You are on page 1of 21

ilm dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan.

Istilah "dokumenter" pertama digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926. Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan. Daftar isi [sembunyikan]

1 Dokudrama 2 Dokumenter Modern 3 Bentuk Dokumenter Lainnya o 3.1 Film Kompilasi 4 Referensi

[sunting] Dokudrama Pada perkembangannya, muncul sebuah istilah baru yakni Dokudrama. Dokudrama adalah genre dokumenter dimana pada beberapa bagian film disutradarai atau diatur terlebih dahulu dengan perencanaan yang detail. Dokudrama muncul sebagai solusi atas permasalahan mendasar film dokumenter, yakni untuk memfilmkan peristiwa yang sudah ataupun belum pernah terjadi. [sunting] Dokumenter Modern Para analis Box Office telah mencatat bahwa genre film ini telah menjadi semakin sukses di bioskop-bioskop melalui film-film seperti Super Size Me, March of the Penguins dan An Inconvenient Truth. Bila dibandingkan dengan film-film naratif dramatik, film dokumenter biasanya dibuat dengan anggaran yang jauh lebih murah. Hal ini cukup menarik bagi perusahaan-perusahaan film sebab hanya dengan rilis bioskop yang terbatas dapat menghasilkan laba yang cukup besar. Perkembangan film dokumenter cukup pesat semenjak era cinema verit. Film-film termasyhur seperti The Thin Blue Line karya Errol Morris stylized re-enactments, dan karya Michael Moore: Roger & Me menempatkan kontrol sutradara yang jauh lebih interpretatif. Pada kenyataannya, sukses komersial dari dokumenter-dokumenter tersebut barangkali disebabkan oleh pergeseran gaya naratif dalam dokumenter. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah film seperti ini dapat

benar-benar disebut sebagai film dokumenter; kritikus kadang menyebut film-film semacam ini sebagai mondo films atau docu-ganda.[1] Bagaimanapun juga, manipulasi penyutradaraan pada subyek-subyek dokumenter telah ada sejak era Flaherty, dan menjadi semacam endemik pada genrenya. Kesuksesan mutakhir pada genre dokumenter, dan kemunculannya pada keping-keping DVD, telah membuat film dokumenter menangguk keuntungan finansial meski tanpa rilis di bioskop. Meski begitu pendanaan film dokumenter tetap eksklusif, dan sepanjang dasawarsa lalu telah muncul peluang-peluang eksibisi terbesar dari pasar penyiaran. Ini yang membuat para sineas dokumenter tertarik untuk mempertahankan gaya mereka, dan turut memengaruhi para pengusaha penyiaran yang telah menjadi donatur terbesar mereka.[2] Dokumenter modern saling tumpang tindih dengan program-program televisi, dengan kemunculan reality show yang sering dianggap sebagai dokumenter namun pada kenyataannya kerap merupakan kisah-kisah fiktif. Juga bermunculan produksi dokumenter the making-of yang menyajikan proses produksi suatu Film atau video game. Dokumenter yang dibuat dengan tujuan promosi ini lebih dekat kepada iklan daripada dokumenter klasik. Kamera video digital modern yang ringan dan editing terkomputerisasi telah memberi sumbangan besar pada para sineas dokumenter, sebanding dengan murahnya harga peralatan. Film pertama yang dibuat dengan berbagai kemudahan fasilitas ini adalah dokumenter karya Martin Kunert dan Eric Manes: Voices of Iraq, dimana 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq sepanjang perang dan dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri. [sunting] Bentuk Dokumenter Lainnya [sunting] Film Kompilasi Film kompilasi dicetuskan pada tahun 1927 oleh Esfir Shub dengan film berjudul The Fall of the Romanov Dynasty. Contoh-contoh berikutnya termasuk Point of Order (1964) yang disutradarai oleh Emile de Antonio mengenai pesan-pesan McCarthy dan The Atomic Cafe yang disusun dari footage-footage yang dibuat oleh pemerintah AS mengenai keamanan radiasi nuklir (misalnya, memberitahukan pada pasukan di suatu lokasi bahwa mereka tetap aman dari radiasi selama mereka menutup mata dan mulut mereka). Hampir mirip dengannya adalah dokumenter The Last Cigarette yang memadukan testimoni dari para eksekutif perusahaan-perusahaan tembakau di depan sidang parlemen AS yang mengkampanyekan keuntungan-keuntungan merokok. [sunting] Referensi 1. ^ Wood, Daniel B., "In 'docu-ganda' films, balance is not the objective ", (Christian Science Monitor), 2 Juni 2006. Diakses pada 6 Juni 2006.

