You are on page 1of 20

I.

JUDUL PERCOBAAN

PENCEMARAN AIR TERHADAP ORGANISME PERAIRAN ( IKAN ) II. 1. 2. 3. 4. 5. TUJUAN PERCOBAAN :

Melihat adaptasi yang dilakukan oleh organisme perairan (ikan) Mengamati berapa lama ikan mampu bertahan di dalam air yang tercemar Mengamati pengaruh adaptasi ikan terhadap lingkungan perairan yang tercemar. Mengetahui kandungan zat-zat pada detergen Mengetahui dampak detergen terhadap organism perairan/ikan dan kaitannya dengan pencemaran air. TINJAUAN TEORITIS :

III.

Detergen Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Di sisi lain, detergen harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti fungsi jangka pendek (short therm function) atau daya kerja cepat, mampu bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang rendah dan harga yang terjangkau (Jurado et al, 2006) Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton. Sedangkan tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009). Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Pada umumnya detergen bersifat surfaktan anionik yang berasal dari derivat minyak nabati atau minyak bumi (Chantraine F et all, 2009). Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan dengan gugus utama surfaktant adalah ABS (Alkyl Benzene Sulfonate) yang sulit di biodegradabel, maka pada tahun 1965 industri mengubahnya dengan yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama surfaktant LAS (Linier Alkyl Benzene Sulfonate). Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen Indonesia (APEDI), surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate rantai lurus (LAS) sebesar 60%. Alasan penggunaan ABS antara lain karena harganya murah, stabil dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah. Dibandingkan dengan LAS, ABS lebih sukar diuraikan secara alami sehingga pada banyak negara di dunia penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah (Anonimous, 2009).

Bahan bahan yang umum terkandung pada deterjen adalah : 1. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Surfaktant terbagi atas jenis anionic (Alkyl Benzene Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein Sulfonate/AOS), sedangkan jenis kedua bersifat kationik (Garam Ammonium) dan jenis yang ketiga bersifat non ionic (Nonyl phenol polyethoxyle) serta Amphoterik (Acyl Ethylenediamines). 2. Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air, dapat berupa Phosphates (Sodium Tri Poly Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra Acetate/EDTA), Silikat (Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat). 3. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga, misal Sodium sulfate 4. Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk. Contohnya enzyme, borax, sodium chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagai bahan pengikat. Menurut kandungan gugus aktifnya detergen diklasifikasikan sebagai deterjen jenis keras dan jenis lunak. Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan deterjen tersebut dibuang akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air. Salah satu contohnya adalah Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Sedangkan detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai, misalnya Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS). Pada awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dan ditambahkan dalam berbagai bentuk produk seperti personal cleaning product (sampo, sabun cuci tangan), laundry sebagai pencuci pakaian merupakan produk deterjen yang paling populer di masyarakat, dishwashing product sebagai pencuci alat rumah tangga baik untuk penggunaan manual maupun mesin pencuci piring, household cleaner sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan porselen, plastik, metal, gelas (Arifin, 2008).

A. Manajemen Pengolahan Limbah Deterjen Detergen merupakan suatu derivatik zat organik sehingga akumulasinya menyebabkan meningkatnya COD (Chemichal Oxygen Demand) dan BOD (Biological Oxigen Demand) dan angka permanganat, maka dalam pengolahannya sangat cocok menggunakan teknik biologi. Proses biologis dapat dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan oksigen, sistem pertumbuhan, proses operasi. Ditinjau dari pemanfaatan oksigennya, proses biologis untuk mengolah air limbah deterjen dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama, yaitu proses aerobic, proses anaerobic, proses anoksid dan kombinasi antara proses aerobik dengan salah satu proses tersebut. Proses biologis dapat pula dikelompokkan atas dasar proses operasinya yaitu proses kontinu dengan atau tanpa daur ulang, proses batch, proses semi batch. Proses kontinu biasa digunakan untuk pengolahan aerobik, sedangkan proses batch atau semi batch lebih banyak digunakan untuk sistem anaerobic. Apabila BOD tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses anaerob menjadi lebih ekonomis. BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik. Bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). BOD merupakan suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan. Sedangkan COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat, sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada. Air yang bersih kandungan BOD kurang dari 1 mg/l atau 1ppm, jika BOD nya di atas 4 ppm maka air dikatakan tercemar (Hariyadi, 2004). Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa alkyl benzena sulfonat (ABS) dapat diuraikan dengan bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter gergoviae, Staphylococcus aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens, Pseudomonas euruginosa, Kurthia zopfii, dan sebagainya. Bakteri ini akan merombak detergen yang juga merupakan zat organik sebagai bahan makanan menjadi energi.

