You are on page 1of 23

METODE SURVEI Telaah Pisau Analisis di Bawah Payung Kuantitatif

A.

PENDAHULUAN

Persoalan metodologi penelitian, bukan hanya sekedar persoalan menentukan pisau analisis macam apa yang akan digunakan oleh seorang peneliti terhadap objek yang sedang dia kaji. Persoalan metodologi, juga bersinggungan dengan bagaimana seorang peneliti membongkar realitas sosial yang dia kaji menggunakan sudut pandang teori tertentu dan bagaimana dia membangun relasi dengan objek yang sedang dia kaji tersebut. Tentunya ini tidak akan terlepas dari tujuan apa yang diinginkannya dari penelitian yang dia lakukan. Tujuan dan relasi inilah yang menentukan pilihan metode yang akan dipilih seorang peneliti untuk membongkar objek kajiannya. Salah satu metode yang berada di ranah metodologi kuantitatif adalah metodo penelitian survei. Dalam kajian kuantitatif yang bersinggungan khas dengan angka dan statistik, survei merupakan metode yang paling sering ditemui dan dilakukan. Bernaung di bawah paradigma positivistik, survei berkembang sebagai salah satu metode penelitian yang berpijak pada kekuatan numerik untuk membongkar realitas yang ada di sekitarnya. Meskipun berbicara dengan angka, survei tetap merupakan suatu kajian atas realitas yang menelaah teori dan mencoba melihat relasi antara keduanya. Dalam paradigma positivistik, D.C. Philips berpendapat, positivism has ceased to have any useful function-those philosophers to whom the term accurately applies have long since shuffled of this mortal coil, while any livingsocial scientists who either bandy this terms around, or are the recipients of it as an abusive label, are so confused about what it means that, while the word is full of sound and fury, it signified nothing (Miller, 2002:33). Paham ontologi realisme merupakan suatu keyakinan dasar paradigma ini. Paradigma positistik menyatakan bahwa suatu realitas merupakan sesuatu yang berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam.sss Objek kajian yang dikaji oleh seorang peneliti, biasanya berangkat dari realitas yang mereka temui dan menarik untuk dikaji. Immanuel Kant, menyebutkan dua jenis realitas, yaitu dunia fenomena dan dunia nounema. Dunia fenomena merupakan dunia rasional yang kita alami dengan panca indera. Sifat rasional ini menjadikannya terbuka terhadap penelitian ilmiah. Sedangkan nounema adalah dunia yang tidak bersifat fisik atau non empiris, karenanya tidak bisa didekati melalui pengamatan empiris. (Salim, 2006:29). Kedua jenis realitas itu baru terpisah ketika manusia memberikan batasan melalui pikirannya. Lebih lanjut Kant menjelaskan bahwa manusia tidak dapat memilkirkan dunia nounema, sedangkan reason dan ilmu pengetahuan yang sebatas fenomena tidak dapat menjangkaunya. Pasalnya, manusia sendiri memiliki dua dunia sekaligus, nounema dan fenomena. Manusia terikat pada hukum alam, namun, manusia sendiri terbuka bagi penyelidikan ilmu pengetahuan. Dengan dualisme yang dimiliki oleh manusia inilah, terdapat dua perspektif untuk melihat realitas yang berkaitan dengan manusia, yaitu pendekatan objective (struktural dan behavioral) serta subjective (fenomenologi). Para penganut pendekatan objektif berpendapat memandang gejala sosial dengan merunut hukum alam, dan hasilnya adalah penjelasan yang logis empiris dalam bentuk hypotetico deductive. Penganut pendekatan objektif menyandarkan pandangan pada hubungan antar perubah (variabel) dan mengajukan hipotesis penelitian. Inilah pijakan untuk penelitian kuantitatif, terutama survei yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini. Survei, sebagai salah satu metode mencoba menggambarkan realitas dengan runutan dari teoritisasi menjadi empirisasi. Yang oleh Singarimbun, inilah yang disebut sebagai instrumen ilmu pengetahuan. Dalam bukunya Metode Penelitian Survai, Singarimbun menyatakan bahwa untuk dapat menerangkan fenomena

atau suatu peristiwa, peneliti memerlukan dua instrumen ilmu pengetahuan, yaitu logika dan rasionalitas serta observasi berdasarkan fakta-fakta empiris (Singarimbun, 1995:6). Dari runutan besar ini, bisa dikatakan bahwa penelitian survei merupakan penelitian kuantitatif yang berpijak pada data numeris, memberikan gambaran empiris berdasarkan penjabaran secara lebih lanjut dari teori yang berarti merupakan empirisasi dari teoritisasi, dan menggunakan pendekatan objektif, yang lebih bersifat menggeneralisir. Inilah kekhasan yang muncul dalam penelitian yang bersifat positivistik. Positivisme mengasumsikan realitas yang diteliti sebagai sesuatu yang nyata yang dinampakkan oleh ciri-ciri objektif berupa keteraturan, keterukuran, hukum sebab akibat, dan sebagainya (Guba dan Lincoln, 2000 : 195). Pendekatan positivisme yang mendominasi penelitian pada abad ke-19 secara ontologis berpandangan bahwa realitas dapat dipecah-pecah dan dapat dipelajari secara independen, dieliminasi dari obyek lain, dan dapat dikontrol. Dengan sifat ontologis ini, penelitian yang berada dalam paradigma ontologi mengandung konsekuansi dalam metodologi penelitiannya kerangka teori harus dibuat sespesifik mungkin. Secara epistemologi, positivisme menuntut dipisahkannya subyek peneliti dengan obyek penelitian. Tujuan pemisahan ini adalah didapatkannya hasil yang obyektif. Tujuan penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dan generalisasinya. Kebenaran dicari melalui hubungan kausal-linear. Secara aksiologis, positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai (value free). Positivisme mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan tempat. Para peneliti positivisme lebih memilih data kuantitatif daripadadata kualitatif. Mereka berusaha untuk mencari obyektivitas ilmu melalui pengujian hipotesis dengan alat ukur yang pasti dan tepat. Berdasarkan atas asumsi-asumsi yang dibangun dalam paradigma positivisme tersebut, peneliti yang menggunakan metode survei perlu mematuhi sejumlah kaidah. (Rahayu, 2008:50-51). Pertama, peneliti harus membangun jarak dengan objek penelitiannya, untuk menghindari bias. Dalam hal ini seorang peneliti tentunya tidak boleh berlaku sebagai sampel atau memiliki kedekatan dengan objek kajiannya. Pada penjelasan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa secara aksiologis dan epistimologis positivisme menuntut agar penelitian yang bernaung di bawahnya bebas nilai. Survei yang merupakan bagian dari penelitian positivisme menghendaki adanya penelitian yang objektif, oleh karenanya perlu dibangun jarak agar ada batas antara peneliti dengan objek yang ditelitinya. Kedua, kaidah yang menyangkut hasil penelitian. Hal ini dikarenakan hasil survei digunakan untuk melakukan konfirmasi teoritik. Berkaitan dengan hal ini salah satu tahapan riset diawali dengan menyusun kerangka teori kemudian diturunkan dalam variabel-variabel dan kerangka operasional untuk diuji. Dengan rangkaian yang dilalui dalam proses survei ini, bisa dikatakan hasil akhir yang merupakan hasil dari penelitian survei akan menjadi konfirmasi terhadap teori yang diuji. Ketiga, survei mempunyai ciri sebagai penelitian yang terstruktur. Sebagai penelitian yang bersifat hipothetico deductive survei merupakan penelitian yang sudah jelas rancangannya. Bahkan sampel yang hendak diteliti sudah ditentukan sejak penelitian ini dirancang. Keempat, kaidah yang berkenaan dengan pemaknaan terhadap kebenaran. Dalam penelitian survei, kebenaran bernilai relatif mutlak. Kebenaran ini akan ditemukan apabila peneliti menggunakan cara-cara yang tepat dalam penggalian data. Merujuk pada kaidah keempat, dimana kebenaran adalah hasil yang dicari suatu penelitian survei. Kebenaran ini sifatnya generalisasi, bukan parsial semata, karena memang penelitain survei bermaksud untuk mendapatkan informasi yang general. Dengan kebutuhan akan kebenaran yang sedemikain besar, instrumen untuk mencari kebenaran ini tentulah merupakan persoalan yang patut diperhatikan. Salah satu instrumen yang diandalkan dalam penelitian survei adalah kuesioner. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Singarimbun, yang menyatakan penelitian survei sebagai penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun 1995: 3).

Makalah ini secara garis besar akan mencoba memberikan jawaban bagaimana kesahihan suatu penelitian survei yang dibangun dari kuesioner sebagai salah satu instrumen yang diragukan kesahihannya. Maksud dari diragukan dalam hal ini adalah tidak ada jaminan kejujuran dari responden ketika mereka mengisi data dalam suatu penelitian survei. Survei sebagai penelitian yang mengandalkan data responden yang akan diolah secara numeris tentunya menjadikan jawaban dari responden sebagai ujung tombak. Meskipun kuisioner itu sendiri sebenarnya bukanlah instrumen utama dalam penelitian survei. Kuesioner hanyalah salah satu instrumen, namun pada dasarnya instrumen-instrumen pencarian data yang lainnya pun dibutuhkan dalam penelitian survei. De Vaus mengatakan, a survey is not just a particular technique of collecting information : questionnaires are widely used but other techniques, such as structured and in depth interviews, observation, content analysis and so forth, can also be used in survey research. Untuk melakukan telaah mendalam mengenai bagaimana kesahihan penelitian survei jika responden melakukan kebohongan, hal yang pertama akan dibahas dalam makalah ini adalah dengan melihat secara mendalam terlebih dahulu mengenai seperti apa penelitian survei. Kemudian, secara deduksi makalah ini akan merujuk pada kuisioner sebagai instrumen pokok dari penelitian survei. Secara lebih lanjut, karena titik berat dari makalah ini adalah mengenai kebohongan responden melalui instrumen kuesioner, maka telaah yang akan dilakukan adalah selanjutnya adalah alasan apa saja yang menyebabkan responden berbohong dan di bagian mana saja dari kuesioner yang menjadi titik kebocoran sehingga responden berbohong. Karena kebenaran adalah kebutuhan utama dari penelitian survei ini, maka pembahasan selanjutnya adalah dengan melihat bagaimana menguji kuisioner, apakah respondennya berbohong atau tidak. Dari sini, kita akan mengetahui bagaimana menyiasati suatu kuisioner agar responden tidak melakukan kebohongan, sehingga kebenaran dari suatu penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Di titik akhir, pembahasan dari makalah ini akan mencoba memberikan jawaban, sahih atau tidaknya suatu penelitian survei jika kejujuran dari responden itu sendiri diragukan.

