You are on page 1of 10

VI.

PEMBAHASAN

Reduksioksidasi adalah proses perpindahan elektron dari suatu oksidator ke reduktor. Reaksi reduksi adalah reaksi penangkapan elektron atau reaksi terjadinya penurunan bilangan oksidasi. Sedangkan reaksi oksidasi adalah pelepasan elektron atau reaksi terjadinya kenaikan bilangan oksidasi. Jadi, reaksi redoks adalah reaksi penerimaan elektron dan pelepasan elektron atau reaksi penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi. Praktikum kali ini yang dilakukan adalah titrasi redoks. Yang dilakukan dalam praktikum titrasi redoks adalam permanganometri dan iodometri. 6.1. Permanganometri Standarisasi KMnO4 terhadap H2C2O4 0,1 N Metode permanganometri didasarkan pada reaksi oksidasi ion permanganat, oksidasi ini dapat dijalankan dalam suasana asam, netral maupaun alkalis, jika dititrasi dalam suasana asam maka reaksi yang akan terjadi adalah MnO4 - +8H+ +5e Mn2+ +4H2 O Dimana potensial oksidasinya sangat dipengaruhi oleh adanya kepekatan ion hidrogen. Akan tetapi konsentrasinya ion mangan (II) sendiri mampu mereduksi ion permanganat banyak digunakan sebagai oksidator. Permanganometri adalah titrasi dengan menggunakan kalium permanganat yang merupakan oksidator kuat sebagai titran. Titrasi ini didasarkan atas reaksi redoks. Adapun cara kerja dari praktikum ini yaitu pertama tama disiapkan alat dan bahan. Larutan H2SO4 sebanyak 10 mL ditambahkan pada 10 mL H2C2O4 lalu dipanaskan hingga hampir mendidih. Penambahan H2SO4 tujuannya untuk memberikan suasana asam pada laruatan, hal ini dilakukan agar titik akhir titrasi lebih mudah diamati dan reaksi

H2SO4 tersebut tidak menghasilkan produk dan tidak bereaksi dengan titran. Ini juga merupakan alasan mengapa digunakan asam kuat. MnO4- + 8H+ + 2Cl- Mn2+ + Cl2 + 4H2O Pada percobaan ini tidak digunakan HCl. Alasannya dapat dilihat dari reaksi di atas bahwa disini MnO4- habis bereaksi dengan HCl membentuk Cl2. Dan bila penambahan dilakukan maka tidak ada yang bereaksi dengan sampel dan titik akhir titrasi tidak didapatkan. Fungsi dari pemanasan ini adalah untuk mempercepat reaksi. Larutan tersebut kemudian dititrasi dengan KMnO4 hingga timbul warna merah muda yang tidak menghilang setelah dikocok terus. Titrasi kali ini tidak menggunakan indicator lain seperti PP, metal merah, jingga metal, dan sebagainya karena KMnO4 yang bertindak sebagai titran juga dapat bertindak sebagai indikator apabila dipakai dalam titrasi atau bersifat autoindikator. Tabel 6.1.1. Hasil Pengamatan Standardisasi KMnO4 dan H2C2O4 Kel. 1A V KMnO4 N KMnO4 V H2C2O4 N H2C2O4

2 ml

0,5 N

10 ml

0,1 N

2A 3A 4A

3 ml 2,2 ml 2 ml

0,33 N 0,45 N 0,5 N

10 ml 10 ml 10 ml

0,1 N 0,1 N 0,1 N

5A

7,4 ml

0,135 N

10 ml

0,1 N

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2011)

Contoh perhitungan: V KMnO4 x N KMnO4 = V H2C2O4 x N H2C2O4 2,2 x N KMnO4 = 10 x 0,1 N KMnO4 = ( 10 x 0,1 ) / 2 = 0,4 N Dapat dilihat pada tabel 6.1.1, normalitas yang didapat setiap kelompok ternyata berbeda. Seharusnya sama, perbedaan ini bisa didapat karena sulitnya mendapatkan titik akhir titrasi karena setiap pandangan orang terhadap perubahan warna berbeda oleh karena itu terjadi perbedaan normalitas. Adapun sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan pentiter KMnO4 pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+. MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O 5MnO2 + 4H+ Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air. Penentuan kadar Fe dalam FeSO4 Titrasi ke dua ini dimaksudkan untuk mengetahui kadar Fe yang terkandung dalam FeSO4. Prosedur titrasi yang ke dua ini sama dengan titrasi yang pertama. Perbedaannya adalah larutan Na2C2O4 diganti dengan larutan FeSO4. Larutan FeSO4 sebanyak 10 mL ditambahkan dengan 10 mL H2SO4 lalu dipanaskan di atas kassa sampai hampir mendidih. Selanjutnya larutan ini dititrasi dengan KMnO4 sampai berwarna merah jambu.