2. ^ [1] Indiewire, "FESTIVALS: Post-Sundance 2001; Docs Still Face Financing and Distribution Challenges". February 8, 2001

Perseorangan Dilarang Import CD/DVD Musik Atau Film Dari Luar Negeri, Tapi Silahkan Membajak Saja Di Internet
Maraknya polemik seputar SOPA dan PIPA di internet yang membatasi kebebasan pengguna di internet ternyata cukup ramai juga jadi trending topik di sosial media seperti Twitter dan Facebook. Termasuk, sampai saat ini di blog tak sedikit teman-teman blogger saya yang membahas masalah ini. Nah, kali ini saya pun ingin mengulas topik ini, mengulasnya dari aspek hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita.

Stop SOPA dan PIPA Apa Anda sudah tahu? Ternyata UU di negara kita banyak juga yang aneh aturan dalam pasalnya yang mengatur masalah perlindungan hak cipta ini, khususnya tentang masalah perlindungan hak

cipta perfilman dan musik. Dan secara tak langsung, ini opini saya pribadi, justru menyuburkan praktek atau tindakan ilegal. Yaitu Praktek Membajak dan mengunduh barang berhak cipta seperti film dan musik dari internet. Karena, hingga sekarang ini kebebasan sebagai warga negara di NKRI memang masih dibelenggu. Contoh, kalau Anda ingin membeli CD/DVD musik atau film dari luar negeri saat ini dilarang oleh negara dengan alasan tertentu. Alasan tertentu? Ya, saya tak berani menuduh kalau alasan tertentu itu demi melindungi bisnis segelintir konglomerat perusahaan pengimport perfilman yang ada di negara kita. Tapi faktanya memang para pengimport film dan musik di negara kita mendapatkan hak eksklusif itu. Sementara kita orang biasa tak mendapatkan hak sebagaimana mestinya. Kita sebagai warga negara faktanya dipersulit, perlu mengurus izin-izin dulu ke pejabat berwenang jika ingin mendatangkan atau beli CD/DVD film dan musik dari luar negeri, tak peduli meskipun itu cuma beli satu biji saja. Baiklah, saya kutip dulu UU-nya yang mengatur masalah pelarangan ini yang prakteknya menurut saya justru menyuburkan tindakan ilegal, pembajakan musik dan film di internet. Selengkapnya Anda juga bisa baca di sini: MEDIA REKAM AUDIO DAN/ATAU VISUAL AUDIO AND/OR VISUAL RECORDING MEDIA Dasar hukum: Regulations:

Surat Jaksa Agung eq Jaksa Agung Muda Intelijen No : B-253/D/4/1979 tentang Penelitian terhadap video cassette yang dimasukkan dan diedarkan ke dalam wilayah Rl The Letter of the Attorney General No: B-253/D/4/1979 on The examination of imported video cassette and its distribution UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman jo Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Usaha Perfilman Cinematographic Film Law of the Republic of Indonesia No. 8 of 1992 jo The Provision of Government No. 6 of 1994 Kep. Menteri Penerangan Rl No. 215/Kep/Menpen/1994 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyelenggaraan Usaha Perfilman The Decree of Minister of Information of the Republic of Indonesia No. 215/Kep/Menpen/1994 on Rules of Cinematographic Film.

