You are on page 1of 24

I. PENDAHULUAN Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba.

Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis da n mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. Oleh karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi epilepsi.

II. EPILEPSI A. Definisi Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi

dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subyektif), gangguan motorik atau kejang (obyektif), gangguan otonom (vegetatif) dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga dikenalah bermacam jenis epilepsi. B. Etiologi Epilepsi sebagai gejala klinis bisa bersumber pada banyak penyakit di otak. Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik, misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. Bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20%-30%. Beberapa jenis hormon dapat mempengaruhi serangan epilepsi seperti hormon estrogen, hormon tiroid (hipotiroid dan hipertiroid) meningkatkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi, sebaliknya hormon progesteron, ACTH, kortikosteroid dan testosteron dapat menurunkan kepekaan terjadinya serangan epilepsi. Kita ketahui bahwa setiap wanita di dalam kehidupannya mengalami perubahan keadaan hormon (estrogen dan progesteron), misalnya dalam masa haid, kehamilan dan menopause. Perubahan kadar hormon ini dapat mempengaruhi frekuensi serangan epilepsi. C. Klasifikasi Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):

1. Serangan parsial A. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik) Dengan gejala motorik Dengan gejala sensorik Dengan gejala otonom Dengan gejala psikis B. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu) Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran Gangguan kesadaran saat awal serangan C. Serangan umum sederhana Parsial sederhana menjadi tonik-klonik Parsial kompleks menjadi tonik-klonik Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik 2. Serangan umum A. Absence / lena / petit mal Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara menyeluruh. B. Klonik Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik

fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik. C. Tonik Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. D. Tonik-klonik /Grand mal Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yang disertai dengan relaksasi). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya. E. Mioklonik Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. F. Atonik Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba. 3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap).

Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu 1. Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak. 2. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.

Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah : 1. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike) Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital b. Simptomatik Lobus temporalis Lobus frontalis Lobus parietalis Lobus oksipitalis 2. Umum a. Idiopatik Kejang neonatus familial benigna Kejang neonatus benigna Kejang epilepsi mioklonik pada bayi Epilepsi Absans pada anak Epilepsi Absans pada remaja Epilepsi mioklonik pada remaja Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak

b. Simptomatik Sindroma West (spasmus infantil) Sindroma West terdiri dari trias yaitu infantile spasms, hypsaritmia pada gambaran interiktal EEG, dan retardasi mental Sindroma Lennox Gastaut Liga Anti epilepsi indonesia memperluas definisi SLG dengan menambah tipe bangkitan kejang lain berupa mioklonik. SLG merupakan sindrom klinis yang bermanifestasi pada anak usia 1-8 tahun, utamanya usia prasekolah. Tipe bangkitan kejang yang terbanyak adalah tonik-aksial, atonik dan absans. Tipe bangkitan kejang lain adalah mioklonik, tonikklonik umum atau parsial. Frekuensi bangkitan kejang maupun status epileptikus berlangsung sering. Latar belakang EEG menunjukkan pola abnormal berupa paku ombak (POL) < 3Hz dan abnormalitas yang ada kadang multifokal. Saat tidur muncul letupan atau ritme yang cepat 10 Hz. Umumnya pada SLG dijumpai retardasi mental. 3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2) Serangan neonatal 4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi Kejang demam Berkaitan dengan alkohol Berkaitan dengan obat-obatan Eklampsia Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi). Diagnosis pasti epilepsi adalah dengan menyaksikan secara langsung terjadinya serangan, namun serangan epilepsi jarang bisa disaksikan langsung oleh dokter, sehingga diagnosis epilepsi hampir selalu dibuat berdasarkan alloanamnesis. Namun alloanamnesis yang baik dan akurat sulit didapatkan, karena gejala yang diceritakan oleh orang sekitar penderita yang menyaksikan sering kali tidak khas, sedangkan penderitanya sendiri tidak tahu sama sekali bahwa ia baru saja

mendapat serangan epilepsi. Satu-satunya pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penderita epilepsi adalah rekaman elektroensefalografi (EEG). D. Patofisiologi Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah: Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter. Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetilkolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu: Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik. Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak. Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait : Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk menimbulkan bangkitan. Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul. Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri,

thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus. Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu : 1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda. 2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF. 3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada. Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar. E. Gejala Kejang parsial simplek Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa: - deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya

- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan - Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh tertentu. - Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu - Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks - Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi: - Gerakan seperti mencucur atau mengunyah - Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya - Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung - Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang - Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien

tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

F. DIAGNOSIS Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.

1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi: - Pola / bentuk serangan - Lama serangan - Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekuensi serangan - Faktor pencetus - Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya - Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. 3. Pemeriksaan penunjang a. Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal. 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

b. Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan.

G. TERAPI Status epileptikus merupakan kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan pengobatan yang tepat untuk meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian . Definisi dari status epileptikus yaitu serangan lebih dari 30 menit, akan tetapi untuk penanganannya dilakukan bila sudah lebih dari 5-10 menit. Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:

OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.

Terapi dimulai dengan monoterapi Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif.

Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi : Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA) Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na +, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter. Penghentian pemberian OAE Pada anak-anak penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan . Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut: Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan

Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya:

1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin. 2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen 3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan eksitabilitas glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium. 4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T) dan kalium. 5. Levetiracetam : Tidak diketahui 6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N 7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent 8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas chanel. 9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-

Mediated chloride, modulasi efek reseptor GABAA. 10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate. Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE antaralain: 1. Syarat umum yang meliputi : Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan

pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan. Gambaran EEG normal

Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan. Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. 2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. Epilepsi simtomatik Gambaran EEG abnormal Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan. Penggunaan OAE lebih dari 1 Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

Status Epileptikus Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.