B.

KARAKTER PENELITIAN SURVEI Moser dalam bukunya Survey Methods in Social Investigation menyatakan bahwa tujuan dari

diadakannya survei sebenarnya adalah, to provide someone with information. Artinya, sebagai penelitian yang secara fundamental dibangun dalam data angka, survei tetap bermaksud menjelaskan sesuatu kepada orang lain atau menginformasikan sesuatu berdasarkan angka tersebut kepada orang lain. Dalam penjelasannya, secara lebih lanjut Catherine Marsh mendefiniskan metode survei sebagai an inquiry which involves the collection of systematic data across a sample of cases, and the statisical analysis of result (Srivastava, 2004 : 265). Secara lebih spesifik Wiseman dan Aron dalam bukunya Field Project For Sociology Student (Berger, 2000:188) memberikan definisi survei sebagai a method for collecting and analyzing social data via highly stuctured and often very detailed interviews or questionnaires in order to obtain information from large number of respondents presumed to be representative of specific population. Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa survei memiliki sejumlah unsur yang khas. Surveio tidak hanya terhenti pada bagaimana suatu informasi dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner dan penyusunan data yang dilakukan secara terstruktur. Survei juga difungsikan sebagai suatu penelitian yang disusun secara sistematis untuk memberikan gambaran secara mendetail mengapa suatu fenomena bisa terjadi. Secara lebih lanjut Berger (2000) menyebut empat butir penting suatu kegiatan penelitian survei. Pertama, penelitian survei dilakukan untuk mengumpulkan dan menganalisis data yang di antaranya adalah data sosial, ekonomi, psikis, teknik dan budaya. Kedua, penelitian survei didasari oleh proses pencarian informasi pada orang yang diberi sejumlah pertanyaan.Ketiga, penelitian survei dilakukan terhadap sampel yang representatif. Keempat, penelitian survei didasari asumsi bahwa informasi yang diperoleh dari sampel adalah valid untuk menggambarkan keseluruhan populasi.

Dengan sudut pandang berbeda, De Vaus menyatakan bahwa survey merupakan metode penelitian yang menggunakan bentuk data dan teknik analisis yang digunakan secara khas. Survey are characterized by a structured or systematic set of data which I will call variable by case data grid. (De Vaus, 1991:5-6). Hal ini mengindikasikan bahwa survei merupakan metode yang dibangun dengan bentuk data terstruktur. Data dalam penelitian survei umumnya disusun ke dalam matriks yang memuat variabel dan kasus. Dalam suatu penelitain survei, peneliti wajib mengumpulkan data yang berkaitan dengan variabel-variabel tertentu dari banyak kasus. Semakin banyak kasus, akan semakin berbobot pula hasil survei yang dihasilkan. Bentuk matriks, sebagaimana yang dimaksudkan oleh De Vaus, adalah sebagai berikut :
1

Variabel Kasus Jenis Kelamin Umur Orientasi Politik Kelas Sosial

Kasus 1 Laki-laki 36 tahun Progresif

Kasus 2 Laki-laki 19 tahun Moderat

Kasus 3 Perempuan 30 tahun Progresif

Kaus 4 Laki-laki 55 tahun Tradisionalis

Kasus 5 Perempuan 42 tahun Tradisionalis

pekerja

Kelas bawah

Kelas atas

Kelas menangah

Kelas menengah

Matriks ini menjadi gambaran bagaimana suatu data dalam penelitian survei disusun sedemikain rupa agar menjadi sistematis berdasarkan variabel dan kasus. Tujuannya, agar pembuatan kategorisasi-kategorisasi nantinya akan mudah saat melakukan analisis data. Pada dasarnya, proses penelitian survei tidak terlalu berbeda dari penelitian ilmiah lainnya. Oleh Wallace, (Singarimbun, 1995 : 25-27) penelitian survei digambarkan sebagai suatu proses untuk mentransformasikan lima komponen informasi ilmiah dengan menggunakan enam kontrol metodologis. Komponen-komponen informasi ilmiah tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5. Teori Hipotesa Observasi Generalisasi empiris Penerimaan atau penolakan hipotesa

Kontrol metodologis adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Deduksi logika Interpretasi penyusunan instrumen, penyusunan skala, dan penentuan sampel Pengukuran penyederhanaan data dan perkiraan parameter Pengujian hipotesa, inferensi logika Formulasi konsep, formulasi proposisi Penataan proposisi Wimmer dan Dominick, sebagaimana dikutip oleh Rahayu, mencatat bahwa sebagai suatu metode penelitian, survei memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan metode lainnya. Beberapa keunggulan itu adalah : 1. Survei dapat digunakan untuk menginvestigasi suatu permasalahan dalam setting yang natural tanpa harus didesain di laboratorium.

Diadaptasi dari De Vaus. Survey as Social Methods. 1991. London : Allen & Unwin. Hlm.3

2.

Dalam jumlah data yang besar, survei dapat meramalkan tren dan menyediakan data terukur dengan indikator yang cukup jelas sehingga bisa digunakan sebagai alat pertimbangan dalam pengambilanm kebijakan.

3.

Kendala geografis tidak menjadi faktor pengaruh yang signifikan karena survei bisa dilakukan melalui kuisioner yang dikirimkan atau melalui pesawat telepon.

Keunggulan survei sebagai metode ini, bergantung dari apa tujuan yang dibentuk dengan dilaksanakannya penelitian survei ini. Singarimbun menuliskan, ada beberapa maksud yang hendak dicapai oleh peneliti, ketika dia memilih survei sebagai metode, yaitu (Singarimbun, 1995 :4-6) : 1. Penjajagan (ekploratif) Penelitian survei yang bertujuan eksploratif biasanya sifatnya. Penelitian ini dilakukan karena peneliti masih berusaha mencari-cari dan memetakan permasalahan di lapangan atas suatu fenomena sosial yang sedang diamati. 2. Deskriptif Penelitian survei yang bertujuan deskriptif menggunakan pengukuran yang cermat terhadap suatu fenomena tertentu. Peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta, tetapi tidak melakukan uji hipotesa. 3. Penjelasan (explanatory atau confirmatory) Penelitian survei yang berorientasi explanatory atau confirmasi biasanya agak mirip dengan penelitian survei yang bersifat deskriptif. Penelitian survei ekplanatori biasanya dilakukan untuk melakukan penjelasan kausal dan menguji hipotesis. Inilah bedanya ekplanatori dengan deskriptif. Jika deskriptif tidak membutuhkan hipotesis, penelitian ekplanatori membutuhkan hipotesis. 4. Evaluasi Pada dasarnya penelitian survei yang bermaksud untuk mengevaluasi program dilakukan untuk melihat bagaimana suatu program berjalan atau capaian suatu program terjadi. Menurut Singarimbun dan Effendi, survei yang bersifat evaluasi ini masih bisa dibagi lagi menjadi dua karakter : o Evaluasi formatif Penelitian survei evaluatif yang bermaksud melihat dan meneliti pelaksanaan suatu program, serta mencari umpan balik untuk memperbaiki kesalahan dari program tersebut o Evaluasi summatif Biasanya dilakukan pada saat akhir program untuk mengukur apakah tujuan program tersebut tercapai 5. Prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang akan datang Tujuan dari penelitian survei prediksi pastinya berkaitan dengan hal-hal yang akan terjadi di saat mendatang, karena suatu fenomena yang sedang terjadi atau hendak terjadi. Survei-survei semacam ini biasanya dijumpai ketika pemilihan umum tiba. Saat pemilihan umum Presiden kemarin misalnya. Survei siapa kandidat terkuat dan siapa yang kira-kira pantas duduk di kursi presiden, adalah contoh dari jenis survei prediksi ini. 6. Penelitian operasional Penelitian survei yang mempunyai maksud operasional, pusat perhatiannya terletak pada variabelvariabel yang berkaitan dengan aspek operasional suatu program . Setelah operasional dari penelitian ini diidentifikasi, maka akan dilakukan penelitian untuk mengatasi hambatan tersebut. 7. Pengembangan indikator-indikator sosial Survei-survei semacam ini biasanya merupakan yang dilakukan secara berkala. Misalnya survei dari BPS mengenai kependudukan dan tenaga kerja.