DILARANG memasukkan ke dalam wilayah Rl film seluloid dan rekaman video dalam bentuk rekaman video ( kaset video) atau piringan video ( laser disc(LD), video compact disc(VCD), digital video disc(DVD) ) oleh perseorangan, baik sebagai barang bawaan dari luar negeri maupun sebagai barang kiriman pos (parcel) atau barang kiriman dari perusahaan jasa pengiriman barang lainnya. WARNING It is ultimately prohibited to import into Indonesian territory chromatographicd film and video recordings in cassette or disc: Laser Disc (LD), Video Compact Disc (VCD), Digital Video Disc(DVD) by person as a parcel-goods as well as small consignment.

Pemasukan film seluloid dan rekaman video untuk tujuan komersial hanya boleh dilakukan oleh Perusahaan Perfilman dengan melalui pemeriksaan Kejaksaan Agung dan Badan Sensor Film. The importation of chromatographic film and viceo recordings for commercial purposes can be conducted by licensed film companies through the examination of the Board of Film Censorship and the Attorney General. Dikecualikan dari ketentuan tersebut untuk Korps Diplomatik dan lembaga-lembaga Intemasional yang ditentukan oleh pemerintah. The exception of these provisions for diplomatic corps and International institution determined by government.

Bagaimana Kalau Menurut Anda Tentang Kasus Ini?


Terlepas dari semua itu, sebagai salah satu orang yang berprofesi sebagai Pengimport Barang Dari Luar Negeri aturan/UU di atas terus terang juga mempersulit saya. Jadi saya harus sering main mata dengan pihak custom (Pabean) kalau ingin mendatangkan barang tersebut dari luar negeri.

Download Pertanyaan saya kepada Anda bukankah aturan ini justru mempersulit para penikmat musik atau film yang ingin membeli barangnya secara legal/sah? Jadi kesimpulan saya: Perseorangan Dilarang Import CD/DVD Musik Atau Film Dari Luar Negeri, Tapi Silahkan Membajak Saja Di Internet. Setuju? :D Read more: http://www.diptara.com/2012/01/perseorangan-dilarang-importcddvd.html#ixzz1pq1mt6pa

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 3/PJ/2011 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN BERUPA ROYALTI DAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMASUKAN FILM IMPOR DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Dalam rangka memberikan pemahaman dan penerapan yang seragam terhadap perlakuan Pajak Penghasilan dari penghasilan berupa royalti dan Pajak Pertambahan Nilai atas pemasukan film impor ke Indonesia, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, mengatur antara lain: a. Pasal 4 ayat (1) huruf h, Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk royalti atau imbalan atas penggunaan hak; b. Pasal 26 ayat (1) huruf c, Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan yaitu royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, mengatur antara lain: a. Pasal 1 angka 2, Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud; b. Pasal 1 angka 3, Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini; c. Pasal 1 angka 10, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar

Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; d. Pasal 1 angka 17, Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang; e. Pasal 1 angka 19, Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; f. Pasal 1 angka 20, Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.; g. Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean; h. Penjelasan Pasal 4 huruf g, yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah : 1) angka 1, penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industri atau hak serupa lainnya; 2) angka 5, penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio. 3. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman mengatur bahwa yang dimaksud dengan Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, mengatur antara lain : a. Pasal 2, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; b. Pasal 4, Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud

dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut; c. Pasal 5 ayat (1) dan (2), Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini : 1) saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya; 2) saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya; 3) saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau 4) saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya. Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud di atas tidak diketahui, saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; d. Pasal 6 ayat (1), Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak. 5. Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku sebagaimana dikutip pada butir 1, 2 dan 4, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut : a. Pajak Penghasilan 1) atas penghasilan yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sehubungan dengan penggunaan hak cipta atas film impor dengan persyaratan tertentu maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26 oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 20% dari jumlah bruto atau sesuai tarif sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan negara mitra; 2) namun apabila atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan pembelian film impor tersebut : a) seluruh hak cipta (termasuk hak edar di negara lain) telah berpindah tanpa persyaratan tertentu, termasuk tanpa ada kewajiban pembayaran kompensasi di kemudian hari; atau b) diberikan hak menggunakan hak cipta tanpa hak untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya, maka atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri tersebut tidak termasuk dalam pengertian royalti yang dipotong PPh Pasal 26; b. Pajak Pertambahan Nilai 1) Pemasukan film impor merupakan kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak

2) 3)

4)

5)

Berwujud, berupa hasil karya sinematografi yang merupakan hak kekayaan intelektual yang disimpan dalam media baik berupa roll film ataupun media penyimpanan yang lain, dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai; Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar; Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak; Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemasukan film impor telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai impor. Oleh karena itu Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan film impor yang terutang pada saat pemasukan film tersebut adalah sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar, dikurangi dengan nilai impor; Adapun atas pembayaran royalti film impor sebagai hasil peredaran film di dalam Daerah Pabean terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar. untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan di lapangan.

Demikian

Ditetapkan Pada Direktur ttd.

tanggal

di 10

Januari

Jakarta 2011 Jenderal,

Mochamad NIP 195104281975121002

Tjiptardjo

Tembusan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Kepala Biro Hukum Kementerian Keuangan Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak

7. Kepala Pusat Pengolahan data Dokumen Perpajakan

Dokumen ini dibuat secara spesifik untuk www.ortax.org Peraturan Terkait Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Peraturan Menteri Keuangan - 40/PMK.03/2010, Tanggal 22 Februari 2010 Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Undang-Undang - 42 TAHUN 2009, Tanggal 15 Oktober 2009 Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang - 36 TAHUN 2008, Tanggal 23 September 2008 Pajak Penghasilan Undang-Undang - 7 TAHUN 1983, Tanggal 31 Desember 1983 Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Undang-Undang - 8 TAHUN 1983, Tanggal 31 Desember 1983

Kata Pengantar Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Baik atas segala berkat dan rahmat-Nyayang berlimpah kepada saya sehingga makalah tipis ini dapat diselesaikan tepat waktu.Makalah yang berjudul Kejanggalan Film Indonesia ini saya susun dalam rangka pemenuhan tugas akhir mata kuliah Bahasa Indonesia Akademik (BIA) yang dibimbingoleh ibu Maria Josephine. Alasan saya mengapa memilih untuk membahas mengenaikejanggalan film Indonesia adalah karena saya tertarik dengan topik ini. Berdasarkan pengalaman saya yang sangat hobi menonton film baik luar maupun dalam negeri, dalammenonton sebuah film saya akan ikut tenggelam dalam film tersebut. Saya sangatmenikmati ketika saya menonton sebuah film dan ikut terlibat di dalamnya. Namun,ketika ada sesuatu yang aneh atau kelihatan janggal dalam film tersebut, saya akan sepertiterlempar keluar dari film tersebut dan langsung tersadar dan kemudian bertanya-tanya. Kok, aneh? Atau Kok, bisa Setelah saya selesai menonton film itu, pasti ada rasa yangmengganjal dan tidak puas dengan film tersebut. Biasanya hal-hal yang janggal seringsaya temukan dalam film Indonesia, namun tidak berarti saya tidak pernah menemukanhal yang serupa terhadap film luar. Oleh dari

itu, ketika mata kuliah BIA menugaskanuntuk membuat sebuah makalah sebagi tugas akhir, ide inilah yang muncul dalam benak saya.Menulis bagi saya merupakan sebuah tugas yang cukup berat, karena saya merasamenulis itu sangat susah. Namun berhubung ini adalah sebuah kewajiban dan yang akansaya tulis adalah sesuatu yang berhubungan dengan hobi saya, maka saya dengan senanghati dan berbesar hati untuk belajar menulis makalah ini dengan sebaikbaiknya. Haltersulit yang saya rasakan ketika ingin menulis makalah ini adalah pencarian bukureferensi yang berhubungan dengan tema yang saya angkat. Entah memang buku jenis initidak ada di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) atau saya yang tidak telitimencarinya, namun pada akhirnya saya menemukan sebuah buku tentang Festival FilmIndonesia (FFI) di perpustakaan Pusat Universitas Indonesia yang sangat dekat denganFakultas saya. Lalu belakangan saya menemukan sebuah artikel yang sangat relevandengan tema yang saya angkat dalam sebuah buku kumpulan artikel Seks, Satra, Kita

