baik, nilai panjang eksposur yang variatif, dan harga yang murah.(6)(7) Hasil foto pada format film 35 mm akan memberikan gambaran full frame yang tajam di mana, dimensi obyek yang dilihat oleh fotografer melalui cermin pentaprism akan sama dengan dimensi obyek yang ditangkap oleh film ini. Ketajaman gambar dan prinsip what you see is what you get inilah yang dipegang untuk setiap hasil foto yang dapat digunakan kepentingannya di dunia forensik.

Pemilihan film tergantung dari efek pencahayaan yang dipilih. Pemilihan kecepatan sensitifitas film 100 atau 200 ASA (American Standard Association), telah lebih dari cukup untuk mengimbangi kerja lampu kilat. Dan 400 ASA pun kini banyak digunakan. Beberapa fotografer medis bahkan membawa kamera yang terpisah yang telah terisi film berkecepatan 1000 ASA untuk beberapa sesi pemotretan khusus. Lensa Tipe lensa yang digunakan tergantung pilihan dari fotografer itu sendiri. Sebagian orang lebih memilih lensa tunggal yang interchangeable dengan variasi daya akomodasi lensa (focal length). Lensa standar 50 mm atau biasa disebut fixed lens 50 mm (daya akomodasi lensanya terfiksasi pada satu nilai) adalah yang paling sering digunakan, kaitannya dengan kesetaraan daya akomodasinya dengan mata kita. Namun pada TKP, atau pada jarak pengambilan gambar terjauh dari tubuh korban pada kondisi TKP yang sulit, lensa sudut lebar (wide angle) 28 mm atau 30 mm lebih diperlukan. Nilai focal length yang sedikit lebih panjang seperti 80 mm dapat berguna untuk gambar-gambar jarak dekat dari perlukaan. Tidak disarankan penggunaan lensa telefoto dengan focal length 100 mm 200 mm karena sebagian fungsinya telah digantikan oleh lensa tambahan untuk kegiatan macrophotography. Banyak ahli patologi forensik lebih memilih untuk mengkombinasikan lensa-lensa tersebut menjadi satu lensa yang memiliki variable-focus zoom lens antara 28 mm 80 mm. Langkah ini diambil untuk lebih mempersingkat waktu pengambilan gambar dan gambar yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan hasil gambar menggunakan lensa dengan daya akomodasi terfiksasi. Pemilihan focal length lensa memegang peranan penting dalam rangka pengambilan gambar. Wide angle akan membuat luas perspektif, sebaliknya tele lens akan mempersempitnya. Saat berurusan dengan komposisi, ada plus-minus di kedua jenis lensa.

TEKNIK FOTOGRAFI FORENSIK

Berpeganglah selalu pada prinsip KISS. Keep It Simple and Sharp!. Tidak dibutuhkan teknik yang rumit untuk melakukan kegiatan fotografi saat pemeriksaan kedokteran forensik. Yang paling diutamakan adalah bahwa jepretan kamera kita mampu memberikan hasil yang tajam, berkomposisi, seimbang dalam hal pencahayaan dan warna, dan tidak mengalami perubahan dimensi obyek. Ketajaman Gambar Salah satu unsur yang menentukan ketajaman sebuah gambar adalah kedalaman gambar (depth of field). Untuk membuat sebuah gambar dua dimensi menjadi lebih hidup, dibutuhkan penciptaan rasa akan adanya kedalaman dari gambar. Kondisi ini dimungkinkan dengan memanipulasi elemen-elemen yang terdapat di latar depan, tengah, dan belakang. Garis sederhana yang membawa pandangan ke area-area dalam gambar menuju center of interest bisa lebih efektif. Di sini, pemilihan lensa dan bukaan diafragma (aperture) menjadi unsur vital untuk menciptakan kedalaman. Pada pemotretan organ dalam (viscera), dapat dilakukan penggunaan gelas yang diletakkan secara terbalik dan di cat sesuai warna latar belakang yang digunakan (biasanya hijau) yang terletak agak jauh di bawah gelas untuk menghindari fokus serta penggunaan lampu tungsten sebagai pencahayaan. Komposisi gambar Pada kegiatan fotografi yang dilakukan di TKP, gambar diambil secara serial dan panoramik menggunakan lensa-lensa sudut lebar agar seluruh obyek pada TKP dapat terekam dalam bingkai pemotretan sekaligus. Diperlukan komposisi obyek yang baik dan kuat agar pesan yang tersirat dalam setiap bingkai pemotretan dapat disampaikan ke penyelidik maupun penyidik.(9) Hal ini perlu diperhatikan untuk kepentingan rekonstruksi kejadian. Dikenal rumus pertigaan pada teknik komposisi fotografi, yakni membagi bingkai gambar menjadi sembilan bagian yang sama. Pembaginya adalah dua garis horizontal dan dua garis vertikal. Rumus ini dapat diterapkan pada segala format: bujur sangkar, persegi panjang, atau panorama. Komposisi yang dibangun akan seimbang saat menempatkan obyek tepat di atau dekat titik pertemuan garis (point of power). Dalam seni fotografi murni, rumus ini juga dapat dipergunakan