Pengelompokan jenis survei yang dilakukan oleh Singarimbun ini berbeda dengan de Vaus. Dalam Survey as Social Method, De Vaus mengelompokkan survei dalam dua kelompok besar didasarkan pada fungsi survei tersebut. Menurut De Vaus, survei mempunyai tiga fungsi (1991, 5-6). Pertama, memberikan gambaran mengenai karakteristik data. Dalam keadaan ini, survei bisa menjadi gambaran mengenai jumlah responden yang terlibat dalam penelitian, bagaimana karakter dari repondennya, bagaimana latar belakang ekonominya, bagaimana latar belakang pendidikan respondennya, dan sebagainya. Melalui penggambaran ini pula, survei bisa menjadi gambaran yang cukup representatif pula mengenai kecenderungan dari respondennya. Kedua, survei berfungsi untuk menjelaskan adanya penyebab sebuah gejala ataupun kecenderungan tertentu dari suatu fenomena. Dalam hal ini, survei bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab suatu gejala melalui perbandingan kasus-kasus yang dilakukan. Misalnya, seorang peneliti dapat melihat kecenderungan latar belakang identitas responden dengan pilihan tempat gaul. Ketiga, penelitian survei juga bisa berfungsi untuk melakukan eksplorasi relasi antar variabel. Dalam lingkup yang terbatas, survei dapat menjelaskan reklasi sebab akibat atas suatu fenomena. Berdasarkan fungsi penelitian survey tersebut, De Vaus mengelompokkan survey dalam dua kategori, yaitu descriptive survey dan analytical/explanatory survey. 1. Descriptive survey Survei deskriptif berfungsi untuk memperoleh gambaran atau kecenderungan umum mengenai data atau sikap responden mengenai suatu fenomena. Berger yang melakukan pengelompokkan survei sebagaimana De Vaus menambahkan bahwa penelitian survei deskriptif menyajikan deskripsi populasi dengan memberikan gambaran atas aspek demografi dan menghubungkannya dengan informasi mengenai kepercayaan, nilai, opini, perilaku,dan sebagainya. Menurut Berger, penelitian semacam ini biasanya terfokus pada waktu sekarang. (Rahayu, 2008 : 55) 2. Analytical/explanatory survey Penelitian survei ekplanatori, seperti kata dasarnya explain berfungsi untuk memberikan penjelasan. Penjelasan ini biasanya merujuk pada hubungan kausal atau untuk menjelaskan mengapa suatu fenomena terjadi. Survei semacam ini biasanya didahului dengan survei deskriptif terlebih dahulu. Survei ekplanatori baru akan dilakukan jika peneliti membutuhkan data yang lebih mendalam mengenai persoalan yang sedang dia teliti.

Kita bisa menarik suatu kesimpulan, bahwa survei merupakan suatu metode penelitian, yang menggunakan interview dan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data. Namun, selama ini penggunaan kuesioner sebagai salah satu instrumen pencarian data untuk metode survei jauh lebih populer, daripada instrumen pencarian data lainnya.

C.

ALASAN RESPONDEN TIDAK JUJUR Kuisioner merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam penelitian survei untuk

mengumpulkan data. Bahkan bisa dikatakan, kuisioner merupakan instrumen utama dalam penelitian survei untuk menghimpun data. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun 1995: 3). Oleh karenanya, data-data yang didapatkan dari suatu kuisioner merupakan instrumen penting untuk memunculkan kebenaran dalam penelitian survei. Kebenaran dalam suatu penelitian survei baru bisa dikatakan benar apabila responden memberikan jawaban sesuai dengan kenyataan dan hati nuraninya. Artinya, apapun yang menjadi jawaban dari responden, itu akan menjadi jawaban yang riil. Jawaban dari responden seharunya menjadi gambaran nyata dari keadaan

yang ingin dilihat oleh peneliti. Sayangnya, keadaan ini kadang-kadang termanipulasi karena jawaban yang diberikan oleh responden bukan merupakan gambaran kenyataan sebagaimana yang diinginkan oleh peneliti. Inilah yang menjadi titik kebocoran munculnya kebohongan responden. Ketidakjujuran responden dalam memberikan gambaran nyata tentang fenomena yang sedang diteliti oleh peneliti ini, kadangkala dilakukan secara sengaja dan tidak sengaja. Ketidakjujuran yang dilakukan secara secara sengaja ini, biasanya terjadi karena beberapa alasan: 1. Responden berusaha menutup-nutupi apa yang dia ketahui. Misalnya, penelitian ini berkaitan dengan sesuatu yang membuat aib atau sesuatu yang menguak keburukan dari responden ini terbuka, maka dia melakukan ketidakjujuran. 2. Sikap normatif. Melakukan kesalahan atau dianggap salah tentunya bukan sesuatu yang menyenangkan. Memilih sikap normatif yang seolah-olah menunjukkan kebenaran ini bisa jadi merupakan pilihan responden jika dalam pertanyaan-pertanyaan kuisioner terdapat pertanyaanpertanyaan yang sifatnya normatif. 3. Keengganan. Sifat enggan memberikan jawaban, malas memberikan jawaban oleh responden adalah tantangan yang dihadapi oleh penelitian survei. Kadang kala, ketika melakukan penelitian, seorang peneliti diharuskan mendapat jumlah responden sesuai dengan target. Tak jarang untuk memenuhi target ini, peneliti menyasar banyak responden yang belum tentu representatif dan dalam keadaan psikologis responden yang tidak memungkinkan. Hal inilah yang biasanya menyebabkan responden enggan memberikan jawaban, atau memberikan jawaban namun asal-asalan. Ini menyebabkan jawaban yang diperoleh oleh seorang peneliti menjadi jawaban ketidakjujuran.

Sedangkan ketidakjujuran yang dilakukan oleh responden tanpa kesengajaan biasanya terjadi karena dua faktor, pertama masalah psikologis, kedua masalah teknis. 1. Masalah psikologis Masalah psikologis yang menyebabkan ketidaktahuan responden ini biasanya disebabkan oleg faktir ketidaktahuan responden atas suatu fenomena. Ketidakhuan dalam faktor ketidaksengajaan ini berbeda dengan faktor ketidaktahuan secara sengaja yang sudah diterangkan sebelumnya. Ketidaktahuan responden yang dilakukan secara tidak sengaja ini, bisa jadi disebabkan karena faktor lupa atau hanya mengira-ira. Misalnya, untuk pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan jumlah, tanggal, hari. Untuk responden yang lupa atau tidak ingat secara persis kejadiannya, ketidakjujuran secara tidak sengaja ini bisa saja terjadi karena faktor kira-kira. 2. Masalah teknis Masalah teknis ini berkaitan dengan kuisioner yang digunakan oleh peneliti dalam menghimpun data. Kadang kala ketika sedang menyusun kuisioner, secara tidak sengaja peneliti memberikan pertanyaan yang bernada ambigu. Peneliti bermaksud mengajukan pertanyaan X, tapi bagi responden yang dituju pertanyaan itu bisa berarti Y, sehingga akan memunculkan jawaban yang berbeda. Persoalan teknis ini, tidak hanya karena masalah maksud dari kuisioner. Penggunaan istilah yang berbeda karena perbedaan geografi, lingkungan, dan latar belakang kadang kala juga membuat maksud dari kuisioner juga menyimpang dan memunculkan ketidakjujuran dari responden.

D.

UJI INSTRUMEN DAN UJI KEJUJURAN REPONDEN Masalah ketidakjujuran responden ini biasanya tidak begitu nampak bagi peneliti karena dia merasa

instrumen yang dia pakai sudah benar. Namun yang patut dicatat, ketidakjujuran ini secara tidak langsung akan menciderai kebenaran yang hendak dicapai melalui penelitian survei. Oleh karena itu, sebagai peneliti,

hendaknya dia bertanggungjawab penuh pada kehandalan instrumen yang dia gunakan dalam penelitian. Untuk itulah dibutuhkan uji kejujuran responden dalam penelitian survei agar kebenaran itu bisa

dipertanggungjawabkan. Kebenaran atas penelitian survei yang menggunakan kuisioner sebagai instrumen utama dan kejujuran responden yang memberikan jawaban, bertumpu pada kuisioner sebagai instrumen. Maka dari itu, sebelum melakukan uji terhadap kejujuran responden yang memberikan jawaban pada instumen, validitas dari instrumen sebagai ujung tombak ini harus diuji terlebih dahulu. Menguji kehandalan suatu kuisioner tentunya tidak bisa hanya melihatnya dari poin per poin pertanyaan yang ada di dalamnya, disusunnya kuisioner sebagai suatu instrumen tentunya berawal dari teori yang dioperasionalisasikan ke dalam variabel guna mendapatkan data empiris. Pasalnya, kuisioner hanyalah perantara operasional untuk menemukan antara hal-hal yang sifatnya teoritis dalam fakta-fakta empiris. Proses penyusunan kuisioner sebagai instrumen survei perlu mengikuti suatu tahapan yang dapat menjamin konsistensi antara apa yang ingin diteliti dengan instrumen penelitiannya yaitu kuisioner. Secara umum proses pengembangan kuisioner secara berturut-turut adalah: kerangka teori, konsep, variabel, operasionalisasi konsep, dan kuisioner. Proses Penelitian Survei
TEORI
2

Penyusunan konsep Penyusunan Proposisi

Inferensi Logika

Deduksi Logika

GENERALISASI

STATUS HIPOTESA

HIPOTESA

Pengukuran Penyederhanaan Informasi Perkiraan Parameter

Pengujian Hipotesa

Interpretasi Penyusunan instrumen Penyusunan skala Penentuan sampel

OBSERVASI

Penyusunan mulai dari kerangka teori sampai menjadi kuisioner inilah yang dimaksud dengan logika hipotethico deductive. Menurut Hidayat, logika ini merupakan langkah-langkah penelitian yang mengacu pada sistem logika deduktif, dimana penelitian empiris diawali oleh suatu proses deduksi yang berawal dari pembentukan kerangka teori untuk melahirkan hipotesis-hipotesis sebagai jawaban tentatif bagi masalah penelitian yang akan diuji melalui pencarian dukungan bukti-bukti empiris berdasarkan suatu perangkat metodologi tertentu. Proses selanjutnya merupakan proses induktif yang melibatkan penggunaan metode tertentu untuk menarik inferensi dari sampel ke populasi atau menarik generalisasi dari indikator-indikator yang dipergunakan untuk mengukur variabel ke konsep yang lebih umum, termasuk menarik generalisasi dari hipotesis yang diuji ke teori dari mana hipotesis semula diturunkan atau menarik generalisasi dari temuan penelitian dalam setting atau konteks tertentu ke konteks yang lebih umum (Rahayu, 2008 : 56-57)

Diadaptasi dari Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survei. 1995. Jakarta : PT Pustaka LP3ES

1.