Sejarah Film Dokumenter


Quote: Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi dokumenter sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan format video (digital). Berikut adalah ulasan singkat mengenai perkembangan sejarah film dokumenter dari masa ke masa. Era Film Bisu Spoiler for klik:

Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu

shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan actuality films. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika. Spoiler for klik:

Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah documentary, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai Bapak Film Dokumenter. Spoiler for klik:

Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori kino eye. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures. Era Menjelang dan Masa Perang Dunia Spoiler for klik:

.. Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain. Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk. Spoiler for klik:

Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik. Era Pasca Perang Dunia Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan

pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya. Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).

Sejarah Film Dokumenter


Quote: Film dokumenter tidak seperti halnya film fiksi (cerita) merupakan sebuah rekaman peristiwa yang diambil dari kejadian yang nyata atau sungguh-sungguh terjadi. Definisi dokumenter sendiri selalu berubah sejalan dengan perkembangan film dokumenter dari masa ke masa. Sejak era film bisu, film dokumenter berkembang dari bentuk yang sederhana menjadi semakin kompleks dengan jenis dan fungsi yang semakin bervariasi. Inovasi teknologi kamera dan suara memiliki peran penting bagi perkembangan film dokumenter. Sejak awalnya film dokumenter

hanya mengacu pada produksi yang menggunakan format film (seluloid) namun selanjutnya berkembang hingga kini menggunakan format video (digital). Berikut adalah ulasan singkat mengenai perkembangan sejarah film dokumenter dari masa ke masa. Era Film Bisu Spoiler for klik:

Sejak awal ditemukannya sinema, para pembuat film di Amerika dan Perancis telah mencoba mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka dengan alat hasil temuan mereka. Seperti Lumiere Bersaudara, mereka merekam peristiwa sehari-hari yang terjadi di sekitar mereka, seperti para buruh yang meninggalkan pabrik, kereta api yang masuk stasiun, buruh bangunan yang bekerja, dan lain sebagainya. Bentuknya masih sangat sederhana (hanya satu shot) dan durasinya pun hanya beberapa detik saja. Film-film ini lebih sering diistilahkan actuality films. Beberapa dekade kemudian sejalan dengan penyempurnaan teknologi kamera berkembang menjadi film dokumentasi perjalanan atau ekspedisi, seperti South (1919) yang mengisahkan kegagalan sebuah ekspedisi ke Antartika. Spoiler for klik:

Tonggak awal munculnya film dokumenter secara resmi yang banyak diakui oleh sejarawan adalah film Nanook of the North (1922) karya Robert Flaherty. Filmnya menggambarkan kehidupan seorang Eskimo bernama Nanook di wilayah Kutub Utara. Flaherty menghabiskan waktu hingga enam belas bulan lamanya untuk merekam aktifitas keseharian Nanook beserta istri dan putranya, seperti berburu, makan, tidur, dan sebagainya. Sukses komersil Nanook membawa Flaherty melakukan ekspedisi ke wilayah Samoa untuk memproduksi film dokumenter sejenis berjudul Moana (1926). Walau tidak sesukses Nanook namun melalui film inilah pertama kalinya dikenal istilah documentary, melalui ulasan John Grierson di surat kabar New York Sun. Oleh karena peran pentingnya bagi awal perkembangan film dokumenter, para sejarawan sering kali menobatkan Flaherty sebagai Bapak Film Dokumenter. Spoiler for klik:

Sukses Nanook juga menginspirasi sineas-produser Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack untuk memproduksi film dokumenter penting, Grass: A Nation's Battle for Life (1925) yang menggambarkan sekelompok suku lokal yang tengah bermigrasi di wilayah Persia. Kemudian berlanjut dengan Chang: A Drama of the Wilderness (1927) sebuah film dokumenter perjalanan

yang mengambil lokasi di pedalaman hutan Siam (Thailand). Eksotisme film-film tersebut kelak sangat mempengaruhi produksi film (fiksi) fenomenal produksi Cooper, yaitu King Kong (1933). Di Eropa, beberapa sineas dokumenter berpengaruh juga bermunculan. Di Uni Soviet, Dziga Vertov memunculkan teori kino eye. Ia berpendapat bahwa kamera dengan semua tekniknya memiliki nilai lebih dibandingkan mata manusia. Ia mempraktekkan teorinya melalui serangkaian seri cuplikan berita pendek, Kino Pravda (1922), serta The Man with Movie Camera (1929) yang menggambarkan kehidupan keseharian kota-kota besar di Soviet. Sineas-sineas Eropa lainnya yang berpengaruh adalah Walter Ruttman dengan filmnya, Berlin - Symphony of a Big City (1927) lalu Alberto Cavalcanti dengan filmnya Rien Que les Heures. Era Menjelang dan Masa Perang Dunia Spoiler for klik: .. Film dokumenter berkembang semakin kompleks di era 30-an. Munculnya teknologi suara juga semakin memantapkan bentuk film dokumenter dengan teknik narasi dan iringan ilustrasi musik. Pemerintah, institusi, serta perusahaan besar mulai mendukung produksi film-film dokumenter untuk kepentingan yang beragam. Salah satu film yang paling berpengaruh adalah Triump of the Will (1934) karya sineas wanita Leni Riefenstahl, yang digunakan sebagai alat propaganda Nazi. Untuk kepentingan yang sama, Riefenstahl juga memproduksi film dokumenter penting lainnya, yakni Olympia (1936) yang berisi dokumentasi even Olimpiade di Berlin. Melalui teknik editing dan kamera yang brilyan, atlit-atlit Jerman sebagai simbol bangsa Aria diperlihatkan lebih superior ketimbang atlit-atlit negara lain. Di Amerika, era depresi besar memicu pemerintah mendukung para sineas dokumenter untuk memberikan informasi seputar latar-belakang penyebab depresi. Salah satu sineas yang menonjol adalah Pare Lorentz. Ia mengawali dengan The Plow that Broke the Plains (1936), dan sukses film ini membuat Lorentz kembali dipercaya memproduksi film dokumenter berpengaruh lainnya, The River (1937). Kesuksesan film-film tersebut membuat pemerintah Amerika serta berbagai institusi makin serius mendukung proyek film-film dokumenter. Dukungan ini kelak semakin intensif pada dekade mendatang setelah perang dunia berkecamuk. Spoiler for klik:

Perang Dunia Kedua mengubah status film dokumenter ke tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah Amerika bahkan meminta bantuan industri film Hollywood untuk memproduksi film-film (propaganda) yang mendukung perang. Film-film dokumenter menjadi semakin populer di masyarakat. Sebelum televisi muncul, publik dapat menyaksikan kejadian dan peristiwa di medan perang melalui film dokumenter serta cuplikan berita pendek yang diputar secara reguler