B. Dampak Limbah Deterjen terhadap Kesehatan Manusia dan Kesehatan Lingkungan Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi dan meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat modern. Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap manusia dan lingkungannya. Umumnya deterjen yang digunakan sebagai pencuci pakaian/laundry merupakan deterjen anionik karena memiliki daya bersih yang tinggi. Pada deterjen anionik sering ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride, diethanolamine/ DEA), chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan seperti sodium lauryl sulfate (SLS), sodium laureth sulfate (SLES) atau linear alkyl benzene sulfonate (LAS). Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker. Senyawa sodium lauryl sulfate (SLS) diketahui menyebabkan iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa. Pembuangan limbah ke sungai/sumber-sumber air tanpa treatment sebelumnya, mengandung tingkat polutan organik yang tinggi serta mempengaruhi kesesuaian air sungai untuk digunakan manusia dan merangsang pertumbuhan alga maupun tanaman air lainnya. Selain itu deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan oksigennya rendah menjadi menurun. Ikan membutuhkan air yang mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/ liter atau 5 ppm (part per million). Apabila kadar oksigen kurang dari 5 ppm, ikan akan mati, tetapi bakteri yang kebutuhan oksigen terlarutnya lebih rendah dari 5 ppm akan berkembang. Apabila sungai menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya hewan-hewan seperti ikan, udang dan kerang akan mati. Keberadaan busa-busa di permukaan air juga menjadi salah satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian (Ahsan et al, 2005). Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau busuk. Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob.

Fosfat memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air dan Builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sungai/danau, yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa, penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih ramah lingkungan (Anonimous, 2009). Ahsan et al (2005) menyatakan bahwa penghilangan jumlah fosfat dapat dilakukan dengan adsorpsi sederhana serta efisiensi penghilangan ion fosfat dengan concentrate menurun dengan peningkatan suhu, sementara peningkatan suhu pada shell (kerang) cenderung dapat meningkatkan efisiensi ion fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu, penghilangan ion fosfat dengan shell dilakukan pada suhu yang relatif tinggi. Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian menyebutkan bahwa detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan dan bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun jika tertelan dalam tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun non ionik). Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana produk-produk kimia (deterjen) aman di lingkungan yaitu daya racun (toksisitas) dan daya urai (biodegradable). ABS dalam lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini dikategorikan sebagai non-biodegradable. Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air sehingga pada perkembangannnya digantikan dengan LAS mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh mikroorganisme. LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa terdegradasi sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam memecah bagian ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan butuh proses beta oksidasi, karena itu perlu waktu. Penelitian Heryani dan Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam membutuhkan waktu 9 hari untuk menguraikan 50% LAS. Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada spektrumya. Dengan tidak

terurainya secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa, menurunkan tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali dari gumpalan (flock) koloid, pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang berguna, penyumbatan pada pori pori media filtrasi. Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat keasamannya (pH) antara 10 12 (Ahsan S et al, 2005). Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri PARAMETER KADAR MAKSIMUM BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/hari.Hari) 4.3 8.6 17.2

(mg/liter) BOD5 50 COD 100 TSS 200 pH 6.0 - 9.0 Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3/MENLH/1/1998 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri

C. Bahaya Surfactan Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk deterjen (hingga 15-40 % dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaikkan dan menurunkan tegangan permukaan. Dengan surfaktant dapat terjadi perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses pembasahan, daya busa yang stabil, daya emulsi yang stabil (Scheibel, 2004). Efek negatif dari Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar, hilangnya kelembaban alami yamg ada pada permukan kulit dan meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi kontak dengan bahan kima dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan akibat iritasi sedang pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika tertelan dibandingkan dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa bahan surfaktan yang terdapat dalam deterjen dapat membentuk chlorbenzene pada proses klorinisasi pengolahan air minum PDAM. Chlorbenzene merupakan senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan. Pengaruh lain yaitu

