You are on page 1of 6

HADIS SUNNAH KENABIAN (Akhmad Mughzi Abdillah 09532007)

: : : 1
Telah berkata kepada kami Abu Umayah, ia berkata: telah bercerita kepada kami Abu Ashim, dari Tsaur ibn Yazid, dari Khalid bin Madan, dari Abdurrahman bin Umar dan al-Silmy, dari Irbad ibn Sariyah, berkata: Rasulullah SAW bersabda: ikutilah sunahku dan sunnah khulafa alRasyidin yang telah diberi petunjuk setelahku setelah mereka mencapai bulugh

Secara literal telah terpapar jelas bahwa hadis diatas adalah anjuran sekaligus perintah untuk mengikuti sunnah Nabi dan sunnah khulafa al-Rasyidin. Namun perlu dipahami bahwa dalam matan hadis tersebut ada beberapa term yang perlu diperhatikan. Diantaranya adalah term sunnah, khulafa al-Rasyidin. Penulis akan menjelaskan kedua terma tersebut dalam makalah ini. Jika kita perhatikan secara lughawi, dalam hadis tersebut adalah istilah simbolik sekaligus sebagai ungkapan majas yang lontarkan Rasul. Yaitu istilah adlwan alaiha bi al-nawajidza. Bila diuraikan adlwan berarti yang terbagi atau terpisah. Sedangkan nawajidza berarti gigi graham. Menurut penulis ini merupakan ungkapan majazi yang berarti orang yang sudah dewasa (Baligh). Hal ini dapat menambah keterangan tentang Khulafa al-Rasyidin. Bahwa kriteria mereka khulufa al-Rasyidin yang patut diikuti sunnahnyaadalah yang sudah baligh. Penulis melakukan takhrij dikitab hadis lain, untuk memperkuat matan hadis diatas. Diantara hasil takhrij hadisnya adalah sebagai berikut:

:
1

CD Maktabah Syamilah, Musykil al-atsar li al-Thahawi,

2
Pengertian Sunnah
Secara etimologis, al-sunnah berarti perjalanan yang baik maupun yang buruk. Sedangkan secara terminologi menurut ulama hadis, al-sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, atau sepak terjang beliau sebelum atau sesudah diangkat menjadi rasul, baik membawa hukum syarah atau tidak.3 Namun sebagian ulama memahami al-Sunnah sebagai amalan para sahabat baik berkenaan dengan ayng ada dalam alQuran maupun yang mereka ambil dari Nabi SAW., karena ia merupakan wujud mengikuti sunnah yang ada pada mereka atau ijtihad yang merupakan kosensus dari mereka.4 Berbeda halnya dengan pandangan syiah, menurut mereka sunnah adalah hadis yang diriwayatkan oleh para imam yang maksum (suci dari dosa). Mereka berjumlah dua belas.adapun hadis yang diriwayatkna oleh selain imam-imam itu mak bukanlah hadis, meskipun shaihi dan muttashil sanadnya. Mereka pun menerima hadis atas beberapa syarat. Apabila para sahabat sepakat pad kata-kata dan perlakuan Rasul yang ada di hadis tersebut dan tidak kontradiksi dengan sirah nabi maka dapat diterima. Namun jika isinya hanya pendapat para sahabat sendiri maka tidak dapat dijadikan hokum yang otoritatif. Didukung lagi dengan pendapat Sayyid Hasan Ash- Shadar, menurutnya Syiahlah yang pertama kali melakukan penghimpunan atsar dan khabar pada masa Rasulullah SAW. Kitab hadis yang pertama adalah Kitab Ali bin abi Thalib yang di dalamnya memuat hadis-hadis yang diimlakan langsung dari Rasulullah SAW. Kemudian dibukukan oleh Abu Rafi al-Qubti al- Syii dalam kitab As- Sunan wa al-Ahkam wa al- Qadhaya.

