You are on page 1of 11

Apa itu TB ? Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis.

Biasanya menyerang paru namun dapat menyerang bagian tubuh lainnya seperti otak, tulang, kelenjar, kulit, usus, dll.

Apa Saja Gejala TB? Gejala utama TB adalah batuk berdahak lebih dari tiga minggu Gejala lainnya: Berat badan menurun Demam dan berkeringat tanpa melakukan aktivitas dimalam hari Selera makan menurun Batuk berdarah

Bagaimana diagnosa TB? Diagnosa TB melalui pemeriksaan mikroskopis. Pasien akan diminta mengumpulkan dahak untuk diperiksa, yaitu (SPS) Sewaktu datang pertama kali ke unit pelayanan kesehatan, Pagi hari pada waktu bangun keesokan harinya dan Sewaktu mengantarkan dahak pagi ke unit pelayanan kesehatan

Apakah TB bisa disembuhkan? Ya, semua kasus TB bisa disembuhkan, apabila pasien menyelesaikan pengobatan dengan teratur dan sesuai petunjuk dokter atau petugas kesehatan sekurang-kurangnya dalam 6 (enam) bulan.

Penularan TB Tuberkulosis adalah penyakit yang ditularkan melalui udara. TB ditularkan orang yang dalam paru-parunya mengandung kuman TB. Ketika pasien TB batuk, mereka menyebarkan droplet (percikan dahak) yang mengandung kuman TB dan ini bisa terhirup oleh orang lain. Penularan TB tergantung pada intensitas kontak seseorang (lamanya, kedekatan) dengan penderita TB, jumlah kuman yang terhirup dan daya tahan orang yang ditulari. Umumnya orang tertular TB dari anggota keluarga, teman, kerabat atau rekan sekerja. TB tidak ditularkan melalui peralatan makan, kasur atau seprai.

Bagaimana Pengobatan TB? Ketika seseorang dinyatakan terkena TB melalui pemeriksaan dahaknya, pasien harus menjalani pengobatan dengan menggunakan rejimen obat yang direkomendasikan WHO diantaranya isoniazid, rifampicin, pyrazinamide dan etambutol yang diberikan dalam dua bulan fase intensif dan empat bulan fase lanjutan. Dalam beberapa kasus pengobatan bisa berlangsung hingga delapan bulan.

Dimana Penderita bisa mendapat pengobatan ? Penderita dapat berkunjung ke Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, Klinik dll

Apakah Obat TB Gratis? Obat TB di berikan gratis di tempat pelayanan yang sudah DOTS, termasuk di klinik-klinik PPTI. Di tempat pelayanan milik pemerintah Obat TB di berikan Gratis.

Bagaimana efek samping obat TB? Beberapa efek samping yang mungkin muncul akibat mengkonsumsi obat TB bervariasi mulai dari ringan hingga berat. Berubahnya warna urine menjadi kemerahan yang diakibatkan oleh rifampisin (bukan merupakan efek samping dan obat terus di makan). Efek samping lainnya dapat berupa nyeri sendi, tidak ada nafsu makan, mual, kesemutan dan rasa terbakar di hati, gatal dan kemerahan di kulit, gangguan keseimbangan hingga kekuningan (ikterus). Jika pasien merasakan hal-hal tersebut, pasien harus segera berkonsultasi dengan dokter/tenaga kesehatan untuk memperoleh penanganan lebih lanjut.

Apakah pasien TB harus di rawat di rumah sakit atau mereka dapat bekerja selama mereka dalam pengobatan ? Tidak, pasien TB tidak harus di rawat di Rumah Sakit. Pasien TB umumnya menjalani rawat jalan di pelayanan kesehatan seperti Puskesmas atau Rumah Sakit untuk diagnosa. Pasien yang sudah menelan obat dalam periode tertentu (2 bulan) akan menjadi tidak menular. Dengan demikian pasien dapat menjalankan aktifitas sehari-hari tanpa harus diisolasi di sanatorium. Sanatorium sendiri merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menangani TB sebelum obat TB ditemukan.

Dapatkah seseorang yang sudah sembuh dari TB terkena TB lagi ? Ya, itu bisa terjadi. Seperti infeksi bakteri lainnya, seseorang dapat terkena dan dapat sembuh dan sakit kembali lebih dari satu kali, khususnya bisa tertular penderita TB aktif dan dalam keadaan daya tahan tubuh yang menurun.