penghambatan pertumbuhan dalam tumbuhan, ikan, dan budding dalam hidra, kerusakan organ sensoris luar yang peka sehingga dapat mengganggu pemilihan makanan, mempengaruhi sinergis zat zat dan surfaktan subletal menyebabkan pengambilan zat lipofilik yang lebih cepat dan memperkuat toksisitas zat ini. Air yang mengandung surfaktan (2 4 ppm) tidak dapat dideteksi perubahannya (Heryani dan Puji, 2008). Penggunaan alat Trickling Filter, yaitu teknik untuk meningkatkan kontak dari air limbah dengan mikroorganisme pemakan bahan-bahan organik yang mengambil oksigen untuk metabolismenya dapat dipergunakan sebagai pengolahan limbah deterjen skala rumah tangga. Diawali dengan mengembangbiakkan bakteri pada media pecahan genteng selama 40 hari dalam limbah rumah tangga yang ada di selokan, kemudian dilakukan treatment/sirkulasi terhadap limbah deterjen sintetik pada Trickling Filter dan dianalisa nilai konsentrasi LAS dengan pengujian MBAS (Metylene Blue Active Surfactan). media pertumbuhan mikroorganisme adalah pecahan genteng yang direndam dalam selokan 40 hari. Jenis mikroorganisme yang ada di selokan antara lain Crenothrix & Sphaerotilus, Chromatium & Thiobacillus, mikroalgae hijau & biru, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Shigella shigae, Eschericia Coli. Pengamatan langsung dengan menggunakan mikroskop dan pengecatan gram menunjukkan bahwa komunitas mikroba didominasi oleh bakteri gram negatif, menemukan komunitas bakteri dari golongan Proteobacteria mendominasi komunitas bakteri yang mampu mendegradasi deterjen. Pertumbuhan mikroorganisme ini berlangsung cukup lama karena dipengaruhi oleh suhu dan nutrisi yang diperlukannya. Deterjen akan mengalami penurunan kadar LAS dengan semakin bertambahnya waktu. Hal ini disebabkan mikroorganisme aerobik yang memakan zat yang terkandung dalam deterjen. Kemampuan mikroba terutama bakteri dalam menggunakan deterjen sebagai sumber karbon utama menunjukkan bahwa bakteri memegang peran penting. Deterjen dengan kadar LAS yang besar membutuhkan waktu peruraian yang lebih lama dan deterjen dengan kadar LAS yang kecil akan lebih cepat terurai. Dan semakin lama waktu sirkulasi limbah deterjen maka kadar LAS pada ketiga merek deterjen yang diteliti akan semakin mengalami penurunan, karena waktu kontak antara air deterjen dan mikroorganisme aerob semakin lama sehingga memberikan waktu yang cukup lama pula bagi bakteri untuk menguraikan deterjen (Heryani dan Puji, 2008). Penanganan dengan cara lumpur aktif juga dapat dikembangkan , dan dapat menurunkan COD, BOD 30 70 %, bergantung pada karakteristik air limbah yang, diolah dan kondisi proses lumpur aktif yang dilakukan. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya, antara lain oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam). Dengan tangki septic-filter up flow yang berisi pecahan batu bata sebagai media hidup mikroba sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue Active Surfactan atau MBAS (untuk

mendeteksi kandungan detergen) hingga mencapai efesiensi 87,93 persen. Dari sampel, air limbah yang sebelum dimasukkan tangki memiliki kandungan MBAS sekitar 2,7 mg per liter. Setelah keluar tangki, air hanya mengandung MBAS sekitar 0,326 mg per liter, atau lebih rendah dari baku mutu yang digariskan, yakni 0,5 mg per liter. Adapun BOD yang didapat adalah 483,75 mg per liter (sebelum proses) dan 286,25 mg per liter (setelah proses) atau kandungan BOD berkurang 40 persen lebih. D. Mendestabilkan partikel deterjen dapat dimanfaatkan sebagai pengolahan limbah karena detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari partikel koloid dalam air sangat dipengaruhi oleh muatan listrik dan kebanyakan partikel tersuspensi bermuatan negative. Cara mendestabilkan atau merusak kestabilan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan mengurangi muatan elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid, proses ini lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan kepada partikel untuk saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan dengan cara pengadukan dan disebut sebagai flokulasi. Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan seperti PAC. Di dalam air PAC akan terdisposisi melepaskan kation Al3+ yang akan menurunkan zeta potensial dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi berkurang, akibatnya penambahan gaya mekanis seperti pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang akan dilanjutkan dengan penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk flok yang berukuran lebih besar. Flok akan diendapkan pada unit sedimentasi maupun klarifikasi. Lumpur yang terbentuk akan dibuang menggunakan scraper. Cara koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD) sebanyak 40-70 %. Detergen mampu memecah minyak dan lemak membentuk emulsi sehingga dapat diendapkan dengan menambahkan inhibitor garam alkali seperti kapur dan soda. Buih yang terbentuk akan dapat dihilangkan dengan proses skimming (penyendokan buih) atau flotasi. Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation). Adsorpsi menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk mengurangi kontaminasi detergen. Detergen yang merupakan molekul organik akan ditarik oleh karbon aktif dan melekat pada permukaannya dengan kombinasi dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia. Karbon aktif memiliki jaringan porous (berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah bentuknya untuk menerima molekul pengotor baik besar maupun kecil. Zeolit dapat menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %. Detergen mempunyai ikatan ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah ikatan tersebut membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan menghasilkan haloform dan trihalomethans jika zat organiknya berlebih (Arifin, 2000)

IV. ALAT DAN BAHAN NO 1 2 3 4 5 6 7 8

: JUMLAH Secukupnya 3 buah Secukupnya 1 buah 1 buah 3 ekor 3 ekor 3 ekor

NAMA ALAT DAN BAHAN Detergen Toples kaca transparan Air Pengaduk/sudip Stopwatch Ikan lele Ikan gobi Ikan mas

V.