Kerangka Teori Kerangka teori bertujuan untuk menurunkan hipotesis teoritik yang berfungsi sebagai jawaban

sementara terhadap permaslaahan yang melibatkan konsep-konsep tertentu. Teori akan menjadi suatu petunjuk bagaimana suatu fenomena didekati, diukur, dan dianalisis (Miller, 2002). Melalui proses penyusunan kerangka teori inilah peneliti akan melakukan verifikasi teori, sejauh mana suatu teori mendapatkan dukungan data dan relevansinya untuk menggambarkan kondisi yang terjadi sekarang. Sebuah kerangka teori yang bagus akan membantu peneliti untuk mendekati fenomena yang diteliti, menentukan instrumen penelitian yang tepat untuk mendapatkan data yang akurat, menentukan cara menganalisis data, dan membuat kesimpulan yang relevan. (Rahayu, 2008:58) Kerlinger, sebagaimana dikutip oleh Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. (Singarimbun, 1995 : 37). Berdasarkan definisi ini, teori mengandung tiga hal : a. b. Teori adalah serangkaian proposisi antar konsep-konsep yang saling berhubungan. Teori menerangkan secara sistematis suatu fenomena sosial dengan cara menentukan hubungan antar konsep. c. Teori menerangkan fenomena tertentu dengan cara menentukan konsep mana yang berhubungan dengan konsep lainnya dan bagaimana bentuk hubungannya Berkaitan dengan teori ini, de Vaus menambahkan, bahwa untuk mengenali suatu fenomena, teori menjadi suatu hal yang penting. I have argued that theories should be empirically based (theory construction) and evaluated against empirical reality (theory testing). (De Vaus, 1991:24).
3

2.

Kerangka Konsep Proses yang ditempuh setelah melakukan penyusunan kerangka teori, berdasarkan logika hipotethico

deductive adalah menyusun kerangka konsep. Jensen mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan konsep adalah A concept represents an abstract idea that embodies the nature of observable phenomena, or an interpretation of why such phenomena occur . (Jensen, 2002: 210). Kerangka konsep merupakan abstraksi teoritis berupa kesimulan tentang suatu konsep dari sejumlah teori yang berasal dari berbagai sumber. Kerangka konsep disusun sebagai batasan suatu konsep yang diajukan oleh peneliti berdasarkan kerangka teori yang telah disusun. Jika dalam kerangka teori peneliti menguraikan mengenai definisi konsep dan relasi antar faktor berdasarkan asumsi-asumsi tertentu, maka dalam kerangka konsep peneliti melakukan perangkuman definisi konsep tersebut dengan memberikan batasan yang bertujuan untuk membatasi pendefinisian konsep untuk riset yang dilakukan. Dalam penelitian, konsep harus dihubungkan dengan realitas, karena teori dibangun untuk mengenali dan melihat suatu fenomena empiris. Strategi yang dapat ditempuh oleh peneliti untuk menghubungkan antara konsep dengan realitas adalah sebagai berikut (Singarimbun, 1995 : 99-100) : 1. Peneliti hanya menjelaskan konsep secara terbatas. Konsep dijelaskan hampir secara utuh oleh indikator yang digunakan. Strategi ini sering disebut strategi empiris, karena peneliti mengukur konsep dengan memakai sebanyak mungkin indikator yang diharapkan akan menunjukkan konsep yang ditelliti. Kesimpulan tentang konsep tersebut ditentukan sepenuhnya oleh data yang dikumpulkan melalui pengukuran indikatr-indikator tadi. Analisa faktor kemudian digunakan untuk mengkategorikan indikator3

Mengenai theory construction dan theory testing ini De Vaus berangkat dari pemikiran bahwa dua hal ini merupakan elemen pembangun untuk good explanation. Dimana penjelas yang merupakan hasil observasi ini menjadi pondasi untuk membangun suatu kerangka berpikir. De Vaus mendefinisikan theory construction is a process which begin with a set of observations and moves on to develop theories of these observations. Oleh Glasser dan Strauss ini disebut juga sebagai Grounded Theory karena teorisasi ini dibangun dengan observasi tidak hanya sekedar spekulasi. Sementara theory testing differ in that it starts with a theory. Menggunakan teori akan menjadi penggambaran awal, bagaimana suatu fenomena terjadi dalam dunia nyata. Jika prediksinya benar, maka observasi ini akan menjadi pendukung terwujudnya teori.

indikator tadi, dan kelompok-kelompok yang dihasilkan oleh analisa faktor itu kemudian diberi label. Atas dasar analisa inilah dirumuskan konsep penelitian. 2. Fiske dan Pearson menyebut strategi kedua ini sebagai strategi rasional. Proses pengukuran dimuali dengan analisisa yang hati-hati tetang konsep. Langkah pertama, adalah meneliti literatur yang membicarakan konsep tersebut untuk memahami definisi penulis. Langkah kedua, adalah berusaha mencari hubungan antara konsep yang diteliti dengan konsep lain yang berkaitan, sehingga dimungkinkan untuk mengukur validitas instrumen konsep tersebut dengan membandingkannya dengan instrumen untuk konsep sejenis. Peneliti menyusun instrumen penelitian yang diharapkan akan mampu mengukur konsep penelitiannyadan konsep yang sejenis, serta menggunakan teknik-teknik empiris untuk memperbaiki instrumennya tersebut. Menghubungkan antara teori yang sudah dibatasi menjadi konsep dengan realitas membutuhkan suatu alat ukur. Untuk itu peneliti harus melakukan pengukuran dengan cara memberikan angka pada objek atau kejadian yang sedang diamati menurut aturan tertentu. Pengukuran adalah upaya untuk menghubungkan antara konsep dengan realitas. Proses pengukuran dalam melihat realitas itu adalah rangkaian dari empat aktivitas, yaitu (Singarimbun, 1995 : 96-97): 1. Menentukan dimensi konsep penelitian Semakin lengkap dimensi suatu variabel yang dapat diukur, semakin baik ukuran yang dihasilkan. Misalnya, variabel nilai ekonomi anak, mempunyai empat dimensi, nilai positif, nilai negatif, nilai keluarga besar, nilai keluarga kecil. 2. Rumusan ukuran untuk masing-masing dimensi Ukuran ini biasanya berbentuk pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan dimensi tadi 3. Tentukan tingkat ukuran yang akan digunakan Dalam penelitian sosial dikenal empat tingkat ukuran yaitu : nominal, ordinal, interval, dan rasio 4. Tentukan tingkat validitas dan reliabitas dari alat ukur

3.

Hipotesis Keberadaan hipotesis dalam penelitian survei tidak bersifat mutlak. Dalam survei deskriptif

sebagaimana sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, hipotesis tidak dibutuhkan. Namun, ketika dihadapkan pada survei eksplanatori hipotesis menjadi hal yang penting. Hipotesis adalah pernyataan dugaan mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Kerlinger hipotesis yang baik memiliki dua kriteria (Kerlinger, 1986 :30-31) : 1. 2. Merupakan pernyataan tentang relasi antar variabel Mempunyai implikasi yang nyata untuk diujikan pada hubungan-hubungan yang akan diukur dan menunjukkan secara jelas hubungan yang terjadi antar variabel Penyusunan hipotesis ini harus berpijak pada kerangka teori, kerangka konsep, dan tentu saja rumusan masalah yang sudah disusun oleh peneliti dalam desain penelitiannya. Hipotesis ini berfungsi sebagai jawaban sementara atas masalah yang sedang diteliti. Hal ini karena hipotesis merupakan konklusi, yaitu suatu proposisi yang dihasilkan dari beberapa proposisi yang lain.

4.

Variabel Proses hipothethico deductive selanjutnya adalah menentukan variabel. Penentuan variabel ini tidak

terlepas dari bagaimana kerangka teori dan kerangka konsep disusun. Secara sederhana De Vaus menyatakan, a variable is characteristic that has more than one chategory (value). (De Vaus, 1991: 27). Variabel ini, biasanya dengan sederhana diturunkan dari kerangka konsep. Konsep yang sudah disusun oleh peneliti dalam kerangka konsep harus dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi suatu konsep

10

yang mempunyai variasi nilai (Singarimbun, 1995 : 41-42). Paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk bisa dijadikan sebagai variabel. Pertama, bisa diukur sehingga menghasilkan nilai yang bervariasi. Kedua, mutually exklusive. Tidak boleh saling tumpang tindih, sehingga untuk satu fenomena hanya bisa masuk dalam satu variabel saja. Ketiga, exhaustive. Dalam satu variabel mencakup semua kemungkinan.
4

Klasifikasi Variabel

Variabel Kategorial, dapat dipilah menjadi kategorikategori Variabel Variabel Bersambungan, variabel yang nilainya merupakan suatu skala

Variabel Dikotomi (2 kategori)

Variabel Politomi (lebih dari 2 kategori)

Dalam terminologi sebab akibat, variabel ini paling tidak terpilah dalam tiga kategori yaitu variabel dependen, variabel independen, dan variabel intervening (De Vaus, 1991 : 27). Variabel dependent disebut juga dengan variabel akibat yang lazimnya disimbolkan dengan Y. Variabel independen adalah variabel sebab yang lazimnya disimbolkan dengan huruf X. Sedangkan variabel intervening adalah variabel antara yang mungkin saja bisa mempengaruhi hubungan antara X dan Y. Independent Variabel Intervening Variabel Dependent Variabel

5.