Dapatkah TB di cegah? TB dapat dicegah dengan mempraktikkan pola hidup bersih dan sehat antara lain dengan memastikan tubuh kita mendapat asupan gizi seimbang dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan berolahraga. Pada bayi, pemberian imunisasi BCG dapat mencegah munculnya kasus TB yang berat.

Apakah TB merupakan penyakit yang umum ? TB sangat umum dijumpai di negara dunia ketiga dimana terjadi kemiskinan, status kesehatan masih rendah atau masyarakatnya masih sulit mendapatkan pengobatan yang efektif untuk TB.

Benarkah bahwa hanya orang miskin yang terkena TB? Tidak benar, semua orang bisa kena TB

http://ppti.info/index.php/component/content/article/47-faq/96-faq

Hubungan Rokok dan TBC

Banyak orang, terutama perokok, bakal menyangkal keras perselingkuhan antara rokok dan TBC. Percayalah, sudah banyak fakta mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko TBC. Fakta berbicara, tembakau merupakan penyebab kematian lima terbesar di dunia. Satu di antara 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia disebabkan kebiasaan merokok (sekitar 5 juta kematian tiap tahun). Bila pola merokok ini terus berlanjut, sampai tahun 2020 diperkirakan akan ada 10 juta kematian. Setidaknya kini lebih dari 1 miliar orang termasuk pemakai tembakau aktif (70 persen di antaranya berada di negara berpenghasilan rendah) di mana setengahnya akhirnya

meninggal oleh tembakau. Tak heran, dalam 50 tahun ke depan diperkirakan 450 juta orang akan meninggal karena tembakau. Selain itu, tembakau -sebutan lain rokok- merupakan faktor risiko keempat timbulnya semua jenis penyakit di dunia. Pemakaian tembakau merupakan penyebab utama kematian pada penyakit berat seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker paru, aneurisma aorta, penyakit jantung koroner, kanker kandung kemih, kanker saluran pernapasan bagian atas, dan kanker pankreas. Hasil survei tahun 2006 menyebutkan, di Indonesia jumlah seluruh perokok tak kurang dari 160 juta orang (hampir 70 persen dari populasi) dan sekitar 22,6 persen dari 3.320 kematian disebabkan penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok. Kenyataan lain memperlihatkan kondisi memprihatinkan, lebih dari 45 juta anak (usia 0-14 tahun) tinggal bersama perokok. Padahal, anak-anak yang kerap terpapar asap rokok akan mengalami pertumbuhan paru yang kurang normal dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan serta penyakit asma.

Terbukti Berhubungan
Lalu, benarkah TBC berselingkuh dengan perokok? Jawabannya, tidak selalu benar, meski kecenderungannya ternyata cukup tinggi. Hal itu dibuktikan oleh beberapa penelitian, di antaranya seperti yang dilakukan Hsien-Ho Lin dan timnya dari Harvard School of Public Health, Amerika Serikat. Lin menyatakan bukti hubungan antara kebiasaan merokok, perokok pasif, dan polusi udara di dalam ruangan dari kayu bakar dan batu bara terhadap risiko infeksi, penyakit, dan kematian akibat TBC. Dari sekitar 100 orang yang diteliti, ditemukan yang merokok tembakau dan menderita TBC sebanyak 33 orang, perokok pasif dan menderita TBC 5 orang, dan yang terkena polusi udara dan menderita TBC 5 orang. Penelitian lain dilakukan di Afrika Selatan menunjukkan kaitan antara perokok pasif dan meningkatnya risiko infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anak yang tinggal serumah dengan penderita TBC. Dr. Saskia den Boon dari KNCV Tuberculosis Foundation di Belanda menulis hasil penelitian mereka dalam jurnal Pediatric edisi April 2007. Ia mengungkapkan tuberkulosis dan merokok merupakan dua masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Kaitan perokok pasif dan infeksi TBC pada anak menjadikannya bahan pemikiran yang sangat penting, mengingat tingginya prevalensi merokok dan tuberkulosis di negara berkembang. Di India, merokok diperkirakan mampu membunuh hampir satu juta warganya di usia produktifnya pada 2010. Penelitian itu juga menunjukkan, kebiasaan tersebut menjadi penyebab utama kematian pada penderita TBC, penyakit saluran pernapasan, dan jantung.

Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada penelitian resmi yang mengungkapkan "perselingkuhan" antara rokok dan TBC, tetapi fakta di lapangan dapat memberikan gambaran bahwa hubungan itu memang ada. Setidaknya prevalensi penderita TBC yang berobat di pusat pengobatan TBC RS Persahabatan yang punya kebiasaan merokok lebih besar dibandingkan yang tidak. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K). DTM&H, MARS, dari Departemen Kesehatan meyakini bahwa merokok terkait dengan kejadian TBC.