untuk pengambilan gambar jarak dekat (close-up). Namun aplikasinya tidak disarankan pada close-up fotografi autopsi, karena dalam hal ini, lebih ditekankan proses representasi dari realita, misalnya pada pengambilan foto organ dalam. Dalam fotografi sering muncul pernyataan, kalau kita tidak bisa membuat sesuatu menjadi bagus, jadikanlah besar. Dengan memenuhi ruang dengan obyek, tak mungkin salah lagi mengenai pusat perhatian. Namun, bukan lantas berarti mengabaikan teknik komposisi. Meletakkan elemen utama pada point of power tetap wajib diperhatikan. Jika kita tidak mendapatkan kemantapan suatu obyek, berpikirlah tentang sesuatu yang besar, kuat, dan memenuhi bingkai pemotretan. Sebelum menekan tombol rana (shutter), sebaiknya sudah ditentukan bagian mana yang menjadi pusat perhatian. Salah satu masalah yang sering kita temui adalah latar belakang yang mengganggu kekuatan obyek utama. Gangguan itu bisa berupa sesuatu yang cerah, warna atau bentuk, atau pemilihan diafragma lensa (aperture) yang kurang baik. Akibatnya, gambar yang dihasilkan akan membingungkan, tidak jelas bagian mana yang menjadi pusat perhatian. Dengan mengubah posisi memotret, melakukan zooming pada bagian terpenting dari sasaran bidik, dan mengunakan format portrait, masalah di atas akan dapat diatasi. Namun perlu diperhatikan mengenai adanya perubahan perspektif akibat usaha di atas yang barangkali dapat memberikan interpretasi salah saat foto digunakan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Eksposur Eksposur perlu diperhatikan untuk mendapatkan hasil foto yang baik. Untuk menciptakan serangkaian warna pada gambar, kamera harus memastikan bahwa jumlah cahaya yang optimal sampai ke sensor atau film. Hal tersebut bisa diperoleh dengan mengatur lama eksposur (kecepatan rana/shutter speed) dan intensitas cahaya (bukaan diafragma/aperture) pada lensa. Gambar dibentuk melalui akumulasi cahaya di film atau sensor selama eksposur. Kamera senantiasa berupaya mengarahkan obyek secara keseluruhan ke arah grey tone 18% (area mid-tone/kontras netral kamera). Maka metering atau pengukuran eksposur diperlukan di sini. Kurangi eksposur antara 0.7 EV sampai 1 EV untuk menjaga kedalaman warna dan detail pencahayaan. Saat pemotretan organ dalam (viscera),

organ ditempatkan pada suatu area dengan latar belakang warna biru atau hijau. Warna putih dapat digunakan meskipun barangkali hal ini dapat mempengaruhi ukuran eksposur jika latar belakang terlalu terlihat pada bagian tepi gambar. Walaupun obyek yang diambil terbilang mid-tone, latar belakang ber-tone terang atau gelap yang tak normal bisa menimbulkan kesalahan eksposur. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, tingkat kesalahan eksposur tergantung pada seberapa besar area dalam bingkai yang terpakai oleh latar belakang. Semakin banyak area yang terpakai, semakin besar pengaruhnya terhadap nilai eksposur. Organ yang akan difoto pun sebaiknya dilakukan dabb (penekanan dengan kain atau busa) terlebih dahulu agar terbebas dari darah pada bagian permukaan dan latar belakang untuk menghindari terjadinya efek penyinaran kuat (highlight). Efek highlight dapat mengganggu metering exposure yang telah dilakukan sebelumnya. Pengaturan eksposur dikembalikan kepada sang fotografer, tergantung kondisi lingkungan yang dihadapi saat pemotretan. Pada fotografi forensik, yang paling utama adalah ketajaman obyek dan menjaga agar warna obyek tetap natural. Warna Pilihan auto white balance pada kamera digital dirancang untuk secara automatis menyesuaikan dengan warna-warna, atau temperatur cahaya yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang mendekati normal. Namun terkadang hal semacam itu malah bukan yang kita inginkan. Disarankan untuk tidak senantiasa memilih pengaturan auto white balance pada kamera, karena pilihan itu tidak selalu tepat. Kamera akan berupaya menganalisa warna-warna yang ada pada obyek foto dan menormalkannya, tapi seringkali gagal membedakan antara warna cahaya dan warna bawaan obyek itu sendiri. Kamera juga akan berusaha mengompensasi kondisi pencahayaan sekitar yang akan menjadi bagian dari bingkai pemotretan. Akibatnya, warna yang hendak dinormalisasikan malah tidak tercapai. Aturlah white balance secara manual sesuai pilihan. Dibutuhkan beberapa eksperimen memotret agar pengaturan white balance sesuai kebutuhan dan didapat warna yang lebih natural. Pencahayaan