PROSEDUR KERJA

Praktikan menyiapkan alat dan bahan terlebih dahulu Praktikan membuat 2 parameter yaitu : 1. Air bersih murni + 1 gram detergen 2. Air ditambah detergen 0,5 gram detergen Mengisi wadah toples yang tersisa dengan air bersih yang dapt digunakan untuk wadah bibit ikan lain. Memasukkan masing-masing satu ekor ikan ke dalam masing-masing parameter dan dibiarkan selama 5 menit. Dalam waktu 5 menit tersebut, mengamati tingkah laku ataupun pergerakan ikan, mencatat waktu dan tingkah laku ikan, bagaimana pergerakannya, apakah diam ataupun meronta-ronta. Melakukan perlakuan diatas pada masing-masing sampel ikan lainnya. Membuat table hasil pengamatan dan ditulis dalam laporan sementara. Membuat laporan sementara masing-masing kelompok untuk diparaf oleh asisten.

VI. KEL JENIS IKAN

HASIL PERCOBAAN ATAU REAKSI KEADAAN AIR KONTROL (AIR BERSIH) KONDISI TINGKAH LAKU DETERGEN 1 GRAM KONDISI
MENGGELEPAR BIASA BERLENDIR MATI MATI MATI BERLENDIR MERONTA-RONTA BERLENDIR, INSANG BERDARAH BERLENDIR, INSANG MERAH BERLENDIR INSANG BERDARAH BERLENDIR MATI MATI INSANG MERAH BERLENDIR BERLENDIR MATI MATI

TINGKAH LAKU
MERONTARONTA PINGSAN MENGGELEP AR LEMAS LEMAS PINGSAN PINGSAN PINGSAN PINGSAN MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA LASAK LASAK MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTA

GRAM KONDISI
MENGGELE PAR BIASA BERLENDIR MATI LEMAS MATI BERLENDIR , PUCAT PUCAT BERLENDIR BERLENDIR INSANG MERAH MATI MATI HIDUP HIDUP PINGSAN PUCAT DIAM MATI MATI

TINGKAH LAKU
MERONTARONTA PINGSAN MENGGELEP AR MERONTARONTA KEJANG MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTARONTA MERONTA-

IKAN NILA IKAN GOBI IKAN LELE

STRES BAIK BAIK HIDUP HIDUP HIDUP BAIK STRES BAIK HIDUP HIDUP HIDUP BAIK BAIK BAIK STRES BAIK STRES HIDUP HIDUP

KURANG AKTIF BAIK BAIK LINCAH LINCAH LINCAH TIDAK AKTIF AKTIF AKTIF BAIK BAIK BAIK BIASA LASAK BIASA DIAM DIAM DIAM NORMAL NORMAL

