BABII
BPPN DAN UPAYA REKONSTRUKSI PERBANKAN NASIONAL
Oleh: Teddy Lesmana
24. Pendahuluan
Pada pertengahan tahun 1997, tepatnya pada bulan Juli, perekonomian
Indonesia mengalami penurunan yang teramat drastis sebagai akibat dari
krisis ekonomi yang menghantam negara-negara di kawasan Asia. Krisis
yang dialami Indonesia didahului dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah
‘erhadap US Dollar yang kemudian berdampak pada sektor perbankan dan
iil,
Penurunan nilai Rupish yang terus berlanjut mengakibatkan hilangnya
kepercayaan (oss of confidence) tethadap Rupiah di kalangan masyarakat
Indonesia. Pada saat yang bersamaan, sebagian besar bank-bank yang ada
rmulai mengalami kesulitan likuiditas. Keadaan ini semakin mengurangi
kepercayaan publik pada sektor perbankan karena bank-bank mengalami
neraca negatif pada akun Kliringnya, Sebagai konsekuensinya, pemerintah
mengambil tindakan sebagai penyclamat perbankan dengan memberikan
Pra yang kita kenal dengan nama Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Masalab-masalah yang terjadi pada sektor perbankan tersebut
sclanjutnya berdampak pada sektor ril. Berbagai macam sektor industri
‘mengalami hambatan operasional yang serius Karena terhentinya fasilitas
‘modal dan fasilitas keuangan dari sektor perbankan, Keadaan ini memukul
keberlangsungan sektor riil, Penutupan 16 Bank pada bulan November
1997 semakin memperburuk scktor perbankan nasional, ketika modal
diperlukan untuk mengatasi margin tingkat bunga negatif (negative interest
‘margin) maupun hilangnya kepercayaan publik terhadap sektor perbankan,
Tulisan ini mencoba memaparkan upaya untuk merekonstruksi perbankan
nasional dimana BPPN merupakan salah satu badan yang terlibat dalam
upaya tersebut.
252.2, Gambaran Umum Perkembangan Sektor Keuangan Di Indonesia
Periodeisasi_perkembangan sektor kcuangan sccara singkat dapat
dibagi sebagai berikut:
2.2.1. Periode Orde Baru (1966 - 1988)
Selama periode ini, scktor keuangan berada dalam kendali
pemerintah, utamanya karena alasan-alasan ideologis yang berupaya untuk
sedapat mungkin menghindari kapitalisme dalam scktor keuangan. Setelah
melalui berbagai macam rangkaian proses nasionalisasi sistem keuangan di
Indonesia didominasi oleh oleh bank-bank pemerintah yang bertidak
sebagai bank-bank komersial, tabungan dan bank pembangunan, Bank
Sentral juga bertindak sebagai kasir pemerintah. Hiperinflasi sebagai
implikasi dari kondisi tersebut pada kurun akhir orde lama yang terjadi
sebagai akibat dari Kelebihan likuiditas (excess liquidity) dan pencetakan
uuang ketika pemerintah meminjam secara berlebihan dari batas 30 persen
yang ditetapkan sebagai cadangan treasury.
Pemerintah merestrukturisasi lembaga-lembaga keuangan yang
dimiliki oleh negara ke dalam satu Bank Sentral, lima bank pemerintah
dimana setiap bank tersebut memiliki wilayah dan spesialisasi paling sedikit
yang mencakup dua sektor ekonomi yang penting sebagai berikut:
1, Bank Negara Indonesia 1946 metiputi sektor industri/transportasi, dan
yertanian;
2, Bank Rekyat Indonesia meliputi sektor koperasi, pertain,
perikanan/nclayan dan pembagunan pedesaan;
3. Bank Bumi Daya meliputi sektor pertambangan dan ekspor,
perkebunan;
4, Bank EXIM meliputi ekspor dan pemasaran serta perkebunan.
Satu bank pembagunan yaitu Bapindo, dan satu bank tabungan yaitu
Bank tabungan Negara (BTN). Bank-bank pemerintah tersebut memperoleh
beberapa keistimewaan (previleges) yang semakin memperkuat posisi
mereka terhadap bank swasta, misalnya: akses ke Bank Sentral untuk
‘memperolch kredit likuiditas pada tingkat suku bunga yang rendah, jaminan
pemerintah secara implisit, jaringan kerja dari cabang-cabang yang terscbar
hampir di scluruh wilayah Indonesia, dan captive market untuk deposito dari
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Alasan utama dari diberikannya
beberapa fasilitas terhadap bank-bank pemerintah tersebut adalah
interpretasi dari Pasal 33 UD 1945.
