You are on page 1of 5

1

Paper of Research Result Seminar


PENGARUH BAP DAN MACAM TEKNIK PENYAMBUNGAN TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis L.) letak tempat, tingkat pembuahannya semakin berkurang, sehingga umur tanaman untuk mencapai kriteria matang sedap semakin panjang (Herdiana, 2002). Hambatan yang dihadapi dalam budidaya tanaman karet adalah pada saat pelaksanaan okulasi baik budding atau grafting para petani karet sering mengabaikan teknik yang benar sehingga di dalam pembibitan sering terjadi banyak bibit yang mati karena stress akibat di okulasi, sehingga bibit yang seharusnya bermanfaat menjadi terbuang sia-sia (Sutjipto, 2011). Perbanyakan tanaman secara generatif-vegetatif adalah perbanyakan tanaman gabungan antara perbanyakan generatif yaitu dengan persemaian biji, kemudian setelah tumbuh menjadi bibit, tanaman tersebut disambung atau diokulasi dengan tanaman yang kita kehendaki. Kedua tanaman yang disatukan masing-masing mempunyai keunggulan. Tanaman yang menjadi batang bawah atau rootstock adalah tanaman yang berfungsi sebagai kaki penyangga untuk menopang bagian tajuk tanaman. Batang bawah dipilih dari biji tanaman yang kekar, sehat, perakarannya kuat dan tahan terhadap penyakit. Tanaman yang menjadi batang atas atau disebut entres adalah calon bagian tajuk tanaman, yang selanjutnya akan menghasilkan cabang, ranting, daun, bunga, dan buah yang berkualitas unggul (Widarto, 1996). Secara garis besar ada dua cara penyambungan, penyambungan batang (grafting), dan penyambungan tunas/mata tunas (budding). Penyambungan (grafting) adalah menyambungkan batang bawah dan batang atas dari tanaman yang berbeda sehingga tercapai persenyawaan dan kombinasi ini akan terus membentuk tanaman baru. Penyambungan batang bawah dan batang atas ini biasanya dilakukan antara dua varietas yang masih dalam satu spesies. Namun kadang-kadang dapat dilakukan penyambungan antara dua tanaman yang berlainan spesiesnya tetapi masih dalam satu famili (Hamim dan Yohana, 2005). Teknik penyambungan dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk (lebih dari 100 bentuk sambungan). Tetapi semuanya memiliki prinsip yang sama yaitu menyambungkan dua bagian tanaman atau lebih ke dalam satu tanaman sehingga diperoleh tanaman baru dengan kombinasi sifat-sifat dari tanaman yang disambungkan (Widarto, 1996). Zat pengatur tumbuh menurut Salisbury dan Ross (1992) adalah senyawa organik yang disintesis disalah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respon fisiologis. Sitokinin merupakan salah satu dari jenis zat pengatur tumbuh. Sitokinin disintesis dari akar dan di transfer melalui pembuluh angkut ke daun. Pada daun tersebut sitokinin merangsang aktivitas pembelahan sel. Setiawan (2009) menambahkan bahwa, sitokinin merupakan zat pengatur tumbuhan turunan adenin yang berfungsi untuk merangsang pembelahan sel dan diferensiasi mitosis, disintesis pada ujung akar dan ditranslokasikan melalui pembuluh xilem. Jenis sitokinin biasanya digunakan untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan. Yang termasuk kedalam jenis sitokinin yang sering digunakan adalah kinetin, 2iP, PBA, dan Benzyl Amino Purine (BAP) (Pierik, 1987). Menurut

Irfan Rahmat Nugraha 1), Drs. Lucky Prayoga, MP. 2), Drs. Rochmatino, M.Si. 3) H.M.A. Hadi Sutjipto, B.Sc. 4) Biology Faculty, Jenderal Soedirman University Accepted November 2011
1)