Reaksi yang terjadi pada metode ini yaitu : MnO4- + 8H+ + 5eFe2+ MnO4- + 8H+ + 5e5Fe2+ MnO4- + 8H+ + Fe2+ Mn2+ + 4H2O Fe3+ + eMn2+ + 4H2O 5Fe3+ + 5eMn2+ + Fe3+ + 4H2O X1 X5

Tabel 6.1.2. Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Fe dalam FeSO4 Kel 1A 2A 3A 4A 5A N KMNO4 0,5 N 0,3 N 0,45 N 0,47 N 0,4 N V KMNO4 2,7 ml 1,4 ml 1 ml 4 ml 4 ml W Fe2+ 7,56 mg 2,352 mg 2,24 mg 3,2928 mg 3,136 mg % Fe 75,6 % 23,52 % 22,4 % 32,928 % 31,36 %

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2011) Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil pada erlenmeyer 1 %kadar FeSO4 75,6%, pada erlenmeyer 2 %kadar FeSO4 23,52%, pada erlenmeyer 3 %kadar FeSO4 22,4%, pada erlenmeyer 4 %kadar FeSO4 32,928% dan pada erlenmeyer 5 %kadar FeSO4 31,36%. Hasil yang telah diperoleh ini tidak sesuai dengan literatur % kadar FeSO4 pada Farmakope Indonesia edisi III bahwa kadar FeSO4 tidak kurang dari 80% dan tidak lebih dari 90% FeSO4. Adanya perbedaan hasil percobaan dengan literatur disebabkan adanya beberapa faktor kesalahan yan terjadi, diantaranya: 1. Terjadi kesalahan saat pelarutan sampel 2. Kurang teliti dalam mengamati volume titran 3. Kurangnya keahlian praktikan dalam menintrasi

4. Kelebihan volume titran saat titrasi sehingga titik akhir titrasi lewat dan volume titran menjadi berlebih. 5. Bahan yang kurang murni yang kemungkinan akibat telah terkontaminasi ataupun teroksidasi.

6.2. Iodometri Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodimetrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Reaksi antara iodium dan tiosulfat berlangsung secara sempurna Dasar dari titrasi ini adalah reaksi reversible dari iodium dan iodide ; I2 + 2 e2 I-

Pada iodometri (cara tidak langsung), iodide bertindak sebagai pereduksi diubah menjadi iodium dan iodium yang terbentuk dititrasi denagn larutan standar Na2S2O3. jadi, cara iodometri dipakai untuk menentukan zat-zat pengoksidasi. Sebagai indicator digunakan larutan amilum, yang akan membentuk senyawa adsorpsi dengan iodium. Titik titrasi ditandai dengan hilangnya warna biru pada larutan. Standarisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7 0,1 N Titrasi ini dilakukan untuk mendapatkan Normalitas dari Na2S2O3. Pertama, siapkan 10 mL K2Cr2O7, lalu ditambahkan dengan 8 mL KI dan 10 mL H2SO4. Penambahan H2SO4 dan KI berfungsi untuk pembentukan iodium. Larutan tadi dititrasi dengan Na2S2O3 sampai warna menjadi kuning kehijauan. Lalu tambahkan 0,5 mL indicator amilum 1 %. Indicator ini berfungsi untuk

membantu mempermudah penentuan titik akhir titrasi. Setelah itu titrasi dilanjutkan sampai warna larutan berubah menjadi hijau muda. Tabel 6.2.1. Hasil Pengamatan Iodometri Kelompok 1A 2A 3A 4A 5A 6A 7A 8A 9A 10A V Na2S2O3 8,2 ml 8,1 ml 10 ml 8,2 ml 8,5 ml 9,5 ml 10,4 ml 9,8 ml 9 ml 9,5 ml N Na2S2O3 0,12 N 0,12 N 0,1 N 0,12 N 0,11 N 0,105 N 0,097 N 0,102 N 0,11 N 0,105 N