Rusak Pertahanan Paru


Studi pada pekerja perkebunan di California, AS, menemukan hubungan bermakna antara prevalensi reaktivitas tes tuberkulin dan kebiasaan merokok. Pada bekas perokok, hubungan ini lebih kuat daripada mereka yang masih merokok. Data lain menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan tuberkulosis aktif, hasilnya hanya bermakna pada mereka yang telah merokok lebih dari 20 tahun. Di AS, para perokok yang telah merokok 20 tahun atau lebih ternyata 2,6 kali lebih sering menderita TBC daripada yang tidak merokok. Kebiasaan merokok meningkatkan mortalitas akibat TBC sebesar 2,8 kali. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan rasio mortalitas pada penyakit jantung iskemik (1,6 kali) dan penyakit serebrovaskular (1,5 kali), walaupun memang jauh lebih rendah dari rasio mortalitas akibat kanker paru, yang 15 kali lebih sering pada perokok dibandingkan bukan perokok. Kaitan ini bisa dijelaskan bahwa dengan racun yang dibawanya, rokok merusak mekanisme pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi menahan infeksi rusak akibat asap rokok. Asap rokok meningkatkan tahanan pelan napas (airway resistance). Akibatnya, pembuluh darah di paru mudah bocor. Juga merusak sel pemakan bakteri pengganggu dan menurunkan respon terhadap antigen, sehingga bila benda asing masuk ke dalam paru-paru, tidak ada pendeteksinya. Berdasarkan hasil penelitian maupun survei, sebenarnya sudah cukup bukti "perselingkuhan" rokok dan TBC. Meski bagi perokok dan sebagian orang fakta ini tak berarti apa pun, cobalah lebih peduli dengan orang terdekat Anda. Mungkin selama ini mereka yang sebenarnya menjadi korban "perselingkuhan" itu. Sumber : http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Health+News&y=cybermed|0|0|5|443 8 http://ppti.info/index.php/component/content/article/46-arsip-ppti/144-rokokdantbc

Tuberculosis (TB)
Subnavigation

Tuberculosis TB Topics index Stop TB Strategy DOTS expansion TB diagnostics and laboratories TB/HIV MDR/XDR-TB Health systems Public-Private Mix Affected people TB research TB data TB publications About us

Signing of a new tuberculosis initiative between the World Health Organization and the International Pharmaceutical Federation

WHO Assistant Director-General, Hiroki Nakatani, and FIP President, Michel Buchmann, shake hands after signing a joint statement aimed at strengthening collaborations to combat TB.

5 September 2011 | Hyderabad | In a landmark initiative aimed at curbing the current tuberculosis (TB) epidemic, the World Health Organization (WHO) and the International Pharmaceutical Federation (FIP) today signed a Joint Statement on the role of pharmacists in tuberculosis care and control at the Federation's 71st International Congress in Hyderabad, India.

The Joint Statement establishes a series of measures to help detect TB, offer treatment support to TB patients, and substantially reduce the number of deaths from TB. This would be achieved by encouraging the FIP's network of two million pharmacists and pharmaceutical scientists around the world to become fully engaged in national TB care and control efforts. TB is one of the world's biggest infectious killers and caused 1.7 million deaths in 2009, and nearly 300,000 deaths in India. But it is also curable. Patients can be treated by completing a six month course of prescribed medicines. And it is because pharmacists are often the first point of contact for people with TB symptoms - especially in countries with a high burden of TB - that their frontline role is critical. Speaking at the opening ceremony, Dr Hiroki Nakatani, WHO Assistant Director-General for HIV/AIDS, Tuberculosis, Malaria and Neglected Tropical Diseases, welcomed the new accord with FIP: "Pharmacists can be the gatekeepers to vital TB health services. WHO welcomes the opportunities that further collaboration with the federation's network of pharmacists will bring in helping many people with tuberculosis gain early access to the care and treatment they need." His comments were echoed by Dr Michel Buchmann, the President of FIP: While recognizing the broader role of pharmacists in the development and use of anti-TB medicines, this Joint Statement focuses on the role of pharmacists directly involved in the care of people with TB. FIP will endeavor to support WHO and their Member States in enabling national tuberculosis programmes and national pharmacy associations to strengthen their collaboration towards care and control of TB and multidrug-resistant-TB globally. The landmark WHO/FIP Joint Statement - Engaging Pharmacists in TB Care and Control calls on TB programmes and pharmacy associations to engage pharmacists and use their untapped potential in the fight against TB by:

increasing awareness of TB, and refer people with TB symptoms to facilities with quality diagnosis and treatment; providing patient-centered treatment supervision to promote adherence and help prevent multidrug-resistant TB; promoting the rational use of anti-TB medicines through: a) procuring and dispensing quality-assured medicines and fixed-dose combinations recommended by WHO; b) prohibiting the sale of anti-TB medicines over the counter, or without prescription; supporting health-care providers to rationalize and strengthen their TB management practices.