II

IKAN NILA IKAN GOBI IKAN LELE

III

IKAN NILA IKAN GOBI IKAN LELE

IV

IKAN NILA IKAN GOBI IKAN LELE

IKAN NILA IKAN GOBI IKAN LELE

VI

IKAN NILA IKAN GOBI IKAN LELE

VII

IKAN NILA IKAN GOBI

IKAN LELE

HIDUP BAIK BAIK BAIK

NORMAL BAIK BAIK BAIK

MATI MATI PINGSAN PINGSAN

VIII

IKAN NILA IKAN GOBI IKAN LELE

MERONTARONTA MERONTA MERONTARONTA MERONTARONTA

MATI MATI HIDUP HIDUP

RONTA MERONTARONTA MERONTA MERONTARONTA MERONTARONTA

Respon Fisiologis Ikan Terhadap Detergen Pada ikan gobi atau paccilia sp, sebelum di masuukan kedalam detergen, ikan ini memeng sudah lemas kerena faktor-faktor berikut antara lain: pengkarantinaan ikan terlalu lama,saat akan dipercobakan di dalam detergen dan tidak di beri makanan. Saat akan dimasukan ikan tersebut tidak mengalami respon fisik dari ikan tersebut dan setelah beberapa detik ikan tersebut kelihatan lemah dan insannya berdarah. Dan setelah beberapa menit ikan tersebut mati. Pada ikan Nila (Oreochomis Niloticus), saat di masukan ke dalam detergen ikan tersebut meronta-ronta atau melompat-lompat dalam beberapa detik, warna ikan tersebut berubah menjadi pucat dan setelah beberapa detik yang awalnya berada di bawah permukaan menjadi melayang di permukaan air. Insan ikan tersebut menjadi berdarah dan pingsan. Ini di akibatkan ikan tersebut tidak tahan dengan adaptasi lingkungan air yang tercemar, yang mana ikan ini hanya bisa hidup di air tawar yang jernih dan bebas dari limbah. Hanya memasuki detik ke-40, ikan tersebut langsung diam atau pingsan dan mengeluarkan lendir dari tubuhnya, namun ikan ini dapat bertahan lama sampai 13 menit lebih. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan ikan yang tidak merespon atau diam didalam larutan detergen tadi. Praktikan berpikir bahwa ikan telah mati tetapi saat disentuh atau digoyang-goyang ikan tersebut bergerak meskipun bergerak dengan gerakan tidak normal. Ikan Lele ( clavias batharus) Dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan yang di praktikumkan, ikan ini lebih lama memberikan respon seperti selalu meronta-ronta tetapi tidak terus-menerus, kadang-kadang diam sejenak, setelah itu meronta kembali. Hingga seterusnya sampai menit ke3.Sama halnya dengan ikan Nila hanya saja jika tidak disentuh ikan tersebut tetap diam seperti yang sudah mati. Tapi kalau disentuh ikan tersebut masih bergerak dengan gerakan yang sedikit. Resistensi Ikan terhadap Pencemaran Air a) Pada Ikan Gobi (Pascilia sp) Ikan ini umumnya lebih lama bertahan hidup didalam air yang tercemar. Mis: Larutan detergen , sebab ikan ini memiliki daya resistensi yang lebih tinggi terhadap pencemaran air. Sehinnga ikan Gobi kebanyakan tinggall di parit-parit.

b) Pada Ikan Nila (Oreo comishniloticus) Umumnya ikan Nila hidup di air jernih bebas limbah seperti di air tawar, sehingga ikan ini tidak tahan di air yang tercemar c) Pada ikan Lele ( Clavias batharus) Ikan lele banyak ditemukan didaerah perairan yang banyak lumpur. Sehingga ikan ini juga tidak bisa hidup di air yang tercemar. Saat ikan ini berada di air tercemar ikan ini berusaha bertahan dengan cara mengeluarkan banyak lendir dari dalam tubuhnya, namun karena ikan tersebut mengeluarkan lendir yang berlebihan, cairan ikan tersebut habis didalam tubuhnya. Sehingga ikan tersebut mati JENIS-JENIS LIMBAH Limbah atau sampah yaitu limbah atau kotoran yang dihasilkan karena pembuangan sampah atau zat kimia dari pabrik-pabrik. Limbah atau sampah juga merupakan suatu bahan yang tidak berarti dan tidak berharga, tapi kita tidak mengetahui bahwa limbah juga bisa menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat jika diproses secara baik dan benar. Limbah atau sampah juga bisa berarti sesuatu yang tidak berguna dan dibuang oleh kebanyakan orang, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna dan jika dibiarkan terlalu lama maka akan menyebabkan penyakit padahal dengan pengolahan sampah secara benar maka bisa menjadikan sampah ini menjadi benda ekonomis. I. Jenis-jenis limbah Jika didasarkan asalnya, limbah dikelompokkan menjadi 2 yaitu : 1. Limbah Organik Limbah ini terdiri atas bahan-bahan yang besifat organik seperti dari kegiatan rumah tangga, kegiatan industri. Limbah ini juga bisa dengan mudah diuraikan melalui proses yang alami. Limbah pertanian berupa sisa tumpahan atau penyemprotan yang berlebihan, misalnya dari pestisida dan herbisida, begitu pula dengan pemupukan yang berlebihan. Limbah ini mempunyai sifat kimia yang setabil sehingga zat tersebut akan mengendap kedalam tanah, dasar sungai, danau, serta laut dan selanjutnya akan mempengaruhi organisme yang hidup didalamnya. Sedangkan limbah rumah tangga dapat berupa padatan seperti kertas, plastik dan lain-lain, dan berupa cairan seperti air cucian, minyak goreng bekasdan lain-lain. Limbah