Operasionalisasi Konsep Tahap selanjutnya setelah variabel sudah ditentukan adalah melakukan operasionalisasi konsep.

Operasionalisasi konsep merupakan penurunan atau penjabaran suatu variabel ke dalam penjabaran suatu variabel yang memuat indikator-indikator tertentu untuk memudahkan proses pengukuran. Ukuran ketepatan suatu kerangka operasional sangat ditentukan oleh seberapa tepat dimensi-dimensi yang diuraikan untuk memberikan gambaran secara komprehensif mengenai suatu variabel. Untuk bisa menentukan seberapa valid operasionalisasi konsep yang diuraikan dari variabel, seorang peneliti harus mempunyai pengetahuan yang luas. Untuk itulah dibutuhkan bantuan literasi dan diskusi intensif untuk menurunkan operasionalisasi konsep ini. Operasionalisasi konsep inilah yang nantinya akan menjadi instrumen dari penelitian survei. Kriteria instrumen pengukuran yang baik adalah jika instrumen tersebut dapat mengukur suatu objek dengan tepat. Contoh Operasionalisasi Konsep Tahapan 1 2 Tahapan konsep Menentukan dimensi konsep 3 Melakukan kombinasi konsep ke dalam variabel
4 5

Lingkup Operasionalisasi Konsep Efisiensi penggunaan media Waktu yang digunakan untuk menggunakan media Uang yang dibelanjakan untuk mengonsumsi media

Efisiensi penggunaan media didefinisikan oleh rasio waktu yang dialokasikan untuk menggunakan media dan jumlah uang yang

Diadaptasi dari Singarimbun dan Effendi, 1995:41-42 Diadaptasi dari Rahayu. Metode Survei:Karakteristik dan Prosedur Aplikasinya. Dalam Metode Riset Komunikasi. 2008. Yogyakarta : PKMBP. Hlm 64-65

11

dibelanjakan untuk media 4 Memperinci dimensi konsep Waktu yang dialokasikan untuk media : 5 Mengkombinasikan dimensi-dimensi konsep Waktu menggunakan radio Waktu menggunakan televisi Waktu menggunakan surat kabar Waktu menggunakan majalah Waktu menggunakan film Waktu menggunakan video Dan sebagainya

Uang yang dibelanjakan untuk media : Belanja iklan per kapita Biaya-biaya sewa atau langganan Uang yang dialokasikan untuk radio Uang yang dialokasikan untuk televisi Uang yang dialokasikan untuk surat kabar Uang yang dialokasikan untuk majalah Uang yang dialokasikan untuk film Uang yang dialokasikan untuk video Dan sebagainya

Waktu yang dialokasikan untuk media merupakan rangkuman keseluruhan waktu yang dialokasikan untuk radio, televisi, surat kabar, majalah, film, video, dan sebagainya. Uang yang dibelanjakan untuk media merupakan keseluruhan uang yang dkonsumsikan untuk iklan di media, biaya sewa, dan langganan media.

Integrasi dan perangkuman definisi

Efisiensi penggunaan media daat diukur melalui waktu yang dialokasikan untuk media. Waktu yang dialokasikan untuk media adalah rangkuman keseluruhan waktu yang dialokasikan untuk menggunakan radio, televisi, surat kabar, majalah, film, video, dan sebagainya; serta uang yang dibelanjakan untuk media merupakan keseluruhan uang yang dibelanjakan untuk iklan di media, biaya sewa, dan langganan media.

Dalam suatu penelitian sosial untuk merancang instrumen pengukuran ini tidaklah mudah karena yang diukur adalah hal-hal yang sifatnya abstrak. Oleh sebab itu peneliti dituntut untuk mempelajari konsep-konsep yang ada secara jeli agar dapat mengukurnya secara tepat. Indeks dan skala akan sangat dibutuhkan oleh peneliti dalam penentuan ukuran yang tepat ini. Indeks disusun dari sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang diperinci berdasarkan atribut-atribut variabel yang disusun sedemikian rupa dan dipertimbangkan memiliki nilainilai yang seimbang. Skala disusun berdasarkan pola atribut. Skala ini terdiri atas empat macam yaitu skala nomina, ordinal, interval, dan rasio. Skala pengukuran yang terstandarisasi merupakan hal yang penting dalam mencapai objektivitas. Apabila skala pengukuran mampu memverifikasi hasil pengukuran peneliti yang lain, maka bisa dikatakan lat ukur tersebut dinilai memiliki objektivitas yang tinggi (Rahayu, 2008:64-67). Dengan cara yang sedikit berbeda, De Vaus memberikan contoh bagaimana suatu konsep yang

abstrak diturunkan menjadi indikator yang dapat diukur menggunakan skala dan indeks, melalui sebuah diagram sederhana (1991:59)

12

Social Capital ABSTRACT CONCEPTS Structure of Social relations-networks Quality of Social Relations - Norms

Dimensions

SubDimensions

Trust

Reciprocity

SubDimensions

Spacial Location

Size/ capacity

Type

Structure

Relation s

Social

Civic/ institutional

Further SubDimensions

Formal

Informal -

Further SubDimensions

friends

Extended Family

Neighbours

Household Family

Community

INDICATORS

Frequency of : - Talking - Helping - Shared activities

Confidence in : Legal System Educational System Church Politicians Media Banking System Police Health System Local Government

6.

Kuisioner Kuisioner hanyalah salah satu dari alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian survei. A

survey is not just a particular technique of collecting information : questionnaires are widely used but other techniques, such as structured and in depth interviews, observation, content analysis and so forth, can also be used in survey research. Jadi, penelitian survei tidak selamanya dilakukan menggunakan kuisioner. Namun, karena dalam makalah ini fokus perhatiannya adalah penggunaan kuisioner yang umumnya dipakai dalam penelitian survei, maka pada bagian instrumen penelitian ini fokus pembahasannya akan berkaitan dengan kuisioner. Kuisioner adalah cara pencarian data dalam penelitian survei yang digunakan dengan cara tertulis. Thomas, sebagaimana dikutip oleh Rahayu, menyampaikan tahapan penyusunan kuisioner tersebut sebagai berikut (Rahayu, 2008 :70): 1. Pertanyaan kuisioner haruslah berfokus pada pertanyaan pokok atau rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian 2. Mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan spesifik yang dapat memberikan kontribusi pada pertanyaanpertanyaan pokok penelitian 3. Menyusun format kuisioner yang tepat dengan mempertimbangkan tingkat keterbacaannya dan kemungkinan menjawabnya, lingkup informasi atau data yang dituangkan dalam kuisioner yang diinginkan, dan aspek penyajiannya dalam kuisioner 4. 5. Mempertimbangkan aspek administrasi dalam penyebarannya Melakukan try out pada sejumlah sampel responden untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada 6. 7. Setelah melakukan try out, peneliti melakukan perbaikan Melakukan seleksi responden, siapa saja yang sekiranya akan diminta untuk memberikan jawaban pada kuisioner tersebut 8. Memastikan proses penyebaran dan pengumpulan kembali kuisioner setelah dijawab oleh responden

13

Ketika kuisioner sudah disusun, maka kuisioner menjadi alat untuk bertempur dan menghimpun kebenaran dalam penelitian survei. Karena kuisioner merupakan ujung tombak, sebagaimana telah disinggung di atas tadi, sebelum digunakan untuk mendapatkan data dan demi mendapatkan data yang sahih, kuisioner harus diuji terlebih dahulu. Pengujian terhadap alat ukur ini, tentunya bukan dengan menguji poin per poin pertanyaan yang muncul dalam kuisioner, tapi lebih kepada menguji indikator yang menjadi material pokok pembentukan kuisioner. Untuk menguji kesahihan dari suatu alat ukur inilah digunakan yang uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas menunjukkan seberapa jauh alat ukur tersebut mampu mengukur apa yang ingin diukur (Singarimbun dan Effendi, 1995:122). Uji validitas ini berkaitan dengan akurasi instrumen yang akan digunakan. Uji Validitas alat pengumpul data menurut beberapa alhi dapat digolongkan ke dalam beberapa jenis (Singarimbun dan Effendi, 1995 : 124-130) : 1. Validitas konstruk (construct validity) Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Untuk mencari kerangka konsep tersebut dapat ditempuh berbagai cara : a. Mencari definisi konsep yang dikemukakan oleh para ahli dan terdapat dalam literalur. Operasionalitas dari definisi ini menentukan apakah definisi ini nanti bisa langsung digunakan dalam kuesioner atau tidak b. Peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut jika dalam literatur belum ada defini yang mampu mewadahi konsepnya. c. Menanyakan definisi konsep yang akan diukur kepada calon responden atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden 2. Validitas isi (content validity) Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejah mana isi alat ukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebgai aspek kerangka konsep. 3. 4. Validitas prediktif (predictive validity) Validitas eksternal (external validity) Validitas yang diperoleh dengan cara mengkorelasikan alat pengukur baru dengan tolok ukur eksternal yang berupa alat ukur yang sudah valid. 5. Validitas rupa (face validity) Dari segi rupanya suatu alat ukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur.