Dr Mario Raviglione, WHO's Stop TB Department Director, added his support to the new era of collaboration: "The contribution that the federation's network of pharmacists can make in the fight against TB cannot be overstated. Pharmacists can become important players in the push to achieve our ultimate goal - the goal of a world free of TB." The initiative backs previous endeavours by FIP Member Organisations to further involve pharmacists in TB care and control, most notably with the Revised National Tuberculosis Control Programme of India. For more information please contact:

World Health Organization Glenn Thomas Senior Communications Adviser Stop TB Department +41 79 509 0677 thomasg@who.int

Home Tentang Kami Contact Us

http://www.who.int/tb/features_archive/who_fip_initiative/en/index.html

DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PADA ANAK


Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya: dahak, bilasan lambung, biopsi, dan lain-lain. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Untuk itu, terdapat beberapa tanda dan gejala yang penting untuk diperhatikan. Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis jika: mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari), terdapat gejala umum TBC Gejala umum TBC pada anak: Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah mendapatkan penanganan gizi yang baik (failure to thrive). Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat disertai keringat malam. Pembesaran kelenjar limfe bawah kulit yang tidak sakit. Biasanya ganda, paling sering didaerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal). Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada. Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di rongga perut, dan tanda-tanda cairan dalam rongga perut. Gejala spesifik Gejala-gejala ini biasanya muncul tergantung dari bagian tubuh mana yang terserang, misalnya: TBC kulit/skrofuloderma TBC tulang dan sendi: - tulang punggung (spondilitis): gibbus

- tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul - tulang lutut: pincang dan/atau bengkak - tulang kaki dan tangan TBC otak dan saraf: - Meningitis: dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun. Gejala mata: - conjunctivitis phlyctenularis - tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi) untuk tindakan pencegahan, bila anda menemukan indikasi gejala diatas pada anak anda, segera kunjungi puskesmas, rumah sakit, dan dokter spesialis terdekat.

Sumber : www.tbindonesia.or.id (situs resmi Subdit TB, Kemkes RI)


http://ppti.info/index.php/component/content/article/46-arsip-ppti/149-diagnosa-tb-pada-anak

dan TBC

Hubungan Rokok dan TBC

Banyak orang, terutama perokok, bakal menyangkal keras perselingkuhan antara rokok dan TBC. Percayalah, sudah banyak fakta mengungkapkan bahwa kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko TBC. Fakta berbicara, tembakau merupakan penyebab kematian lima terbesar di dunia. Satu di antara 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia disebabkan kebiasaan merokok (sekitar 5 juta kematian tiap tahun). Bila pola merokok ini terus berlanjut, sampai tahun 2020 diperkirakan akan ada 10 juta kematian. Setidaknya kini lebih dari 1 miliar orang termasuk pemakai tembakau aktif (70 persen di antaranya berada di negara berpenghasilan rendah) di mana setengahnya akhirnya meninggal oleh tembakau. Tak heran, dalam 50 tahun ke depan diperkirakan 450 juta orang akan meninggal karena tembakau. Selain itu, tembakau -sebutan lain rokok- merupakan faktor risiko keempat timbulnya semua jenis penyakit di dunia. Pemakaian tembakau merupakan penyebab utama kematian pada penyakit berat seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker

paru, aneurisma aorta, penyakit jantung koroner, kanker kandung kemih, kanker saluran pernapasan bagian atas, dan kanker pankreas. Hasil survei tahun 2006 menyebutkan, di Indonesia jumlah seluruh perokok tak kurang dari 160 juta orang (hampir 70 persen dari populasi) dan sekitar 22,6 persen dari 3.320 kematian disebabkan penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok. Kenyataan lain memperlihatkan kondisi memprihatinkan, lebih dari 45 juta anak (usia 0-14 tahun) tinggal bersama perokok. Padahal, anak-anak yang kerap terpapar asap rokok akan mengalami pertumbuhan paru yang kurang normal dan lebih mudah terkena infeksi saluran pernapasan serta penyakit asma.