di teater-teater. Beberapa sineas papan atas Hollywood, seperti Frank Capra, John Ford, William Wyler, dan John Huston diminta oleh pihak militer untuk memproduksi film-film dokumenter Perang. Capra misalnya, memproduksi tujuh seri film dokumenter panjang bertajuk, Why We Fight (1942-1945) yang dianggap sebagai seri film dokumenter propaganda terbaik yang pernah ada. Capra bahkan bekerja sama dengan studio Disney untuk membuat beberapa sekuen animasinya. Sementara John Ford melalui The Battle of Midway (1942) dan William Wyler melalui Memphis Belle (1944) keduanya juga sukses meraih piala Oscar untuk film dokumenter terbaik. Era Pasca Perang Dunia Pada era setelah pasca Perang Dunia Kedua, perkembangan film dokumenter mengalami perubahan yang cukup signifikan. Film dokumenter makin jarang diputar di teater-teater dan pihak studio pun mulai menghentikan produksinya. Semakin populernya televisi menjadikan pasar baru bagi film dokumenter. Para sineas dokumenter senior, seperti Flaherty, Vertov, serta Grierson sudah tidak lagi produktif seperti pada masanya dulu. Sineas-sineas baru mulai bermunculan dan didukung oleh kondisi dunia yang kini aman dan damai makin memudahkan film-film mereka dikenal dunia internasional. Satu tendensi yang terlihat adalah film-film dokumenter makin personal dan dengan teknologi kamera yang semakin canggih membantu mereka melakukan berbagai inovasi teknik. Tema dokumenter pun makin meluas dan lebih khusus, seperti observasi sosial, ekspedisi dan eksplorasi, liputan even penting, etnografi, seni dan budaya, dan lain sebagainya. Sineas Swedia, Arne Sucksdorff menggunakan lensa telefoto dan kamera tersembunyi untuk merekam kehidupan satwa liar dalam The Great Adventure (1954); Oceanografer Jeacques Cousteau memproduksi beberapa seri film dokumenter kehidupan bawah laut, seperti The Silent World (1954); Observasi kota tampak melalui karya Frank Stauffacher, Sausalito (1948) serta Francis Thompson, N.Y., N.Y. (1957). Mengikuti gaya eksotis Flaherty, John Marshall memproduksi The Hunters (1956) mengambil lokasi di gurun Kalihari di Afrika. Lalu Robert Gardner memproduksi salah satu film antropologis penting, Dead Birds (1963) yang menggambarkan suku Dani di Indonesia dengan ritual perangnya. Di Perancis, beberapa sineas berpengaruh seperti Alan Resnais, Georges Franju, serta Chris Marker lebih terfokus pada masalah seni dan budaya. Resnais mencuat namanya setelah filmnya, Van Gogh (1948) meraih penghargaan di Venice dan Academy Award. Franju memproduksi beberapa film dokumenter berpengaruh seperti Blood of the Beast (1948) dan Hotel des invalides (1951). Sementara Marker memproduksi Sunday in Peking (1956) dan Letter from Siberia (1958).

Unsur Dalam Film Dokumenter


16 03 2010

Pada dasarnya Barsam menempatkan dokumenter itu sendiri di luar kategori lain karena ia mengatakan bahwa peran si pembuat film dalam menentukan interpretasi materi dalam jenisjenis film tersebut jauh lebih spesifik. Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah sangat pesat dan beragam, tetapi ada beberapa unsur yang tetap dan penggunaannya; yakni undur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter. Unsur Visual: 1. Observasionalisme reaktif pembuatan film dokumenter dengan bahan yang sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan. Hal ini berhubungan dnegan ketepatan observasi oleh operator kamera/sutradara. 2. Observasionalisme proaktif Pembuatan film dokumenter dengan memilih materi film secara khusus sehubungan dengan observasi terdahulu oleh operator kamera/sutradara. 3. Mode ilustratif Pendekatan terhadap dokumenter yang berusaha menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narator/ voice over 4. Mode asosiatif Pendekatan dalam dunia dokumenter yang berusaha menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara. Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harafiah dalam film, dapat terwakili.

Unsur Verbal: 1. Overheard exchange Rekaman pembicaraan antaradua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung. 2. Kesaksian Rekaman observasi, opini atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ihttp://imamsuryanto.wordpress.com/wp-admin/post-new.phpni merupakan tujuan utama dari wawancara. 3. Eksposisi Penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumen.

okumenter sering dianggap sebagai rekaman dari aktualitaspotongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan, dan tanpa media perantara. Walaupun kadang menjadi bahan ramuan utama dalam pembuatan dokumenter, unsur-unsur itu jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena semua bahan tersebut harus diatur, diolah kembali, dan ditata struktur penyajiannya. Terkadang, bahkan dalam pengambilan gambar sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of shot), pencahayaan, dan lain-lain, agar dapat mencapai hasil akhir yang mereka inginkan. John Grierson pertama-tama menemukan istilah dokumenter dalam suatu pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925). Dia mengacu pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu kejadian tertentu. Dia sangat percaya bahwa ...sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula. Oleh karena itu, dokumenter pun termasuk di dalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik yang, dalam istilah Grierson sendiri, disebut perlakuan kreatif atas keaktualitasan (creative treatment of actuality). Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis representasi lain dari realitas itu sendiri. Kebanyakan penonton film/ video dokumenter di layar kaca sudah begitu terbiasa dengan berbagai cara, gaya, dan bentuk-bentuk penyajian yang selama ini palaing banyak dan umum