tersebut ada yang mempunyai daya racun yang tinggi misalnya : sisa obat, baterai bekas, dan air aki. Limbah tersebut tergolong (B3) yaitu bahan berbahaya dan beracun, sedangkan limbah air cucian, limbah kamar mandi, dapat mengandung bibit-bibit penyakit atau pencemar biologis seperti bakteri, jamur, virus dan sebagainya. 2. Limbah Anorganik Limbah ini terdiri atas limbah industri atau limbah pertambangan. Limbah anorganik berasal dari sumber daya alamyang tidak dapat di uraikan dan tidak dapat diperbaharui. Air limbah industri dapat mengandung berbagai jenis bahan anorganik, zat-zat tersebut adalah : Garam anorganik seperti magnesium sulfat, magnesium klorida yang berasal dari kegiatan pertambangan dan industri. Asam anorganik seperti asam sulfat yang berasal dari industri pengolahan biji logam dan bahan bakar fosil. Adapula limbah anorganik yang berasal dari kegiatan rumah tangga seperti botol plastik, botol kaca, tas plastik, kaleng dan aluminium. Jika berdasarkan sumbernya limbah dikelompokkan menjadi 3 yaitu : 1. Limbah Pabrik Limbah ini bisa dikategorikan sebagai limbah yang berbahaya karena limbah ini mempunyai kadar gasyang beracun, pada umumnya limbah ini dibuang di sungai-sungai disekitar tempat tinggal masyarakat dan tidak jarang warga masyarakat mempergunakan sungai untuk kegiatan sehari-hari, misalnya MCK(Mandi, Cuci, Kakus) dan secara langsung gas yang dihasilkan oleh limbah pabrik tersebut dikonsumsi dan dipakai oleh masyarakat.

2. Limbah Rumah Tangga

Limbah rumah tangga adalah limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah tangga limbah ini bisa berupa sisa-sisa sayuran seperti wortel, kol, bayam, slada dan lain-lain bisa juga berupa kertas, kardus atau karton. Limbah ini juga memiliki daya racun tinggi jika berasal dari sisa obat dan aki. Limbah rumah tangga dapat dibedakan menjadi 3 jenis. Yang pertama berupa sampah. Kemudian ada air buangan yang dihasilkan dari kegiatan mandi dan mencuci. yang terakhir adalah kotoran yang dihasilkan manusia. Limbah-limbah ini, jika tak dikelola baik, berpotensi tinggi mencemari lingkungan sekitar. 3. Limbah Industri Limbah ini dihasilkan atau berasal dari hasil produksi oleh pabrik atau perusahaan tertentu. Limbah ini mengandung zat yang berbahaya diantaranya asam anorganik dan senyawa orgaik, zat-zat tersebut jika masuk ke perairan maka akan menimbulkan pencemaran yang dapat membahayakan makluk hidup pengguna air tersebut misalnya, ikan, bebek dan makluk hidup lainnya termasuk juga manusia.Macam-macam bentuk dari limbah industri antara lain: A. Limbah Industri Pangan Sektor Industri/usaha kecil pangan yang mencemari lingkungan antara lain ; tahu, tempe, tapioka dan pengolahan ikan (industri hasil laut). Limbah usaha kecil pangan dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak , garam-garam, mineral, dan sisa0sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan. Sebagai contohnya limbah industri tahu, tempe, tapioka industri hasil laut dan industri pangan lainnya, dapat menimbulkan bau yang menyengat dan polusi berat pada air bila pembuangannya tidak diberi perlakuan yang tepat. Air buangan (efluen) atau limbah buangan dari pengolahan pangan dengan Biological Oxygen Demand ( BOD) tinggi dan mengandung polutan seperti tanah, larutan alkohol, panas dan insektisida. Apabila efluen dibuang langsung ke suatu perairan akibatnya menganggu

seluruh keseimbangan ekologik dan bahkan dapat menyebabkan kematian ikan dan biota perairan lainnya. B. Limbah Industri Kimia & Bahan Bangunan Industri kimia seperti alkohol dalam proses pembuatannya membutuhkan air sangat besar, mengeakibatkan pula besarnya limbah cair yang dikeluarkan kelingkungan sekitarnya. Air limbahnya bersifat mencemari karena didalamnya terkandung mikroorganisme, senyawa organik dan anorganik baik terlarut maupun tersuspensi serta senyawa tambahan yang terbentuk selama proses permentasi berlangsung. Industri ini mempunyai limbah cair selain dari proses produksinya juga, air sisa pencucian peralatan, limbah padat berupa onggokan hasil perasan, endapan Ca SO4, gas berupa uap alkohol. kategori limbah industri ini adalah llimbah bahan beracun berbahayan (B3) yang mencemari air dan udara. Gangguan terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan efek bahan kimia toksik : a. Keracunan yang akut, yakni keracunan akibat masuknya dosis tertentu kedalam tubuh melalui mulut, kulit, pernafasan dan akibatnya dapat dilihat dengan segera, misalnya keracunan H2S, Co dalan dosis tinggi. Dapat menimbulkan lemas dan kematian. Keracunan Fenal dapat menimbulkan sakit perut dan sebagainya. b. Keracunan kronis, sebagai akibat masuknya zat-zat toksis kedalam tubuh dalam dosis yang kecil tetapi terus menerus dan berakumulasi dalam tubuh, sehingga efeknya baru terasa dalam jangka panjang misalnya keracunan timbal, arsen, raksa, asbes dan sebagainya. Industri fermentasi seperti alkohol disamping bisa membahayakan pekerja apabila menghirup zat dalam udara selama bekerja apabila tidak sesuai dengan Threshol Limit Valued (TLV) gas atau uap beracun dari industri juga dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat sekitar.