Terbukti Berhubungan
Lalu, benarkah TBC berselingkuh dengan perokok? Jawabannya, tidak selalu benar, meski kecenderungannya ternyata cukup tinggi. Hal itu dibuktikan oleh beberapa penelitian, di antaranya seperti yang dilakukan Hsien-Ho Lin dan timnya dari Harvard School of Public Health, Amerika Serikat. Lin menyatakan bukti hubungan antara kebiasaan merokok, perokok pasif, dan polusi udara di dalam ruangan dari kayu bakar dan batu bara terhadap risiko infeksi, penyakit, dan kematian akibat TBC. Dari sekitar 100 orang yang diteliti, ditemukan yang merokok tembakau dan menderita TBC sebanyak 33 orang, perokok pasif dan menderita TBC 5 orang, dan yang terkena polusi udara dan menderita TBC 5 orang. Penelitian lain dilakukan di Afrika Selatan menunjukkan kaitan antara perokok pasif dan meningkatnya risiko infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anak yang tinggal serumah dengan penderita TBC. Dr. Saskia den Boon dari KNCV Tuberculosis Foundation di Belanda menulis hasil penelitian mereka dalam jurnal Pediatric edisi April 2007. Ia mengungkapkan tuberkulosis dan merokok merupakan dua masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Kaitan perokok pasif dan infeksi TBC pada anak menjadikannya bahan pemikiran yang sangat penting, mengingat tingginya prevalensi merokok dan tuberkulosis di negara berkembang. Di India, merokok diperkirakan mampu membunuh hampir satu juta warganya di usia produktifnya pada 2010. Penelitian itu juga menunjukkan, kebiasaan tersebut menjadi penyebab utama kematian pada penderita TBC, penyakit saluran pernapasan, dan jantung. Di Indonesia, sejauh ini memang belum ada penelitian resmi yang mengungkapkan "perselingkuhan" antara rokok dan TBC, tetapi fakta di lapangan dapat memberikan gambaran bahwa hubungan itu memang ada. Setidaknya prevalensi penderita TBC yang berobat di pusat pengobatan TBC RS Persahabatan yang punya kebiasaan merokok lebih besar dibandingkan yang tidak. Dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K). DTM&H, MARS, dari Departemen Kesehatan meyakini bahwa merokok terkait dengan kejadian TBC.

Rusak Pertahanan Paru


Studi pada pekerja perkebunan di California, AS, menemukan hubungan bermakna antara prevalensi reaktivitas tes tuberkulin dan kebiasaan merokok. Pada bekas perokok, hubungan ini lebih kuat daripada mereka yang masih merokok. Data lain menunjukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan tuberkulosis aktif, hasilnya hanya bermakna pada mereka yang telah merokok lebih dari 20 tahun. Di AS, para perokok yang telah merokok 20 tahun atau lebih ternyata 2,6 kali lebih sering menderita TBC daripada yang tidak merokok. Kebiasaan merokok meningkatkan mortalitas akibat TBC sebesar 2,8 kali. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan rasio mortalitas pada penyakit jantung iskemik (1,6 kali) dan penyakit serebrovaskular (1,5 kali), walaupun memang jauh lebih rendah dari rasio mortalitas akibat kanker paru, yang 15 kali lebih sering pada perokok dibandingkan bukan perokok. Kaitan ini bisa dijelaskan bahwa dengan racun yang dibawanya, rokok merusak mekanisme pertahanan paru-paru. Bulu getar dan alat lain dalam paru-paru yang berfungsi menahan infeksi rusak akibat asap rokok. Asap rokok meningkatkan tahanan pelan napas (airway resistance). Akibatnya, pembuluh darah di paru mudah bocor. Juga merusak sel pemakan bakteri pengganggu dan menurunkan respon terhadap antigen, sehingga bila benda asing masuk ke dalam paru-paru, tidak ada pendeteksinya. Berdasarkan hasil penelitian maupun survei, sebenarnya sudah cukup bukti "perselingkuhan" rokok dan TBC. Meski bagi perokok dan sebagian orang fakta ini tak berarti apa pun, cobalah lebih peduli dengan orang terdekat Anda. Mungkin selama ini mereka yang sebenarnya menjadi korban "perselingkuhan" itu.

Sumber : http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?x=Health+News&y=cybermed|0|0|5|4 438 http://www.ppti.info/index.php/component/content/article/46-arsip-ppti/144-rokokdantbc

You might also like