Klasifikasi Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi

awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset ) kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.S a t u v e r s i m e n g k a t e g o r i k a n s t a t u s e p i l e p t i k u s b e r d a s a r k a n s t a t u s e p i l e p t i k u s u m u m (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana,parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahapkehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,hanya dewasa).

Etiologi dan Patofisiologi Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain alkohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal, penyakit cerebrovaskular, epilepsi kronik, infeksi SSP, toksisitas obat-obatan, metabolik, trauma, tumor. Secara klinis dan b e r d a s a r k a n E E G , s t a t u s e p i l e p t i k u s d i b a g i m e n j a d i lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti p e n i n g k a t a n a l i r a n d a r a h o t a k d a n c a r d i a c o u t p u t , peningkatan oksigenase jaringan otak, peningk atan tekanan darah, peningkatan laktatserum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH y ang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosaserum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga a k t i v i t a s k e j a n g b e r l a n j u t m e n g a r a h p a d a t e r j a d i n ya h i p e r t e r m i a ( s u h u m e n i n g k a t ) , perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika p e n i n g k a t a n p e r n a f a s a n y a n g b u r u k m e m e r l u k a n m e k a n i s m e v e n t i l a s i . K e a d a a n i n i diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap

kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut. Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus,tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga,kelima, dan k e e n a m d a r i k o r t e k s serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syar af maksimal dalam zona Summer. Komplikasi terjadinya status epileptikus antara lain apnoe, hipotensi, edema cerebri, dehidrasi, gagal jantung, dsb. Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium. Gambaran klinik Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) m e r u p a k a n b e n t u k s t a t u s e p i l e p t i k u s y a n g p a l i n g s e r i n g d i j u m p a i , h a s i l d a r i s u r v e i ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi. A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus) I n i m e r u p a k a n b e n t u k d a r i S t a t u s E p i l e p t i k u s ya n g p a l i n g s e r i n g d i h a d a p i d a n potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik u m u m a t a u k e j a n g p a r s i a l y a n g c e p a t b e r u b a h m e n j a d i t o n i k k l o n i k u m u m . P a d a status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan o t o t - o t o t a k s i a l d a n p e r g e r a k a n p e r n a f a s a n ya n g t e r p u t u s p u t u s . P a s i e n m e n j a d i sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan

darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan p e n i n g k a t a n l a k t a t s e r u m t e r j a d i ya n g m e n g a k i b a t k a n penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus) Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivi tas klonik umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua. C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome D. Status Epileptikus Mioklonik Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif. E. Status Epileptikus Absens Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatukeadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slowmotion movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin adariwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihataktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati. F. Status Epileptikus Non Konvulsif Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-

konvulsif ditandaidengan stupor atau biasanya koma.Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens. G. Status Epileptikus Parsial Sederhanaa. a. Status Somatomotorik Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian marchpada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana seringberhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten ataugangguan berbahasa (status afasik). b. Status Somatosensorik Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejalasensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march H. Status Epileptikus Parsial Kompleks Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus. Penatalaksanaan untuk status epileptikus 1. Stadium I (0-10 menit) memperbaiki fungsi kardio dan respirasi memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bilama diperlukan.

2. Stadium II (1-60 menit) pemeriksaan status neurologik pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu pemeriksaan EEG pasang infus ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laborat pemberian OAE cito : diazepam 0.2mg/kg dengan kecepatan pemberian 5 mg/ menit IV dapat diulang lagi bila kejang masih berlangsung setelah 5 menit pemberian. Beri 50cc glukosa Pemberian tiamin 250 mg intravena pada pasien alkoholisme Menangani asidosis dengan bikarbonat.

3. Stadium III 90-60/90 menit) menentukan etiologi bila kejang terus berkangsung setekah pemberian lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg dengan kecepatan kuranglebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan darah. Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat pemberian) Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan. Mongoreksi komplikasi

4. Stadium IV (30-90 menit) Bila tetap kejang, pindah ke ICU Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)

DAFTAR PUSTAKA

1. http://journal.uii.ac.id/index.php/JKKI/article/viewFile/547/471 2. http://digilib.unsri.ac.id/download/epilepsi%20dlm%20kehamilan.pdf 3. http://kholilahpunya.wordpress.com/2011/01/21/referat-neurologi-epilepsi/ 4. http://www.scribd.com/doc/38128375/epilepsi

5. http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:yXiESTVNl9MJ:mki.idionline.o rg/index.php%3FuPage%3Dmki.mki_dl%26smod%3Dmki%26sp%3Dpublic% 26key%3DNi00+sindrom+west&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESgQ2P GYB67fVOBV7dArdsGgMSg4Hu5NkOGhZ7cjiJ_qaV0nnPoU1aVfhf00_LGv 4CiG5BwAquFgKPFajyz-s-L0yw5n3sXrl29NSsDxsCOisHuoQR9Mb4nyFjzR3aikw7c1vdb&sig=AHIEtbT6 u3W6WrLwAlYE9QkBIEf8ymWhwg 6. Pedoman Tatlaksana Epilepsi Pokdi Epilepsi Perdossi. Jakarta. 2003 7. http://www.scribd.com/doc/48942862/Status-Epileptikus 8. http://www.scribd.com/doc/53180890/epilepsy

You might also like