Pemrasaran, 2) Pembimbing I, 3) Pembimbing II, 4) Pembimbing III


INTISARI

Penelitian ini telah dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari teknik penyambungan dan pengaruh pemberian BAP pada pertumbuhan bibit tanam karet (Hevea brasiliensis) dan menentukan teknik penyambungan dengan konsentrasi BAP yang paling baik terhadap pertumbuhan tanaman karet. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola Split Plot. Main-plot terdiri dari dua teknik penyambungan; teknik penyambungan cara belah biasa dan teknik penyambungan cara cemeti. Sub-plot penambahan konsentrasi BAP (0, 2, 4, 6, 8 ppm) percobaan diulang sebanyak tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varian (ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode penyambungan dan pemberian BAP tidak dapat mempercepat pertumbuhan bibit tanaman karet. Kata kunci : Tanaman Karet, Hevea brasiliensis, Teknik Penyambungan, BAP I. PENDAHULUAN Pohon karet (Hevea brasiliensis) bukan merupakan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari hutan daerah Amazon, Brasil. Pertama kali ditanam di Indonesia adalah di kebun raya Bogor sebanyak 4 pohon yang kemudian menjadi nenek moyang pohon karet yang ada di Indonesia. Tanaman karet tumbuh dengan baik di daerah tropis sampai batas subtropis. Curah hujan optimal antara 1500 3500 mm/setahun dengan musim kering sekitar 3 bulan. Suhu optimal rata-rata 28 0C dengan letak ketinggian optimal 0 200 m diatas permukaan laut, semakin tinggi

2
Gunawan (1995) salah satu golongan sitokinin yang aktif adalah BAP. Dalam jumlah yang sangat kecil (0,01-0,05 mg/l) dapat bersifat merangsang multiplikasi pucuk. Menurut Pierik (1987), 6-Benzylamino purine (BAP) digunakan karena 1) aktif pada konsentrasi rendah; 2) relatif stabil pada larutan encer; 3) mudah diserap. Salisbury dan Ross (1992) menambahkan bahwa BAP mampu memacu perkembangan kloroplas dan sintesis klorofil. BAP akan merangsang pecahnya seludang tunas dan tumbuhnya mata tunas, serta mencegah dominansi apikal yang menghambat pertumbuhan tunas samping. Menurut Wattimena (1992), pengaruh sitokinin pada sintesis protein diduga karena kesamaan struktur sitokinin dengan adenin yang merupakan komponen DNA dan RNA. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah ada pengaruh teknik penyambungan dan penambahan BAP pada pertumbuhan bibit tanaman karet. 2. Apakah teknik penyambungan dengan penambahan BAP akan memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan bibit tanaman karet Berdasarkan perumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui pengaruh teknik penyambungan dan penambahan BAP terhadap pertumbuhan bibit tanaman karet. 2. Menentukan teknik penyambungan dan konsentrasi BAP yang terbaik terhadap pertumbuhan bibit tanaman karet. II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.1. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 2.1.1. Materi 2.1.1.1. Bahan Bahan yang digunakan tanaman adalah; karet klon BPM 24 sebagai seddling, tanaman karet klon RRIM 712 sebagai entres, BAP (2 ppm, 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm), pupuk, dan tanah latosol. 2.1.1.2. Alat Alat-alat yang digunakan meliputi: pisau okulasi, plastik es, kertas label, polybag ukuran 2545cm, cangkul, meteran/penggaris dan alat tulis (buku, pensil). 2.1.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di perkebunan PT. Wiriacakra Estate & Industrial Coy. Ltd. Perkebunan Kahuripan yang beralamat di Desa Nagara Tengah Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Juli Agustus tahun 2011. 2.2. Metode Penelitian 2.2.1. Rancangan Percobaan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan menggunakan Rancang Acak Lengkap (RAL) pola Split Plot dengan main-plot 2 teknik penyambungan; penyambungan cara cemeti dan cara belah biasa, dan sub-plot pemberian hormon BAP (2, 4, 6, 8 ppm). Pola perlakuan tersebut antara lain: 1. Teknik penyambungan cara cemeti (S1) BAP 0 / K0 : kontrol (tidak diberi perlakuan) BAP 1 / K1 : pemberian BAP dengan konsentrasi 2 ppm BAP 2 / K2 : pemberian BAP dengan konsentrasi 4 ppm BAP 3 / K3 : pemberian BAP dengan konsentrasi 6 ppm BAP 4 / K4 : pemberian BAP dengan konsentrasi 8 ppm 2. Teknik penyambungan cara belah biasa (S2) BAP 0 / K0 : kontrol (tidak diberi perlakuan) BAP 1 / K1 : pemberian BAP dengan konsentrasi 2 ppm BAP 2 / K2 : pemberian BAP dengan konsentrasi 4 ppm BAP 3 / K3 : pemberian BAP dengan konsentrasi 6 ppm BAP 4 / K4 : pemberian BAP dengan konsentrasi 8 ppm Perlakuan diulang sebanyak tiga (3) kali, dengan total sebanyak 30 unit. 2.2.2. Variabel dan Parameter Penelitian Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah pertumbuhan tanaman karet. Parameter yang diukur adalah persentase hidup, waktu tumbuh tunas, panjang tunas dan jumlah tunas. 2.2.3. Cara Kerja 1. Teknik Sambung Cemeti Batang bawah (tinggi 20 cm dari permukaan tanah) dan entres (panjang 15 cm) pada bagian pangkalnya dipotong dengan bentuk diagonal. Panjang sayatan masing-masing diagonal sepanjang 4 cm. Selanjutnya sambungan kedua berbentuk diagonal yang berlawanan arah dari batang bawah dan entres, lalu sambungan diikat erat dan rapat dengan plastik es. Sebelum disambungkan entres dicelupkan ke dalam hormon BAP terlebih dahulu selama 30 detik. Tutup/kerudungi hasil sambungan dengan plastik untuk mengantisipasi masuknya air kedalam sambungan. 2. Teknik Sambung Belah Biasa Batang bawah dipotong serong setinggi 20 cm diatas permukaan tanah dengan menggunakan pisau okulasi yang tajam agar irisan menjadi rapih. Batang bawah kemudian diiris sepanjang 4 cm pada bagian tengah sejajar dengan batang bawah yang dipotong serong. Kemudian entres yang tangkai daunnya telah dirompes terlebih dahulu, pada bagian pangkalnya disayat tipis pada kedua sisinya sepanjang 4 cm dengan panjang entres 15

