You are on page 1of 4

LEGALITAS ALAMI SANG PATRON PERGERAKAN Soekarno bukan seorang presiden ketika diculik oleh para tokoh pemuda

ke Rengasdengklok dan dipaksa untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Namun ketika akhirnya dia mendeklarasikannya, rakyat bersorak meneriakkan kemerdekaan, tanda kesetujuan dan pengakuan. Jauh sebelumnya rakyat Indonesia telah mengenal istilah Perang Diponegoro. Bukan seperti Perang Lima Belas Hari atau Perang Badar yang namanya diambil dari rentan waktu lamanya perang atau tempat terjadinya perang, Perang Diponegoro diambil dari nama tokoh utamanya, Pangeran Diponegoro. Meskipun akhirnya kalah, bagi kita dialah tokohnya, sosok karismatik yang memimpin gerilyawan dari sudut Goa Selarong, menyebarkan spirit pemberontakan terhadap pemerintah kolonial hingga menyebar ke seluruh tanah Jawa. Setelah turun-temurun hingga beberapa generasi, kurang lebih kasusnya masih sama: Soeharto adalah Golkar dan Golkar adalah Soeharto, Gus Dur adalah PKB dan PKB adalah Gus Dur, SBY adalah Demokrat dan Demokrat adalah SBY, dan sebagainya. Jangan sekedar dilihat sebagai parpol, Kapal-kapal di atas memiliki alur perubahan yang berpengaruh. Uniknya, selalu ada individu yang menjadi ikon. Di sini penulis tidak hendak mengklaim bahwa setiap gerakan perubahan selalu membawa satu sosok individu yang menjadi imam. Tidak jarang pula sebuah reformasi murni dilandasi dengan semangat kolektivitas. Namun adanya tokoh yang menjadi patron pergerakan seakan menjadi warna tersendiri dan menunjukkan kepada kita bagaimana seorang individu piawai mengalirkan spiritnya kepada khalayak.

Keteladanan Inspiratif

Secara

definitif

patron

mengandung

arti

pola,

majikan,

pelindung, penyokong, dan suri tauladan. Sosok yang menjadi patron memiliki peran sebagai pengatur pola gerakan yang diajarkan kepada para pengikutnya. Tak hanya dari kata dan karya-karyanya, segala tindak-tanduk dan perjalanan hidupnya menjadi inspirasi bagi orang lain. Pemikirannya dialirkan dengan segala cara. Bagaimana dia berjalan, bagaimana berbicara, berpakaian, dan memberi pengarahan, di sana terdapat inspirasi yang menyatukan elemen heterogen menjadi satu. Seorang patron perubahan bukan sekedar tokoh intelektual, melainkan sosok terdepan yang langkahnya selalu menjadi teladan. Seakan-akan dia membawa surat perintah berstempel kerajaan langit yang bisa menimbulkan bencana jika perintahnya tak diindahkan. Tapi perintah itu sendiri bukan sederet kalimat yang diakhiri tanda seru, melainkan sebuah wejangan bijaksana yang diperkuat dengan karisma. Tak setiap sekedar mengatur pola, sang hak patron veto. juga Peran sebagai sebagai penyokong dan pelindung. Dia selalu memiliki legalitas untuk merestui langkah, sekaligus memegang pemimpin sekaligus guru, tersemat kuat dalam kiprahnya. Namun perlu disadari bahwa keberadaan patron yang bisa menjadi sasaran fanatisme ini tentu akan sangat merugikan manakala kebijakannya dianggap kebal kritik. Yang ditimbulkan tak lain adalah sikap otoriter dan arogansi yang mengkebiri aspirasi. Perbedaan pendapat dianggap makar hingga banyak darah yang dihalalkan. Bangsa kita telah mengalami banyak pengalaman tentang sosok digdaya ini. Mereka terlalu nyaman dengan kekuasaan dan semakin korup. Orang-orang berceloteh: Malaikat pun ketika berkuasa terlalu lama akan menjadi setan, tapi jika setan berkuasa dengan kontrol dari rakyatnya, dia akan menjadi setan yang baik. Satu rezim memang tak boleh terlalu lama berkuasa, atau dia akan semakin menggurita. Kehadiran sang patron menjadi penting ketika rakyat

membutuhkan kekuatan untuk memperbaiki nasib. Sosok seperti inilah yang dipercaya mampu membangun kolektivitas massa yang samasama rindu akan perubahan. Hingga kini pun masyarakat masih begitu menantikan kehadiran Ratu Adil. Adanya mitos juru selamat ini merepresentasikan harapan masyarakat akan hadirnya sosok kuat yang memihak pada rakyat untuk memperjuangkan perubahan. Kegagalan para pemimpin nasional dalam memberi kehidupan yang lebih baik telah membawa rakyat berpaling ke sosok dari dunia antah berantah ini. Sang Patron inilah yang diharapkan mampu membimbing kita melangkah, memperjuangkan perbaikan untuk masa depan lebih baik. Kerinduan ini makin dalam, ketika asumsi akan datangnya jaman edan semakin terbukti. Sang patron perubahan tidak harus seorang presiden, hakim, atau jenderal. Mana mungkin sosok pejuang kepentingan rakyat muncul dari timbunan politikus busuk yang terserak di negeri ini. Dia justru sangat mungkin muncul dari bawah lumpur ketertindasan. Seseorang akan percaya bahwa rakyat begitu menderita, manakala dia pernah hidup bersama dan ikut merasakan penderitaan. Seseorang bisa muncul sebagai sosok patron baru dengan mendapat kepercayaan masyarakat. Tidak harus memiliki jabatan struktural tertentu, sosok panutan ini seperti memiliki legalitas alami yang hadir begitu saja. Legalitas itu muncul dari pengakuan yang dikonvensikan secara massal. Kepercayaan masyarakat dapat menempatkan seorang individu sebagai wakil dari keseluruhan massa yang kompleks. Namun kepercayaan itu juga menuntut tanggung jawab lebih besar untuk selalu konsisten berada di pihak rakyat. Kekeliruan fundamental yang tampak saat ini adalah kita menunggu kehadirannya. Padahal seharusnya justru kita sendiri yang menghadirkannya. Dia bisa berasal dari kalangan kita, bahkan mungkin kita sendiri yang harus maju. Berbagai penyelewengan di negeri ini telah menjalar sistemik karena penegakan hukum yang lemah. Ketika

reformasi sudah dianggap kehilangan momentum, rakyat bisa saja mengagendakan reformasi jilid kedua. Reformasi yang didasari dengan visi perubahan yang kuat dan dipimpin oleh seorang patron perubahan yang konsisten di pihak rakyat. Agar korupsi, mafia, diskriminasi hukum, dan sederet perilaku jahiliah lainnya tidak lagi membuat resah.

You might also like