Kegiatan lain sektor ini yang mencemari lingkungan adalah industri yang menggunakan bahan baku dari barang galian seperti batako putih, genteng, batu kapur/gamping dan kerajinan batu bata. Pencemaran timbul sebagai akibat dari penggalian yang dilakukan terusmenerus sehingga meninggalkan kubah0kubah yang sudah tidak mengandung hara sehingga apabila tidak dikreklamasi tidak dapat ditanami untuk ladang pertanian. C. Limbah Industri Sandang Kulit & Aneka Sektor sandang dan kulit seperti pencucian batik, batik printing, penyamakan kuit dapat mengakibatkan pencemaran karena dalam proses pencucian memerlukanair sebagai mediumnya dalam jumlah yang besar. Proses ini menimbulkan air buangan (bekas Proses) yang besar pula, dimana air buangan mengandung sisa-sisa warna, BOD tinggi, kadar minyak tinggi dan beracun (mengandung limbah B3 yang tinggi). D. Limbah Industri Logam & Ekektronika. Bahan buangan yang dihasilkan dari industr besi baja seperti mesin bubut, cor logam dapat menimbulkan pemcemaran lingkungan. Sebagian besar bahan pencemarannya berupa debu, asap dan gas yang mengotori udarasekitarnya. Selain pencemaran udara oleh bahan buangan, kebisingan yang ditimbulkan mesin dalam industri baja (logam) mengganggu ketenangan sekitarnya. kadar bahan pencemar yang tinggi dan tingkat kebisingan yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan manusia baik yang bekerja dalam pabrik maupun masyarakat sekitar. Walaupun industri baja/logam tidak menggunakan larutan kimia, tetapi industri ini memcemari air karena buanganya dapat mengandung minyak pelumas dan asam-asam yang berasal dari proses pickling untukmembersihkan bahan plat, sedangkan bahan buangan padat dapat dimanfaatkan kembali. a. Bahaya dari bahan-bahan pencemar yang mungkin dihaslkan dari proses-proses dalam industri besi-baja/logam terhadap kesehatan yaitu : a. Debu, dapat menyebabkan iritasi, sesak nafas

b. Kebisingan,

mengganggu

pendengaran,

menyempitkan

pembuluh

darah,

ketegangan otot, menurunya kewaspadaan, kosentrasi pemikiran dan efisiensi kerja. c. Karbon Monoksida (CO), dapat menyebabkan gangguan serius, yang diawali dengan napas pendek dan sakit kepala, berat, pusing-pusing pikiran kacau dan melemahkan penglihatan dan pendengaran. Bila keracunan berat, dapat mengakibatkan pingsan yang bisa diikuti dengan kematian. d. Karbon Dioksida (CO2), dapat mengakibatkan sesak nafas, kemudian sakit kepala, pusing-pusing, nafas pendek, otot lemah, mengantuk dan telinganya berdenging. e. Minyak pelumas, buangan dapat menghambat proses oksidasi biologi dari sistem lingkungan, bila bahan pencemar dialirkan keseungai, kolam atau sawah dan sebagainya. f. Asap, dapat mengganggu pernafasan, menghalangi pandangan, dan bila tercampur dengan gas CO2, SO2, maka akan memberikan pengaruh yang nenbahayakan seperti yang telah diuraikan diatas.

Respon fisiologis Ikan Terhadap Pencemaran Air Pada ikan gobi atau paccilia sp, sebelum di masuukan kedalam detergen, ikan ini memeng sudah lemas kerena faktor-faktor berikut antara lain: pengkarantinaan ikan terlalu lama,saat akan dipercobakan di dalam detergen dan tidak di beri makanan. Saat akan dimasukan ikan tersebut tidak mengalami respon fisik dari ikan tersebut dan setelah beberapa detik ikan tersebut kelihatan lemah dan insannya berdarah. Dan setelah beberapa menit ikan tersebut mati.