26
Pemerintah juga memberi ijin kepada bank-bank asing untuk
beroperasi di Indonesia melalui subsidi kepemilikan secara penuh pada
tahun 1967 meskipun mereka tidak dapat memberikan pelayanan dalam hal
tabungan deposito, dibatasi hanya bolch memiliki dua cabang dan tidak
bolch melakukan pinjaman di luar Jakarta, Izin masuk bagi bank-bank asing
ditutup pada tahun 1969.
Bank Indonesia juga memainkan peranan kunci dalam perkembangan
sektor keuangan dengan memberikan pinjaman langsung untuk mendukung
proyek-proyek besar yang tidak dapat didanai oleh oleh bank-bank milik
pemerintah lainnya, Pada tahun 1968 bank-bank pemerintah memegang 74
persen dari total deposito perbankan, dan bank-bank pemerintah bersama-
sama dengan Bank Indonesia tercatat menyalurkan 93 persen dari total
kredit bank komersil. Sedangkan bank-bank swasta lainnya yang berjumlah
122 buah hanya tercatat menyalurkan 25 persen dari aset dan 6 persen
kredit
Dominasi negara di sektor keuangan terus berlanjut sampai pada masa
awal-awal bom minyak pada awal dasawarsa 1970-an dan tahun-tahun
selanjutaya pada kurun waktu bom minyak tersebut. Ijin masuk bank swasta
ditutup pada tahun 1977 di mana jumlah bank swasta turun dari 97 bank
menjadi 60 anatara tahun 1978-1982. Pemerintah juga mendorong agar
bank-bank swasta tersebut untuk merger. Pada masa bom minyak tersebut,
Kelebihan penerimaan pemerintah dari scktor migas disalurkan ke
perekonomian domestik melalui suatu sistem likuiditas kredit dan alokasi
Kredit. Kredit likuiditas dari bank sentral mencapai sekitar S0_persen dari
total kredit dan dialokasikan untuk pembagunan industri, didistribusikan
pada sektor usaha kecil dan menengah, dan untuk mendukung_produksi
beras yang bertujuan untuk mencapai swasembada pangan. Hasil dari
Kebijakan tersebut adalah sistem perbankan memiliki banyak kekurangan
dan kerapuhan dengan produktivitas investasi yang rendah, yang tidak
berfungsi sebagai alat intermediasi tetapi yang terjadi hanyalah penyaluran
kelebihan dari penerimaan penjualan minyak dengan pengelolaan yang
Jemah dan tingkat kegagalan yang tinggi. Tingkat suku bunga rill negatif
sopanjang periode tingkat suku bunga yang diregulasi pada tahun 1974-
1983,
Detikian pula halnya dengan pasar modal, sampai pada tahun 1982
tidak begitu banyak aktivitas yang dilakukan, kalau pun ada hanyalah dalam
persentase yang kecil dari iotal kredit yang ada pada saat itu, dengan
perusahean asing yang umumnya terdaftar sebagai bagian dari persyaratan-
persyaratan divestasi yang dikenakan kepada mereka.
72.2. 2, Liberalisasi Keuangan, Kerentanan, dan Krisis (1988-1996)
Sebagai bagian dari reformasi awal dalam menghadapi turunnya harga
minyak pada awal dasawarsa 1980-an, pagu kredit (credit ceiling) dan
pengendalian tingkat suku bunga pun diubah, Tingket suku bunga riil
‘menjadi positif pada saat pertumbuhan deposito sedemikian cepatnya dan
rasio M2/GDP meningkat secara dramatis dari 18 persen menjadi 30
persen pada periode 1982-1988. Kredit dari bank-bank swasta juga
meningkat dua kali lipat secara dramatis dengan pangsa sebesar 25. persen
‘menjelang tahun 1988.
Pada tahun 1988 pemerintah melakukan liberalisasi yang menyeluruh
pada sektor Keuangan, memberikan ijin masuk bagi bank-bank asing dan
bank swasta dengan persyaratan modal minimum sebesar 50 milyar rupiah
untuk bank-bank asing dan 10 milyar rupiah untuk bank-bank swasta,
Pemerintah juga memberikan kebebasan yang Icbih besar utnuk membuka
kantor-kantor cabang, menurunkan persyaratan cadangan (reserve
requirement). Langkab-langkah lain yang diambil untuk menguatkan
eksistensi pasar modal adalah dengan mempermudah persyaratan untuk go
‘public, menghapuskan batas batas pada fluktuasi harga, dan menghapuskan
ppembebasan pajak 1S_persen pada deposito untuk menyamaken perlakuanh
terhadap deviden, Langkah-langkah berikutnya yong diambil adalah
‘Undang-Undang Perbankan yang baru yang menghapuskan spesialisasi dari
bank-bank pemerintah dan pengurangan yang subtansial dalam likuiditas
kredit.