Jika akurasi instrumen tersebut diuji dengan menggunakan uji validitas, maka konsistensi hasil pengukuran diuji menggunakan uji reliabilitas. Jensen menyatakan bahwa, Reliability concerns the dependability and consistency of the relationship between two variables or in the score obtained on a single variable at more than one point in time. Reliability can be establised by carrying out repeats tests of phenomena and relationship between phenomena, by repeating such tests among different groups of people with the same result and by having several researches run the same test. (Jensen, 2002 : 212). Uji reliabilitas sebagaimana sudah disinggung oleh Jensen di atas menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran bersifat konsisten apabila pengukurannya dilakukan lebih dari satu kali dan lebih baik lagi loleh dua orang yang berbeda. Suatu penelitian akan dikatakan memberikan hasil yang konsisten apabila pengukurannya bebas dari random eror (XR = 0) Uji reliabilitas ini bisa dilakukan melalui beberapa cara, antara lain (Rahayu, 2008:67-68) : 1. Test Retest Reliability Pengujian ini diterapkan untuk melihat konsistensi suatu pengukuran dengan melakukannya beberapa kali dalam kurun waktu yang berbeda. Jika pengujian menunjukkan pengukuran-pengukuran tersebut memiliki kecenderungan yang sama, maka tingkat reliabilitas instrumen tinggi. Pengujian ini dapat

14

dioperasionalisasikan dengan melihat angka korelasi, semakin tinggi angka korelasi maka semakin andal pengukuran tersebut. 2. Internal Consistency Reliability Pengujian ini berusaha menentukan apakah dua atau lebih pengukuran atas suatu konsep teoritis yang diambil pada suatu periode waktu yang sama atas suatu objek akan memberikan hasil yang sama. Tingkat korelasi pada dasarnya menunjukkan konsistensi pengukuran tersebut. 3. Coeffiecient (Cronbach) Alpha Dengan menghitung reliabilitas sekelompok item yang ada dalam penelitian. Koefisien hasil uji ini bermacam-macam antara 0 sampai 1. Namun angka 0,6 dipercaya sebagai angka yang menunjukkan adanya reliabilitas.

Ketika instrumen pencarian data sudah disusun dan diuji, selanjutnya yang dilakukan adalah mencari data kepada sejumlah responden yang menjadi sampel. Responden ini bisa siapa saja, tergantung batasan populasi dan sampel yang sudah ditetapkan dalam penelitian. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Berger, ada kemungkinan responden tidak menyatakan hal yang sebenarnya (Berger, 2000:192). Padahal kebenaranlah yang dicari dalam penelitian survei. Kebenaran akan menentukan kesahihan penelitian survei. Lalu, bagaimana cara yang harus ditempuh oleh seorang peneliti untuk menguji ketidakjujuran yang dilakukan oleh responden dalam menyatakan pendapatnya? Untuk menguji seberapa jujur responden, dan sekaligus untuk mendapatkan data yang representatif dalam penelitian survei, terdapat sejumlah cara yang bisa dilakukan, diantaranya dapat dilakukan melalui penyusunan kuisioner dengan dua teknik yaitu menyisipkan sleeper question dan contingency question pada kuisioner (Neuman, 2006: 286) : 1. Membuat Sleeper Question Sleeper Question dalam suatu kuisioner adalah pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mengelabui responden. Tentunya pertanyaan-pertanyaan yang masuk dalam sleeper question ini bukan pertanyaan yang sembarang. Meskipun sifatnya mengelabuhi, pertanyaan yang disusun untuk menjadi sleeper question tetap mempertimbangkan relevansi dan operasionaliasi konsep yang sudah disusun untuk pembuatan kuisioner. Secara tidak langsung, jawaban yang dipilih oleh responden melalui pertanyaan yang mengelabuhi ini akan menggambarkan kejujuran dari responden itus. Misalnya: Siapakah Menteri Keuangan Republik Indonesia saat ini? a. b. c. d. e. Megawati Soekarnoputri Sri Mulyani Boediono Hidayat Nur Wahid Akbar Tanjung

Jika responden memilih B, maka dipastikan dia jujur dan dia tidak berbohong, sehingga responden tersebut mempunyai nilai kepantasan yang layak menuju ke pertanyaan selanjutnya. Sebaliknya, jika jawaban responden ini adalah yang lainnya (A, C, D, atau E), kemungkinan responden itu memang tidak tahu, tidak paham, atau asal jawab. Artinya terjadi suatu kesalahan pada jawaban responden dan hal ini mungkin saja karena ketidaksengajaan. Jawaban responden selanjutnya mempunyai nilai meragukan yang cukup tinggi. Dari pertanyaan yang bersifat mengelabuhi ini, biasanya pertanyaan selanjutnya bersifat korelatif dengan pertanyaan ini. Namun, ketika peneliti menemukan jawaban yang salah pada sleeper question ini, bukan berarti penghitungan untuk kuisioner selesai. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tetap mempunyai implikasi terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Bisa jadi ini merupakan

15

penggambatan ketidaktahuan responden atas suatu objek yang diteliti. Atau bisa jadi ini merupakan kesalahan yang tidak disengaja namun tidak mempengaruhi keabsahan jawaban-jawaban selanjutnya. Pada prinsipnya, sleeper question ini hanya bermaksud menjadi pemancing dan penegas dari keseluruhan pertanyaan riset yang diajukan oleh peneliti kepada responden. Bukan berarti penilaian atas suatu kuisioner akan selesai jika kesalahan ditemukan pada sleeper question ini.

2.

Membuat pertanyaan yang saling berkaitan (Contigency Question) Contigency Question merupakan pertanyaan yang dibuat serara berangkaian. Pertanyaan-pertanyaan yang saling berkaitan atau sambung menyambung, akan membantu pula bagi suatu peneliti untuk melihat respondennya tersebut jujuratau tidak. Misalnya : 1. 2. Apakah Anda mengetahui tayangan infotainment Insert? Setiap pukul berapakah Insert ditayangkan di televisi?

Melalui dua pertanyaan tersebut kita bisa melihat bahwa terdapat satu topik yang dibahas dalam dua pertanyaan. Dari pertanyaan-pertanyaan ini, peneliti akan memperoleh gambaran sejauhmana kejujuran seorang responden. Jika pada pertanyaan pertama responden memberikan jawaban Ya, semestinya dia mampu memberikan jawaban yang positif pula untuk pertanyaan kedua. Untuk membuktikan bahwa jawaban Ya tersebut benar, maka pertanyaan kedua dapat membuktikannya.

Sleeper question maupun contigency question ini, sebenarnya merupakan siasat yang membutuhkan energi lebih dari seorang peneliti ketika dia menyusun kuisioner. Pasalnya, dalam penyusunan kuisioner sendiri peneliti sudah akan diribetkan dengan penyusunan konsep pertanyaan sebagaimana yang diturunkan dalam indikator. Pertanyaan-pertanyaan yang masuk dalam kuisioner ketika akan menggambarkan suatu indikator tertentu dan hendak diberikan kepada responden, harus memuat pertanyaan-pertanyaan yang dipahami oleh responden. Tingkat memahami ini nantinya yang akan mempermudah responden dalam memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. E. MENDORONG KEJUJURAN RESPONDEN Ketidakjujuran responden ketika memberikan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan melalui kuisioner pada penelitian survei bisa dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, sebagaimana sudah dijelaskan pada penjelasan di atas. Oleh karena itu, demi validitas data yang didapatkan, seorang peneliti membutuhkan beberapa cara yang sekiranya dapat dilakukan untuk mendapatkan data yang representatif. Dalam makalah ini, ditawarkan tiga hal yang dilakukan oleh seorang peneliti untuk mendapatkan data yang sahih dalam suatu penelitian survei. Pertama, membangun suasana yang nyaman dengan melakukan pendekatan aspek psikologis yang menyenangkan antara peneliti dan responden. Kedua, membuat instrumen yang representatif. Ketiga, menentukan sampling yang tepat.

1.

Membangun Suasana Kenyamanan responden ketika mereka memberikan jawaban dan menjadi bagian dari penelitian kita

akan menentukan jawaban yang akan mereka berikan kepada kita sebagai peneliti. Kadangkala seorang peneliti melakukan hal-hal yang tidak perlu dan bisa merusak kenyamanan responden ketika sedang melakukan penelitian. Misalnya, peneliti bersikap apatis dan tidak kooperatif dengan responden. Karena merasa hanya menjadi pengumpul data, peneliti memberikan kuisioner kepada responden dan tidak memberikan keterangan sebelumnya (semacam briefing) atau tidak memberikan keterangan apa-apa mengenai apa tujuan dari kuisioner itu, untuk apa, dan adakah jaminan privasi yang diberikan oleh peneliti kepada responden. Meskipun dalam

16

kuisioner sendiri biasanya sudah tertulis apa saja yang hendak dicari peneliti, akan digunakan untuk apa kuisioner itu, dan sejauh mana privasi dari responden tersebut dijaga, namun responden cenderung mengabaikannya. Dalam titik inilah sebenarnya peran dari peneliti itu sendiri dibutuhkan. Membangun kedekatan, namun masih berjarak, dengan menciptakan suasana yang mendukung akan membangkitkan sikap kooperatif dari responden sendiri kepada peneliti. Responden, selama dia menjadi objek penelitian kita hendaknya ditempatkan dalam posisi senyaman mungkin. Hal ini dilakukan, agar responden merasa tidak dipaksa dan dengan senang hati memberikan jawaban yang sejujur-jujurnya pada kuisioner (Neuman, 2006: 283). Menciptakan suasana ini bisa dilakukan dengan membangun aspek psikologis kenyamanan responden. Hal ini secara garis besar meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.