Untuk pencahayaan, biasanya menggunakan lampu kilat elektronik yang sekarang menjadi bagian dari kamera, dan penggunaan thyristor (semikonduktor pengukur keluaran cahaya) pada lampu kilat yang dikontrol secara automatis, menjadi solusi dari penghitungan jarak pengambilan yang rumit. Tentu pada jarak pengambilan gambar yang dekat, penggunaan lampu kilat yang melekat pada kamera akan menghasilkan gambar yang kurang memuaskan. Alternatifnya, digunakan lampu kilat terpisah yang terjaga jaraknya dengan kamera, penggunaan diffuse untuk mengurangi kekuatan cahaya atau menggunakan teknik

memantulkan cahaya (bounching) ke arah langit-langit ruang autopsi atau mungkin ring flash yang dipasang pada bagian depan lensa untuk menghindari bayangan kamera. Pada fotografi jarak dekat (close-up), dikenal adanya kesalahan paralaks. Paralaks adalah suatu kondisi kesalahan penampakkan atau perbedaan orientasi dari obyek yang dilihat dari dua arah yang berbeda, akibat perbedaan sudut pandang dari dua arah tersebut.(10) Maksudnya, yang kita lihat melalui jendela bidik (viewfinder) tidak selaras dengan yang direkam oleh sensor atau film. Hal semacam ini bisa terjadi pada kamera SLR maupun compact ketika kita membidik obyek melalui LCD-nya. Saat menggunakan lampu kilat pada pemotretan jarak dekat, ada perbedaan antara yang dilihat dengan kamera dan yang disinari oleh lampu kilat. Sebaiknya berpikirlah untuk mengubah sudut lampu kilat ke pengaturan sudut lebar agar dapat menyinari obyek secara penuh. Setidaknya, ada empat elemen cahaya yang perlu kita pahami: kualitas, warna, intensitas, dan arah. Pada tahap tertentu, kita harus bisa mengendalikan masing-masing elemen, entah melalui pergeseran dalam posisi kamera, penggunaan peranti modifikasi cahaya, atau selama pemrosesan gambar. Kualitas cahaya ditentukan dari bayangan yang diciptakannya. Pencahayaan keras akan menciptakan bayangan yang tajam dan penyinaran yang kuat. Sebaliknya, pencahayaan yang lembut akan memunculkan bayangan lembut yang detailnya masih terlihat. Kondisi terakhir merupakan kondisi yang ideal untuk pemotretan wajah (portrait) dan close-up.

Kendati tidak sepenting elemen lain, intensitas, atau kecerahan/brightness memiliki peran krusial dalam hal eksposur. Semakin banyak cahaya yang tersedia, kian kecil bukaan diafragmanya, sementara masih memungkinkan pula kecepatan rana (shutter speed) yang tinggi. Di sini ASA atau ISO (International Organization for Standardization) bisa diubah lebih rendah sehingga bisa didapat kualitas gambar yang lebih bagus. Bila cahaya semakin intens dan keras maka semakin besar pula adanya peluang terang yang berlebihan. Untuk itu, lihatlah data histogram gambar yang tertera di kamera karena gambar pada LCD kamera bisa saja lebih gelap atau lebih terang dari yang sebenarnya. Histogram merupakan sebuah bar chart (kumpulan diagram batang yang menyatu membentuk kurva) yang menunjukkan banyaknya pixel untuk masing-masing nilai kecerahan di keseluruhan skala tonal gambar, dari hitam pekat hingga putih total. Histogram menunjukkan apakah gambar yang diambil cenderung memutih atau menghitam, apakah cakupan tone-nya masih lengkap, dan secara keseluruhan seberapa terang dan gelapnya gambar yang diambil. Sebaran tone yang sempurna adalah tatkala histogram menunjukkan puncak kurva nol, baik pada ujung kiri skala maupun ujung kanan. Cahaya bisa menerangi obyek sedikitnya dari tiga arah, yakni depan, samping, dan belakang. Masing-masing memberikan efek yang berbeda pada hasil foto. Backlighting, atau penyinaran dari arah belakang obyek, dapat memberikan semacam efek halo di sekitar obyek. Yang perlu diperhatikan di sini adalah cahaya yang langsung menerpa depan lensa, karena dapat memunculkan flare (kobaran/jilatan cahaya) yang mengurangi kontras. Untuk mengatasi hal ini, gunakan selembar kertas atau tangan anda untuk menutupi sinar yang mengarah langsung ke lensa di luar bingkai pemotretan. Sidelighting, atau pencahayaan dari samping, sangat baik untuk memunculkan tekstur pada obyek, juga memberi kesan kedalaman. Frontlighting, pencahayaan dari depan, baik untuk pemotretan wajah close-up. Pada kondisi-kondisi kurang cahaya, jangan terburu-buru menggunakan flash sebagai solusinya. Bereksperimenlah dengan meningkatkan eksposur untuk memulihkan kecerahan atau mengkombinasikan shutter speed yang lambat

dengan sinar flash untuk hasil yang lebih baik dan senantiasa melihat ulang hasil gambar yang diambil melalui data histogram di kamera.(9) Hati-hati dengan pemilihan shutter speed yang lambat, karena dapat menyebabkan efek kabur (blur) pada obyek yang sudah barang tentu menghilangkan ketajaman gambar sebagai salah satu syarat untuk fotografi forensik.

Sumber: http://www.pdfi-indonesia.org/news/fotografi-forensik/

You might also like