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2011) Dapat dilihat dalam tabel 6.2.1, sama seperti standarisasi sebelumnya perbedaan hasil perhitungan Normalitas ini disebakan antara lain ketidaktepatan pengukuran volume zat-zat yang akan digunakan, perbedaan penilaian pada saat mengukur volume yang terpakai sehingga terlalu banyak larutan penitran yang keluar, kurang bersih dan memadai alat-alat yang digunakan untuk percobaan (kerusakan alat). Penentuan kadar Cu dalam terusi Titrasi ini ditujukan untuk menghitung kadar Cu yang terdapat dalam terusi (CuSO4). Prosedur percobaan sama dengan percobaan di atas, hanya K2Cr2O7 diganti dengan CuSO4. Titrasi dengan Na2S2O3 dilakukan sampai warna

larutan kuning jerami. Setelah didapat warna kuning jerami, maka prosedur dilanjutkan dengan ditambahnya indicator amilum 1 %. Titrasi dilanjutkan sampai berwarna putih susu. Tabel 6.2.2. Hasil Pengamatan Iodometri Kelompok 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 V Na2S2O3 5,1 ml 4,5 ml 5,1 ml 5,1 ml 5.2 ml 4 ml 5 ml 5 ml 5 ml 4 ml W Cu 3,886 mg 3,429 mg 3,238 mg 3,886 mg 3,302 mg 2,667 mg 3,08 mg 3,24 mg 3,52 mg 2,667 mg % Cu 38,86 % 34,29 % 32,38 % 3,886 % 3,302 % 26,67 % 30,8 % 32,4 % 35,2 % 26,67 %

(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2011) Dapat dilihat dalam tabel 6.2.2, titik akhir titrasi berada dalam range 45,2ml. Perbedaan titik akhir titrasi ini sama seperti sebelumnya adalah karena ketidaktepatan pengukuran volume zat-zat yang akan digunakan, perbedaan penilaian pada saat mengukur volume yang terpakai sehingga terlalu banyak larutan penitran yang keluar, kurang bersih dan memadai alat-alat yang digunakan untuk percobaan (kerusakan alat). Dari semua titrasi yang dilakukan, ada beberapa sumber kesalahan yang sama dalam teknis praktikum, yaitu : y Kurang tepatnya pengukuran zat-zat yang akan digunakan,

Perbedaan penilaian pada saat mengukur volume yang terpakai sehingga terlalu banyak larutan penitran yang keluar,

Kurang bersih dan memadai alat-alat yang digunakan untuk percobaan (kerusakan alat), dalam kasus ini contohnya biuret yang bocor.

Sedangkan kesalahan dari segi kimiawi adalah y Kesalahan oksigen, yaitu oksigen diudara dapat mengoksidasi ion yodida menjadi I2. reaksi dikatalisis oleh cahaya dan panas. Cara menghindari : o larutan harus secepatnya dititrasi setelah penambahan KI o larutan yang asam ditambahkan NaHCO3 (CO2 dapat mengusir O2) dan dapat meningkatkan pH y Pemberian amilum yang terlalu awal, hal ini dapat disebabkan persepsi praktikan tentang warna yang berbeda-beda, sehingga ada yang menambahkan amilum secara tepat, ada juga yang terlalu cepat. y pH terlalu tinggi. I2 yang terbentuk bereaksi dengan air yang menyebabkan seharusnya. penggunaan Na2S2O3 lebih rendah dari yang

VII.

KESIMPULAN

y y

Reaksi redoks adalah reaksi reduksi dan oksidasi. Dalam melakukan proses titrasi redoks, diperlukan ketelitian dalam pengerjaannya sehinga dapat meminimalisir kesalahan yang terjadi.

Hasil akhgir titrasi dapat terpengaruh oleh ketidaktepatan pengukuran volume zat-zat yang dighunakan.

Dalam menentukan titik akhir titrasi pada permanganometri tidak diperlukan indicator, karena zat pengoksidasinya sudah menjadi indicator, sedangakan untuk mengetahui titik akhir titrasi pada iodometri digunakan indicator

Daftar Pustaka Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta: Depkes RI Sukarti, Tati, Ir., M.S. 2009. Kimia Analitik. Widya Padjadjaran : Bandung Underwood, A.L. Analisis Kimia Kuantitatif edisi ke VI. Jakarta: Erlangga

You might also like