Menjaga privasinya Ada kalanya, sejumlah pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner berkenaan dengan persoalan yang sifatnya pribadi. Jika hal ini tidak ditreatment dengan baik oleh peneliti, responden bisa saja melakukan ketidakjujuran dengan memberikan jawaban-jawaban ala kadarnya yang sifatnya normatif untuk melindungi privasinya. Dalam sejumlah kasus lain, jika tidak memberikan jawaban sebagaimana kenyataan, calon responen justru merasa enggan menjadi sampel karena dia merasa privasinya akan terganggu. Ada kekhawatiran, apa yang akan disampaikannya akan menjadi konsumsi publik, yang langsung ataupun tidak langsung dapat mengganggu kepentingan pribadinya. Untuk membuat calon responden penelitian nyaman dan privasinya tidak akan diusik, hal yang harus dilakukan peneliti adalah memberikan jaminan kepada respondennya agar merasa nyaman dengan menjaga kerahasiaan dan privas dari respondennya. Meskipun dalam kuisioner biasanya sudah tercantum bahwa kerahasiaan dari responden menjadi tanggung jawab dari peneliti sepenuhnya, namun perlu diingat bahwa membangun kedekatan secara interpersonal, dengan berjarak, menjadi hal yang cukup penting untuk mendorong responden mau menjadi bagian dari penelitian kita dan mau memberikan jawaban yang riil dari sejumlah pertanyaan yang tercantum dalam kuisioner, meskipun itu berkenaan dengan persoalan yang sifatnya privasi.

2.

Memperjelas tujuan kita dan tujuan penelitian yang dilakukan Persoalan lain yang biasanya muncul ketika seorang peneliti menyodorkan kuisioner kepada responden adalah adanya ketakutan dari responden penelitian mengenai penyalahgunaan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti atau lembaga penelitian. Selain itu, responden juga mengkhawatirkan adanya komersialisasi dari penelitian yang dilakukan oleh peneiti atupun lembaganya. Ketakutan-ketakutan semacam ini tidak luput dari berbagai modus kejahatan yang muncul di sekitar reponden yang tidak jarang menjadikan penelitian survei menjadi terhambat. Untuk mengatasi hal tersebut, ketika memberikan kuesioner ataupun sebelum mengajukan pertanyaanpertanyaan pembuka kepada responden, sebaiknya seorang peneliti memberikan terlebih briefing dulu. Briefing ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan kepada responden terkait tujuan dari penelitian, latar belakang dari penelitian, dan hal-hal lain yang selayaknya diketahui responden. Dengan demikian, antara responden dan peneliti terjalin keterbukaan dan membuka peluang untuk responden bersikap jujur atas jawaban yang diberikannya. Bisa jadi pula, briefing awal yang dilakukan oleh peneliti ini akan menjadi semacam wawancara sederhana yang akan membangun data menjadi lebih representatif. Perlu diingat, bahwa penelitian survei adalah penelitian yang sebenarnya tidak hanya mengandalkan kuisioner semata. Meskipun analisis datanya dibangun dengan kuantifikasi data, namun wawancara pun diperlukan untuk

17

memperjelas data agar lebih representatif. Tidak ada salahnya ketika sedang melakukan briefing awal peneliti melakukan wawancara sederhana yang akan memperdalam data yang didapatkan. Briefing awal, sebagai cara untuk membuat nyaman responden, sekaligus sebagai salah satu cara penggalian data, ditentukan pula oleh berbagai faktor sebagaimana ketika peneliti melakukan wawancara. Hal ini karena briefing mempunyai prinsip yang sama dengan wawancara, mengandalkan kemampuan peneliti untuk berbicara dan melakukan penjelasan secara verval. Oleh karena itu keberhasilan dari briefing ini akan sejalan dengan keberhasilan ketika melakukan wawancara. Sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan wawancara diantaranya (Singarimbun dan Effendi, 1995 : 193): Situasi Wawancara : Waktu Tempat Kehadiran Orang Lain Sikap Masyarakat

Pewawancara : Karakteristik Sosial Ketrampilan Berwawancara Motivasi Rasa Aman

Responden : Karakteristik Sosial Kemampuan Menangkap Pertanyaan Kemampuan Menjawab Pertanyaan

Isi Wawancara : Peka untuk ditanyakan Sukar untuk ditanyakan Sumber kekhawatiran

18

3.

Menanyakan hal-hal yang sifatnya faktual terlebih dahulu Dalam suatu kuisioner yang diajukan oleh peneliti kepada responden, biasanya terdapat hal-hal yang sifatnya faktual dan sifatnya konseptual. Akan menjadi awalan yang baik jika pada awal pemberian kuisioner peneliti memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya faktual terlebih dahulu. Pertanyaan faktual membutuhkan energi yang lebih sedikir bagi responden untuk berpikir dan mengingat jawaban yang akan dituliskannya karena pertanyaan-pertanyaan faktual biasanya berkaitan dengan hal-hal yang melekat dan dekat dengan responden. Ini membuka peluang kejujuran bagi responden dan membuat responden merasa nyaman.

2.

Instrument yang Representatif Dalam suatu penelitian survei, terdapat pemahaman yang salah kaprah dalam masyarakat secara

umum. Selama ini orang beranggapan bahwa yang dimaksudkan dengan penelitian survei adalah penelitian yang menggunakan instrument kuisioner semata. Faktanya, kuisioner hanyalah bagian dari instrument yang biasanya digunakan dalam metode penelitian survei. Metode-metode lain pun, bisa digunakan dalam penelitian survei. Misalnya, observasi, focus group discussion (FGD) dan indepth interview. Wiseman dan Aron dalam bukunya Field Project For Sociology Student (Berger, 2000:188) memberikan definisi survei sebagai a method for collecting and analyzing social data via highly stuctured and often very detailed interviews or questionnaires in order to obtain information from large number of respondents presumed to be representative of specific population. Melalui definisi ini, unsur survei terdiri atas empat hal : 1. 2. 3. 4. Survei dilakukan untuk mengumpulkan data dan menganalisis data secara sosial. Survei menerapkan teknik pengumpulan data yang terstruktur dan mendetail. Survei melibatkan sampel yang luas dan representatif. Survei diorientasikan untuk menarik generalisasi dari sampel. Berdasarkan keempat unsur di atas, bisa dikatakan bahwa survei yang selama ini identik dengan kuisioner, tidak semata-mata mengandalkan kuisioner. Kuisioner memang menjadi instrumen yang paling banyak digunakan dalam penelitian survei, namun pengumpulan data seperti menggunakan wawancara maupun focus group discussion sah-sah saja dilakukan dalam penelitian survei. Sebagai instrument yang paling populer dan paling banyak digunakan dalam penelitian survei, keberadaan kuisioner teramat penting dalam menentukan apakah responden yang dituju akan melakukan kejujuran atau tidak. Untuk itu dalam suatu penelitian survei dibutuhkan instrument yang ketat. Instrumen yang ketat ini dibangun dalam kuisioner yang dioperasionalisasikan dari konsep penelitian yang sudah disusun sedemikian rupa berdasarkan logika hipothethico deductive. Mulai dari penyusunan konsep sampai penentuan indikator yang menentukan jenis dan pertanyaan macam apa yang akan masuk dalam kuisioner harus dikontrol secara ketat oleh peneliti agar persoalan-persoalan yang hendak diteliti bisa masuk dan terukur melalui kuisioner tersebut. Pertanyaan dalam kuesioner umumnya menyangkut empat hal, yaitu pertanyaan tentang fakta, pertanyaan tentang pendapat atau sikap, pertanyaan tentang informasi, dan pertanyaan tentang persepsi diri (Singarimbun dan Effendi, 1995 : 176-177). Hasil akhir dari pengumpulan data melalui kuesionar berupa kategorisasi-kategorisasi dari hasil penghitungan data secara statistik. Oleh karenanya, peneliti seharusnya bersikap selektif terhadap ragam pertanyaan yang hendak diajukannya ketika menyusun kuisioner. Hal ini tentunya bisa dilakukan dengan melakukan pertanyaan terbuka dan tertutup secara bergantian, untuk mendapatkan gambaran secara komprehensif dan representatif. Dengan keragaman ini, diharapkan responden tidak merasa bosan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dan peneliti juga akan mendapatkan jawaban yang lebih representatif dari respondennya.

19

Contoh Jenis Pertanyaan dalam Kuisioner Pertanyaan Tertutup Apakah anda membaca surat kabar? a. Pertanyaan Terbuka Ya b. Tidak

Surat kabar apakah yang paling sering anda baca? Jawaban : .................................................................

Pertanyaan Campuran (terbuka dan tertutup)

Apakah anda membaca surat kabar? a. Ya b. Tidak Jika Ya surat kabar apa yang paling sering anda baca? Jawaban : ..................................................................