digunakan dalam berbagai acara siaran televisi. Sehingga, mereka tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter tersebut. Misalnya, penonton sering menyaksikan dokumenter yang dipandu oleh suara (voice over) seorang penutur cerita (narator), wawancara dari para pakar, saksi-mata atas suatu kejadian, rekaman pendapat anggota masyarakat, Demikian pula dengan suasana tempat kejadian yang terlihat nyata, potongan-potongan gambar kejadiannya langsung, dan bahan-bahan yang berasal dari arsip yang ditemukan. Semua unsur khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai suatu bentuk sinematik. Ini penting ditekankan, karena --dalam berbagai hal-- bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni, seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat pemberitaan (jurnalistik) dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan film/ video dokumenter dalam bentuk pemberitaan, ada kecenderungan kuat di kalangan para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini untuk mengarah kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik. Dan, kini, perdebatannya berpindah pada segi estetik. Pengertian tentang kebenaran dan keaslian suatu film dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan, dan diubah, mengacu pada pendekatan segi estetik film dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya. Satu titik awal yang berguna adalah daftar kategori Richard Barsam tentang apa yang dia sebut sebagai film non-fiksi. Daftar ini secara efektif menunjukkan jenis-jenis film yang dipandang sebagai dokumenter, dan dengan jelas memiliki ide dan kode etik tentang dokumenter yang sama. Kategori-kategori tersebut adalah:

film faktual film etnografik film eksplorasi film propaganda cinma-vrit direct cinema dokumenter

Pada dasarnya, Barsam menempatkan dokumenter sebagai suatu kategori tersendiri, karena ia mengatakan bahwa peran si pembuat film dalam menentukan interpretasi materi dalam jenisjenis film tersebut jauh lebih khas. Perkembangan dokumenter dan genre-nya saat ini sudah sangat pesat dan beragam, tetapi ada beberapa unsur yang tetap dan penggunaannya; yakni unsur-unsur visual dan verbal yang biasa digunakan dalam dokumenter. Unsur Visual:

Observasionalisme reaktif; pembuatan film dokumenter dengan bahan yang sebisa mungkin diambil langsung dari subyek yang difilmkan. Hal ini berhubungan dengan ketepatan pengamatan oleh pengarah kamera atau sutradara. Observasionalisme proaktif; pembuatan film dokumenter dengan memilih materi film secara khusus sehubungan dengan pengamatan sebelumnya oleh pengarah kamera atau sutradara. Mode ilustratif; pendekatan terhadap dokumenter yang berusaha menggambarkan secara langsung tentang apa yang dikatakan oleh narator (yang direkam suaranya sebagai voice over). Mode asosiatif; pendekatan dalam film dokumenter yang berusaha menggunakan potongan-potongan gambar dengan berbagai cara. Dengan demikian, diharapkan arti metafora dan simbolis yang ada pada informasi harafiah dalam film itu, dapat terwakili.

Unsur Verbal:

Overheard exchange; rekaman pembicaraan antara dua sumber atau lebih yang terkesan direkam secara tidak sengaja dan secara langsung. Kesaksian; rekaman pengamatan, pendapat atau informasi, yang diungkapkan secara jujur oleh saksi mata, pakar, dan sumber lain yang berhubungan dengan subyek dokumenter. Hal ini merupakan tujuan utama dari wawancara. Eksposisi; penggunaan voice over atau orang yang langsung berhadapan dengan kamera, secara khusus mengarahkan penonton yang menerima informasi dan argumenargumennya.

You might also like