Scbagai akibat dari liberalisasi sektor keuangan yang ekstensif,
peningkatan jumlah bank terjedi secara dramatis, berlipat ganda dari 119
bank menjelang tahun 1991 menjadi 164 bank menjelang tahun 1996 dan
peningkatan jumlah pangsa bank swasta pada aset dari 40 persen menjadi
‘60 persen dari total aset sektor perbankan pada periode 1992-1996.
Peningkatan yang cukup besar terjad pula pada pasar modal di mana
kpitalisasi modal meningkat dari setengah milyar menjadi 16
Rupiah dengan jumlah perusahan yang go public meningkat di
perusahaan menjadi 128 perusahaan pada tahun 1991.
‘Akan tetapi, ekspansi yang sedemikian cepat itu tidak dibarengi oleh
insentif yang tepat, peramran dan kerangka kerja kelembagaan, Jumlah
modal minimum yang dipersyaratkan untuk membuka suatu bank sangatlah
rendah dan kualifikasi-kualif kasi para pemilik dan manajer yang ada
tidaklah layak, Peraturan kehati-hatian yang yang lebih Ketat dan
komprehensif dikeluarkan hanya pada tahun 1991 setelah banyak bank-banke
baru yang sudah didirikan, Peraturan kehatichatian (prudential regulation)
24
28
yang baru mempersyaratkan kebutuhan modal minimum yang lebih tinggi,
mengeluarkan peraturan mengenai kualifikasi bagi para pemilik dan
manajer bank yang lebih ketat, dan menetapakan batas maksimum
pemberian kredit (BMPK) terhadap grup perusahaan uang masih mem
hubungan dengan bank yang didirikan oleh kelompok perusahaan tertentu
bik tunggel maupun berkelompok, Akan tetapi, beberapa aspek masih
Jemah terutama yang berkaitan dengan standard-standard Klasifikasi dan
masalah pinjaman (loan).’Lebih jauh lagi, peraturan-peraturan yang lebih
baik dicampuradukan dengan pengawasan yang tidak cfcktif dari Bank
Indonesia. Ketidakpatuhan dan pelanggaran terhadap peraturan kchati-
hhatian tidak dijatuhi sanksi yang tepat akibat intervensi politik atau
pelanggaran dengan penyuapan. Di samping itu, tidak ada straicgi jalan
keluar yang jelas dengan bank-bank yang foo big too fail atau too important
100 fail yang berkaitan dengan link antara pemilik bank dan para pemegang
kekuasaan (center of power) atau karena bank tersebut dimiliki oleh
pemerintah, Meskipun mengalami masalah yang besar, sejumlah bank
pemerintah dan bank swasta tetap dibiarkan terus dengan talangan (bail out)
dari pemerintah pada saat itu, dan hanya satu bank swasta yang ditutup,
yaitu Bank Summa,
Kurangnya insentif dalam menjatankan suatu resiko yang tepat
menyebabkan kerawan-kerawanan (vulnerabilities) di sektor perbankan,
Meskipun liberalisasi sektor perbankan masih terkonsentrasi pada bank-
bank pemerintah dan 10 bank swasta papan alas yang memiliki aset
mendekati 70 persen dari aset bank-bank swasta. Kesepuluh bank swasta
terscbut berafliasi erat dengan grup-grup bisnis besar dan bahkan setclah
beberapa bank tersebut telah menjual sahamnya di pasar modal, mereka
‘masih menguasai saham pada bank dan juga perusahean yang mercka
miliki, Hal ini meyebabkan asymmetry of information dan masalah-masalah
serius yang berkenaan dengan governance, misalnya pemberian kredit
kepada kelompok bisnis yang masih ada hubungannya dengan pemilik bank,
kkarena pemilik bank terscbut biasanya juga merupakan pemilik kelompok
bisnis, investasi yang teralu berlebihan pada scktor-sektor yang beresisko
tinggi seperti real estate. Sistem perbankan juga menjadi berkelebihan akan
modal karena adanya aliran modal masuk yang berasal dari pinjaman dari
lar negeri (offshore borrowing) dalam jumlah yang besar dan banyak
investor yang berbondong-bondong menanamkan modalnya di Indonesia,
Offshore borrowing tersebut banyak menarik nasabsh besar domestik
karena tingkat suku bunga dalam negeri lebih tinggi akibat dari kebijakan
moneter pemerintah yang ketat yang bertyjuan untuk menjaga stabilitas
‘makro ekonomi. Berlebihnya likuiditas, kurangnya insentif dan lingkungan
29