3
cm. Sebelum disambungkan entres dicelupkan ke dalam hormon BAP terlebih dahulu selama 30 detik. Selanjutnya entres dimasukkan ke dalam belahan batang bawah. Kemudian sambungan diikat dengan plastik es. Pengikatan harus cukup erat dan rapat agar air hujan tidak mudah masuk ke luka sayatan. Tutup/kerudungi hasil sambungan dengan plastik untuk mengantisipasi masuknya air kedalam sambungan. 2.3. Metode Analisis Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam (uji F). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Selama penelitian berlangsung dilakukan pengamatan terhadap faktor lingkungan sebagai variabel pendukung yang meliputi curah hujan, suhu dan kelembaban. Rata-rata curah hujan selama percobaan berkisar antara 16,5 28,5 mm/hh dengan suhu berkisar antara 28,9 35,2 0C dan kelembaban 66 75 %. Menurut Anwar (2001), Curah hujan optimal yang sesuai untuk tanaman karet antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun, dengan hari hujan berkisar antara 100 150 hh/tahun. Suhu optimal diperlukan berkisar antara 25oC sampai 35oC. Kelembaban nisbi (RH) yang sesuai untuk tanaman karet adalah rata-rata berkisar diantara 75 90 %. Sehingga suhu disekitar tempat penelitian sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman karet. Namun demikian, kelembaban di sekitar tempat penelitian yang rendah dan kurangnya curah hujan pada saat penelitian mungkin mengakibatkan pertumbuhan bibit tanaman karet sedikit terhambat. 3.1. Persentase Hidup Hasil pengamatan persentase hidup menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan penyambungan dengan penambahan zat pengatur tumbuh BAP adalah 85%. Pemberian BAP pada waktu penyambungan menunjukkan hasil yang baik terhadap persentase hidup tanaman karet. Hadiyati (1994) berpendapat bahwa pertautan batang bawah dan batang atas yang serasi mempunyai kemampuan yang sama dalam penyediaan energi khususnya pati. Energi dari hasil asimilat tersebut oleh tanaman digunakan untuk menghasilkan kalus yang berperan dalam proses pertautan batang bawah dan batang atas, sehingga akan terjadi pembengkakan batang di sekitar penyambungan yang ditandai batang atas tumbuh segar dan berwarna hijau. Sebaliknya ketidakserasian antara batang bawah dan batang atas akan ditandai dengan mengeringnya batang. Menurut Kusumo (1984) dalam Maryani (2005) zat pengatur tumbuh sitokinin (termasuk BAP) berperanan dalam pembelahan sel dan morfogenesis. Pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembentukan kalus dan selanjutnya diikuti pembentukan tunas. Hal ini menunjukkan bahwa peranan BAP sangat penting dalam proses terbentuknya kalus hingga terjadi pertautan antara batang atas dan bawah. Seperti yang dikatakan Sunaryono et al., (1990) menyatakan bahwa proses pembelahan sel dipacu oleh sitokinin (BAP). 3.2. Waktu Tumbuh Tunas Hasil pengamatan waktu tumbuh tunas secara visual dapat dilihat bahwa penyambungan cara cemeti K1 (BAP 2 ppm), tunas muncul paling cepat yaitu 43 hari setelah penyambungan, sedangkan tunas muncul paling lama pada perlakuan K3 (BAP 6ppm) yaitu pada hari ke-45. Sementara itu, penyambungan cara belah biasa menunjukkan tunas muncul paling cepat pada K4 (BAP 8 ppm) 45,5 hsp, sedangkan muncul tunas paling lama terlihat pada perlakuan K3 (BAP 6 ppm) 46 hsp. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Karyudi dan Rasidin (1990), yang menunjukkan bahwa tingkat perkembangan pecahnya tunas pada tanaman karet berlangsung sejak dua minggu setelah penyambungan.