Pada ikan Nila (Oreochomis Niloticus), saat di masukan ke dalam detergen ikan tersebut meronta-ronta atau melompat-lompat dalam beberapa detik, warna ikan tersebut berubah menjadi pucat dan setelah beberapa detik yang awalnya berada di bawah permukaan menjadi melayang di permukaan air. Insan ikan tersebut menjadi berdarah dan pingsan. Ini di akibatkan ikan tersebut tidak tahan dengan adaptasi lingkungan air yang tercemar, yang mana ikan ini hanya bisa hidup di air tawar yang jernih dan bebas dari limbah. Hanya memasuki detik ke-40, ikan tersebut langsung diam atau pingsan dan mengeluarkan lendir dari tubuhnya, namun ikan ini dapat bertahan lama sampai 13 menit lebih. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan ikan yang tidak merespon atau diam didalam larutan detergen tadi. Praktikan berpikir bahwa ikan telah mati tetapi saat disentuh atau digoyang-goyang ikan tersebut bergerak meskipun bergerak dengan gerakan tidak normal.

Ikan Lele ( clavias batharus) Dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jenis ikan yang di praktikumkan, ikan ini lebih lama memberikan respon seperti selalu meronta-ronta tetapi tidak terusmenerus, kadang-kadang diam sejenak, setelah itu meronta kembali. Hingga seterusnya sampai menit ke-3. Sama halnya dengan ikan Nila hanya saja jika tidak disentuh ikan tersebut tetap diam seperti yang sudah mati. Tapi kalau disentuh ikan tersebut masih bergerak dengan gerakan yang sedikit. Resistensi Ikan terhadap Pencemaran Air d) Pada Ikan Gobi (Pascilia sp) Ikan ini umumnya lebih lama bertahan hidup didalam air yang tercemar. Mis: Larutan detergen , sebab ikan ini memiliki daya resistensi yang lebih tinggi terhadap pencemaran air. Sehinnga ikan Gobi kebanyakan tinggall di parit-parit. e) Pada Ikan Nila (Oreo comishniloticus) Umumnya ikan Nila hidup di air jernih bebas limbah seperti di air tawar, sehingga ikan ini tidak tahan di air yang tercemar f) Pada ikan Lele ( Clavias batharus) Ikan lele banyak ditemukan didaerah perairan yang banyak lumpur. Sehingga ikan ini juga tidak bisa hidup di air yang tercemar. Saat ikan ini berada di air tercemar ikan ini berusaha bertahan dengan cara mengeluarkan banyak lendir dari dalam tubuhnya, namun karena ikan tersebut mengeluarkan lendir yang berlebihan, cairan ikan tersebut habis didalam tubuhnya. Sehingga ikan tersebut mati.

VII.

KESIMPULAN

Detergen merupakan salah satu polutan air yang harus dihilangkan atau diminimalisir penggunaannya. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan produk. Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit semakin parah. Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah deterjen berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor) sebagai pembunuh

kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi pengolahan air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri belum mempunyai teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna. Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada tangan dan kaustik karena diketahui lebih bersifat alkalis dengan tingkat keasaman (pH) antara 10 12. VIII. DAFTAR PUSTAKA Ahsan S. 2005. Effect of Temperature on Wastewater Treatment with Natural and Waste Materials [Original Paper] . Clean Technology Enviroment Policy. 7:198-202. Arifin. 2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [8 Desember 2010]. Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Statistik Lingkungan Hidup Pengelolaan B3 dan Limbah B3. (http://tutorjunior.blogspot.com) [8 Desember 2010].

Chantraine, F et all. 2009. Drawbacks of Surfactant Presence on The Dissolution and Mechanical Properties of Detergent Tablets : How to Control Interfaces by Surfactan Localization. Journal of Surfactan and Detergent. 12:59-71. Heryani. A, Puji, H. 2008. Pengolahan Limbah Deterjen Sintetik dengan Trickling Filter [Makalah Penelitian] http://eprints.undip.ac.id [8 Desember 2010]. Jurado, E et all. 2006. Enzyme Based Detergent formulas for Fatty Soils and Hard Surface in a Continous Flow Device . Journal of Surfactant and Detergents. Vol. 9. Qtr 1. Scheibel J. 2004. The Evolution of Anionic Surfactan Tehnology to Meet the Requirement of the Laundry Deterjent Industry. Journal of Surfactan and Detergent. Vo7. No. 5. Sigid hariyadi. 2004. BOD dan COD Sebagai Parameter Pencemaran Air Dan Baku Mutu Air Limbah. Soekidjo Notoatmojo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Penerbit PT Rineka Cipta.(614.78NOT k)

PENCEMARAN AIR TERHADAP ORGANISME PERAIRAN (IKAN)


D I S U S OLEH: KELOMPOK 4
ANITA SARI RITONGA (4113331004) DEVI ASTRIANA HUTASUHUT (4113331008) FADILLAH LATIEF (411333 FATIMAH KHAIRANI 4111531001) KHAIRIDA ASHRI LUBIS NOVRISA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MEDAN UNIMED 2012

You might also like