Berdasarkan hasil jawaban yang diberikan oleh responden melalui, peneliti dalam memilah-milahnya dan menyusun data statistik untuk membaca hasil analisisnya. Penyusunan data statistik yang diperoleh dari jawaban responden ini akan sangat bergantung pada kejujuran responden dalam memberikan jawaban dan seberapa representatif jawaban tersebut. Jawaban ini, lagi-lagi bergantung pada kenyamanan responden untuk berkata jujur dan kesediaanya memberikan jawaban sebagaimana yang ingin dihimpun peneliti guna memperoleh kebenaran. Untuk itu, peneliti perlu memiliki keahlian dalam mengatasi rendahnya hasil kuisioner dengan mempermudah responden untuk memberikan jawaban atas pertanyaan maupun pernyataan yang ada. Menurut Effendi (1981:10) kesulitan yang dialami oleh responden dalam memberikan jawaban dapat juga diantisipasi dengan menyesuaikan karakter sampel dengan interval jawaban (range) pertanyaan-pertanyaan suatu kuisioner. Jika responden memiliki karakter sosial dengan tingkat pendidikan rendah, maka jenjang (range) pilihan jawaban yang diberikan hendaknya lebih kecil (biasanya jenjang tiga: 1 2 3), karena responden dapat lebih mudah untuk memahami isi pertanyaan. Kemudian, jika responden adalah kalangan terdidik, maka range pilihan jawaban yang lebih luas dimungkinkan (biasanya tujuh jenjang: 1 2 3 4 5 6 7 ), sehingga jawaban responden semakin respresentatif. Selain masalah range, masalah bahasa penelitian juga akan mempengaruhi bagaimana cara dan kemauan dari responden dalam memberikan jawaban. Penggunaan istilah-istilah yang memusingkan, asing, dan tidak dikenal kadang kala membuat responden malas untuk membaca kuisioner dan memberikan jawaban. Oleh karenanya dalam penyusunan kuisioner, peneliti sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, menggunakan istilah-istilah yang sudah populer dalam masyarakat, dan menghindari pemborosan istilah-istilah rumit yang justru membuat responden mengalami kebingunan. Kualitas instrumen menentukan kualitas hasil penelitian. Untuk menjamin kualitas kuisioner yang akan digunakan sebagai instrument penelitian, sebaiknya peneliti melakukan pre-test terlebih dahulu. Pre-test dimaksudkan untuk melihat sejauh mana kuisioner yang sudah dirancang merepresentasikan kerangka teori, karangka konsep, dan operasionalisasi yang sudah dirumuskan. Selain itu pre-test akan menjadi tolok ukur apakah kuisioner yang sudah dirancang oleh peneliti telah memenuhi validitas dan realibilitas dalam penelitian survei. Sementara itu, Thomas, sebagaimana dikutip Rahayu, menuliskan sejumlah tips untuk penggunaan kuesioner dalam penelitian survei (Rahayu, 2008:72) : 1. 2. Menyusun kuesioner sesingkat mungkin sehingga mudah untuk dipahami dan diisi Mengalokasikan pertanyaan-pertanyaan kuesioner sedemikian rupa sehingga mengalir dan memudahkan pengisian pertanyaan dalam waktu yang singkat 3. Memberikan insentif bagi kuesioner yang dikembalikan, misalnya berupa uang, hadiah, atau merchandise lainnya

20

3.

Sampel yang Tepat Selain masalah instrumen dan suasana, faktor lain yang akan mempengaruhi keberhasilan penelitian

adalah sampel. Instrument yang tepat akan menghasilkan penelitian yang bagus jika digunakan pada penelitian dengan sampel yang tepat. Sampel adalah sejumlah orang dari suatu populasi yang dianggap mewakili dan mampu menggambarkan keadaan populasi. Pemilihan sampel penelitian juga akan mempengaruhi kejujuran responden dalam penelitian. Dalam suatu penelitian, hendaknya peneliti melakukan pemilihan responden sampelnya secara spesifik dengan melakukan pemetaan demografi yang meliputi: umur, jenis pekerjaan, latar belakang, dan sebagainya. Pemilihan sampel ini akan berpengaruh pada model kuisioner yang digunakan. Model kuisioner yang digunakan dan sampel ini akan mempengaruhi hasil penelitian yang dilakukan. Idealnya, suatu metode pengambilan sampel yang tepat mempertimbangkan adanya sifat-sifat sebagai berikut (Singarimbun dan Effendi, 1995 :149-150) : 1. 2. Dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi Dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan penyimpangan baku dari taksiran yang diperoleh 3. 4.
6

Sederhana, sehingga mudah dilaksanakan Dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya serendah-rendahnya. Menurut Teken, sebagaimana dikutip Singarimbun dan Effendi (1995 :150), metode A dikatakan lebih efisien daripada metode B apabila untuk sejumlah biaya, tenaga, dan waktu yang sama, metode A itu dapat memberikan tingkan presisi yang lebih tinggi, atau untuk tingkat presisi yang sama diperlukan biaya , tenaga, dan waktu yang lebih rendah. Ketepatan pemilihan sampel ini akan sangat berpengaruh terhadap nilai kejujuran dalam suatu

penelitian. Ketepatan bahasa dan ketepatan cara bertanya melalui kuisioner akan mempengaruhi cara responden menjawab dan bagaimana responden memberikan informasi. Sehingga strategi ini dapat menghindari ketidakjujuran yang tidak disengaja oleh responden. Teknik pemilihan sampel secara garis besar terpilah menjadi dua (Singh, 2007:102), yaitu: 1. Probability Sampling, terdiri dari: Simpel Random Sampling (SRS), Systematic Sampling, Stratified Sampling, Cluster Sampling, dan Multi-stage Sampling 2. Nonprobability Sampling, terdiri dari: Convenience sampling, Purposive Sampling, Quota Sampling, Expert Sampling, dan Snowball/Chain Sampling, dan yang lainnya. Secara umum populasi yang homogen lebih tepat menggunakan teknik random, dan populasi yang heterogen menggunakan teknik non-probabilitas. Sementara itu, De Vaus memberikan catatan bagaimana memilih sampel yang tepat dalam suatu penelitian survei. Ada lima tahapan yang dilalui oleh seorang peneliti (De Vaus, 1991:84-85): 1. Mendefinisikan populasi. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat karakteristik populasi yang dituju, misalnya sisi demografi, geografi, psikografi. Pengetahuan atas populasi ini akan membantu peneliti menentukan ketepatan penelitian. 2. Menyusun perencanaan sampel dengan terlebih dahulu menentukan sampling frame. Peneliti menentukan kriteria berdasarkan kondisi populasi dan tujuan penelitian.
6

Presisi adalah tingkat ketetapan yang ditentukan oleh perbedaan hasil yang diperoleh dari sampel dibandingkan hasil yang diperoleh dari catatan lengkap, dengan syarat bahwa keadaan-keadaan dimana kedua metode dilakukan, sesuai daftar petanyaan, teknik wawancara, kualitas pencacah dan sebagainya adalah sama. Secara kuantitatif presisi disebut Kesalahan Baku (Standart eror). Misalnya nilai rata-rata suatu populasi diberi simbol U dan nilai rata-rata sampel diberi simbol X, maka perbedaan antara U dan X adalah presisi

21

3. 4.

Menyeleksi teknik sampling yang dianggap paling tepat untuk menentukan sampel. Menentukan jumlah sampel. Penentuan jumlah sampel ini berdasarkan homogen atau heterogen, populasi yang dituju.

5.

Eksekusi pengambilan sampel. Peneliti perlu mengetahui keadaan lapangan dan mencari waktu serta keadaan yang memungkinkan untuk mendekati sampel yang dituju. Untuk menentukan siapa saja yang akan diambil menjadi sampel, setidaknya ada empat faktor yang

harus dipertimbangkan dalam menentukan besarnya sampel dalam suatu penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1995:150) : 1. Derajat keseragaman dari suatu populasi (degree of homogenity). Makin seragam populasi itu makin kecil sampel yang dapat diambil. 2. Presisi yang dikehendaki dari suatu penelitian. Makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar jumlah sampel yang harus diambil. 3. 4. F. Rencana analisis. Tenaga, biaya, dan waktu. PENUTUP De Vaus menyatakan bahwa, a survey is not just a particular technique of collecting information : questionnaires are widely used but other techniques, such as structured and in depth interviews, observation, content analysis and so forth, can also be used in survey research. Dalam pendefinisian ini, De Vaus memberikan pernyataan bahwa survei merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk menghimpun informasi. Cara menghimpun data ini bisa dilakukan dengan menggunakan kuisioner sebagai instrumen paling populer dan paling banyak digunakan. Bisa pula dilakukan dengan melakukan wawancara, observasi, bahkan analisis isi. Sebagai suatu instrumen penelitian dan diandalkan untuk menghimpun data, kuisioner memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Kelebihan Kuisioner 1. Memungkinkan peneliti untuk menghimpun data dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat 2. Memungkinkan menjangkau responden 2. 1. Kelemahan Kuisioner Tidak adanya pendampingan dari peneliti guna menjelaskan maksud atas

pertanyaannya Kesulitan pertanyaan akan menyebabkan tidak adanya jawaban atas pertanyaan yang disajikan 3. Tingkat pengembalian kuisioner terbatas Ada keengganan karena orang merasa tidak mendapatkan manfaat 5. Ada kemungkinan responden tidak bersikap jujur atas jawabannya

dalam wilayah yang secara geografis sangat terpencil, sehingga tidak mengenal batas geografis 3. Memudahkan responden karena bisa

4.

menyajikan jawaban multiple choice yang membatasi luasnya variasi informasi atau jawaban lain yang keluar dari responden 4. Memudahkan penghitungan secara statistik dalam melihat tren data

Salah satu kekurangan dari survei yang dibahas dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan kemungkinan ketidakjujuran responden yang muncul dalam jawaban kuisioner. Survei sebagai sebuah metode yang bernaung di bawah paradigma positivistik memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri dalam menggambarkan suatu fenomena. Kelebihan survei sebagai sebuah metode penelitian kuantitatif ada beberapa (Wimmer dan Dominick, 2003 :167-168):

22

1.

Survei dapat digunakan dalam setting yang alamiah tanpa harus dilakukan dalam laboratorium atau melalui perancangan suatu kondisi tertentu

2.

Dari segi pembiayaan survei dapat disesuaikan dengan jangkauan informasi yang ingin didapatkan. Sehingga rasionalitas pembiayaan penelitian survei dapat diperhitungkan

3.

23

You might also like