Gambar 1. Histogram Waktu Tumbuh Tunas

Berdasarkan hasil uji variansi menunjukkan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh BAP tidak mampu memacu percepatan waktu muncul tunas. Munculnya tunas yang lambat diduga karena pemberian zat pengatur tumbuh yang kurang sesuai dan kurangnya cadangan makanan yang diperlukan untuk memacu inisiasi pembentukan kalus di daerah pertautan dan merangsang mata tunas/entres untuk pecah dan tumbuh. Hadiyati (1994), bahwa pada saat terjadinya pecah tunas diperlukan energi yang berasal dari asimilat yang dihasilkan batang bawah. Jadi semakin baik pertumbuhan batang bawah yang ditunjang dengan batang atas yang sehat akan mempercepat saat pecah tunas. 3.3. Panjang Tunas (Tinggi tunas) Hasil pengukuran panjang tunas secara visual menunjukkan bahwa penyambungan cemeti K1 (BAP 2ppm) menghasilkan rataan tunas terpanjang (31,0 cm), sedangkan K0 (BAP 0ppm) menghasilkan rataan terpendek (18,7 cm) . Sementara penyambungan belah biasa K1 (2 ppm) menghasilkan rataan panjang tunas terpanjang (29,7 cm) (lampiran 5, gambar 7), dan K0 (BAP 0ppm) dengan rataan terpendek (18,0 cm). Penambahan panjang tunas menurut Darliah et al. (1994)

4
merupakan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan sel yang tergantung dari suplai unsur hara yang diberikan oleh akar untuk metabolisme dan sintesis protein. meningkatkan jumlah tunas pada tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Hal ini dimungkinkan salah satu penyebabnya adalah konsentrasi BAP yang diberikan. Menurut Tiwari et al. (2000) dalam Azwin et al. (2006) bahwa konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat menyebabkan tunas berkurang, dan BAP melebihi kadar optimum yang dibutuhkan tanaman umumnya menyebabkan perkembangan tajuk atau tunas terhambat. Tumbuhnya tunas pada penelitian ini paling tidak mengindikasikan bahwa zat pengatur tumbuh yang digunakan (BAP) tidak kehilangan aktivitasnya untuk dapat merangsang atau memacu sel atau jaringan target. BAP merupakan zat pengatur tumbuh yang sangat aktif, stabil pada larutan encer, sangat mudah diserap, mudah ditranslokasikan, mudah disimpan, mudah dimetabolismekan dan sangat aktif meskipun pada konsentrasi yang rendah (Heylen et al., 1991; Bertell dan Eliasson, 1992) IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa penyambungan dengan penambahan BAP tidak dapat memacu pertumbuhan pada bibit tanaman karet disetiap parameter. Namun secara visual model penyambungan cemeti dengan penambahan BAP 2ppm mampu memacu pertumbuhan watku muncul tunas, panjang tunas, dan jumlah tunas. B. Saran Pada penyambungan dengan penambahan zat pengatur tumbuh BAP perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui model penyambungan yang tepat dan penambahan konsentrasi BAP yang lebih tepat atau mungkin dengan cara dikombinasikan dengan hormon lain untuk mengetahui pertumbuhan lebih cepat dan lebih baik pada pertumbuhan bibit tanaman karet. DAFTAR REFERENSI Anwar, C. 2001. Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet MiG corp., Medan. Ariyanti, N. 1997. Pengaruh Berbagai Teknik Penyambungan Terhadap Pertumbuhan Tanaman Karet (Hevea brasiliensis L.) di Pembibitan. Skripsi (tidak di publikasikan). Fakultas Pertanian, Unsil. Tasikmalaya. Azwin, Iskandar Z.S., dan Supriyanto. 2006. Penggunaan BAP dan TDZ Untuk Perbanyakan Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Media Konservasi XI(3): 98 104