Pandangan tentang Khulafa ar-Rasyidin


2 3

CD. Maktabah Syamilah, Syarh Maanil Atsar, hlm. 80 Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis, Pokok-pokok Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hlm.4 4 Muhammad Ajaj al-Khatib, hlm.5

Ahlu sunnah memandang alkhulafa ar-Rasyidin, yakni keempat pemimpin umat islam setelah kepergian Nabi saw. Yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, sebagai tokoh yang sangat berjasa., dan pandangan-pandangan keagamaan mereka dapat dijadikan rujukan, walaupun pandangan mereka tidak sepenuhnya sama dengan Rasul SAW.5 Seperti halnya apa yang telah dilakukan oleh Umar ra., yang menetapkan shalat tarawih berjamaah, padahal itu tidak dilkukan Nabi. Atau kebijakan nya meniadakan zakat untuk kelompok al-Muallafah Qulubuhum orangorang simpati yang ditarik simpatinya guna menghindari tindakan negatifnya yang dapat merugikan islam. Meskipun hal-hal diatas berbeda dengan yang ditetapkan oleh rasul, namun ulama sunni dapat menerimanya dengan berbagai alas an, baik berdasarkan kaidah hukum maupun dengan dalil hadis lain yang memuji akan keadilan para sahabat. Berbeda halnya dengan syiah. Menurut mereka apa yang dilakukan oleh Umar ra seperti diatas tidak dapat dibenarkan. Mereka tidak dapat mempersamakan kedudukan para khulafa alrasyidin dengan para imam yang dua belas orangkarena mereka mashum, terpelihara dari dosa dan kesalahan.

Syarh Hadis
1. Syarh Riyadlu al-Shalihin Muhammad bin Shalih bin Muhammad al-Usmain telah menjelaskan Diskursus hadis tentang anjuran Nabi kepada umatnya untuk mengikuti sunnahnya dan sunnaah khulafaurrasyidin dalm kitab nya, Syarh riyadlu al-Shalihin secara panajang lebar. Menurutnya, term alaikum bis sunnati bila ditesik dengan kacamata ilmu nahwu, alaikum merupakan bentuk jar wa al-majrur, yang berarti perintah. Bila disandingkan dengan kata sunnati maka berarti perintah untuk mengikuti sunnah. Maka dapat disimpulkan bahwa term alaikum bis sunnati bukan sekedar term (kata) anjuran, namun merupakan sebuah perintah. Sedangkan sunnah menrut Muhammad bin Shalih adalah jalan yang harus ditempuh bagi orang yang menginginkan ridla Allah, yang meliputi aqidah, amal dan ibadah. Hal ini dapat diketahui lewat kitab-kitab sunnah seperti kitab shaihi al-Bukhari. Adapun sunnah tersebut meliputi sunnah nabi, dan sunnah khulafaur Rasyidin. Menurutnya, yang dimaksud Khulafaur Rasyidin tersebut adalah khalifah yang meneruskan kepemimpinan Nabi baik secara ilmu, amal,
5

Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan angan Munginkah?, (Tangerang, Lentera Hati, 2007) hlm.214

dakwah, juhad maupun perpolitikannya. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Dalam hal ini Muhammad bin Shalih menekankan bahwa jika ada perbedaan antara sunnah Nabi dengan Sunnah Khulafaur rasyidin maka yang diambil adalah sunnah nabi, karena khulafaur rasyidin lah yang sepatutnya mengikuti nabi. Akan tetapi hal ini sangat tidak mungkin terjadi. Adapun mengenai konsistensi seorang hamba dalam mengikuti sunnah (ittibau al-sunnah), Muhamma bin menguatkannya dengan hadis nabi yang lain;

6
Nabi Muhammad SAW bersabda: berpegang teguhlah dengannya yakni berpegang teguhlah pada sunahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang telah Baligh Dari hadis diatas telah jelas bahwa menghidupi sunnah Nabi dan para khulafaur Rasyidin adalah bukan sekedar anjuran. Bahkan hal itu merupakan sebuah perintah kepada umatnya agar dijadikan pedoman dalam hidupnya. Hal ini ditandai dengan kata tamassaku. Muhammad bin Shalih menafsirkan bahwa al-tamassuk yang dimaksud bukan sekedar al-tamassuk biasa, namun asyaddu al-tamassuki. Hal ini laksana orang yang sedang mempertahankan barangnya orang lain yang tidak hanya dengan kedua tangannya saja namun mulutnya juga ikut menggit barang tersebut demi mempertahankannya dari tangan jahil orang lain. Namun tidak halnya dengan orang yang hanya memegangnya dengan satu tangan dan tanpa dibarengi peran mulut yang menggit barang tersebut. Setelah Nabi memerintah umatnya untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah khulafaur rasyidin, ia pun melarang kita mendekati perkara-perkara baru (al-umur al-muhdastah). Yang dimaksud dengan al-umur al-Muhatsah ini adalah perkara-perkara baru yang murni diciptakan oleh manusia namun diatasnamakan sebagai dalil syariat dalam agama (baca: islam). Sebagaimana firman Allah:

CD. Mkatbah Syamilah

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orangorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (al-Nahl: 116)

Menyinggung tetang hadis Nabi SAW kullu muhdastin bidah, wa kullu bidatin dlalalah, menurut Muhammad bin Shalih, bidah yang dimaksud adalah bidah atau sesuatu yang dibuat-buat / baru secara ushul dan sifatnya. Misalnya, jika ada orang yang ingin berdzikir kepada Allah dengan dzikir tertentu tanpa dilandasi sunnah Rasulullah, maka hal itu kami (Muhammad bin Shalih) mengingkarinya/ melarangnya. Larangan tersebut bukan pada dzikirnya namun pada tartib dzkir tersebut yang tak didasari dengan dalil. Secara tidak langsung, Muhammad bin Shalih membagi bidah menjadi dua. Yaitu bidah mubtadiah dan bidah nisbiyah. Bidah Mubtadiah adalah bidah yang dibuat-buat secara ushul, sebagaimana yang penulis contohkan diatas. Bidah inilah yang dianggap sesat. Sedangkan bidah nisbiyah adalah perkara, amal yang sejatinya pernah dilakukan pada zaman rasul namun karena alasan tertentu amalan tersebut berhenti, dan oleh generasi selanjutnya dilakukan lagi amalan tersebut. Seperti halnya shalat tarawih. ketika Umar memrintahkan kepada Abu ibn Kaab dan Tamim al-dary untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid, ia mengatakan bahwa ini adalah nikmatul bidah. Karena hal itu merupakan bidah nisbyah bukan bidah mubtadiah. Karena semasa Rasul hidup, ia pernah melakukan shalat tarawih berjamaah selama tiga atau empat hari pada bulan ramadlan, namun hal ini ia hentikan karena ditakutkan akan dianggap sesuatu yang fardlu. Adapun mengenai perkara baru yang bersifat duniawi, seperti berkendaraan dengan mobil atau memakai pakaian ala model masa kini, Muhammad ibn Shalih tidak memasukkan ke dalam muhdasat yang dicela agama. Karena pada dasar kedua contoh perkara tersebut adalah halal, kecuali jika ada nash yang melarangnya, seperti larangan memakai emas bagi pria. 2. Syarh al-Arbain Nawawi Dalam mensyarah hadis diatas, sang mualif, Athiyah ibn Muhammad Salim hadis penguat yang ia cantumkan dalam kitab adalah: lebih menguraikan penjelasannya lewat hadis-hadis yang lain, dan sedikit argument tentangnya. Diantara

7
barangsiapa yang menghidup-hidupi sunnah-sunnahku, berarti ia telah meneruskanku setelah (wafat)ku, maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa pahala orang tersebut. Menurutnya, seorang hamba tidak dianggap beriman kecuali dengan dua perkara. Pertama, harus mengikuti titah dan tuntun rasulnya dan kedua, menjadi sosok yang dicintai rasulnya, kedua orang tuanya dan masyarakat sekitarnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perintah mengikuti sunnah Nabi di sini lebih pada implementasi beragama pada ranah sosial. Karena menurutnya perintah mengikuti sunnah ini adalah sesuatu yang luas.

Kesimpulan
Secara garis besar, perbedaan pandangan antara sunni dan syiah terletak pada pendefinisiannya tentang hadis dan khulafa al-rasyidin. Namun dalam hal ini, pemakalah belum bisa menampilkan syarh hadis tersebut dalam kaca mata syiah, karena alasan tertentu. Akan tetapi secara umum syiah berpandangan bahwa yang berhak memimpin khlifah pasca wafatnya Rasul adalah Ali. Sehingga mereka berkecil hati dan kurang simpati kepada kelompok yang membaiat Abu Bakar sebagai penerus Rasul8, dan si-khalifah tersebut. Bahkan mereka (syiah) mengkritik pedas pada Usman bin Affan menyangkut kebijakan-kebijakan yang ia lakukan semasa menjabat menjadi khalifah. Ini menandakan bahwa mereka kurang antusias terhadap kepemimpinan khulafa. Al-Rasyidin pra-Ali.

7 8

CD. Syamillah, Quraish Shihab, Sunnah-Syiah

You might also like