Gambar 2. Histogram Panjang Tunas

Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa teknik penyambungan dan penambahan BAP tidak dapat memacu pertumbuhan panjang tunas. Pertumbuhan tunas memerlukan bantuan hormon-hormon pertumbuhan untuk merangsang perkembangan dan diferensiasi selnya. Menurut Janick (1972) pertumbuhan tunas juga dipengaruhi oleh 4 faktor yang ada dalam sel batang yang berperan mengangkut auksin, karbohidrat, dan nitrogen yang dihasilkan suatu tanaman. Nababan (2009) juga berpendapat bahwa adanya hormon dalam tanaman sudah cukup membantu pada pertumbuhan tanaman tersebut sehingga pemberian hormon tidak perlu dengan taraf yang lebih tinggi. 3.4. Jumlah Tunas Hasil penghitungan jumlah tunas yang rataannya tersaji pada (gambar 3) dapat dilihat pertumbuhan jumlah pada setiap tunas rata-rata hanya 1 tunas. Hal ini mungkin disebabkan hormon dan zat-zat makanan yang seharusnya dipergunakan untuk pertumbuhan tunas terhambat, karena sebagian hormon dan zat makanan dipergunakan untuk menutupi luka irisan hasil penyambungan.

Gambar 3. Histogram Jumlah Tunas

Berdasarkan hasil analisis variansi pada tabel 3 menunjukan bahwa, teknik penyambungan dan pemberian zat pengatur tumbuh BAP pada teknik penyambungan juga tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas yang tumbuh. Berbeda dengan penelitian Azwin et al.(2006) bahwa penambahan BAP berpengaruh

5
Bertell, G. dan L. Eliason, 1992. Cytokinin Effect on Root Growth and Possible Interaction with Ethylene and Indole-3-acetic Acid. Physiologia Plantarum. The Scandinavian Society for Plant Physiology Copenhagen, 84 (2): 255-261. Hadiyati, S. 1994. Interaksi Antara Beberapa Batang Bawah dan Batang Atas pada Pembibitan Rambutan. Balai Penelitian Holtikultura, Solok. Hamim dan Yohana C. Sulistyaningsih. 2005. Perkembangan Tumbuhan. Universitas Terbuka, Jakarta. Herdiana I. 2002. Perbanyak Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) di PT. Wiriacakra Estate & Industrial Coy. Ltd. Perkebunan Karet Kahuripan. Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Heylen, C., J. C. Vendrig., and H. V. Onckelen. 1991. The Accumulation and Metabolism of Plant Growth Regulator During Organogenesis. Physiologia Plantarnum, 83 (4) : 578-584. Janick, J. 1972. Horticulture Science. Second edition. W.H. Freeman and Company, San Fransisco. 586 pp. Karyudi dan Rasidin, A. 1990. Pengaruh Jenis Mata Tunas dan Klon Terhadap Keberhasilan Okulasi Hijau dan Pertumbuhan Bibit Karet. Pusat Penelitian Perkebunan Sungei Putih, Medan. Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Yasaguna. Jakarta. Maryani, Y, dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian 12(1): 51 - 55 Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture Of Higher Plants. Martinus Nijhoff publisher, Dordrecht. Salisbury, F.B. & Cleon W Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan. Terjemahan Diah R Lukman dan Sumaryono, 1995. ITB, Bandung. Setiawan Wawan A. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Universitas lampung. URL : http://blog.unila.ac.id/wasetiawan/files/2009/10/zat-pengatur-tumbuh.pdf. Diakses pada tanggal 21 Nopember 2010. Sunaryono, H., Y. Sugita, dan N. Solvia. 1990. Pengaruh zat tumbuh kinetin dan adenin pada penyambungan manggis. Penelitian Hortikultura 5(2): 39-46 Sutjipto, 2011. (komunikasi pribadi). PT. Wiriacakra Estate & Industrial Coy. Ltd. Perkebunan Kahuripan, Tasikmalaya. Tiwari V, Tiwari KN, dan Sigh BD. 200. Comparative Studies of Cytokinin On in vitro Propagation of Bacopa manniera. Plant Cell, Tissue and Organ Culture Annu. Rev. Plant Physiol 17: 435 459 Tripepi, R.R. (1997). Adventitious shoot regeneration. In R.I. Gereve et al. (eds.) Biotechnology of ornaments plants. USA, CAB. International. p 112 121. Wattimena, G.A. 1992. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. IPB, Bogor. Widarto, L. 1996. Perbanyakan Tanaman Dengan Biji, Stek, Cangkok, Sambung, Okulasi dan Kultur Jaringan. Kanisius, Yogyakarta.

You might also like